Menuju Titik Temu

Rabu, Oktober 26, 2011

Sebelum perjalanan yang lumayan panjang dan pengembaraan yang bagi orang sekerdil saya cukup melelahkan ini kita akhiri, masih ada sesuatu yang mengganjal dihati. Apakah ilmu hisab astronomi dan rukaytul hilal benar benar sesuatu yang kontradiksi sehingga benar-benar tidak dapat disatukan ? ataukah keduanya adalah dua hal yang berbeda tapi bukan kontradiksi, sehingga masih bisa disatukan ? sebagaimana air, teh dan gula adalah benda yang berbeda tapi sangat mungkin untuk disatukan bahkan akan terbuat darinya minuman teh manis yang lezat. Karenanya kita ikuti beberapa pembahasan berikut ini. Wallohul muwaffiq.

A.Haruskah hisab dan rukyat dipertentangkan ?
Sebagaimana yang telah kitab bahwa ilmu hisab astronomi yang ada sekarang bukanlah termasuk ilmu nujum (perbintangan) yang terlarang, bahkan termasuk dalam ilmu nujum tasyir yang mubah. Sebagaimana halnya ilmu prakiraan cuaca, karena semuanya dibangun diatas dasar ilmu yang bisa dibuktikan secara empiris dan akurat, meskipun juga masih ada celah kesalahan baik yang berupa kesalaha teknis maupun lainnya. Oleh karena itu menggunakan ilmu hisab ini bukan merupakan sesuatu yang tertolak secara total.
Hanya saja tatkala Alloh dan Rosul Nya mengaitkan masalah penetapan awal dan akhir puasa serta hari raya itu hanya dengan dua sebab yaitu rukyat hilal secara visual langsung dan ikmal, dan tidak ada sebab yang ketiga, maka kita tidak boleh sama sekali untuk merubah ketentuan Alloh dan Rosul Nya ini.
Ditambah lagi bahwa ilmu hisab sampai sekarang bukanlah sesuatu yang qoth’I, namun masih menyisakan banyak permasalahan keilmiyahan sebagaimana yang diakui sendiri oleh sebagian ahli astronomi. Oleh karena itu para ulama’ islam dari dulu sampai sekarang tidak memperbolehkan menggunakan ilmu ini untuk menetapkan awal puasa dan hari raya.  
Namun bukan berarti kita menolaknya sama sekali, karena ilmu ini adalah ilmu yang banyak manfaatnya baik yang berhubungan dengan masalah kita maupun lainnya. Saya tidak akan membahas itu semua karena bukan kapasitas saya untuk melakukannya, saya hanya akan membahas yang ada kaitannya dengan masalah kita. Diantara manfaat yang yang bisa digunakan adalah :

  1. Ilmu hisab bisa digunakan untuk menetapkan kelender hijriyyah yang ini sangat bermanfaat untuk kehidupan umat islam. Namun ini hanya bisa digunakan untuk kepentingan sipil dan administrasi, dan sama sekali bukan untuk menentukan hari-hari ibadah.
  2. Ilmu hisab boleh digunakan untuk membantu menetapkan waktu sholat, karena waktu sholat tidak disyaratkan dengan melihat tanda-tanda masuknya secara langsung. Dan para ulama’ kontemporer pun telah sepakat atas bolehnya berpedoman pada jadwal waktu sholat yang dibangun diatas ilmu hisab dengan syarat tidak secara nyata dan pasti bertentangan dengan waktu sebenarnya.
  3. Bisa membantu proses rukyatul hilal, dengan cara menentukan disebelah mana letak  hilal dari tempat terbenamnya matahari, sehingga dalam proses rukyatul hilal bisa menfokuskan melihat pada posisi tersebut.
  4. Jika secara hisab hilal tidak mungkin terlihat, ini bisa menjadi acuan bagi hakim, qodhi atau badan berwenang lainnya agar lebih hati-hati dalam menerima persaksian, dengan cara menanyakannya secara lebih cermat dan detail tentang hilal yang dia bersaksi melihatnya. Namun jika orang yang bersaksi melihatnya itu benar-benar bisa diterima persaksiannya, maka  harus diterima, meskipun secara ilmu hisab hilal tidak mungkin bisa dirukyat.
  5. Jika secara hisab hilal bisa terlihat karena sudah berada diatas ufuk, maka ini bisa  jadi acuan bagi badan berwenang untuk tidak tergesa-gesa dalam menetapkan besok harinya belum masuk bulan baru, namun benar-benar meningkatkan perhatiannya. Apakah benar-benar tidak ada yang melihatnya ataukah ada tapi belum disampaikan kepadanya. Namun jika benar-benar tidak ada bersaksi melihat hilal, maka rukyatlah yang jadi patokan, jadi harus ditetapkan bahwa besok harinya adalah menyempurnakan bulan tersebut  menjadi 30 hari.
  6. Dan manfaat lainnya dari ilmu hisab ini yang tidak bertentangan dengan syariat. 



Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Hukum yang berhubungan dengan bulan dan hari syar’i


A.Hukum yang berhubungan dengan bulan syar’i
Bulan syar’I yang saya maksud disini adalah bulan hijriyyah, yang mana telah kita singgung pada bab-bab sebelumnya bahwa masuk dan keluarnya bulan ditentukan dengan rukyatul hilal secara visual, terutama yang berhubungan dengan bulan ibadah. Meskipun boleh menetapkan dengan ilmu hisab kalau hanya untuk urusan sipil dan administrasi.
Banyak sekali hukum yang berhubungan dengan bulan. Dan apabila Alloh menyebut sebuah hukum lalu dikaitkan dengan tahun, bulan maupun hari maka yang dimaksud adalah tahun yang terdiri dari 12 bulan hijriyyah dan hari syar’I yang insya Alloh akan kitab bahas sub bahasan berikutnya.
Diantara hukum-hukum tersebut adalah :


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Kalender Islam Internasional


Untuk menyempurnakan pembahasan tentang rukyat dan hisab ini, marilah kita tengok sebuah pembahasan  yang sangat erat hubungannya dengan masalah ini, yaitu masalah pembuatan dan penggunaan kalender yang dijadikan patokan oleh umat manusia dalam menentukan tanggal, bulan dan tahun mereka. Dalam islam kalender yang dikenal dan digunakan kaum muslimin sejak awal kemuculannya di jaziroh arab adakah kelender hijriyah  yang didasarkan pada peredaran bulan. Namun sebelum mengenal kalender tersebut lebih dalam, ada beberapa pembahasan yang kiranya perlu untuk difahami.

A.Urgensi Kalender dalam peradaban umat manusia
Dalam Kamus besar Bahasa Indenesia, Kalender mempunyai dua makna, yaitu :
1 daftar hari dan bulan dlm setahun; penanggalan; almanak; takwim;
2 jadwal kegiatan di suatu perguruan atau lembaga.
Dan yang kita maksud dengan pembahasan kita kali ini adalah makna yang pertama.
Sedangkan menurut Mohammad Ilyas, astronom terkemuka dari Malaysia kalender adalah sistem waktu yang mereflesikan lenting dan kekuatan suatu peradaban.
Kalender ini adalah sesuatu yang sangat urgen dalam kehidupan umat manusia, Karena manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup kecuali dengan berinteraksi dengan lainnya.  Dalam sekup kehidupan yang kecil saja, jika ada dua orang yang berjanji akan bertemu unuk urusan mereka, maka akan sangat sulit sekali melaksanakannya kecuali kalau adanya sebuah kalender yang bisa digunakan sebagai patokan janji mereka tersebut. Misalnya dua bulan lagi hari ini tanggal sekian bulan dan tahun sekian.
Dalam fiqh muamalah, kalau jual beli misalnya dilaksanakan secara tempo baik dari sisi penjual maupun pembeli , maka harus ditentukan waktu pembayarannya agar tidak terjerumus pada jahalah (ketidak jelasan). Dan itu sangat sulit kalau tidak ada sistem kalender yang menjadi patokan mereka berdua.


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Permasalahan seputar rukyat


Setelah diketahui bahwa untuk menetapkan datang dan berakhirnya bulan hijriyyah harus dengan langsung rukyah secara visual, dan kalau tidak kelihatan karena tertutupi mendung atau lainnya maka harus menyempurnakan bulan tersebut menjadi 30 hari, serta tidak boleh berpedoman pada hisabnya ahli hisab. maka disini akan kita bahas beberapa permasalahan seputar rukyat hilal.

A. Rukyat fardhu kifayah
Rukyat hilal adalah sebuah fardhu kifayah, maka sebagaimana semua hukum fardhu kifayah, jikalau sudah ada sebagian kaum muslimin yang melaksanakannya maka gugur kewajiban bagi lainnya.  Bukan merupakan kewajiban setiap muslim untuk keluar semua menuju pantai atau puncak gunung untuk melihat hilal. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Umar
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ تَرَاءَى النَّاسُ الْهِلاَلَ فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنِّى رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ
“Dari Ibnu Umar berkata : “Orang-orang berusaha melihat hilal, saya pun khabarkan kepada Rosululloh bahwa saya melihatnya. Maka beliau berpuasa dan beliau memerintakan manusia untuk berpuasa.” (HR. Abu Dawud 2324, Darimi 2/4, Ibnu Hibban 871 dan lainnya serta dishohihkan oleh Hakim, Adz Dzahabi, Ibnu Hajar dan Al Albani dalam Irwa’ : 908)
Dalam hadits ini sangat jelas bahwa para sahabat banyak yang berusaha melihat hilal, namun hanya Ibnu Umar yang melihatnya, maka beliau memberitahukan kepada Rosululloh dan beliau menerimanya. Seandainya ini adalah fardhu ain niscaya semua orang harus melihat hilal terlebih dahulu, dan ini tidak pernah ada seorang ulama pun yang mengatakannya.
Setelah menyebutkan hadits-hadits tentang wajibnya rukyah, Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata : “Bukanlah maksud dari hadits-hadits ini semua orang harus melihat hilal sendiri-sendiri, namun maksudnya adalah hilal itu bisa ditetapkan dengan adanya persaksian yang terpercaya.”  (Majmu’ fatawa wa maqolat mutanawwi’ah 15/92-92)



Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Bersama para penganut madzhab hisab


A. Madzhab Ahli Hisab
Secara umum, para ulama’ belakangan yang berpegangan dengan ilmu hisab untuk penetapan bulan hijriyyah terbagi menjadi dua kelompok.
Pertama : Sebagian diantara mereka hanya menggunakan ilmu hisab untuk penafian saja dan bukan untuk penetapan.
Maksud dari madzhab ini adalah kalau secara perhitungan ilmu hisab pada sore hari tanggal 29 bulan hijriyyah posisi hilal masih berada dibawah ufuk barat atau berada di tempat yang tidak mungkin bisa terlihat oleh mata telanjang atau belum lahir sama sekali, maka keberadaan hilal secara hisab ini harus dijadikan patokan untuk menolak semua persaksian para saksi yang bersaksi bahwa pada saat matahari terbenam sore itu dia melihat hilal, karena mereka telah bersaksi dengan sesuatu yang mustahil, dimana dia bersaksi melihat hilal padahal pada saat matahari terbenam hilal sudah tenggelam mendahului matahari dan sudah berada dibawah garis ufuk barat sehingga mustahil bisa terlihat. Dan persaksian tersebut harus difahami bahwa dia salah lihat, atau bisa jadi yang dia lihat adalah awan putih yang membentuk mirip bulan sabit, atau pesawat terbang yang sedang melintas atau bintang  yang disangka hilal atau lainnya, atau mungkin membayangkan melihat hilal padahal tidak ada. (keton-ketonen dalam istilah jawa)
Namun pendapat ini mengatakan bahwa jika secara ilmu hisab hilal sudah berada di atas ufuk dan mungkin bisa terlihat oleh mata seandainya tidak ada yang menghalangi pandangan, baik itu berupa mendung, kabut atau lainnya, namun ternyata benar-benar tidak ada yang melihat, maka besok harinya masih dianggap sebagai tanggal 30 untuk menyempurnakan hitungan bulan tersebut. Hal ini karena bagi mereka ilmu hisab hanya untuk menafikan bukan menetapkan.
Diantara yang berpendapat dengan madzhab ini adalah Imam Tajuddin As Subki, dan pada zaman sekarang Syaikhul Azhar Muhamad Mushthofa Al Maroghi, Syaikh Ali Thonthowi dan Syaikh Abdulloh bin Sulaiman ibnu Mani’
Syaikh Ibnu Mani’ berkata : “Adapun apabila matahari telah terbenam sebelum lahirnya bulan baru, lalu ada seseorang yang bersaksi bahwa dia melihat hilal  setelah tenggelamnya matahari, maka wajib menolak rukyah ini, karena saat itu rukyatul hilal tidak mungkin sama sekali, kesimpulannya ilmu hisab wajib digunakan untuk menafikan bukan menetapkan.” (Lihat makalah beliau At Tahdid Al Falaki li Awaili Syuhur Qomariyyah ‘am 1425 )
Kedua : Sebagian lagi berpendapat bahwa ilmu hisab bisa digunakan untuk penafian dan penetapan bulan hijriyyah.
Maksud dari madzhab ini adalah sama dengan madzhab pertama dalam masalah penafian, hanya saja dalam masalah penetapan, mereka mengatakan bahwa apabila secara perhitungan ilmu hisab bahwa saat matahari terbenam tanggal 29, hilal berada dia atas garis ufuk dan atau sudah memungkinkan untuk dilihat, maka hal ini bisa digunakan untuk menetapkan bahwa besok harinya adalah tanggal satu bulan baru. Baik ada yang bersaksi bahwa dia melihat hilal atau sama sekali tidak ada yang bersaksi bahwa dia melihat hilal, karena tidak terlihatnya hilal oleh pandangan mata bisa disebabkan banyak factor, dan yang paling dominan adalah cuaca mendung atau yang semisal, padahal sebenarnya hilal sudah berada diatas garis ufuk barat yang menjadi pertanda bahwa besok adalah tanggal satu bulan baru.


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Kewajiban Berpegang Pada Rukyatul Hilal



Ketahuilah  semoga Alloh melimpahkan barokahnya kepada kita semua- bahwa dalil dari Al Qur’an dan as Sunnah menunjukan akan wajibnya berpedoman pada rukyatul hilal atau ikmal serta tidak boleh menggunakan dasar ilmu hisab. Dan ini merupakan kesepakatan para ulama’ islam sejak zaman dahulu sampai saat ini. Adapun yang membolehkan menggunakan ilmu hisab, maka adalah pendapat yang dianggap aneh dan nyleneh karena menyelisihi nash yang sangat jelas dan ijmak (kesepakatan) para ulama’.
Dengan ini maka apabila pada sore hari tanggal 29 kelihatan hilal, maka berarti besoknya adalah tanggal 1 bulan baru. Namun apabila tidak kelihatan hilal maka besoknya adalah menyempurnakan hari ke 30 bulan tersebut, meskipun secara ilmu hisab dan falak, bahwa saat matahari tenggelam tanggal 29, hilal sudah berada diatas ufuk dan memungkinkan untuk dirukyah seandainya tidak ada sesuatu yang menghalanginya semacam mendung atau lainnya.
Hal ini berdasarkan beberapa dalil berikut ini :

A. Dalil Al Qur’an
Alloh Ta’ala berfirman:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْءَانُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Bulan Ramadhan, bulan yang didalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang bathil). Karena itu, barang siapa diantara kamu yang menyaksikannya maka hendaklah ia berpuasa. (QS. Al-Baqarah[2] : 185).
Sisi pengambilan dalil dari ayat ini adalah sebagian para ulama’ memahami makna “شَهِدَ” pada ayat tersebut adalah menyaksikan awal masuk bulan. Dan tanda itu diterangkan oleh Rosululloh dalam banyak hadits beliau dengan melihat hilal. (Lihat Ahkamul Qur’an oleh Imam Al Jashosh dan Ibnul Arobi)
Syaikh Sholih Al Luhaidan berkata : “Yang dimaksud dengan menyaksikan disini adalah melihat hilal, sebagaimana itu yang langsung difahami dari ayat tersebut. dan dengan makna inilah para ulama’ tafsir menafsirkannya, dan merekalah orang yang menjadi suri tauladan dalam masalah ini.” (Lihat Al Ahkam Al Muta’alliqoh bil Hilal oleh Syaikh Luhaidan) [1]

B. Dalil As sunnah
Telah shohih hadits Rasulullah Shollallohu 'alaihi wasallam yang sampai pada derajat mutawatir, sebagaimana ditegaskan oleh imam Ath Thohawi dalam Syarah Ma’ani Atsar, diriwayatkan oleh banyak para sahabat, yaitu: Abu Hurairah, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, Hudzaifah bin Yaman, Sa’ad bin Abi Waqqosh, Abduloh bin Mas’ud, Jabir bin Abdillah, Bara’ bin Azib, Rofi’ bin Khodij, Tholq bin Ali, Abu Bakroh, Samuroh bin Jundub, Adi bin Hatim dan lainnya. (Lihat Irwaul Gholil oleh Imam Al-Albani 4/2-14, Jami’ul Ushul oleh Imam Ibnul Atsir 6/265-271) semuanya meriwayatkan akan wajibnya berpegang pada rukyatul hilal dengan beberapa redaksi yang agak berbeda. Yang bisa diklasifikasikan menjadi beberapa bagian:
1. Perintah Rosululloh untuk mulai puasa dan berhari raya dengan rukyatul hilal atau ikmal
Seperti hadits Abu Hurairah
عن أَبَي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قال قال النبي - صلى الله عليه وسلم - : " صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ "
Dari Abu Huroiroh berkata : “Rosululloh bersabda : “berpuasalah kalian karena melihat (hilal) dan berbukalah karena melihatnya. Lalu jika tertutupi atas kalian maka sempurnakan hitungan bulan Sya’ban 30 hari.” (HR. Bukhori Muslim)
Juga hadits Abdullah bin Umar
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص قَالَ: إِذَا رَأَيْتُمُ الْهِلاَلَ فَصُوْمُوْا وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوْا, فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوْا ثَلاَثِيْنَ
Dari Abduloh bin Umar bahwasannya Rasulullah Shollallohu 'alaihi wasallam bersabda: “Apabila kalian melihat hilal maka berpuasalah, dan apabila kalian melihatnya lagi maka berbukalah, lalu jika ditutupi atas kalian maka tetapkanlah tiga puluh.” (HR. Bukhari 4/102, Muslim 1080).
Juga hadits Ibnu Abbas
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قال :" صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ ، وَ أَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ ، فَإِنْ حَالَ بَيْنَكُمْ وَ بَيْنَهُ سَحَابٌ أَوْ ظُلْمَةٌ أَوْ هَبْوَةٌ ، فَأَكْمِلُوْا اْلعِدَّةَ ، لَاتَسْتَقْبِلُوْا الشَّهْرَ اِسْتِقْبَالًا ، وَ لَا تَصِلُوْا رَمَضَانَ بِيَوْمٍ مِنْ شَعْبَانَ ".
Dari Ibnu Abbas dari Rosululloh beliau bersabda : “Berpuasalah karena melihat hilal, dan berbukalah karena melihatnya. Lalu jika terhalangi antara kalian dengan hilal tersebut oleh mendung atau kegelapan atau debu, maka sempurnakanlah hitungan bulan. Dan janganlah kalian mendahuluinya dan jangan kalian sambung Romadhon dengan satu hari dibulan Sya’ban.” (HR. Abu Dawud dan Baihaqi. Lihat Ash Shohihah : 1917)
Ketiga hadits ini sangat jelas menunjukkan bahwa cara Rosululloh untuk mulai dan mengakhiri puasa hanyalah rukyatul hilal dan ikmal. Tidak ada cara lainnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa beliau berkata : “Cara untuk mengetahui munculnya hilal hanyalah dengan rukyah, tidak ada cara lain. Hal ini berdasarkan dalil sam’i dan dalil akal.”
Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata : “Rosululloh memerintahkan puasa dan berbuka dengan rukyatul hilal, dan beliau hanya menyebutkan cara tersebut.”
Oleh karena barang siapa yang menggunakan cara hisab ilmu falak atau bahkan mengedepankannya daripada rukyah, maka dia telah menyelisihi perintah Rosululloh.
Camkanlah firman Alloh Ta’ala :
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Maka hendaklah orang-orang yang menyelesihi ‘amr’ Rosul takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa adzab yang pedih.” (Qs. An Nur [24] : 63)
Berkata Imam Ibnu Katsir saat menafsirkan firman Alloh Ta’ala : “Maka hendaklah orang-orang yang menyelesihi “amr” Rosul takut.” Maksud “amr” disini adalah jalan, manhaj, cara dan sunnah Rosululloh serta syariat beliau. Maka semua ucapan dan perbuatan harus ditimbang dengan ucapan dan perbuatan beliau, kalau sesuai maka diterima sedangkan kalau tidak sesuai maka harus ditolak, siapapun yang mengatakan dan melakukannya. Sebagaimana diriwayatkan dalam shohih Bukhori 2499 dan Muslim : 3242 bahwasannya Rosululloh bersabda :
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
"Barang siapa yang melakukan sebuah amal perbuatan yang tidak ada contohnya dari kami maka dia itu tertolak.”
Maka maksud dari ayat ini adalah maka hendaknya orang yang menyelisihi syariat Rosululloh secara bathin maupun dhohir takut (akan tertimpa sebuah fitnah) maksud dengan fitnah disini adalah hatinya akan tertimpa kekufuran, kemunafikan atau kebid’ahan. (Atau akan tertimpa adzab yang pedih) yakni selama masih hidup di alam dunia, dengan cara di bunuh, hukum atau dipenjara atau mungkin adzab lainnya.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir : 3/373)
Imam Ahmad berkata : “Apakah engkau mengetahui apakah fitnah itu ? fitnah adalah kesyirikan. Barang kali ada seseorang yang menyelisihi sebagian sabda Rosululloh, nanti hatinya akan tertimpa penyakit menyimpang dan diapun akan binasa.”
2. Rosululloh melarang mulai puasa dan berbuka sehingga melihat hilal atau ikmal
Seperti hadits Abdullah bin Abbas
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم ذَكَرَ رَمَضَانَ, فَقَالَ: لاَ تَصُوْمُوْا حَتَّى تَرَوْا الْهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوْا حَتَّى تَرَوْهُ, فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا الْعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ
Dari Abdullah bin Abbas bahwasannya Rasulullah Shollallohu 'alaihi wasallam bersabda: “Janganlah kalian berpuasa sampai kalian melihat hilal, dan janganlah kalian berbuka sampai kalian melihat hilal lagi, Lalu jika ditutupi atas kalian maka sempurnakanlah hitungan tiga puluh.” (HR. Nasai 1/301, Darimi 2/3, Ahmad 1/221 dengan sanad shahih).
Maka barang siapa yang mulai berpuasa dan berbuka dengan pedoman ilmu hisab berarti dia telah melanggar larangan Rosululloh.
3. Rosululloh menafikan ilmu hisab dari ummat ini, kalau berhubungan dengan masalah puasa dan berbuka
Hal ini sangat tegas dalam sabda beliau
عن ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ وَمَرَّةً ثَلَاثِينَ
Dari Ibnu Umar dari Rosululloh bahwasannya beliau bersabda : Sesungguhnya kami adalah ummat yang ummi tidak menulis dan menghitung, satu bulan itu demikian dan demikian.” Maksud beliau adalah terkadang dua puluh sembilan hari dan terkadang tiga puluh hari.” (HR. Bukhori Muslim)
Maka barang siapa yang menggunakan ilmu hisab dalam masalah mulai puasa dan berbuka, berarti dia telah menggunakan sesuatu yang dinafikan oleh Rosululloh pada umat ini.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : “Sabda beliau : “Kami adalah umat yang ummi tidak menulis dan menghitung” adalah sebuah khabar yang mengandung larangan. Karena Rosululloh menghabarkan bahwa umat yang mengikuti beliau adalah umat ummi yang tidak menulis dan menghitung, maka barang siapa yang menulis dan menghitung berarti bukan termasuk dalam umat ini dalam hukum masalah ini, akan tetapi dia telah mengikuti jalan selain jalannya orang yang beriman, juga telah melakukan sesuatu yang bukan merupakan bagian dari agamanya. Sedangkan melakukan sesuatu yang bukan dari agama ini adalah haram. Dengan ini maka menulis dan menghitung (hisab ilmu falak -pent) dalam masalah ini adalah terlarang.”
4. Berpedoman dengan hisab ilmu falak menyelesishi amal perbuatan yang selalu dilakukan oleh Rosululloh. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Aisyah.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَتَحَفَّظُ مِنْ شَعْبَانَ مَا لاَ يَتَحَفَّظُ لِغَيْرِهِ, ثُمَّ يَصُوْمُ لِرُؤْيَةِ رَمَضَانَ, فَإِنْ غُمَّ عَلَيْهِ عَدَّ ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا ثُمَّ صَامَ
Dari Aisyah berkata: “Rasulullah benar-benar memperhatikan bulan Sya’ban tidak sebagaimana bulan-bulan lainnya, kemudian jika beliau berpuasa apabila melihat hilal Ramadhan, namun jika tertutupi, maka beliau menghitung bulan sya’ban tiga puluh hari lalu beliaupun berpuasa.” (HR. Abu Dawud 2325, Ibnu Hibban 869, hakim 1/423, beliau berkata: “Shahih menurut syarat Bukhari Muslim.” Dan disepakati oleh Imam Adz Dzahabi)
Begitu pulalah para khulafa’ rosyidin setelah beliau menapak tilasi apa yang beliau lakukan, tidak pernah mereka berpedoman dengan ilmu Hisab. Sedangkan Rosululloh bersabda :
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Barang siapa di antara kalian yang hidup setelahku, niscaya akan melihat banyak perselisihan. Maka berpeganglah pada sunnahku dan sunnah khulafa’ rosyidun setelahku yang mendapatkan petunjuk, gigitlah padanya dengan gigi gerahammu, dan hati-hatilah kalian terhadap semua perkara yang baru, karena semua perkara baru adalah bid’ah dan semua bid’ah adalah sesat.” (Shohih. Riwayat Ashhabus sunan. Lihat Ash Shohihah : 2735)
5. Berpedoman pada hisab tidak pernah dilakukan oleh Rosululloh. Padahal Rosululloh bersabda:
عن عائشة قالت : قال رسول الله : مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Dari Aisyah berkata : Rosululloh bersabda : “Barang siapa yang mengamalkan sesuatu yang tidak ada contohnya dari kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Bukhori Muslim) dan dalam riwaat Muslim dengan lafadz : “Barang siapa yang membuat sesuatu yang baru yang tidak ada contohnya dari kami maka dia tertolak.”
Dan menggunakan pedoman ilmu hisab untuk memasuki dan mengakhiri bulan Romadhon tidak pernah dilakukan oleh Rosululloh, maka berarti dia tertolak.

C. Ijma’ para ulama’
Para ulama’ sejak zaman sahabat sampai saat ini sepakat atas wajibnya berpedoman dengan rukyatul hilal dan ikmal serta tidak boleh berpedoman pada ilmu hisab atau ilmu falak. Tidak ditemukan adanya khilaf dalam masalah ini, kecuali yang dinukil dari beberapa ulama’ yang insya Alloh kita bahas pada bab berikutnya, ucapan mereka inilah yang diikuti oleh selainnya setelah mereka yang akhirnya berkembang pada saat ini. Wallohul musta’an
Syaikh Bakr Abu Zaid berkata: “Yang menyampaikan bahwa hal ini merupakan kesepakatan ulama’ adalah para ulama’ dari zaman dahulu sampai sekarang, diantaranya adalah: Imam Ibnul Mundzir dalam Al-isyrof, Al-Baji, Ibnu Rusyd, Ibnu Taimiyah, Al-Hafizh Ibnu Hajar, As-Subki, Al-Aini, Ibnu Abidin, Asy Syaukani, Shiddiq Hasan khon, Mulla Ali Al-Qori dan Ahmad Syakir.” (Fiqhun Nawazil 1/200).
Lihat masalah ini dalam Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam 25/132, Fathul Bari 4/158, Tafsir al Qurhthubi 2/293, Hasyiyah Ibnu Abidin 3/408, Bidayatul Mujtahid 2/557 dan lainnya.
Tidak perlu saya sebutkan semua perkataan mereka karena akan sangat panjang, cukup disini saya nukilkan disini ucapan Imam yang paling mengetahui ijma’ dan khilaf ulama’ yaitu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah [2]. Beliau berkata : “Sesungguhnya kita mengetahui dalam syariat agama Islam bahwa menggunakan ilmu hisab dalam menentukan hilal untuk menentukan puasa Ramadhan, haji, iddah, ila’ atau hukum lain yang berhubungan dengan ada dan tidaknya hilal itu tidak diperbolehkan. Kaum muslimin telah menyepakati hukum ini, tidak pernah dikenal adanya khilaf baik oleh para ulama’ salaf maupun mutaakhirin, hanya saja sebagian fuqoha’ mutaakhirin yang hidup setelah abad ketiga menyangka bahwa kalau langit sedang mendung, maka boleh bagi ahli hisab untuk mengunakan ilmu hisab namun itu hanya bisa digunakan untuk dirinya saja dan bukan untuk lainnya. Kalau memang ilmu hisab menunjukkan bahwa sudah masuk ramadhan maka dia puasa namun kalau tidak maka berarti ia tidak puasa. Pendapat ini walaupun dikhususkan hanya bagi ahli hisab saja dan itupun harus dalam keadaan langit mendung, namun ini tetap pendapat nyleneh yang sudah ada ijma’ sebelumnya. Adapun berpegang pada ilmu hisab saat langit cerah atau menggunakan ilmu ini untuk ummat Islam secara umum maka hal ini belum pernah ada seorang muslimpun yang mengatakannya.” (Lihat Majmu’ Fatawa 25/132).
Beliau juga berkata : “Tidak diragukan lagi dalam hadits yang shohih dan kesepakatan para sahabat atas tidak bolehnya berpedoman pada ilmu hisab.” (Majmu’ Fatawa 25/207)
Dan sudah mapan dalam kaedah ilmu syar’I bahwa apabila dalam suatu masalah telah terjadi ijma’, maka itu adalah hujjah yang tidak boleh diselisihi.
Hal berdasarkan beberapa dalil berikut ini :
1. Firman Alloh Ta’ala
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Dan barang siapa yang menentang Rosul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalannya orang-orang mu’min, Kami biarkan dia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia kedalam neraka jahannam, itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An Nisa’ : 115)
Di ayat ini Alloh mengancam keras terhadap orang yang menyelisihi jalannya orang-orang yang beriman sebagaimana juga mengancam orang yang menentang Rosululloh setelah sampai ilmu pada dia. Menunjukkan bahwa mengikutim jalannya orang-orang yang beriman wajib dan itulah makna ijma’ (Lihat Roudlotun Nadlir 1/335, Al Faqih Wal Mutafaqqih Al Khothib Al Baghdadi 1/155)
2. Sabda Rosululloh :
إِنَّ اللهَ لَا يَجْمَعُ أُمَّتِيْ عَلَى ضَلَا لَةٍ
“Sesungguhnya Alloh tidak akan mengumpulkan ummat ini diatas sebuah kesesatan.”
Hadits hasan shohih, diriwayatkan dari empat sahabat, yaitu :
1. Abdulloh bin Umar
Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi : 2167, Hakim 1/115, Ibnu Abi Ashim dalamAs Sunnah : 80, Thobroni dalam Al Kabir : 13642 dan Abu Nu’aim dalam Hilyah 3/27 semuanya dari jalan Mu’tamir bin Sulaiman dari Sulaiman Al Madini dari Abdulloh bin Dinar dari Ibnu Umar secara marfu’  dengan lafadl diatas.
Saya berkata : “Sanad hadits ini dipermasalahkan dari sisi Mu’tamir dan Sulaiman.”
2. Abdulloh bin Abbas
Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi : 21166, Hakim 1/1116 dari jalan Abdur Rozzaq dari Ibrohim bin Maimun dari Abdulloh bin Thowus dari bapaknya dari Ibnu Abbas secara marfu’.
Berkata Imam Tirmidzi tentang sanad ini : “Hadits hasan ghorib.”
3. Anas bin Malik
Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah : 3950, Abd bin Humaid dalam Muntakhob : 1218 dari jalan dari jalan Abu Kholaf dan dia itu matruk sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam Taqrib.
4.Abu Malik Al Asy’ari
Diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud : 4253 dari jalan Muhammad bin Ismail berkata :”Telah menceritakan kepada kami bapakku. Berkata Ibnu Auf : “Saya membaca dari asal Isma’il berkata : “Telah menceritakan kepada kami Dlomdlom dari Syuraih dari Abu Malik Al Asy’ari secara marfu’ dengan lafadl : “Sesungguhnya Alloh melindungi kalian dari tiga hal, diataranya : “Kalian tidak akan sepakat diatas sebuah kesalahan.”
Hadits ini dengan gabungan sanadnya adalah sebuah hadits yang shohih sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al Albani dalam Ash Shohihah : 1331 dan Shohihul Jami’ : 1786 dan Dhilalul Jannah no : 80.
Adapun sisi pengambilan dalil dari hadits ini sangat jelas.
3. Sabda Rosululloh :
لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِى ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِىَ أَمْرُ اللَّهِ وَهُمْ كَذَلِكَ
“Akan selalu ada dikalangan umat ini orang-orang yang selalu berada diatas kebenaran, tidak akan membahayakan bagi mereka orag-orang yang menghinakan dan menyelisihi mereka sampai datang urusan Alloh dan mereka masih dalam keadaan seperti tadi.”
Diriwayatkan oleh Imam Bukhori, Muslim dan lainnya.
Sisi pengambilan dalil bahwasannya kalau ummat ini telah sepakat akan sebuah hukum, maka pasti didalamnya ada  tho’ifah manshuroh ini, dan ucapan serta pendapat mereka pasti benar. (Lihat Ma’alim Ushu Fiqh inda Ahlis Sunnah wal Jamaah oleh Syaikh Muhammad Al Jizani hal : 165-171)



Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Tanda Awal dan Akhir Bulan Hijriyyah


1. Tanda awal dan akhir semua bulan sama
Tanda awal masuk dan berakhirnya semua bulan dalam tahun hijriyyah atau qomariyyah ditandai dengan sesuatu yang sama. Hanya saja karena diantara bulan-bulan tersebut yang menjadi bulan ibadah khusus yang tidak terdapat pada bulan lainnya hanyalah tiga bulan, yaitu:
1. Romadhon
Karena dibulan tersebut dilaksanakan kewajiban puasa Romadhon. Juga dilaksanakan ibadah-ibadah lainnya yang tidak terdapat pada bulan-bulan lainnya semacam sholat tarowih, sahur dan bukan puasa serta banyak amal sunnah yang lain.
2. Syawal
Karena dengan datangnya bulan tersebut maka kaum muslimin sudah tidak wajib lagi berpuasa bahkan haram pada hari itu untuk berpuasa. Dan pada hari pertama bulan Syawal ini dilaksanakan sholat idul fithri. Serta pada malam hari sampai sebelum sholat idul fithri dilaksanakan kewajiban membayar zakat fithri.
3. Dzulhijjah
Karena pada bulan ini kaum muslimin yang di berada tanah suci Mekkah melaksanakan ibadah manasik haji, sedangkan yang diluar tanah haram melaksanakan puasa Arofah dan sholat hari raya serta ibadah menyembelih binatang kurban pada hari raya tersebut serta 3 hari setelahnya.
Oleh karena itulah, maka awal masuknya bulan-bulan hijriyyah selain ketiga bulan tersebut tidak pernah dijadikan bahan pembicaraan. Pembahasan selalu berkisar pada ketiga bulan tersebut. oleh karena itu maka pembahasan akan kita khususkan pada memasuki awal bulan-bulan tersebut, adapun bulan-bulan lainnya, maka hukumnya sama dengan bulan-bulan ini.

2. Tanda awal dan akhir bulan
Setelah itu ketahuilah- semoga Alloh melimpahkan rohmatnya kepada kita semua- bahwa awal masuknya bulan hijriyyah ditandai dengan beberapa hal:
A. Rukyatul hilal
Maknanya apabila pada sore hari tanggal 29 kelihatan hilal, tepatnya saat matahari tenggelam maka berarti besoknya adalah awal bulan baru.
Hal ini disepakati oleh para ulama’. Berdasarkan sabda Rosululloh:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: إِذَا رَأَيْتُمْ الْهِلاَلَ فَصُوْمُوْا وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوْا, فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَصُوْمُوْهُ ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا
Dari Abu Huroiroh berkata:”Rasulullah Shollallohu 'alaihi wasallam bersabda:”Apabila kalian melihat hilal maka berpuasalah, dan apabila melihat hilal lagi maka berbukalah, Lalu jika ditutupi atas kalian maka berpuasalah tiga puluh hari.”(HR. Bukhari 4/106, Muslim 1081).
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم ذَكَرَ رَمَضَانَ, فَقَالَ: لاَ تَصُوْمُوْا حَتَّى تَرَوْا الْهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوْا حَتَّى تَرَوْهُ, فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا الْعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ
Dari Abdullah bin Abbas bahwasannya Rasulullah Shollallohu 'alaihi wasallam menyebut Romadhon, lalu beliau bersabda:”Janganlah kalian berpuasa sampai kalian melihat hilal, dan janganlah kalian berbuka sampai kalian melihat hilal lagi, Lalu jika ditutupi atas kalian maka sempurnakanlah hitungan (bulan) tiga puluh.”(HR. Nasai 1/301, Darimi 2/3, Ahmad 1/221 dengan sanad shahih).



Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Sekilas tentang Rukyatul Hilal, Ikmal dan Hisab


1. Rukyatul Hilal
Hilal berasal dari bahasa Arab الهِلَالُ. Kata ini berbentuk mufrod, sedangkan bentuk jamaknya adalah الأَهِلَّةُ. Hilal dalam bahasa Arab bermakna bulan baru. Yang dalam istilah Indonesia sering disebut dengan bulan sabit (crescent) yang pertama terlihat setelah terjadi ijtimak (konjungsi).
Sedangkan Ijtimak adalah bulan baru (new moon) disebut juga bulan mati. Ijtimak terjadi saat posisi bulan dan matahari berada pada jarak paling dekat. Secara astronomis, saat ijtimak terjadi maka bujur ekliptik (garis lintas) bulan sama dengan bujur ekliptik matahari dengan arah penglihatan dari pusat bumi. Pada waktu tertentu peristiwa ijtimak juga ditandai dengan terjadinya gerhana matahari yaitu saat lintang ekliptik bulan berimpit atau mendekati lintang ekliptik matahari. Periode dari peristiwa ijtimak ke ijtimak berikutnya disebut "bulan sinodis” yang lamanya 29 hari 12 jam, 44 menit 2,8 detik.

Imam Ibnu Manzhur berkata: “Hilal adalah bulan sabit yang nampak pada manusia saat awal bulan 1. Ada yang berpendapat bahwa yang dinamakan dengan hilal hanya untuk dua malam saja, kemudian setelah itu tidak lagi dinamakan hilal sampai datang bulan berikutnya. Dan ada yang mengatakan bahwa yang dinamakan hilal adalah tiga malam pertama, kemudian setelah itu dinamakan dengan qomar.”(Lisanul Arob 10/478)
Imam Ibnu Mulaqqin berkata: “Para ulama’ bahasa mengatakan: “Dinamakan dengan hilal itu dari malam pertama sampai malam ketiga. Adapun setelah itu maka dinamakan dengan qomar.”(Al I’lam bi Fawa’idi ‘Umdatil Ahkam 5/172. Lihat pula Mukhtarus Shihah: 290 dan Mishbahul Munir: 639)
Sedangkan kata rukyat, berasal dari bahasa arab yang merupakan bentuk mashdar dari kata kerja: رَأَى يَرَى رُؤْيَةً Yang berarti melihat (Lihat Mu’jamul Wasith 1/320)
Kata rukyat ini mempunyai dua konotasi makna yaitu melihat dengan pandangan mata (Rukyah bashoriyyah) dan melihat dengan ilmu dan pengetahuan (Rukyah ilmiyyah) yang ini bisa berarti mengetahui, menyangka, berpendapat, berpandangan atau kata yang semisalnya.
Kedua makna ini masyhur dalam bahasa Arab maupun dalam al Qur’an dan as sunnah. Barang siapa yang mengingkarinya, berarti dia mengingkari sesuatu yang sangat jelas keberadaannya.
Ibnu Faris dalam Mu’jam Maqoyisil Lughoh 2/59 berkata: “Ru’yah adalah melihat dengan mata atau pengetahuan.”
Contoh penggunaan kata رأى yang berarti ru’yah bashoriyyah
رَأَى مُحَمَّدٌ الشَمْسَ
Muhammad melihat matahari
Sedangkan contoh penggunannya untuk ru’yah ilmiyyah
رَأَى مُحَمَّدٌ حِلَّ أَكْلِ لُحُوْمِ الْفَرَسِ
Muhammad berpendapat halalnya makan daging kuda.
Penggunaan ini pun banyak terdapat dalam al Qur’an maupun as sunnah.
Untuk ru’yah bashoriyyah, misalnya firman Alloh:
إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقبِيْلُهُ مِنْ حَيْثُ لاَ تَرَوْنَهُمْ
Sesungguhnya ia (Iblis) dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. (QS. Al A’rof: 27)
Adapun untuk ru’yah ilmiyyah, semacam firman Alloh:
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللهَ يَسْجُدُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ وَالشمس والقمر والنجوم والجبال والشجر والدواب وكثير من الناس
Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar daripada manusia?. (QS. Al Hajj: 18)
Tono Saksono, Ph.d dalam bukunya “Mengkompromikan rukyat dan hisab” hlm: 105-106 mengumpulkan ayat-ayat yang terdapat kata رأى dan pecahannya dalam dua kelompok. Yang satu bermakna ru’yah bashoriyyah dan satunya lagi ru’yah ilmiyyah.



Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer
 

Facebook Gue