Hermeneutik dan Fenomena Taklid Baru

Kamis, Desember 15, 2011

 
Hermeneutika kini telah menjadi begitu populer di Indonesia dan diajukan oleh berbagai pihak sebagai alternatif pengganti metode tafsir ‘klasik’ dalam memahami Al-Quran.

Sejumlah nama pemikir modernis, neo-modernis, atau post-modernis –seperti Fazlur Rahman, Mohammed Arkoen, al-Jabiri, Hassan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zeid, Farid Essac, dan lainnya– kini menjadi idola baru dalam memahami al-Quran dan Sunnah Rasul. Mereka begitu populer dan dikagumi di berbagai institusi pendidikan dan ormas Islam, menggantikan tokoh-tokoh pemikir besar Islam, seperti Syafii, Maliki, Hanafi, Ahmad bin Hanbal, al-Ghazali, Ibn Taimiyah, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan yang lainnya. Kaum Muslimin Indonesia kini digerojok dengan ratusan –mungkin ribuan– buku, makalah, dan artikel tentang hermeneutika, dengan satu pesan yang sama: “Tinggalkan (paling tidak, kritisi!) tafsir lama.

Jangan percaya begitu saja pada penafsirnya, bahwa mereka adalah tulus dan tidak punya maksud apa-apa. Mereka juga manusia, mereka punya kepentingan, punya wawasan yang terpengaruh oleh faktor sosial budaya ketika itu”.

Prof Amin Abdullah, misal­nya, menulis dalam satu buku hermeneutika: “Metode penaf­siran Al-Quran selama ini senantiasa hanya memper­hatikan hubungan penafsir dan teks Al-Quran tanpa pernah meng­eksplisit­kan kepenti­ngan audiens terhadap teks. Hal ini mungkin dapat dimaklumi, sebab para mufasir klasik lebih menganggap tafsir Al-Quran sebagai hasil kerja-kerja kesalehan, yang dengan demikian harus bersih dari kepentingan mufasirnya.

Atau barangkali juga karena trauma mereka pada penafsiran-penafsiran teologis yang pernah melahirkan pertaru­ngan politik yang maha dahsyat pada masa-masa awal Islam. Terlepas dari alasan-alasan tersebut, tafsir-tafsir klasik Al-Quran tidak lagi memberi makna dan fungsi yang jelas dalam kehidupan umat Islam.”

Dalam buku yang sama juga disebutkan bahwa, Hassan Hanafi menawarkan cara baru dalam membaca al-Quran. Metode Hassan Hanafi, seperti juga Arkoen, dikatakan telah menghindarkan diri dari penafsiran yang subjektif dan menjadikan teks sebagai sekedar justifikasi dan dalih bagi kepentingan penafsir. Kini sudah saatnya ada panduan metodologis yang dapat menjadi “pencerahan” bagi mufasir-mufasir muda Muslim dalam menjembatani antara al-Quran dan kemanusiaan.

Ditulis juga dalam buku ini: “Apalagi sebagian besar tafsir dan ilmu penafsiran yang diwarisi umat Islam selama ini, sadar atau tidak, telah turut melanggengkan status quo dan kemerosotan umat Islam secara moral, politik, dan budaya. ” (Lihat, Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembe­basan, 2002, hal. xxv-xxvi, 10).

Umat Islam tentu tidak boleh apriori dengan satu informasi. (QS Al-Hujurat:6). Jika dikatakan kaum Muslim perlu menggunakan herme­neutika sebagai pengganti tafsir klasik, karena sebagian besar tafsir klasik dianggap melanggengkan status quo, menyebabkan kemunduran, dan sebagainya, maka perlu dipertanyakan, tafsir yang mana? dan “sebagian besar” itu berapa banyak? Sekarang ada ribuan tafsir Al-Qur`an. Yang mana yang sudah dibaca para pengritik tafsir lama itu?

Tafsir al-Azhar ditulis Hamka dalam penjara. Begitu juga Tafsir Fii Zhilal al-Quran. Bahkan penulis­nya, Sayyid Quthub, akhirnya meninggal digantung penguasa. Selama ratusan tahun, dunia Islam menge­nyam kemajuan dan perkem­bangan di berbagai bidang ilmu pengetahuan, padahal tidak menggunakan metode herme­neutika yang gencar dipromo­si­kan belakangan ini. Imam Ahmad, Ibn Taymiyah, dan lainnya adalah para penentang penguasa, dan telah menunjuk­kan diri sebagai ilmuwan besar dalam sejarah Islam.
Fenomena Taqlid baru

Sebenarnya praktek “belah bambu” semacam ini meru­pakan gejala yang mempri­hatinkan dalam dunia ilmiah dan akademis. Klaim bahwa Hassan Hanafi, Fazlur Rahman, Arkoen, Nasr Hamid, dan sebagainya “bebas dari kepentingan” dibandingkan dengan mufassir klasik, sangatlah tidak ilmiah. Tanpa bersikap apriori, pemikiran Hassan Hanafi dan lain-lain itu perlu dikaji dengan kritis. Namun, seyogyanya, tidak disertai dengan memberikan prasangka kepada pemikir-pemikir Muslim besar lain sebelumnya, sebelum mem­baca karya mereka sendiri.

Malah, yang lebih mempri­hatinkan, analisis-analisis Jabiri, Nasr Hamid ter­hadap pemikiran al-Syafii, al-Ghazali, dan sebagai­nya, terkadang diimani begitu saja, bahkan dijadikan rujukan tanpa mengecek dan membaca kitab-kitab para imam itu secara langsung. Padahal, kitab-kitab para imam besar itu berjumlah ratusan. Tapi kemudian dirumuskan dan disimpulkan dalam satu atau dua kalimat oleh analis. Sikap seperti ini adalah sebuah bentuk taklid buta.

Jadi, ketika mereka menolak taklid kepada para imam besar, di saat yang sama mereka justru melakukan taklid kepada pemikir modernis atau post-modernis, Muslim atau non-Muslim.

Dalam hal hermeneutika juga demikian. Berbagai buku tentang hermeneutika dan aplikasinya dalam pemikiran Islam, menunjukkan adanya fenomena rujukan (taklid) pada pemikiran Scleiermacher dan Dilthey, untuk hermeneutika teoritis; taklid kepada orang seperti Gadamer untuk herme­neutika filosofis; atau taklid kepada Jurgen Habermas untuk metode hermeneutika kritis. Metode-metode tafsir mereka itulah yang dianggap lebih tepat untuk menafsirkan al-Quran, ketimbang metode para ulama tafsir.

Sebenarnya para ulama Islam sejak dulu telah mengem­bangkan sikap kritis, tidak apriori terhadap pemikiran-pemikiran asing. Namun, mereka tidak menempatkan dan memahami Islam dalam kerangka dan sistem episte­mo­logis yang berbeda dengan Islam. Sebab, Islam bukan hanya al-Quran dan Sunnah, tetapi juga cara memahami (epistemologis) kedua sumber utama Islam itu.

“Cara memahami” adalah hal yang sangat vital. Di sinilah perlunya masalah herme­neutika didudukkan dengan serius. Sebab, istilah dan metodologi ini bukan berasal dari tradisi Islam. Sebagai contoh, hermeneutika teoritis menekankan faktor “kecuri­gaan” terhadap penafsir awal, sedangkan hermeneutika kritis justru menekankan kecuriga­an terhadap teks itu sendiri.
Tafsir nyeleneh ala Hermeneutika

Sebagian perumus teori hermeneutika, mengajukan gagasan “pemisahan teks dari pengarangnya” sebagai upaya untuk memahami teks dengan lebih baik. Bahkan, orang seperti Scleiermacher meng­aju­kan gagasan tentang kemungkinan penafsir dapat memahami lebih baik dari pengarangnya. Jika gagasan ini diterapkan untuk al-Quran, siapakah yang mampu mema­hami Al-Quran lebih baik dari Allah SWT atau Rasul-Nya?

Inilah yang disesalkan banyak cendekiawan Muslim terhadap gagasan Nasr Hamid Abu Zaid yang menyatakan bahwa al-Quran adalah “produk budaya” (muntaj tsaqafy).

Dengan menganggap Al-Quran semata-mata adalah produk budaya, karya sastra biasa, atau sekedar teks linguistik seperti teks-teks lainnya, maka itu berarti telah memisahkan al-Quran dari “Pengarangnya”, yaitu Allah SWT.

Padahal, sebagai kalam Allah, Al-Quran adalah tanzil. Redaksinya pun berasal dari Allah SWT. Dia memang bahasa Arab, tetapi bukan bahasa Arab biasa. Dia adalah wahyu. Karena wahyu, maka manusia yang paling mema­hami maknanya adalah Rasul-Nya dan orang-orang yang sezaman dengannya (para sahabat).

Jika teks Al-Qur`an dice­rabut dari penjelasan Rasu­lullah SAW dan diletakkan dalam konteks paradigma “Marxis”, maka maknanya tentu bisa berubah secara mendasar. Jika Allah meng­haramkan babi, lalu dianalisis secara sosial-budaya ketika itu, maka akan bisa disimpul­kan secara hermeneutis, bahwa babi haram karena dagingnya enak dan tidak ada di Arab.

Sekedar interupsi, Hamka pernah bercerita, pada tahun 1963 seorang pelajar SMP di Semarang mengirim surat kepadanya. Si pelajar bercerita bahwa gurunya, seorang pemeluk setia agama Katolik, menerangkan dalam kelas tentang sebab diharamkannya daging babi. Kata guru itu, Nabi Muhammad sangat suka makan daging babi, sebab terlalu enak. Pada suatu hari pelayan beliau mencuri perse­diaan daging babi yang akan beliau makan.

Ketika datang waktu makan, beliau minta persediaan daging yang sangat enak itu. Si pelayan mengaku salah, telah mencuri dan memakan daging babi itu. Mendengar itu, Nabi Muham­mad sangatlah marah karena dagingnya dicuri. Saking marah­nya, mulai hari itu dijatuhkanlah hukuman: “Haram atas umatku makan daging babi”. Lihat, Hamka, Studi Islam, 1985:245-246);

Selain itu, hukum potong tangan akan dikatakan sebagai hukum yang hanya cocok untuk masyarakat baduy gurun di Arab; alasan muslimah haram kawin dengan laki-laki non-muslim karena masya­rakat­nya didominasi laki-laki; jilbab hanya wajib untuk daerah Arab karena iklimnya panas dan berdebu; khamr haram hanya di daerah panas; homoseksual haram karena ketika itu belum ada HAM; dan sebagainya.

Berbagai pemahaman nyeleneh seperti di atas, akan terus bermunculan apabila hermeneutika digunakan dalam menginterpretasikan Al-Qur’an.

Muhammad Said Aidi
Ketua PC. IPNU Jakarta Pusat


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Hermeneutik nodai Metode Tafsir Al-Qur'an


Upaya mengusung hermeneutika kembali menarik per­hatian banyak kalangan. Beberapa cendekiawan Muslim, terutama yang menekuni bidang teologi dan filsafat, mencoba menjadikan herme­neutika sebagai alternatif pengganti tafsir dalam meng­interpretasikan kitab suci Al-Qur‘an. Khususnya di Indonesia, gerakan ini kelihatannya sangat terencana dan dibac­king oleh LSM asing. Sehingga tidak aneh, hanya dalam hitu­ngan bulan, mereka dapat menelurkan banyak buku-buku dan jurnal terkait tema tersebut.

Di samping itu pengusung hermeneutika juga menyoal sikap mayoritas Muslim yang taklid kepada tafsir-tafsir klasik, mereka menginginkan agar dilakukan kritikan fundamental terhadap kitab-kitab tersebut. Akan tetapi, ternyata kita juga menyaksikan betapa mereka juga memuja-muja pemikiran Arkoun, Hasan Hanafi, dan sebagainya. Sikap tersebut diistilahkan oleh Adian Husaini sebagai fenomena latah dan taklid baru. (baca: Herme­neutika dan Fenomena Taqlid Baru).

Hermeneutika pernah ber­jaya dalam menafsirkan Bibel (kitab suci umat Kristen). Dan memang suatu hal yang tidak aneh jika hermeneutika ber­hasil diterapkan pada Bibel, atau bahkan mungkin Bibel memerlukannya. Karena menurut penelitian para Kristolog, baik dari kalangan Muslim maupun non Muslim, kitab Bibel yang tidak lagi ditulis dengan bahasa aslinya itu ditulis oleh banyak penga­rang dengan versi yang berbeda-beda.

Dan perbeda­an antara yang satu dengan yang lain pun sangat signifi­kan. Bahkan masing-masing Bibel seakan berlomba dalam menambah atau mengurangi antara satu dengan lainnya. (Untuk lebih jelas, baca buku Dokumen Pemalsuan Alkitab karangan Molyadi Samuel AM, Victory Press-Surabaya, 2002).

Kenapa penerapan herme­neutika meraih sukses pada Bibel, menurut Ugi Suharto ada tiga penyebab. Pertama; kalangan kristiani masih berdebat tentang apakah secara harfiah Bibel itu bisa dianggap kalam Tuhan atau hanya perkataan manusia. Kedua; adanya perbedaan pengarang yang menuliskan Bibel mengakibatkan perbeda­an gaya dan kosa kata dalam Bibel. Ketiga; teks Bibel ditulis dan dibaca bukan lagi dalam bahasa asalnya sehingga mempunyai masalah dengan isu orisinilitas.

Namun demikian, apakah hermeneutika akan meraih sukses yang sama apabila diterapkan untuk menafsirkan Al-Qur‘an? Tentu sangat musta­hil, karena sudah disepakati oleh Jumhur Ulama bahwa Al-Qur‘an adalah Kalamullah, firman Allah. Al-Qur‘an tidak dikarang oleh manusia, dan sampai hari ini Al-Qur‘an akan tetap ditulis dan dibaca menurut bahasa aslinya. Melihat fakta tersebut, nampaknya tidak tersedia peluang untuk menerap­kan hermeneutika dalam upaya menginter­pretasi­kan Al-Qur‘an.

Alasan lain mengapa hermeneutika tidak tepat untuk Al-Qur‘an adalah metode hermeneutika bukan hanya menginterpretasikan, tapi juga mengkritisi. Bagaimana mung­kin Al-Qur‘an yang merupakan wahyu Tuhan akan dikritisi oleh manusia yang bukan siapa-siapa jika dibandingkan dengan Allah SWT sang Khaliq. Tentu akan sangat naïf dan ironis sekali. Al-Qur‘an adalah kitab suci yang dapat diterima oleh orang yang mengimaninya. Bagi yang tidak mengimaninya tentu tidak berhak untuk mengkritisi.

Sejarah mencatat bahwa jauh sebelum gerakan ini, telah banyak penulis yang mengaju­kan hermeneutika sebagai alternatif metode penafsiran Al-Qur‘an, namun mereka gagal dan tidak berhasil. Alphonse Mingana misalnya, pendeta Kristen asal Irak dan guru besar di Universitas Birmingham-Inggris, pada tahun 1927 mengatakan, “sudah tiba saatnya untuk melakukan kritik terhadap teks al-Qur‘an seba­gai­mana telah dilakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani”. (baca: Hermeneutika dan Bibel).

Berdasarkan pengalaman yang menimpa penganut Kristen, hermeneutika telah menimbulkan pertikaian hingga pertumpahan darah. Pecahnya Kristen menjadi Katholik dan Protestan adalah hasil sumbangan dari hermeu­tika. Jadi, semboyan pengu­sung hermeneutika “untuk menghindarkan perpecahan umat dalam penafsiran Al-Qur`an maka dibutuhkan alternatif baru (sebenarnya sudah kuno) yaitu herme­neutika” menjadi tidak relevan.


Muhammad Said Aidi
Ketua PC.IPNU Jakarta Pusat


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Islam dan Ilmu pengetahuan

Rabu, Desember 14, 2011


Jaman keemasan Islam yang berlangsung selama periode Abbasiyah di Baghdad (750-1258) dan Umaiyah di Spanyol (755-1492), tinggal kenangan belaka.
"Pada jaman orang-orang Eropa masih menyelam dalam kebiadaban yang teramat gelap, Baghdad dan Cordova, dua kota raksasa Islam telah menjadi pusat peradaban yang menerangi seluruh dunia dengan cahaya gilang gemilangnya." demikian kata Dr. Gustave Le Bone. 

Dalam permulaan abad pertengahan tak satu bangsapun yang lebih besar sumbangannya untuk proses kemajuan manusia selain dari bangsa Arab. Mahasiswa-mahasiswa Arab sudah asyik mempelajari Aristoteles tatkala Karel Agung bersama pembesar-pembesarnya masih asyik belajar menulis namanya. Disekitar abad X, Cordova adalah kota kebudayaan yang ternama di Eropa dengan Konstantinopel dan Baghdad merupakan kota-kota pusat kebudayaan didunia.

Demikianlah sekilas pandangan bila kita mempercayai sejarah jaman keemasan Islam dimasa lampau. Ataukah sejarah tersebut telah mendustai kita ?Kepada mereka yang menjadi pekerjaannya silahkan mengadakan penelitian kembali, dan kepada mereka yang mempercayai catatan sejarah itu bangga dan bergembira hatilah. Lalu bertanyalah: Kenapa sedemikian mengagumkannya Islam dimasa itu ? Dan kenapa golongan Islam sekarang ini bisa dipecundangi oleh golongan lain sedemikian hinanya ? Sekian banyak lagi pertanyaan kita ajukan, tetapi kepada siapa ?

Barangkali belum pernah Islam menghadapi bencana yang lebih besar dari apa yang mereka hadapi pada dewasa ini. Begitu besar tantangan yang yang harus dihadapinya sehingga dia dipaksa "menyerah kalah" kepada "Tuhan dunia" yang baru.
*Tuhan dunia yang baru itu tak lain daripada kaum Imperialisme, Materialisme, kelompok Eksistensialis, Orientalis dan Atheis serta Skeptik. Manusia tidak lagi percaya bahwa Tuhan adalah "penyelamat bumi dan langit" yang Maha Sempurna bahkan sebagian besar orang Islam sendiri sudah tidak pula mempercayai-Nya.
Mereka mencari ide-ide baru dalam rangka menyusun sistem kenegaraan yang mereka pikir sangat ideal. Mereka menggali pula "pendapat" baru untuk menata masyarakat. Dan semua golongan itu mereka temukan dalam kepada golongan yang telah disebutkan diatas. Lalu mereka memuja isi kepala (otak) penemu-penemu ide baru itu dan mereka pikir dengan demikian mereka telah menemukan tatanan baru.
Satu pertanyaan:
Jika manusia telah menemukan tatanan baru yang disebut Ideal itu benar adanya, mengapa kejadiannya malah sebaliknya ?
Bukan masyarakat ideal yang mereka temui tetapi malah keadaan masyarakat yang kacau balau !

Diluar kawasan Islam telah terjadi konfrontasi antara ilmu dengan agama. Hal itu terjadi dalam jaman tengah dibarat. Setiap keterangan ilmu yang tidak sepaham dengan gereja segera dibatalkan oleh Kepala Gereja. Itulah yang terjadi pada Astronom Nicholas Copernicus (1507) yang menghidupkan kembali ajaran orang-orang Yunani dijaman purba yang mengatakan bahwa bukan matahari yang berputar mengelilingi bumi sebagaimana ajaran gereja dan tercantum pada Yosua 10:12-13, melainkan bumi yang berputar dan mengedari matahari.

Galileo Gelilei yang membela teori tersebut pada tahun 1633 diancam hukuman bakar seandainya dia tidak mencabut kembali teori tersebut oleh Inkuisisi, yaitu organisasi yang dibentuk oleh gereja Katolik Roma yang menyelidiki ilmu klenik sehingga sikap gereja yang kaku itu telah menimbulkan tuduhan bahwa agama menjadi penghalang bagi kemerdekaan berpikir dan kemajuan ilmu.



Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Analisa Sunni - Syiah (mungkinkah bersatu)


Adalah suatu hal yang sangat memprihatinkan apabila sampai pada hari ini umat Islam masih bertengkar mempermasalahkan status madzhab, pola pikir atau juga sekte. Seolah merasa kebenaran adalah mutlak milik madzhab dan golongan masing-masing, diluarnya salah dan sesat.

Lalu sampai seberapa jauh Islam ini akan dibawa kepada pertarungan panjang yang melelahkan ? haruskah fanatisme dan kebutaan pemikiran senantiasa melingkupi hati kita, mencemari kesucian roh dan mencampakkan Nafs ?
Haruskah semuanya kita lanjutkan sampai masa yang akan datang ?

Semoga Allah mengampuni kita yang tidak mengerti betapa agung dan pluralnya Islam itu, kenapa kita menyianyiakan satu ajaran yang konon gunungpun tak kuasa menerimanya ?
Jika dengan mencintai para keluarga Nabi, membela kebenaran yang ada didiri Fatimah, Ali, Hasan dan Husin maka seseorang disebut sebagai Syiah, maka saya akan dengan bangga menyatakan diri saya Syiah, sebaliknya jika mengagumi ketokohan Umar bin Khatab dan mengamalkan hadis-hadis selain riwayat dari para ahli Bait Nabi maka seseorang disebut sebagai Ahli Sunnah, maka sayapun menyebut diri saya demikian.

Tidak ada yang salah dengan kedua istilah tersebut, Syiah dan Sunni merupakan istilah yang terbentuk setelah ajaran Islam selesai diwahyukan, keduanya pada dasarnya merupakan polarisasi pemahaman yang berawal dari pemilihan pemimpin umat Islam pasca kematian Nabi yang akhirnya meluas sampai pada tingkat penyelewengan dimasing-masing pemahaman oleh generasi-generasi sesudahnya.

Sudah sampai saatnya masing-masing kita melakukan koreksi diri terhadap apa yang selama ini terdoktrinisasi, bahwa pelurusan sejarah serta pentaklidan buta sudah saatnya dilakukan.
Isyu perpecahan didalam Islam memang bukan hal yang baru dan rasanya ini sesuatu yang wajar karena setiap orang bisa memahami ajaran Islam dari sudut pandang keilmuan yang berbeda, apalagi Islam mencakup pengajaran semua bangsa dan daerah yang masing-masingnya memiliki corak budaya, tradisi serta situasi yang beraneka ragam sebagai salah satu sifat universalismenya.

Semua perbedaan tersebut seharusnya tidak dijadikan sekat dalam mengembangkan rasa kebersaudaraan dan toleransi beragama, sebagaimana sabda Nabi sendiri bahwa umat Islam itu bagaikan satu tubuh, semuanya bersaudara yang diikat oleh tali Tauhid, pengakuan ketiadaan Tuhan selain Allah, Tuhan yang satu, yang tidak beranak dan tidak diperanakkan dalam berbagai bentuk, penafsiran serta sifat apapun.



Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer
 

Facebook Gue