MUQODDIMAH
Dalam memandang Persoalan wanita memang
terjadi pandangan yang paradoks antara Barat dengan Islam, karena Islam dengan
syariatnya lebih bersifat teosentris (Tuhan sebagai pusat segala-galanya)
sementara Barat dengan filsafatnya lebih cenderung pada sifat antroposentris
(manusia sebagai pusat segala-galanya). Disatu sisi Barat lebih mengedepankan
rasio sebagai standar untuk menentukan segala hal, dan disisi lain Islam tetap
komit terhadap syariat sebagai ukuran paten dalam bersikap dan bertindak. Dari
sini nampak jelas bahwa syariat Islamlah yang lebih unggul, karena mempunyai
dimensi vertikal yang langsung berhubung-an dengan sang Khaliq Yang Maha
Mengetahui dan Mengatur seluruh kemaslahatan ummat. Berbeda dengan rasio
manusia yang terbatas dan dloif.
EKSISTENSI
WANITA DALAM ISLAM
a. Wanita di Era Jahiliyyah
Masa Jahiliyah merupakan masa yang
paling suram dalam sejarah wanita. Betapa hina nasib kaum wanita pada masa itu,
mereka tidak dihargai sebagai seorang manusia, hak sipil mereka dikebiri, martabat
mereka dinodai, dan harga diri mereka dikotori, bahkan lebih dari itu mereka
diperlakukan tak ubahnya seperti barang dagangan bagi walinya sebelum ia
menikah dan bagi suaminya setelah menikah. Wanita pada waktu itu hanya
dieksploitasi sebagai obyek pemuas nafsu kaum pria. Yang lebih mengerikan di
era itu tersebar semacam opini publik bahwa melahirkan anak perempuan adalah
aib besar, sehingga mereka (jahiliyah) tidak segan-segan untuk membunuh
putrinya hidup-hidup.
“Dan
apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan,
hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah.”
“Ia
menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang
disampaikan kepadanya. apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan
ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup) ?. Ketahuilah,
alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (QS.
an-Nahl-58-59)
Secara simpel dapat dikatakan bahwa
wanita pada era itu tidak dianggap sebagai layaknya manusia, meskipun mereka
berwujud manusia.
b. Kedudukan
Wanita Dalam Islam
Kedatangan Islam telah memberi warna tersendiri dalam dunia wanita,
Islam berhasil mengangkat derajat wanita dari jurang kehinaan dan
menempatkannya dalam mahligai kemuliaan. Kalau sekarang Barat dengan lantang
menyerukan emansipasi wanita sebenarnya hal itu sudah basi, karena sebelum
benih-benih emansipasi tumbuh di Barat empat belas abad sebelumnya, Islam telah
lebih dahulu memperjuangkan masalah tersebut. Islam mengaggap seorang wanita
sejajar dengan kaum pria, sama sebagai makhluk Allah yang diciptakan hanya
untuk beribadah dan mengabdi kepadaNya.
“Hai sekalian manusia, bertakwalah
kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri.” (QS. an-Nisa’:1).“Dan Aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. ad-Dzariyaat:56).
Dalam berkarya Islampun tidak
membeda-kan diantara keduanya. Seorang perempuan akan mendapatkan pahala atas
amaliyahnya yang sholihah, sebagaimana seorang laki-laki juga akan mendapatkan
balasan atas perilakunya yang sholih.
Allah berfirman dalam al-Qur’an:
“Maka Tuhan mereka
memperkenankan permohonan-nya (dengan berfirman): "Sesungguhnya Aku tidak
menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki
atau perempuan…” (QS. Ali Imron:195)
“Barangsiapa yang
mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang
beriman, Maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau
sedikitpun.” (QS. an-Nisa’:124)
“Sesungguhnya
laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin…” (QS.al-Ahzab;
35).
Selain itu Islam juga telah membumi
hanguskan budaya-budaya jâhiliyah yang sangat keji dan kejam kepada wanita.
Diberikannya hak hidup bagi kaum wanita,
“Sesungguhnya
Rugilah orang yang membunuh anak-anak mereka, Karena kebodohan lagi tidak
mengetahui dan mereka mengharamkan apa yang Allah Telah rezki-kan pada mereka
dengan semata-mata mengada -adakan terhadap Allah. Sesungguhnya mereka Telah
sesat dan tidaklah mereka mendapat petunjuk.” (QS.
al-An’am:140).
Dihapusnnya pernikahan-pernikahan
model jahiliyyah yang sangat melecehkan mereka, diberikan-nya kebebasan untuk
mentasarufkan harta mereka sendiri,
“ …(karena) bagi orang laki-laki
ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada
bahagian dari apa yang mereka usahakan,…” (QS. an-Nisa’: 32).
dibukanya kesempatan kepada mereka
untuk menuntut ilmu,
عن أبِي سعيد الخدريّ قال: «جَاءت
امْرَأةٌ إلَى رسولِ الله، فَقَالت: يا رسول الله، ذهب الرجال بحديثك فاجعل لنا من
نفسك يوما نأتيك فيه تعملنا مِمّا علمه الله، فقال: «اجتمعن في يوم كذا وكذا في
مكان كذا وكذا». (رواه البخاري).
Ditempatkannya seorang ibu pada
derajat yang lebih tinggi daripada seorang ayah,ÇÊÎÈ
“Kami
perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya,
ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah
(pula). mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, …” (QS.
al-Ahqaaf:15).
عن
أبي هريرة t قال رجل للرسول: من أحقّ الناس بحسن صحبتي، فقال رسول الله: «أمــّك»،
قال: ثم من؟، قال: «أمك»، قال: ثم من؟، قال: «أمك»، قال: ثم من؟، قال: «أبوك».
(رواه البخاري ومسلم).
Dan dijadikannya seorang istri
sebagai pembawa rahmat dan kedamaian bagi keluarga,
“Dan
di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”
(QS.ar-Rum:21).
Merupakan bukti konkret betapa
Islam sangat menghargai pribadi dan posisi wanita.
Adapun beberapa hukum syariat yang terkesan merendahkan wanita
sebagaimana tuduhan Barat (orientalis) yang terang-terangan mengatakan,
”Sekiranya Islam memandang wanita sebagai makhluk yang sempurna, ia tidak akan
membenarkan praktik poligami, tidak mengharuskan seorang gadis untuk memohon
izin kepada ayahnya untuk melangsungkan pernikahannya, tidak akan memberikan
hak cerai kepada kaum pria, tidak akan membenarkan wanita dihargai dengan
mahar, dan tidak akam menjadikan wanita berada dalam tanggungan pria. Dari
fakta tersebut, kata mereka (baca; Barat) tersimpul bahwa Islam mempunyai
pandangan yang mendeskreditkan wanita, bahkan lebih ekstrim lagi mereka
mengatakan bahwa hukum Islam hanya beredar pada orbit kepentingan dan
keuntungan kaum pria. Mereka juga menambahkan bahwa sekalipun Islam adalah
agama persamaan (egaliter) dan mengajarkan persamaan, namun dalam konteks
urusan pria dan wanita Islam melupakannya. Sejatinya apa yang dilakukan Islam
(seperti diatas) tidak terkait sama sekali dengan urusan merendahkan martabat
wanita, bahkan agama ini justru berusaha untuk menempatkan wanita pada posisi
yang semestinya, sesuai dengan fitrah dan kodratnya.
Dalam
masalah poligami, jika syariat poligami dituduh sebagai sarana pendzoliman kaum
laki-laki terhadap wanita, maka tudingan itu salah besar9. Bagaimanapun
poligami merupakan rahmat bagi kaum wanita, karena memandang bahwa jumlah
laki-laki yang siap menikah lebih sedikit dari pada jumlah wanita yang siap
menikah. Seorang pakar Barat yang berpikiran luas mengatakan, “Perkawinan yang
mengharuskan seorang laki-laki kawin dengan seorang wanita adalah penindasan
atas wanita yang terpaksa tidak menikah”. Kita juga melihat bahwa poligami
merupakan jalan untuk memelihara harga diri wanita dan menjadikannya sebagai
istri terhormat daripada hidup sebagai kawan kencan atau wanita penghibur.
Dengan demikian kaum wanita harus memahami bahwa tanpa praktik poligami, cita-cita
dan harapan sebagian dari mereka untuk menjadi ibu rumah tangga tidak akan
tercapai.
Falsafah dibalik kenyataan bahwa
seorang dara tidak boleh kawin dengan seorang pria tanpa persetujuan ayahnya
bukanlah karena gadis itu dipandang kurang dalam suatu segi, atau dianggap
lebih rendah dari kaum pria dalam aspek mental, intelektual maupun kematangan
sosialnya. Kalau demikian, apa bedanya seorang janda yang berumur dua belas
tahun tidak memerlukan persetujuan ayahnya, sedangkan gadis yang berusia dua puluh
tahun memerlukannya?. Namun masalah ini sesungguhnya berhubungan dengan aspek
psikologis pria dan wanita. Ia berhubungan erat dengan karakter perayu pria
disatu sisi dan kepercayaan wanita terhadap pria di sisi yang lain. Menurut
psikolog, wanita lebih sabar dan mampu mengontrol nafsunya, namun yang sering
menggoyahkan keseimbangannya dan memperbudaknya adalah rayuan cinta. Dalam hal
ini wanita sangat mudah percaya terhadap rayuan pria. Seorang wanita yang masih
perawan yang belum punya pengalaman tentang pria akan mudah sekali mempercayai
bisikan-bisikan cinta dan janji setia seorang pria. Rasulullah – yang juga ahli
psikologi – telah menyatakan dengan jelas kebenaran hal ini empat belas abad
yang lalu, beliau mengatakan, ” Seorang wanita tidak akan melepaskan dari
hatinya kata-kata yang di ucapkan seorang pria kepadanya, “aku cinta padamu”.
Seorang pria yang nakal akan memanfaatkan kepekaan wanita sebagai perangkap
yang jitu untuk menaklukkan hatinya. Disaat itulah peran seorang ayah sangat di
butuhkan, karena bagaimanapun seorang ayah pasti lebih berpengalaman dan
mempunyai pertimbangan-pertimbangan yang tidak sekedar didasari nafsunya dalam
memilihkan jodoh untuk putrinya.
Dalam permasalahan talak, Islam
sendiri sebenarnya tidak menyukainya, dan lebih suka untuk mempertahankan
keluarga agar tetap hidup. Namun apabila jiwa pernikahan telah mati, maka Islam
memandang dengan penyesalan dan mengizinkan untuk menguburkannya. Islam tidak
bersedia menjadikan bangkainya sebagai mumi dengan pengawetan oleh undang
undang untuk memperlihatkan kehidupan yang semu. Sebenarnya logika talak dalam
Islam tidak didasarkan atas kepemilikan pria dan status wanita sebagai benda
yang dimiliki. Namun hak talak muncul berdasarkan peranan khusus pria dalam
percintaan dimana kehidupan keluarga dibangun berdasarkan rasa cinta dan kasih
sayang suami dan istri. Namun satu hal yang penting untuk diketahui ialah bahwa
kondisi psikologis wanita dan pria dalam hal ini berbeda. Sesuai dengan
fitrahnya cinta selalu dimulai dari pihak pria dan disambut oleh siwanita
dengan sikap responsif dan menerima. Kasih sayang dan cinta seorang wanita yang
sejati hanya mungkin bila cinta itu lahir sebagai reaksi kasih sayang dan
kekaguman pria terhadapnya. Oleh karena itu alam telah memberikan kunci cinta
kedua belah pihak kepada si pria (suami). Dengan demikian sangatlah tepat jika
kunci pembubaran pernikahan juga ada ditangan pria. Ia yang memulai maka ia
pula yang berhak untuk mengakhiri. Selain itu dalam permasalahan ini umumnya
pria lebih arif dan bijak serta memiliki pandangan kedepan terhadap segala
akibat yang akan terjadi (terutama dampaknya bagi anak-anak mereka). Ia tidak
akan menjatuhkan talak kecuali dalam keadan terpaksa yang sudah tidak bisa
diperbaiki lagi. Lain halnya dengan seorang perempuan yang lebih sering
dikuasai emosi dan nafsunya terutama pada waktu menstruasi, seandainya hak
thalak diberikan kepadanya maka dengan mudah (tanpa melalui pertimbangan yang
matang) ia akan menjatuhkan talak dengan seenaknya.
Dalam masalah mahar, kami percaya
bahwa diperkenalkannya mahar merupakan syariat yang sangat bijaksana untuk
menjaga keseimbangan hubungan pria dan wanita. Keberadaan mahar sama sekali
bukan sebagai harga pembelian terhadap gadis itu dari ayahnya atau dari gadis
itu sendiri sehingga ia harus menyerahkan diri dan menjadi budak suaminya.
Namun hal ini semata-mata hanya menjadi hadiah untuk sang istri sebagai tanda
betapa dalam dan besar cinta sang suami kepada istrinya, serta sebagai tanda
penghormatan atas pribadi seorang wanita, sehingga ia merasa dihargai dan
dihormati. Bagi wanita nilai moral mahar lebih besar daripada nilai
materialnya. Inilah sebabnya mengapa hukum mahar, yang merupakan salah satu
pasal dari suatu Undang-Undang yang absolut dan fundamental yang di gariskan
oleh Tuhan yang telah membentuk sifat-sifat manusia, tidak boleh dihapus hanya
dengan dalih persamaan hak pria dan wanita.
Dalam konteks nafkah sebagaimana
juga mahar, ia mempunyai status dan posisi yang khusus dalam dunia wanita.
Andaikata Islam memberikan hak kepada pria untuk memanfaatkan pelayanan istri
dan mempekerjakannya sebagaimana budak serta menguasai seluruh kekayaan dan
hasil kerjanya, maka tidak salah tuduhan Barat yang mengatakan bahwa dasar
penalaran nafkah ialah “Apabila seseorang mempekerjakan seekor hewan atau
seorang budak untuk memperoleh keuntungan materi, maka dengan sendirinya ia
harus mengeluarkan biaya untuk perawatan hewan atau budak tersebut”. Tetapi
Islam tidak mengakui logika seperti ini. Apakah setiap orang yang dinafkahi
oleh orang lain dengan sendirinya adalah budaknya? Menurut Islam dan semua
konstitusi di dunia, seorang ayah berkewajiban untuk memelihara anak-anaknya,
lalu apakah dengan demikian, anak-anak itu di pandang sebagai budak dari orang
tua mereka? Dalam kacamata Islam, jika seorang ayah atau ibu sudah tidak mampu
membiayai hidupnya, maka wajib bagi putra–putranya untuk memberkan nafkah
kepadanya, lalu dapatkah kita katakan bahwa Islam memandang para ayah dan ibu
sebagai budak putra –putra mereka? Islam telah memberikan kepada kaum wanita
suatu keuntungan yang belum pernah ada sebelumnya dalam urusan finansial dan
ekonomi. Disatu pihak Islam memberikan kepada mereka kebebasan dan kemerdekaan
penuh dalam hal finansial dan mencegah kekuasaan pria atas harta dan hasil
kerja wanita dan dipihak lain dengan membebas-kan wanita dari tanggung jawab
pembelanjaan keluarga, Islam telah membebaskanya dari kewajiban mencari uang,
sehingga ia tetap mampu menjaga sifat kewanitaannya. Karena memelihara
kecantikan, daya tarik dan kebanggaan bagi suaminya pasti memerlukan kehidupan
yang tentram, damai dan menyenangkan serta jauh dari kecemasan –kecemasan dalam
memikirkan kebutuhan. Sekiranya wanita berkewajiban seperti laki-laki untuk
berpenghasilan dan mengejar uang kebanggaanya akan merosot dan kerut merut akan
muncul di wajahnya,seperti yang muncul diwajah dan dahi kaum pria. Telah sangat
sering terdengar bahwa kaum wanita Barat yang terpaksa harus berjuang untuk
mencari penghasilan di toko-toko, pabrik-pabrik dan kantor-kantor merasa iri terhadap
kaum wanita Timur. Ketika orang-orang yang memuja Barat hendak mengkritik hukum
ini, dengan dalih melindungi kaum wanita, maka tuduhan mereka tidak punya
alternatif lain, kecuali kebohongan yang nyata.
Semua yang saya paparkan di muka
men-ggambarkan betapa hebat dan luwesnya syariat Islam dalam mengolah, meracik
dan menyajikan menu yang khusus untuk kaum hawa. Dengan petunjuk wahyu Ilahi,
Islam telah mengetahui rahasia kehidupan manusia dan maslahat-maslahat yang ada
di dalamnya yang baru dicoba didekati oleh ilmu pengetahuan setelah rentang
masa yang panjang, kurang lebih sekitar empat belas abad. Sejauh ini jelas
bahwa dasar pemikiran Islam terlalu dalam dan terlalu jauh dari tingkat
pemahaman para penuduh (Barat).
Perbedaan
Gender dalam Pandangan Islam
Di akui atau tidak fakta telah
berbicara bahwa diantara dua makhluk yang berjenis pria dan wanita terjadi
beberapa perbedaan. Gurat-gurat perbedaan itu nampak jelas dalam bentuk fisik
dan kondisi psikisnya. Dalam segi fisik pria umumnya bertubuh lebih besar dan
kekar dari pada wanita,begitu juga suara dan gerakannya, pria umumnya lebih
kasar daripada wanita. Dalam segi psikis pria lebih sering me-nampakkan sifat
superrior (keperkasaan) daripada seorang wanita yang lebih sering
memperlihatkan sifat inferiornya (lemah lembut). Apalagi di abad modern ini
berkat kemajuan sains yang menakjubkan, perbedaan antara pria dan wanita telah
menjadi semakin jelas dan teridentifikasi dengan baik. Kenyataan semacam ini
tidaklah bersifat spekulatif atau khayali tetapi telah menjadi sebuah realitas
obyektif yang tak terbantah-kan. Perbedaan tersebut adalah saintifik dan
eksperi-mental. Sekalipun demikian, perbedaan tersebut sama sekali tidak ada
hubungannya dengan soal apakah pria merupakan jenis kelamin yang lebih unggul
atau lebih sempurna bahkan lebih hebat dari jenis perempuan. Sebenarnya Allah
telah menggariskan perbedaan ini agar keduanya bisa saling melengkapi dan dapat
memperkuat fondasi persatuan keluarga. Dalam menyikapi perbedaan tersebut Islam
memandangnya sebagai sesuatu yang normal, dan telah menjadi sunnatullah yang
menetapkan bahwa tidak ada sebuah bendapun yang diciptakan sama persis meskipun
berasal satu jenis. Pastilah ada titik-titik perbedaan yang membuatnya tidak
sama dengan yang lain.
Dalam memberikan hak kepada keduanya Islam memegang prinsip keadilan,
bukan persamaan belaka (sebagaimana prinsip-prinsip dasar HAM versi Barat).
Islam akan memberikan hak yang sama kepada pria dan wanita sepanjang hal
tersebut menjamin terciptanya keadilan diantara keduanya. Dan sebaliknya jika
persamaan itu justru mengakibatkan kaburnya rasa keadilan, maka dengan tegas
Islam memilih untuk menanggalkan persamaan tersebut. Seperti dalam beberapa hal
yang akan kami ulas di bawah.
Dalam permasalahan warisan dimana anak perempuan mendapat bagian separo
dari anak laki-laki, ketentuan hukum waris ini sering mendapat kritik tajam
dari kalangan orang-orang yang sering menuntut kesetaraan hak. Perlu diketahui
bahwa Islam adalah agama yang adil dan tidak bersikap kecuali dengan adil.
Kenyataan bahwa seorang wanita mewarisi setengah dari bagian pria bukanlah
merupakan tindak kedzaliman, tetapi justru merupakan buah daripada keadilan dan
keseimbangan hak antara pria dan wanita14. Sebenarnya perbedaan tersebut
didasarkan atas suatu hak yang berhubungan erat dengan keduanya. Seorang pria
dalam hidupnya dibebani beberapa tanggung jawab yang bersifat material seperti
memberikan mahar kepada istrinya ketika menikah, memberikan nafkah kepada anak
istrinya, juga bertanggung jawab memberikan nafkah kepada kedua orang tuanya
jika mereka sudah tidak mampu. Sedangkan seorang istri dalam hidupnya tidak
dibebani sedikitpun dengan urusan-urusan diatas. Malah dalam posisinya sebagai
seorang istri, ia mendapatkan mahar dan nafkah dari suaminya. Maka sangat adil
kiranya jika seorang laki-laki mendapat dua bagian dari pada bagian wanita
dengan pertimbangan tanggung jawab yang berat kepada anak dan istrinya, dan
seorang perempuan mendapat bagian separo dengan tanpa dibebani
tanggungan–tanggungan tersebut. Dan sebagai kompensasi atas kekurangan wanita
dalam hak warisan, Islam telah mensyariatkan wajibnya mahar dan nafkah atas
suami kepada istrinya sehingga tercipta keseimbangan hak yang dimiliki
keduanya. Disitulah sebenarnya letak rahasia keadilan Islam.
Dalam permasalahan syâhadah (kesaksian) jika dua orang wanita dianggap
sama nilanya dengan seorang pria, maka hal itu bukan identik dengan rendahnya
derajat wanita, lebih dari itu Islam sebenarnya bertindak lebih proporsional
dan hati-hati dalam menjaga obyektifitas syahadah. Perlu diketahui bahwa
kemantapan dalam memberikan kesaksian mutlak diperlukan, sedangkan menurut
disiplin ilmu psikologi seorang wanita sering kali lupa, bingung atau ragu
dalam memastikan sesuatu. Apalagi pada masa menstruasi, ia sering mengalami
gejala-gejala tegang dan gelisah (tension), lemah dan kehilangan daya (energy
loss), kurang bersemangat dan lesu (depresi), serta rasa nyeri diperut.
Perubahan-perubahan psikologis dan biologis yang kerap melanda wanita ini
mengakibatkannya mudah diserang kebingungan dan keragu-raguan, maka tepatlah
kiranya jika Alqurân menetapkan dua saksi wanita sebagai pengganti dari seorang
saksi laki-laki dengan tujuan agar bila salah seorang wanita itu lupa yang lain
bisa mengingatkannya.
Begitu juga dalam permasalahan diyât, ditetapkannya diyât seorang
perempuan yang terbunuh sebanyak separo dari diyât seorang laki-laki, sekali
lagi tidak dimaksudkan untuk merendahkan perempuan, baik secara moral maupun
material. Karena dalam hal ini yang menjadi pertimbangan para ulama adalah
nilai pengganti yang diperlukan keluarga. Kerugian ekonomi keluarga korban atas
terbunuhnya laki-laki yang nota bene sebagai tulang pungung ekonomi jelas lebih
besar dibanding jika yang menjadi korban pembunuhan adalah wanita yang secara
ekonomi justru ditanggung oleh laki-laki.
Dengan prinsip keadilan ini, Islam tetap konsis dengan konsep bahwa
wanita dan pria atas dasar kenyataan yang satu adalah wanita dan yang lainnya
adalah pria tidaklah identik dalam banyak hal. Dunia mereka tidak persis sama,
watak dan pembawaan mereka tidak dimaksudkan supaya sama. Oleh sebab itu, maka
dalam banyak hak, kewajiban dan hukum keduanya tidak harus menempati kedudukan
yang sama. Namun apakah jumlah total dari semua hak yang telah ditentukan untuk
wanita kurang nilainya dibanding dengan yang dianugerahkan kepada pria ?
pastilah tidak.
Di dunia Barat sekarang sedang diusahakan untuk menciptakan keseragaman
dan kesamaan hak, tugas, dan kewajiban antara wanita dan pria, dengan mengabaikan
perbedaan-perbedaan yang kodrati dan alami. Menurut hemat kami, hal ini
merupakan kejahatan hak asasi terbesar sepanjang sejarah manusia. Dengan label
palsu ”persamaan hak“, mereka berpura-pura memperjuang-kan hak asasi kaum hawa,
namun pada dasarnya mereka adalah penjahat nomor wahid yang berusaha
menghancur-kan pagar ayu hak asasi kaum hawa yang alami dan kodrati. Betapa
tidak ?
Wanita dan pria itu ibarat dua bintang yang beredar pada orbit yang
berbeda. “Tidaklah patut bagi matahari untuk mendahului bulan dan malampun
tidak patut mendahului siang, masing-masing beredar pada orbitnya (QS:16; 40).
Kondisi dasar bagi kebahagian pria maupun wanita sebenarnya terletak ketika
masing-masing selalu bergerak pada orbitnya sendiri-sendiri. Kebebasan dan persamaan
akan bermanfaat selama mereka berdua tidak meninggalkan orbit dan arahnya yang
alami. Hanya itu.
PERAN WANITA
MUSLIM DI ERA MODERN
Sesungguhnya membidangi suatu
pekerjaan dan profesi adalah tingkat tertinggi aktualisasi manusia, dan potensi
ini secara fitrah sudah di anugerahkan kepada manusia, baik laki-laki maupun
perempuan. Manusia tinggal mengembangkan dan menempanya untuk sampai pada
prestasi tertinggi. Islam sendiri juga menganjurkan agar bekal Allah kepada
manusia berupa akal dan bakat tidak disia-siakan begitu saja. Oleh karena itu Islam tidak pernah melarang
wanita untuk mengembangkan potensinya, Islam tidak pernah menyuruh wanita untuk
tetap bodoh, bahkan tidak ada satupun pemikir Islam yang melarang wanita untuk
bekerja.
Wanita sebagai makhluk yang berakal
(homo sapiens) dan juga bersosial (homo kasius) mempunyai peran penting dalam
ikut memberikan sumbangsihnya terhadap berlangsungnya kehidupan manusia dialam
fana ini.
Lalu apa peran
wanita..................?
Sesuai dengan ketetapan Alqurân dan
ilmu hayat (biologi) kita temukan sebuah tugas yang mulia bagi seorang wanita,
tugas itu ialah sebagai ibu rumah tangga. Dengan tugas ini sebenarnya cukup
bagi wanita untuk bisa mencapai derajat tertinggi sebagai makhluk sosial. Jika
kita renungkan sesungguhnya betapa besar jasa seorang ibu terhadap bangsa dan
negara. Ia telah mendidik putra–putra mereka menjadi pemuda –pemuda agamis yang
militan, menjadi patriot bangsa yang konsisten. Ialah sebenarnya yang patut
dijuluki sebagai pahlawan tanpa tanda jasa.
Kalau pada saat ini wanita Barat lebih bangga mengejar karir demi meraih
popularitas dan meninggalkan sama sekali tugas utamanya sebagai seorang ibu,
maka hal itu dianggap melenceng dari kodratnya sebagai seorang wanita.
Semua ini bukan berarti aktifitas diluar rumah bagi seorang wanita
adalah haram, namun yang jelas profesi apapun yang di geluti, seorang wanita
tidak boleh meninggalkan sama sekali tugas utamanya sebagai seorang ibu.
Islam tidak melarang wanita untuk berkarir, namun dalam berkarir ada
beberapa norma dan etika yang harus dipatuhinya sebagai wanita muslimah.
pekerjaan yang dijalani tidak
termasuk pekerjaan yang di haramkan syariat atau mendorong pada perbuatan
haram. Seperti seorang wanita menjadi pelayan bagi laki-laki lajang yang hidup
sendirian, atau menjadi sekretaris pribadi bagi seorang direktur yang tugasnya
menuntut untuk berkhalwat (menyendiri), dan yang lainnya.
Harus selalu berpegang pada adab wanita
muslimah.
Pekerjaan itu tidak menghalangi tugas dan
kewajiban utamanya sebagai seorang wanita, yaitu sebagai ibu rumah tangga yang
harus berbakti kepada suami dan anak-anaknya.
Namun perlu diketahui tidak ada tugas yang lebih utama dan mulia bagi
seorang wanita selain sebagai ibu rumah tangga yang mempersiapkan dan mencetak
generasi muda siap pakai dan tahan uji sebagai penopang berlangsungnya
kehidupan bangsa dan negara.
PENUTUP
Wanita ibarat sebuah mutiara,
sekalipun dimasa jahiliyyah pernah terkubur dalam lumpur kehinaan, namun
mutiara tetaplah mutiara, setelah datangnya Islam diambilah kembali mutiara
itu, dibersihkan dari noda masa lalu dan diletakkan ditempat yang tinggi nan
mulia. Jadilah ia barang mulia yang berharga. Perbedaan gender tidak menjadikan
sang mutiara kurang atau rendah nilainya, karena yang paling mulia disisi-Nya
hanyalah orang yang paling bertaqwa diantara mereka. Sang mutiara akan tetap
mulia kalau ia sadar dan menghargai bahwa dirinya adalah mutiara. Tanpa polesan
karir dan hiasan profesi ia tetap menjadi mulia, bahkan ia semakin berharga
jika mau tampil alami sesuai kodratnya tanpa polesan karir (sebagai ibu rumah
tangga). Cukup sebagai bukti kebesaranya, sebuah kata mutiara “surga itu berada
dibawah telapak kaki ibu”. Ialah sang mutiara.
BAHAN BACAAN :
- Al Mar’ah Baina Thugyanin Nidlom Al Ghorbiy Wa Lathoifit Tasyri’ Ar Robaniy ,Oleh DR. Muhammad Said Romadlon Al Buthi, Darul Fikri Beirut Libanon
- Muqoronatul Adyan 3 Al Islam Oleh Dr. Ahmad Syibli, Maktabah An Nahdloh Al Misriyyah
- Nidlomul Usroh Fil Islam Oleh Dr. Adnan Zarzur, Dr. M. Ajaj Al Khotib, Dr. M. Abdus Salam, Dr. M. Nadi Ubaidat Dr. A.M. Al Ulami, Maktabah Al Falah Kuwait
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer
0 komentar:
Posting Komentar