Ketahuilah semoga Alloh melimpahkan barokahnya kepada kita semua- bahwa dalil dari Al Qur’an dan as Sunnah menunjukan akan wajibnya berpedoman pada rukyatul hilal atau ikmal serta tidak boleh menggunakan dasar ilmu hisab. Dan ini merupakan kesepakatan para ulama’ islam sejak zaman dahulu sampai saat ini. Adapun yang membolehkan menggunakan ilmu hisab, maka adalah pendapat yang dianggap aneh dan nyleneh karena menyelisihi nash yang sangat jelas dan ijmak (kesepakatan) para ulama’.
Dengan ini maka apabila pada sore hari tanggal 29 kelihatan hilal, maka berarti besoknya adalah tanggal 1 bulan baru. Namun apabila tidak kelihatan hilal maka besoknya adalah menyempurnakan hari ke 30 bulan tersebut, meskipun secara ilmu hisab dan falak, bahwa saat matahari tenggelam tanggal 29, hilal sudah berada diatas ufuk dan memungkinkan untuk dirukyah seandainya tidak ada sesuatu yang menghalanginya semacam mendung atau lainnya.
Hal ini berdasarkan beberapa dalil berikut ini :
A. Dalil Al Qur’an
Alloh Ta’ala berfirman:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْءَانُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Bulan Ramadhan, bulan yang didalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang bathil). Karena itu, barang siapa diantara kamu yang menyaksikannya maka hendaklah ia berpuasa. (QS. Al-Baqarah[2] : 185).
Sisi pengambilan dalil dari ayat ini adalah sebagian para ulama’ memahami makna “شَهِدَ” pada ayat tersebut adalah menyaksikan awal masuk bulan. Dan tanda itu diterangkan oleh Rosululloh dalam banyak hadits beliau dengan melihat hilal. (Lihat Ahkamul Qur’an oleh Imam Al Jashosh dan Ibnul Arobi)
Syaikh Sholih Al Luhaidan berkata : “Yang dimaksud dengan menyaksikan disini adalah melihat hilal, sebagaimana itu yang langsung difahami dari ayat tersebut. dan dengan makna inilah para ulama’ tafsir menafsirkannya, dan merekalah orang yang menjadi suri tauladan dalam masalah ini.” (Lihat Al Ahkam Al Muta’alliqoh bil Hilal oleh Syaikh Luhaidan)
B. Dalil As sunnah
Telah shohih hadits Rasulullah Shollallohu 'alaihi wasallam yang sampai pada derajat mutawatir, sebagaimana ditegaskan oleh imam Ath Thohawi dalam Syarah Ma’ani Atsar, diriwayatkan oleh banyak para sahabat, yaitu: Abu Hurairah, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, Hudzaifah bin Yaman, Sa’ad bin Abi Waqqosh, Abduloh bin Mas’ud, Jabir bin Abdillah, Bara’ bin Azib, Rofi’ bin Khodij, Tholq bin Ali, Abu Bakroh, Samuroh bin Jundub, Adi bin Hatim dan lainnya. (Lihat Irwaul Gholil oleh Imam Al-Albani 4/2-14, Jami’ul Ushul oleh Imam Ibnul Atsir 6/265-271) semuanya meriwayatkan akan wajibnya berpegang pada rukyatul hilal dengan beberapa redaksi yang agak berbeda. Yang bisa diklasifikasikan menjadi beberapa bagian:
1. Perintah Rosululloh untuk mulai puasa dan berhari raya dengan rukyatul hilal atau ikmal
Seperti hadits Abu Hurairah
عن أَبَي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قال قال النبي - صلى الله عليه وسلم - : " صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ "
Dari Abu Huroiroh berkata : “Rosululloh bersabda : “berpuasalah kalian karena melihat (hilal) dan berbukalah karena melihatnya. Lalu jika tertutupi atas kalian maka sempurnakan hitungan bulan Sya’ban 30 hari.” (HR. Bukhori Muslim)
Juga hadits Abdullah bin Umar
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص قَالَ: إِذَا رَأَيْتُمُ الْهِلاَلَ فَصُوْمُوْا وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوْا, فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوْا ثَلاَثِيْنَ
Dari Abduloh bin Umar bahwasannya Rasulullah Shollallohu 'alaihi wasallam bersabda: “Apabila kalian melihat hilal maka berpuasalah, dan apabila kalian melihatnya lagi maka berbukalah, lalu jika ditutupi atas kalian maka tetapkanlah tiga puluh.” (HR. Bukhari 4/102, Muslim 1080).
Juga hadits Ibnu Abbas
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قال :" صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ ، وَ أَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ ، فَإِنْ حَالَ بَيْنَكُمْ وَ بَيْنَهُ سَحَابٌ أَوْ ظُلْمَةٌ أَوْ هَبْوَةٌ ، فَأَكْمِلُوْا اْلعِدَّةَ ، لَاتَسْتَقْبِلُوْا الشَّهْرَ اِسْتِقْبَالًا ، وَ لَا تَصِلُوْا رَمَضَانَ بِيَوْمٍ مِنْ شَعْبَانَ ".
Dari Ibnu Abbas dari Rosululloh beliau bersabda : “Berpuasalah karena melihat hilal, dan berbukalah karena melihatnya. Lalu jika terhalangi antara kalian dengan hilal tersebut oleh mendung atau kegelapan atau debu, maka sempurnakanlah hitungan bulan. Dan janganlah kalian mendahuluinya dan jangan kalian sambung Romadhon dengan satu hari dibulan Sya’ban.” (HR. Abu Dawud dan Baihaqi. Lihat Ash Shohihah : 1917)
Ketiga hadits ini sangat jelas menunjukkan bahwa cara Rosululloh untuk mulai dan mengakhiri puasa hanyalah rukyatul hilal dan ikmal. Tidak ada cara lainnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa beliau berkata : “Cara untuk mengetahui munculnya hilal hanyalah dengan rukyah, tidak ada cara lain. Hal ini berdasarkan dalil sam’i dan dalil akal.”
Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata : “Rosululloh memerintahkan puasa dan berbuka dengan rukyatul hilal, dan beliau hanya menyebutkan cara tersebut.”
Oleh karena barang siapa yang menggunakan cara hisab ilmu falak atau bahkan mengedepankannya daripada rukyah, maka dia telah menyelisihi perintah Rosululloh.
Camkanlah firman Alloh Ta’ala :
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Maka hendaklah orang-orang yang menyelesihi ‘amr’ Rosul takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa adzab yang pedih.” (Qs. An Nur [24] : 63)
Berkata Imam Ibnu Katsir saat menafsirkan firman Alloh Ta’ala : “Maka hendaklah orang-orang yang menyelesihi “amr” Rosul takut.” Maksud “amr” disini adalah jalan, manhaj, cara dan sunnah Rosululloh serta syariat beliau. Maka semua ucapan dan perbuatan harus ditimbang dengan ucapan dan perbuatan beliau, kalau sesuai maka diterima sedangkan kalau tidak sesuai maka harus ditolak, siapapun yang mengatakan dan melakukannya. Sebagaimana diriwayatkan dalam shohih Bukhori 2499 dan Muslim : 3242 bahwasannya Rosululloh bersabda :
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
"Barang siapa yang melakukan sebuah amal perbuatan yang tidak ada contohnya dari kami maka dia itu tertolak.”
Maka maksud dari ayat ini adalah maka hendaknya orang yang menyelisihi syariat Rosululloh secara bathin maupun dhohir takut (akan tertimpa sebuah fitnah) maksud dengan fitnah disini adalah hatinya akan tertimpa kekufuran, kemunafikan atau kebid’ahan. (Atau akan tertimpa adzab yang pedih) yakni selama masih hidup di alam dunia, dengan cara di bunuh, hukum atau dipenjara atau mungkin adzab lainnya.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir : 3/373)
Imam Ahmad berkata : “Apakah engkau mengetahui apakah fitnah itu ? fitnah adalah kesyirikan. Barang kali ada seseorang yang menyelisihi sebagian sabda Rosululloh, nanti hatinya akan tertimpa penyakit menyimpang dan diapun akan binasa.”
2. Rosululloh melarang mulai puasa dan berbuka sehingga melihat hilal atau ikmal
Seperti hadits Abdullah bin Abbas
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم ذَكَرَ رَمَضَانَ, فَقَالَ: لاَ تَصُوْمُوْا حَتَّى تَرَوْا الْهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوْا حَتَّى تَرَوْهُ, فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا الْعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ
Dari Abdullah bin Abbas bahwasannya Rasulullah Shollallohu 'alaihi wasallam bersabda: “Janganlah kalian berpuasa sampai kalian melihat hilal, dan janganlah kalian berbuka sampai kalian melihat hilal lagi, Lalu jika ditutupi atas kalian maka sempurnakanlah hitungan tiga puluh.” (HR. Nasai 1/301, Darimi 2/3, Ahmad 1/221 dengan sanad shahih).
Maka barang siapa yang mulai berpuasa dan berbuka dengan pedoman ilmu hisab berarti dia telah melanggar larangan Rosululloh.
3. Rosululloh menafikan ilmu hisab dari ummat ini, kalau berhubungan dengan masalah puasa dan berbuka
Hal ini sangat tegas dalam sabda beliau
عن ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ وَمَرَّةً ثَلَاثِينَ
Dari Ibnu Umar dari Rosululloh bahwasannya beliau bersabda : Sesungguhnya kami adalah ummat yang ummi tidak menulis dan menghitung, satu bulan itu demikian dan demikian.” Maksud beliau adalah terkadang dua puluh sembilan hari dan terkadang tiga puluh hari.” (HR. Bukhori Muslim)
Maka barang siapa yang menggunakan ilmu hisab dalam masalah mulai puasa dan berbuka, berarti dia telah menggunakan sesuatu yang dinafikan oleh Rosululloh pada umat ini.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : “Sabda beliau : “Kami adalah umat yang ummi tidak menulis dan menghitung” adalah sebuah khabar yang mengandung larangan. Karena Rosululloh menghabarkan bahwa umat yang mengikuti beliau adalah umat ummi yang tidak menulis dan menghitung, maka barang siapa yang menulis dan menghitung berarti bukan termasuk dalam umat ini dalam hukum masalah ini, akan tetapi dia telah mengikuti jalan selain jalannya orang yang beriman, juga telah melakukan sesuatu yang bukan merupakan bagian dari agamanya. Sedangkan melakukan sesuatu yang bukan dari agama ini adalah haram. Dengan ini maka menulis dan menghitung (hisab ilmu falak -pent) dalam masalah ini adalah terlarang.”
4. Berpedoman dengan hisab ilmu falak menyelesishi amal perbuatan yang selalu dilakukan oleh Rosululloh. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Aisyah.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَتَحَفَّظُ مِنْ شَعْبَانَ مَا لاَ يَتَحَفَّظُ لِغَيْرِهِ, ثُمَّ يَصُوْمُ لِرُؤْيَةِ رَمَضَانَ, فَإِنْ غُمَّ عَلَيْهِ عَدَّ ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا ثُمَّ صَامَ
Dari Aisyah berkata: “Rasulullah benar-benar memperhatikan bulan Sya’ban tidak sebagaimana bulan-bulan lainnya, kemudian jika beliau berpuasa apabila melihat hilal Ramadhan, namun jika tertutupi, maka beliau menghitung bulan sya’ban tiga puluh hari lalu beliaupun berpuasa.” (HR. Abu Dawud 2325, Ibnu Hibban 869, hakim 1/423, beliau berkata: “Shahih menurut syarat Bukhari Muslim.” Dan disepakati oleh Imam Adz Dzahabi)
Begitu pulalah para khulafa’ rosyidin setelah beliau menapak tilasi apa yang beliau lakukan, tidak pernah mereka berpedoman dengan ilmu Hisab. Sedangkan Rosululloh bersabda :
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Barang siapa di antara kalian yang hidup setelahku, niscaya akan melihat banyak perselisihan. Maka berpeganglah pada sunnahku dan sunnah khulafa’ rosyidun setelahku yang mendapatkan petunjuk, gigitlah padanya dengan gigi gerahammu, dan hati-hatilah kalian terhadap semua perkara yang baru, karena semua perkara baru adalah bid’ah dan semua bid’ah adalah sesat.” (Shohih. Riwayat Ashhabus sunan. Lihat Ash Shohihah : 2735)
5. Berpedoman pada hisab tidak pernah dilakukan oleh Rosululloh. Padahal Rosululloh bersabda:
عن عائشة قالت : قال رسول الله : مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Dari Aisyah berkata : Rosululloh bersabda : “Barang siapa yang mengamalkan sesuatu yang tidak ada contohnya dari kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Bukhori Muslim) dan dalam riwaat Muslim dengan lafadz : “Barang siapa yang membuat sesuatu yang baru yang tidak ada contohnya dari kami maka dia tertolak.”
Dan menggunakan pedoman ilmu hisab untuk memasuki dan mengakhiri bulan Romadhon tidak pernah dilakukan oleh Rosululloh, maka berarti dia tertolak.
C. Ijma’ para ulama’
Para ulama’ sejak zaman sahabat sampai saat ini sepakat atas wajibnya berpedoman dengan rukyatul hilal dan ikmal serta tidak boleh berpedoman pada ilmu hisab atau ilmu falak. Tidak ditemukan adanya khilaf dalam masalah ini, kecuali yang dinukil dari beberapa ulama’ yang insya Alloh kita bahas pada bab berikutnya, ucapan mereka inilah yang diikuti oleh selainnya setelah mereka yang akhirnya berkembang pada saat ini. Wallohul musta’an
Syaikh Bakr Abu Zaid berkata: “Yang menyampaikan bahwa hal ini merupakan kesepakatan ulama’ adalah para ulama’ dari zaman dahulu sampai sekarang, diantaranya adalah: Imam Ibnul Mundzir dalam Al-isyrof, Al-Baji, Ibnu Rusyd, Ibnu Taimiyah, Al-Hafizh Ibnu Hajar, As-Subki, Al-Aini, Ibnu Abidin, Asy Syaukani, Shiddiq Hasan khon, Mulla Ali Al-Qori dan Ahmad Syakir.” (Fiqhun Nawazil 1/200).
Lihat masalah ini dalam Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam 25/132, Fathul Bari 4/158, Tafsir al Qurhthubi 2/293, Hasyiyah Ibnu Abidin 3/408, Bidayatul Mujtahid 2/557 dan lainnya.
Tidak perlu saya sebutkan semua perkataan mereka karena akan sangat panjang, cukup disini saya nukilkan disini ucapan Imam yang paling mengetahui ijma’ dan khilaf ulama’ yaitu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah . Beliau berkata : “Sesungguhnya kita mengetahui dalam syariat agama Islam bahwa menggunakan ilmu hisab dalam menentukan hilal untuk menentukan puasa Ramadhan, haji, iddah, ila’ atau hukum lain yang berhubungan dengan ada dan tidaknya hilal itu tidak diperbolehkan. Kaum muslimin telah menyepakati hukum ini, tidak pernah dikenal adanya khilaf baik oleh para ulama’ salaf maupun mutaakhirin, hanya saja sebagian fuqoha’ mutaakhirin yang hidup setelah abad ketiga menyangka bahwa kalau langit sedang mendung, maka boleh bagi ahli hisab untuk mengunakan ilmu hisab namun itu hanya bisa digunakan untuk dirinya saja dan bukan untuk lainnya. Kalau memang ilmu hisab menunjukkan bahwa sudah masuk ramadhan maka dia puasa namun kalau tidak maka berarti ia tidak puasa. Pendapat ini walaupun dikhususkan hanya bagi ahli hisab saja dan itupun harus dalam keadaan langit mendung, namun ini tetap pendapat nyleneh yang sudah ada ijma’ sebelumnya. Adapun berpegang pada ilmu hisab saat langit cerah atau menggunakan ilmu ini untuk ummat Islam secara umum maka hal ini belum pernah ada seorang muslimpun yang mengatakannya.” (Lihat Majmu’ Fatawa 25/132). Beliau juga berkata : “Tidak diragukan lagi dalam hadits yang shohih dan kesepakatan para sahabat atas tidak bolehnya berpedoman pada ilmu hisab.” (Majmu’ Fatawa 25/207)
Dan sudah mapan dalam kaedah ilmu syar’I bahwa apabila dalam suatu masalah telah terjadi ijma’, maka itu adalah hujjah yang tidak boleh diselisihi.
Hal berdasarkan beberapa dalil berikut ini :
1. Firman Alloh Ta’ala
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Dan barang siapa yang menentang Rosul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalannya orang-orang mu’min, Kami biarkan dia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia kedalam neraka jahannam, itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An Nisa’ : 115)
Di ayat ini Alloh mengancam keras terhadap orang yang menyelisihi jalannya orang-orang yang beriman sebagaimana juga mengancam orang yang menentang Rosululloh setelah sampai ilmu pada dia. Menunjukkan bahwa mengikutim jalannya orang-orang yang beriman wajib dan itulah makna ijma’ (Lihat Roudlotun Nadlir 1/335, Al Faqih Wal Mutafaqqih Al Khothib Al Baghdadi 1/155)
2. Sabda Rosululloh :
إِنَّ اللهَ لَا يَجْمَعُ أُمَّتِيْ عَلَى ضَلَا لَةٍ
“Sesungguhnya Alloh tidak akan mengumpulkan ummat ini diatas sebuah kesesatan.”
Hadits hasan shohih, diriwayatkan dari empat sahabat, yaitu :
1. Abdulloh bin Umar
Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi : 2167, Hakim 1/115, Ibnu Abi Ashim dalamAs Sunnah : 80, Thobroni dalam Al Kabir : 13642 dan Abu Nu’aim dalam Hilyah 3/27 semuanya dari jalan Mu’tamir bin Sulaiman dari Sulaiman Al Madini dari Abdulloh bin Dinar dari Ibnu Umar secara marfu’ dengan lafadl diatas.
Saya berkata : “Sanad hadits ini dipermasalahkan dari sisi Mu’tamir dan Sulaiman.”
2. Abdulloh bin Abbas
Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi : 21166, Hakim 1/1116 dari jalan Abdur Rozzaq dari Ibrohim bin Maimun dari Abdulloh bin Thowus dari bapaknya dari Ibnu Abbas secara marfu’.
Berkata Imam Tirmidzi tentang sanad ini : “Hadits hasan ghorib.”
3. Anas bin Malik
Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah : 3950, Abd bin Humaid dalam Muntakhob : 1218 dari jalan dari jalan Abu Kholaf dan dia itu matruk sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam Taqrib.
4.Abu Malik Al Asy’ari
Diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud : 4253 dari jalan Muhammad bin Ismail berkata :”Telah menceritakan kepada kami bapakku. Berkata Ibnu Auf : “Saya membaca dari asal Isma’il berkata : “Telah menceritakan kepada kami Dlomdlom dari Syuraih dari Abu Malik Al Asy’ari secara marfu’ dengan lafadl : “Sesungguhnya Alloh melindungi kalian dari tiga hal, diataranya : “Kalian tidak akan sepakat diatas sebuah kesalahan.”
Hadits ini dengan gabungan sanadnya adalah sebuah hadits yang shohih sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al Albani dalam Ash Shohihah : 1331 dan Shohihul Jami’ : 1786 dan Dhilalul Jannah no : 80.
Adapun sisi pengambilan dalil dari hadits ini sangat jelas.
3. Sabda Rosululloh :
لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِى ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِىَ أَمْرُ اللَّهِ وَهُمْ كَذَلِكَ
“Akan selalu ada dikalangan umat ini orang-orang yang selalu berada diatas kebenaran, tidak akan membahayakan bagi mereka orag-orang yang menghinakan dan menyelisihi mereka sampai datang urusan Alloh dan mereka masih dalam keadaan seperti tadi.”
Diriwayatkan oleh Imam Bukhori, Muslim dan lainnya.
Sisi pengambilan dalil bahwasannya kalau ummat ini telah sepakat akan sebuah hukum, maka pasti didalamnya ada tho’ifah manshuroh ini, dan ucapan serta pendapat mereka pasti benar. (Lihat Ma’alim Ushu Fiqh inda Ahlis Sunnah wal Jamaah oleh Syaikh Muhammad Al Jizani hal : 165-171)
Free Template Blogger
collection template
Hot Deals
BERITA_wongANteng
SEO
theproperty-developer