Meskipun kelahiran JIL (Jaringan Islam Liberal)
Maret 2001 nampaknya membawa hal baru bagi sebagian orang, namun sesungguhnya
ia bukanlah sama sekali baru. Agenda-agenda JIL sesungguhnya adalah kepanjangan
imperialisme Barat? atas Dunia Islam yang sudah berlangsung sekitar 2-3 abad
terakhir. Hanya saja, bentuknya memang tidak lagi telanjang, tetapi mengatasnamakan
Islam. Jadi istilah Islam Liberal? bukanlah suatu kebetulan, namun sebuah
istilah yang dipilih dengan sengaja untuk mengurangi kecurigaan umat Islam dan
sekaligus untuk menobatkan diri (sendiri) bahwa Islam Liberal? adalah bagian
dari Islam, seperti halnya jenis-jenis pemahaman Islam lainnya (www.islamlib.com). Sesungguhnya Islam
Liberal? adalah peradaban Barat yang diartikulasikan dengan bahasa dan
idiom-idiom keislaman. Islam hanyalah kulit atau kemasan. Namun saripati atau
substansinya adalah peradaban atau ideologi Barat, bukan yang lain.
Untuk membuktikan deklarasi di atas, baiklah kita
lihat dua dasar argumentasinya. Yaitu : (1) hakikat imperalisme itu sendiri,
dan (2) kerangka ideologi Barat (kapitalisme). Pemahaman hakikat imperialisme
akan menjadi landasan untuk memilah apakah suatu agenda termasuk aksi
imperalisme atau bukan. Sedang kerangka ideologi kapitalisme, akan menjadi
dasar untuk menilai apakah sebuah pemikiran termasuk dalam ideologi kapitalisme
atau bukan, atau untuk mengevaluasi sebuah metode berpikir, apakah ia metode
berpikir kapitalistik atau bukan.
Imperalisme
Imperialisme adalah pemaksaan dominasi politik, militer, budaya dan ekonomi atas negeri-negeri yang dikalahkan untuk kemudian dieksploitasi. Dua kata kunci imperialisme yang patut dicatat : pemaksaan dominasi, dan eksploitasi. Maka jika sebuah negara melakukan aksi imperalisme atas negara lain, artinya, negara penjajah itu akan memaksakan kehendaknya? kepada negara lain, sehingga negara yang dijajah itu mau tak mau harus mengikuti negara penjajah dalam hal haluan politik, program ekonomi rancangannya, budaya dan cara berpikirnya, serta pembatasan dan penggunaan sarana militernya. Semua ini adalah demi keuntungan negara penjajah sendiri. Jika negara yang dijajah menolak atau melawan, ia akan mendapat sanksi dan hukuman dari sang penjajah. Inilah hakikat imperialisme.
Imperialisme adalah pemaksaan dominasi politik, militer, budaya dan ekonomi atas negeri-negeri yang dikalahkan untuk kemudian dieksploitasi. Dua kata kunci imperialisme yang patut dicatat : pemaksaan dominasi, dan eksploitasi. Maka jika sebuah negara melakukan aksi imperalisme atas negara lain, artinya, negara penjajah itu akan memaksakan kehendaknya? kepada negara lain, sehingga negara yang dijajah itu mau tak mau harus mengikuti negara penjajah dalam hal haluan politik, program ekonomi rancangannya, budaya dan cara berpikirnya, serta pembatasan dan penggunaan sarana militernya. Semua ini adalah demi keuntungan negara penjajah sendiri. Jika negara yang dijajah menolak atau melawan, ia akan mendapat sanksi dan hukuman dari sang penjajah. Inilah hakikat imperialisme.
Imperialisme iniadalah metode (thariqah) baku
–tak berubah-ubah– untuk menyebarluaskan ideologi kapitalisme, yang berpangkal
pada sekularisme, atau pemisahan agama dari kehidupan. Tak mungkin ada
penyebarluasan kapitalisme, kecuali melalui jalan imperialisme. Atau dengan
kata lain, manakala negara penganut kapitalisme ingin menancapkan
cengkeramannya pada negara lain, ia akan melakukan aksi-aksi imperialisme dalam
segala bentuknya, baik dalam aspek politik, militer, budaya, dan ekonomi.
Berhasil tidaknya aksi imperalisme ini, diukur dari sejauh mana ideologi
kapitalisme tertanam dalam jiwa penduduk negeri jajahan dan sejauh mana negara
penjajah mendapat manfaat dari aksi penjajahannya itu. Jika penduduk negeri
jajahan sudah mengimani kapitalisme yang berpangkal pada paham sekularisme–?
atau dari negeri itu dapat diambil berbagai keuntungan bagi kepentingan
imperialis, berarti aksi imperialisme telah sukses.
Kerangka Ideologi Kapitalisme
Kapitalisme pada dasarnya adalah nama sistem
ekonomi yang diterapkan di Barat. Milton H. Spencer (1977) dalam Contemporary
Macro Economics mengatakan bahwa kapitalisme adalah sistem organisasi ekonomi
yang bercirikan kepemilikan individu atas sarana produksi dan distribusi, serta
pemanfaatan sarana produksi dan distribusi itu untuk memperoleh laba dalam
mekanisme pasar yang kompetitif (lihat juga A. Rand, Capitalism: The Unknown
Ideal, New York : A Signet Book, 1970). Karena fenomena ekonomi ini sangat
menonjol dalam peradaban Barat, kapitalisme kemudian digunakan juga untuk
menamai ideologi yang ada di negara-negara Barat, sebagai sistem sosial yang
menyeluruh.Sebagai sebuah ideologi, kapitalisme mempunyai aqidah (ide dasar)
dan ide-ide cabang yang dibangun di atas aqidah tersebut. Aqidah di sini
dipahami sebagai pemikiran menyeluruh (fikrah kulliyah) tentang alam semesta,
manusia, dan kehidupan, serta tentang apa yang ada sebelum dan sesudah
kehidupan dunia, serta hubungan kehidupan dunia dengan apa yang ada sebelum dan
sesudah kehidupan dunia. Aqidah kapitalisme adalah pemisahan agama dari
kehidupan (sekularisme), sebuah ide yang muncul di Eropa sebagai jalan tengah
antara dua ide ekstrem, yaitu keharusan dominasi agama (Katolik) dalam segala
aspek kehidupan, dan penolakan total eksistensi agama (Katolik). Akhirnya,
agama tetap diakui eksistensinya, hanya saja perannya dibatasi pada aspek
ritual, tidak mengatur urusan kehidupan seperti politik, ekonomi, sosial, dan
sebagainya .
Di atas aqidah (ide dasar) sekularisme ini,
dibangunlah berbagai ide cabang dalam ideologi kapitalisme, seperti demokrasi
dan kebebasan. Ketika cabang agama sudah dipisahkan dari kehidupan, berarti
agama dianggap tak punya otoritas lagi untuk mengatur kehidupan. Jika demikian,
maka manusia itu sendirilah yang mengatur hidupnya, bukan agama. Dari sinilah
lahir demokrasi, yang berpangkal pada ide menjadikan rakyat sebagai sumber
kekuasaan-kekuasaan (legislatif, eksekutif, yudikatif) sekaligus pemilik
kedaulatan (pembuat hukum) .
Demokrasi ini, selanjutnya membutuhkan prasyarat
kebebasan. Sebab tanpa kebebasan, rakyat tidak dapat mengekspresikan
kehendaknya dengan sempurna, baik ketika rakyat berfungsi sebagai sumber
kekuasaan, maupun sebagai pemilik kedaulatan. Kebebasan ini dapat terwujud
dalam kebebasan beragama (hurriyah al-aqidah), kebebasan kepemilikan (hurriyah
at-tamalluk), kebebasan berpendapat? (hurriyah al-ar`y), dan kebebasan
berperilaku (al-hurriyah asy-syakhshiyyah)
Mengkritisi JIL
Paparan dua pemikiran di atas, yaitu tentang
imperialisme dan kerangka ideologi kapitalisme, dimaksudkan sebagai pisau
analisis untuk membedah JIL, untuk menjawab pertanyaan : Benarkah agenda-agenda
JIL adalah kepanjangan imperialisme Barat ? Benarkah ide-ide JIL adalah
ideologi? kapitalisme berkedok Islam ?
Jawabnya : IYA. Mengapa ? Sebab agenda-agenda dan
ide-ide JIL dapat dipahami dalam kerangka kepanjangan imperalisme Barat atas
Dunia Islam. Selain itu, ide-ide JIL itu sendiri, dapat dipahami sebagai
ide-ide pokok dalam ideologi kapitalisme, yang kemudian dicari-cari
pembenarannya dari khazanah Islam.
Mereka yang mencermati dan mengkritisi agenda dan
pemikiran JIL, kiranya akan menemukan benang merah antara imperialisme Barat
dan agenda JIL. Adian Husaini dan Nuim Hidayat dalam bukunya Islam Liberal :
Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan, dan Jawabanya (2002:3) mengutip Luthfi Asy-Syaukanie,
bahwa setidaknya ada empat agenda utama Islam Liberal, yaitu agenda politik,
agenda toleransi agama, agenda emansipasi wanita, dan agenda kebebasan
berekpresi. Dalam agenda politik, misalnya, kaum muslimin diarahkan oleh JIL
untuk mempercayai sekularisme, dan menolak sistem pemerintahan Islam
(Khilafah). Perdebatan sistem pemerintahan Islam, kata Luthfi Asy-Syaukanie,
dianggap sudah selesai, karena sudah ada para intelektual seperti Ali Abdur
Raziq (Mesir), Ahmad Khalafallah (Mesir), Mahmud Taleqani (Iran), dan
Nurcholish Madjid (Indonesia) yang mengatakan bahwa persoalan tersebut adalah
masalah itjihadi dan diserahkan sepenuhnya kepada kaum muslimin (Ibid.).
Pertanyaannya adalah, sejak kapan kaum muslimin
menganggap persoalan ini sudah selesai? Apakah sejak Khilafah di Turki
dihancurkan pada tahun 1942 oleh gembong imperalis, Inggris, dengan menggunakan
Mustahafa kamal ? Apakah sejak negara-negara imperalis melalui
penguasa-penguasa Dunia Islam yang kejam menumpas upaya mewujudkan kembali
sistem pemerintahan Islam ? Dan juga, apakah nama-nama intelektual yang disebut
Luthfi cukup respresentatif mewakili umat Islam seluruh dunia di sepanjang
masa, ataukah mereka justru menyuarakan aspirasi penjajah ?
Yang ingin disampaikan adalah, persoalan hubungan
agama dan negara, memang boleh dikatakan sudah selesai, di negara-negara Barat.
Namun persoalan ini jelas belum selesai di Dunia Islam. Dari sini dapat
dipahami, bahwa tugas JIL adalah membuat selesai persoalan yang belum selesai
ini. Maka ada kesejajaran antara agenda politik JIL ini dengan aksi imperliasme
Barat, yang selalu memaksakan sekularisme atas Dunia Islam dengan kekerasan dan
darah.
Agenda-agenda lainnya di bidang toleransi
(pluralisme agama), misalnya anggapan semua agama benar dan tak? boleh ada
truth claim, agenda emansipasi wanita, seperti menyamaratakan secara absolut
peran atau hak pria dan wanita tanpa kecuali (dan tanpa ampun), dan agenda
kebebasan berekspresi, seperti hak untuk tidak beragama (astaghfirullah), tak
jauh bedanya dengan agenda politik di atas. Semua ide-ide ini pada
ujung-ujungnya, pada muaranya, kembali kepada ideologi dan kepentingan
imperialis. Sulit sekali –untuk tak mengatakan? Mustahil mencari akar
pemikiran-pemikiran tersebut dari Islam itu sendiri secara murni, kecuali
setelah melalui pemerkosaan teks-teks Al-Qurâan dan As- Sunnah. Misalnya
teologi pluralisme yang menganggap semua agama benar, sebenarnya berasal dari
hasil Konsili Vatikan II (1963-1965) yang merevisi prinsip extra ecclesium
nulla salus (di luar Kattolik tak ada keselamatan) menjadi teologi
inklusif-pluralis, yang menyatakan keselamatan dimungkinkan ada di luar
Katolik. (Husaini & Hidayat, op.cit., hal.110-111). Infiltrasi ide tersebut
ke tubuh umat Islam dengan justifikasi QS Al-Baqarah : 62 dan QS Al-Maidah : 69
jelas sia-sia, karena kontradiktif dengan ayat-ayat yang menegaskan kebatilan
agama selain Islam (QS Ali Imran : 19, QS At-Taubah : 29).
Agenda-agenda JIL tersebut jika dibaca dari
perspektif kritis, menurut Adian Husaini dan Nuim Hidayat, bertujuan untuk
menghancurkan Aqidah Islamiyah dan Syariah Islamiyah. Tentunya mudah dipahami,
bahwa setelah Aqidah dan Syariah Islam hancur, maka sebagai penggantinya adalah
aqidah penjajah (sekularisme) dan syariah penjajah (hukum positif warisan
penjajah yang sekularistik). Di sinilah titik temu agenda JIL dengan proyek
imperalisme Barat. Maka, sungguh tak berlebihan kiranya jika dikatakan bahwa
agenda JIL adalah kepanjangan imperalisme global atas Dunia Islam yang
dijalankan negara-negara Barat kapitalis, khususnya Amerika Serikat.
Ini dari segi kaitan agenda JIL dengan
imperialisme. Adapun ide-ide JIL itu sendiri, maka berdasarkan kerangka
ideologi kapitalisme yang telah disinggung secara singkat diatas, dapatlah
kiranya dinyatakan bahwa ide-ide JIL sesungguhnya adalah ide-ide kapitalisme.
Luthfi Asy-Syaukanie (ed.) dalam Wajah Liberal Islam di Indonesia (2002) telah
berhasil menyajikan deskripsi dan peta ide-ide JIL. Jika dikritisi,
kesimpulannya adalah di sana ada banyak imitasi (baca:taqlid) sempurna terhadap
ideologi kapitalisme. Tentu ada kreativitas dan modifikasi. Khususnya pencarian
ayat atau hadits atau preseden sejarah yang kemudian ditafsirkan secara paksa
agar cocok dengan kapitalisme.
Ide-ide kapitalisme itu misalnya : (1)
sekularisme, (2) demokrasi, dan (3) kebebasan. Dukungan kepada sekularisme “pengalaman partikular Barat” nampak misalnya
dari penolakan terhadap bentuk sistem pemerintahan Islam , dan penolakan
syariat Islam . Demokrasi pun begitu saja diterima tanpa nalar kritis dan
dianggap kompetibel dengan nilai-nilai Islam seperti adl (keadilan), persamaan
(musawah), dan syura. Kebebasan yang absolut tanpa mengenal batas yang nampaknya?
sangat disakralkan JIL didukung dalam banyak statemen dengan beraneka ungkapan
: tidak boleh ada pemaksaan jilbab?, “harus ada kebebasan tidak beragama?,orang
beragama tidak boleh dipaksa? dan sebagainya.
Kentalnya ide-ide pokok kapitalisme dan berbagai
derivatnya ini, masih ditambah dengan suatu metode berpikir yang kapitalistik
pula, yaitu menjadikan ideologi kapitalisme sebagai standar pemikiran. Ide-ide?
kapitalisme diterima lebih dulu secara taken for granted. Kapitalisme dianggap
benar lebih dulu secara absolut, tanpa pemberian peluang untuk didebat (ghair
qabli li an-niqasy) dan tanpa ada kesempatan untuk diubah (ghair qabli li
at-taghyir). Lalu ide-ide kapitalisme itu dijadikan cara pandang (dan hakim!)
untuk menilai dan mengadili Islam. Konsep-konsep Islam yang dianggap sesuai
dengan kapitalisme akan diterima. Tapi sebaliknya kalau bertentangan dengan
kapitalisme, akan ditolak dengan berbagai dalih. Misalnya penolakan JIL
terhadap konsep dawlah islamiyah (negara Islam), yang berarti konsep ini
dihakimi dan diadili dengan persepktif sekuler yang merupakan pengalaman sempit
dan partikular dari Barat. Padahal sekularisme adalah konsep lokal (Barat), dan
tidak bisa dipaksakan secara universal atas Dunia selain-Barat Th, Sumartana
mengatakan :
Apa yang sudah terjadi di Barat sehubungan dengan
hubungan antara agama dan negara, sesungguhnya dari awal bercorak lokal dan
berlaku terbatas, tidak universal. Dan prinsip-prinsip yang dilahirkannya bukan
pula bisa dianggap sebagai resep mujarab untuk mengobati komplikasi yang
terjadi antara negara dan agama di bagian dunia yang lain.?
Dan patut dicatat, sekularisme tak pernah menjadi
konsep yang berlaku di Dunia Islam seperti saat ini, kecuali melalui jalan
imperalisme Barat yang kejam, penuh darah, dan tak mengenal perikemanusian.
Penutup
Kesimpulan paling sederhana dari uraian di atas adalah bahwa agenda-agenda JIL tak bisa dilepaskan dari imperalisme Barat atas Dunia Islam. Ide-ide yang diusung JIL pun sebenarnya palsu, karena yang ditawarkan adalah kapitalisme, bukan Islam. Agar laku, lalu diberi label Islam. Islam hanya sekedar simbol, bukan substansi ide JIL. Jadi JIL telah menghunus dua pisau yang akan segera ditusukkan ke tubuh umat Islam, yaitu pisau politis dan pisau ideologis. Semua itu untuk menikam umat, agar umat Islam kehabisan darah (baca:karakter Islamnya) lalu bertaqlid buta kepada JIL dengan menganut peradaban Barat.
Kesimpulan paling sederhana dari uraian di atas adalah bahwa agenda-agenda JIL tak bisa dilepaskan dari imperalisme Barat atas Dunia Islam. Ide-ide yang diusung JIL pun sebenarnya palsu, karena yang ditawarkan adalah kapitalisme, bukan Islam. Agar laku, lalu diberi label Islam. Islam hanya sekedar simbol, bukan substansi ide JIL. Jadi JIL telah menghunus dua pisau yang akan segera ditusukkan ke tubuh umat Islam, yaitu pisau politis dan pisau ideologis. Semua itu untuk menikam umat, agar umat Islam kehabisan darah (baca:karakter Islamnya) lalu bertaqlid buta kepada JIL dengan menganut peradaban Barat.
Jika memang dapat dikatakan bahwa JIL adalah
bagian dari proyek imperalisme Barat, maka JIL sebenarnya mengarah ke jalan
buntu.? Tidak ada perubahan apa pun. Tidak ada transformasi apa pun. Sebab yang
ada adalah legitimasi terhadap dominasi dan hegemoni kapitalisme (yang, toh,
sudah berlangsung). Dan pada saat yang sama, yang ada adalah pementahan dan
penjegalan perjuangan umat untuk kembali kepada Islam yang hakiki, yang
terlepas dari hegemoni kapitalisme.
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer
0 komentar:
Posting Komentar