Rekontrulsi Politik Hukum Islam di Indonesia

Rabu, Maret 21, 2012

Islam datang sebagai rahmat alam semesta, sebagai agama yang sempurna. Islam tidak hanya berkutat dalam dunia transenden yang sarat dengan nuansa eskatologis sehingga sama sekali tidak bersentuhan dengan wilayah profan, atau dalam kata lain hanya berkaitan dengan apa yang disebut wilayah vertikal. Namun Islam tampil dengan syari’at yang komprehensif yang mencakup semua sendi kehidupan manusia baik yang berhubungan dengan dunia maupun akhirat.

Allah berfirman dalam surat al-Madinah ayat. 3 :
اليَوْمَ أكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمِمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيْنًا. [المائدة: 3].
“…pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.”

Islam juga menampilkan sistem politik dan tata negara, baik menyangkut prinsip-prinsipnya maupun petunjuk praktisnya, sekalipun tentunya masih mem-butuhkan pemahaman-pemahaman interpretatif dari al-Qur’an dan Hadits secara holistik. Namun, walau demikian kita tidak bisa menutup mata dan harus kita akui bahwa Islam memang tidak menawarkan satu format maupun sistem politik dan tata negara yang baku, Islam hanya mengajarkan nilai-nilai dan etika-etika perpolitikan maupun ketatanegeraan 1). Tesis ini dapat kita buktikan secara nyata dalam sejarah suksesi kepemimpinan Khulafaur Rasyidin dan khalifah-khalifah sesudahnya mulai Abu Bakar yang dipilih secara terbuka, kemudian Sayyiduna Umar bin Khatthab yang naik tahta dengan dengan wasiat Abu Bakar disusul Sayyiduna Utsman bin Affan yang menjadi khalifah setelah dipilih oleh dewan formatur yang ditentukan  Sayyiduna Umar yang berjumlah enam orang. Setelah Sayyidina Utsman wafat akibat tragedi pembunuhan yang dilakukan kaum pemberontak, umat Islam pada waktu itu mengalami ke-vakum-an kekuasaan, sehingga hal itu membuat sahabat-sahabat senior tidak tinggal diam dan segera mengambil tindakan tegas dengan membai’at Sayyidina Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah ke empat.

Dalam perkembangan selanjutnya, Daulah Islamiyyah mengadopsi sistem Monarchi Absholut sampai tumbangnya kerajan Turki Utsmani.
Ada sebuah pelajaran berharga yang kita petik dari kejayaan Islam masa ialu, yaitu konsep Syuro. Karena kosep ini telah mendapat legitimasi langsung dari Allah, dimana dalam Alqur’an Dia benar benar memerintahkan nabi beserta ummatnya untuk memanfaatkan konsep syuro ini sebagai jembatan emas untuk menyelesaikan berbagai persoalan.
وَشَاوِرْهُمْ فِي الأَمْرِ (آل عمران :159)
“…dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu…”
Hanya saja, realisasi konsep syuro ini pada awal awal Islam lebih bersifat insidental dan kasuistik. Peristiwa perang khandaq merupakan contoh konkrit dari aplikasi konsep syuro tersebut.
Meskipun ulama-ulama lain berpendapat bahwa Ahlul Halli wal ’Aqdi  hanya sebatas dewan per-timbangan, sedangkan keputusan terahir tetap ber-ada di tangan imam.5)
Demikian gambaran sepintas dari beberapa bentuk pemerintahan yang ditawarkan Islam, dimana pada intinya roda pemerintahan dipegang oleh seorang Imam, sementara Ahlul Halli Wal Aqdi sebagai manifestasi aspirasi rakyat.


II. INDONESIA; ANTARA ISLAM DAN KENYATAAN
Setelah melalui perjalanan panjang dan melelah-kan, sampailah bangsa Indonesia pada puncak per-juangannya pada tanggal 17 Agustus 1945 dengan diproklamirkannya bangsa Indonesia sebagai satu bangsa yang merdeka yang memiliki kedaulatan secara utuh. Dengan bermodal kemerdekaan, bangsa Indonesia mulai bangkit dari trauma-tauma masa  lalu dengan mengadakan konsolidasi pada seluruh sendi-sendi kehidupan berbangsa, khusus-nya pemerintahan yang harus diselesaikan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Kenyataannya, sampai saat ini telah terbentuk sebuah pemerintahan yang biasa kita sebut dengan republik. Sistem  ini secara singkat dapat kami paparkan dalam beberapa poin berikut:

1.  Kekuasaan negara tertinggi ditangan MPR yang termasuk didalamnya para DPR sebagai anggota (Diegezamte staat gewalt liegi Alleindei Der Majlis). Majlis tersebut merupakan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia (Pertretung Sorgan des Willens Des Stams Volkes ). Majlis ini pula  yang berhak menetapkan undang-undang dan garis-garis besar haluan negara dan juga memilih presiden beserta wakilnya.

2.  Kepala pemerintahan eksekutif  dipegang oleh seorang presiden dan dibantu seorang wakil yang berfungsi sebagai mandataris MPR dengan tugas menjalankan UU dan tidak berhak untuk membuat UU, namun diberi hak untuk mengaju-kan usulan rancangan UU kepada MPR. Dalam menjalankan pemerintahan negara, kekuasan dan tanggung jawab ada ditangan presiden (Concentration Of power And Responsebility Upen the President).

3.  Untuk melengkapi instrumen pemerintahan, ditetapkan juga beberapa lembaga pemerintahan yang kedudukannya sejajar dengan presiden seperti DPR. Oleh karena itu, dalam operasional-nya presiden harus mendapat persetujuan DPR untuk membuat kepres (keputusan presiden) dan menetapkan APBN (staats begroting). Dalam kaitannya sebagai anggota MPR, lembaga ini mempunyai  hak interpelasi dan angket, khusus-nya ditujukan kepada presiden. Dan masih ada lembaga yang lain seperti : DPA (Dewan Pertimbangan Agung), MA (Mahkamah Agung), dan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) yang tidak kami jelaskan secara rinci disini.

4.  Dalam menjalankan pemerintahan, presiden dibantu oleh para menteri. (sistem Republik ini berbeda dengan sistem pemerintahan Islam yang sangat menjunjung tinggi nash-nash Al-Qur’an dan Al-Hadits serta menghormati pemahaman-pemahaman  ulama Mujtahidin, terlebih lagi jika pemahaman tersebut telah disepakati bersama (ijma’) oleh mereka. Inilah sumber Undang-undang pemerintahan Islam).
Sistem dan format pemerintahan seperti ini beserta lembaga-lmbaga yang duduk didalamnya dengan segala hak dan kewajiban yang dimiliki, sepanjang membawa kemaslahatan dan tidak ber-tentangan dengan esensi syari’at, menurut hemat kami (baca: penulis) tidak menyimpang dengan norma-norma Islam. Bahkan ada kecenderungan sistem-sistem dan pemerintahan dimuka mirip dengan bentuk pemerintahan yang kami paparkan di atas. Namun, perbedaan esensial sesungguhnya terletak pada sumber hukum yang digunakan, karena Islam tidak menentukan satu bentuk pemerintahan yang baku. Bahkan Islam memberi-kan kebebasan untuk menggunakan sistem apa saja sepanjang sistem tersebut mampu menegak-kan syari’at Islam. (Pendapat ini sesuai dengan redaksi-redaksi yang tercantum dalam kitab-kitab rujukan pesantren seperti Fathul Wahhab, Vol 2 hal 155 dan kitab-kitab lain. Namun AL-Qur’an telah menegaskan; Wa amruhum Syuro Bainahum dan telah dimaklumi bersama bahwa urusan kaum muslimin yang paling vital adalah Imamah (kepemimpinan). Berarti secara mutlak dalam mengangkat pemimpin harus melallui mekanisme Syuro).

Inilah yang menjadi titik perbedaan fundamental antara sistem pemerintahan Indonesia sekarang dengan pemerintahan Islam, sekalipun Indonesia boleh mengklaim sebagai negara hukum (Recht Staat). Namun, sayangnya hukum yang dipakai adalah hukum yang diadopsi dari hukum-hukum pemerintahan kolonial Belanda, sehinggga negara yang mengakomodasi sebagian kecil hukum Islam yang dimasukkan kedalam UU, justru lebih banyak hukum-hukum Islam yang terabaikan, seperti hukum hudud.


III. INDONESIA DALAM PERSPEKTIF FIQH
 
Sebagai bangsa yang mayoritas penduduknya menganut agama Islam, Indonesia dapat di kategorikan Darul Islam 7). Menurut Said Hawaa dalam Al-Islam, Darul Islam secara global di klasifikasikan menjadi dua kategori 8):
1.   Darul Adli
2.   Daru Ghoiril Adli
Sebuah bangsa di kategorikan sebagai Darul Islam yang Adlin jika negara tersebut menerapkan syari’at Islam secara total.9) Sebaliknya, jika negara tidak mengaplikasikan syari’at Islam, maka ia tidak bisa di kategorikan sebagai Darul Adli meskipun masih di anggap sebagai Darul Adli dalam persepsi fiqh.
Ternyata realitas telah membawa bangsa ini  (Indonesia) pada sebuah konklusi untuk di sebut sebagai Darul Islam Ghirul Adli. Sebagai konsek-uensinya menurut pandangan fiqh, penduduk bangsa ini mempunyai kewajiban untuk meng-embalikan bangsa ke dalam koridor syari’at Islam, terkhusus Ahlil Halli Wal Aqdi10) yang dalam konteks ke-Indonesia-an diterjemahkan sebagai DPR/MPR, karena lembaga ini di anggap mempunyai kekuatan untuk merubah dan meluruskan penyimpangan-penyimpangan yang di lakukan pemerintah.

A.   DPR/MPR
Dalam  terminologi fiqh, Ahlul Halli Wal Aqdi, biasa didefinisikan sebagai figur-figur muslim shaleh dan mempunyai intelegensia serta pengaruh dalam masarakat; meliputi Ulama’, Pimpinan-pimpinan Ormas, Tokoh-tokoh masarakat yang mudah di pertemukan sewaktu di perlukan.11)
Berangkat dari difenisi ini, tepatlah kiranya jika Ahlul Halli Wal Aqdi dalam bingkai keIndonesiaan kami terjemahkan sebagai DPR/MPR (seperti di atas)12). Setelah kami uraikan rentetan tugas serta wewenang DPR/MPR, maka jika muncul sebuah pertanyaan tentang siapa yang bersalah jika hukum Islam, khususnya hudud, tidak di terapkan di negara ini? Secara tegas kami menjawab, bahwa lembaga nomor wahid yang paling bersalah adalah DPR/MPR, karena di tangan lembaga inilah kendali pemerintahan dan arah perjalanan bangsa berada.
         
B.   PRESIDEN
Dalam literatur fiqh, menurut hemat kami (baca: penulis), presiden Indonesia selama ini bisa disebut sebagai Imam mutawallin bi as-syaukah (tidak memenuhi persyaratan Al-Imam Al-A’dzom ), yang secara de jure (absah) mempunyai tanggung jawab dan kewajiban yang sama dengan Al-Imam Al-A’dzom, termasuk diantaranya penegakan hukum hudud.13) Namun posisi presiden hanya sebagai mandataris MPR membuat gerak dan langkahnya hanya sebatas melaksanakan UU dan TAP-TAP MPR dan sama sekali tidak mempunyai otoritas untuk menelorkan UU baru. Bahkan jika berani melakukan tindakan inkonstitusional seperti me-netapkan UU, maka dia di anggap melanggar UU negara yang beresiko dapat diturunkan dari jabatannya sebagai presiden, seperti halnya Imamul A’dzom yang dapat diturunkan ketika ia dianggap telah melakukan tindakan-tindakan kufur dan kebijakan-kebijakan yang kontradiksi dengan prinsip-prinsip syari’at Islam.
Dari perspektif ini, presiden nampak seakan-akan sebagai pihak yang bersih dan terlepas dari skandal dosa, berkaitan dengan tidak berjalannya hukum Hudud  di Indonesia. Namun, dari perspektif lain sebagaimana kami sebutkan di atas, Presiden mempunyai hak untuk mengajukan usulan-usulan rancangan UU kepada MPR, sehingga tinggal sejauh mana presiden memanfaatkan hak tersebut untuk mampu memanfaatkannya dalam usaha ikut aktif mengusulkan rancangan UU Islam, terlebih dalam masalah Hudud, maka ia tidak bisa lari dari jeratan dosa.
         
C.   ULAMA
Jika di letakkan dalam spektrum yang sinergis Ulama lebih tepat diposisikan sebagai  Al amir bil ma’ruf wannahi anil munkar yang bertugas mengawasi sekaligus mengkritisi jalannya pemerintahan dari luar gelanggang. Karena dalam kapasitasnya sebagai ulama,’ mereka memang tidak memiliki posisi strategis dalam struktur pemerintahan secara formal. Namun hal ini tidak mengurangi sedikitpun kewajiban mereka yang memang dalam kaca mata fiqh mendapat prioritas lebih diantara rakyat biasa untuk ikut berpatisipasi dalam mewujudkan amar ma’ruf nahi munkar, sekalipun kewajiban itu bersifat kolektif (kifayah) .
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُوْنَ إلَى الْخَيْرِ وَيَأمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ (آل عمرن: 104)
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung. (QS. Ali Imron; 104).
Untuk menentukan apakah seorang ulama berdosa atau tidak berkaitan dengan tidak berjalannya hukum Hudud di Indonesia, maka perlu diadakan observasi lapangan secara cermat, apakah mereka benar-benar telah menunaikan tugasnya, dalam beramar ma’ruf nahi mungkar sesui sengan syari’at atau belum ? 16. jika terbukti dalam realita, mereka telah menunaikan tugasnya, baik secara individu maupun kolektif maka mereka telah keluar dari lingkaran dosa. Sebaliknya jika ternyata mereka meninggalkan kewajiban-kewajibannya maka mereka berdosa sebab merekalah yang mampu memahami nash-nash Al-Qur’an dan Al-Hadits, disamping sebagai panutan masyarakat, apalagi  kalau mereka mendukung partai-partai yang tidak memperjuangkan berlakunya syari’at Islam.
         
D.   RAKYAT
Rakyat merupakan instrumen penting penopang berlangsungnya kehidupan berbangsa dan bernegara (nation stat). Mereka juga bertanggung jawab atas hidup dan matinya suatu bangsa.
Sebagai umat yang hidup di sebuah negara dimana syri’at Islam tidak dijadikan sebagai hukum positif didlamnya, maka kewjiban yang harus dilakukan adalah berpartisipasi dalam merealisasikan sebuah negara yang berdasarkan hukum Islam 17. Bentuk praktis perjuangan tersebut bisa diwujudkan dengan memilih wakil-wakil rakyat yang nota bene sebagai pembuat UU18. Peta umat Islam Indonesia terbagi menjadi dua:
1. Rakyat (umat Islam) yang telah memberikam sumbangsihnya dengan memilih wakil-wakil mereka yang benar-benar bisa dan mau memperjuangkan hukum-hukum Islam masuk dalam hukum positif.
          2.  Rakyat yang memberikan sumbangsihnya dalam memilih wakil wakil mereka yang tidak mau memperjuangkan hukum Islam.
          Dengan berdasarkan peta di atas, tampak jelas bahwa rakyat yang terjerat dosa adalah mereka yang masuk dalam kategori kedua.                                   
         
         
 IV.PENUTUP
          Berlakunya syari’at Islam di bumi pertiwi adalah tanggung jawab bersama seluruh elemen bangsa. Cita-cita ini harus selalu tertanam dan bergelora dalam jiwa seluruh generasi muda Islam.
            Semua komponen bangsa, baik individu maupun kelompok, ikut berdosa bila mereka tidak memiliki komitmen untuk memperjuangkan secara intensif berlakunya hukum Islam, baik melalui jalur politik atau jalur lain, malah jika mereka rela dengan sistem hukm non Islam maka dikhawatirkan akan terjerumus ke dalam jurang gelap kekufuran.
وماكان لمؤمن ولامؤمنة إذا قضى الله ورسوله أ مرا أن يكون لهم ا لخيرة من أمرهم ومن يعص الله ورسوله فقد ضلّ ضللا مبينا (الأحزاب :36)
Dalam rangka mewujudkan cita-cita luhur ini maka diperlukan stamina prima dan energi besar baik lahir maupun batin dari seluruh umat Islam agar mereka senantiasa memperjuangkan tegaknya negara tercinta ini di bawah panji-panji Islam. wallahu A’lam bi as-Showab.


1) . Nidlomul Islam :79
5) . Al-Fiqh al-Islami: 715-715/VI
7) . Al- Tasyri’ Al-Jinaa’I :275/1
8) . Al-Islam : 278
9) . Ibid : 278
10) . Ibid :379
11) . Bugyatul Mustarsyidin
12) . Karena faktor dlarurat maka kesimpulan seperti ini di ambil tanpa memandng adanya anggota DPR/MPR non muslim atau muslim yang fasiq. Oleh karena itu, sangat ironis sekali jika seorang muslim memihak partai terbuka yang bersifat lintas agama.
13) . Al-Ahkam al-sulthoniyyah : 16
16 . I’anatuttholibin : 203/ IV, Ihya Ulumuddin :337/II
17 . Al-Islam : 379
18 . Al-Daulah Wal-Siyadah fi al-Fiqhi al-Islam hlm. 195


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 komentar:

 

Facebook Gue