Sekulerisme Islam.? Bullshit.

Rabu, Maret 21, 2012


 
S E K U L E R I S M E
Definisi
Berasal dari secularism yang berarti gerakan yang bertujuan mamalingkan manusia dari kepentingan-kepentingan akhirat dan menfokuskannya pada kepentingan-kepentingan dunia saja. Intinya memisahkan agama dari kehidupan manusia secara pribadi atau dalam bermasyarakat dan bernegara atau memisahkan urusan agama dari negara.
Embrio Sekulerisme
Faham ini muncul dari Barat sekitar abad pertengahan. Pemikir-pemikir liberal menjadi motor membebaskan rakyat dan negara dari cengkeraman tokoh-tokoh gereja.
Fungsi gereja saat itu pasif dan statis menghadapi dinamika peradaban manusia, mengedepankan tahayyul daripada nasionalisme, menyebabkan mandeknya laju pemerintahan yang selalu tidak sinkron dengan kemauan gereja.
Situasi ini sangat paradoks dengan peradaban Islam, jauh sebelum itu pemikir-pemikir Islam dalam buku-bukunya telah membahas teori bundarnya bumi dengan leluasa. Seperti Ibnu Hazm dalam bukunya; al-Fashlu fi al-Milal wa al-Nihal, memaparkan dalil-dalil rasional tentang bundarnya bumi dan pemikir-pemikir Islam lainnya. Gereja malah mengintimidasi orang yang berfikir seperti itu dan dianggapnya kafir, keluar dari agama. Kebebasan beragama, berfikir, berpolitik dikebiri total oleh gereja.
Inilah yang menyebabkan munculnya revolusi rakyat yang terkenal dengan pekikan
 اشنقوا آخر ملك بأمعاء آخر قسيس
“Entengi raja terakhir dengan usus-usus pendeta terakhir.”
Penyebab lain dari munculnya faham sekulerisme adalah ajaran agama Kristen yang memisahkan manusia antara jasad dan ruhnya, agama dari urusan negara sesuai dengan perkataan Nabi Isa dalam Injil دع ما لقيصر لقيصر وما لله لله (biarkan hak Kaisar untuk Kaisar dan hak Allah untuk Allah).

Sikap Islam terhadap Sekulerisme
1.      Muslim dan sekuler
Islam tidak memberi celah sedikitpun terhadap penganutnya untuk keluar dari tuntunannya. Mulai baligh sampai ke liang kubur, bahkan kejadian dia sebelum hidup.
ولقد خلقنا الإنسان من سلالة من طين. ثم جعلناه نطفة في قرار مكين. ثم خلقنا النطفة علقة فخلقنا العلقة مضغة فخلقنا المضغة عظاما فكسونا العظام لحما ثم أنشأناه خلقا آخر فتبارك الله أحسن الخالقين.(المؤمنون: 12-14).
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah, kemudian Kami jadikan sari pati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim) kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, dan lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang berbentuk lain. Maka Maha sucilah Allah pencipta yang paling baik.”
Juga apa yang ditemui setelah mati.
هل ينظرون إلا تأويله يوم يأتي تأويله يقول الذين نسوه من قبل قد جاءت رسل ربنا بالحق فهل لنا من شفعاء فيشفعوا لنا أو نرد فنعمل غير الذي كنا نعمل قد خسروا أنفسهم وضل عنهم ما كانوا يفترون. (الأعراف: 53).
“Tidaklah mereka menunggu-nunggu kecuali terlaksananya kebenaran al-Qur’an itu pada hari datangnya kebenaran pemberitaan itu, berkatalah orang-orang yang melupakannya sebelum itu; sesungguhnya telah datang Rasul-rasul Tuhan kami membawa yang haq, maka adakah bagi kami pemberi syafa’at yang akan memberi syafa’at kepada kami atau dapatkah kami dikembalikan ke dunia sehingga kami dapat beramal yang lain dari yang pernah kami amalkan. Sungguh mereka telah merugikan diri mereka sendiri dan telah lenyaplah dari mereka Tuhan-tuhan yang mereka adakan.”
Jadi paradoks sekali jika seorang muslim menerima faham sekuler. Sebab konsep sekuler memisahkan ruh dan jasad, urusan agama dengan dunia sehingga akan membentuk figure setengah iman setengah kafir seperti sifat orang Yahudi
نؤمن ببعض ونكفر ببعض (النساء: 150)
“kami beriman kepada yang sebagian dan kami kafir terhadap sebagian.”
Ini terjadi karena dia beranggapan bahwa untuk urusan agama Allah punya hukum, sedangkan urusan dunia Allah tidak punya hukum dalam arti tidak ada hisab. Padahal konsep muslim sejati tidak demikian. Dalam al-Qur’an disebut:
ما يلفظ من قول إلا لديه رقيب عتيد (ق: 18)
“Tiada ucapan yang diucapkannya melainkan ada didekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.”
إن السمع والبصر والفؤاد كل أولئك عنه مسؤولا (الإسراء: 36)
“sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.”
Inilah muslim sejati, dimanapun dan kapanpun selalu dinaungi ajaran Islam.

Aqidah dan Sekuler
Faham sekuler, liberal tidak mengingkari aqidah Islam, juga tidak melarang manusia beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta hari akhir, karena ini konsekuensi kebebasan beragama yang telah disepakati dunia internasional. Tapi, Islam di negerinya Darul Islam tidak puas hanya diacungi jari toleransi atau diisukan sebagai momok kemunduran peradaban, tapi aqidah Islam ingin menjadi ruh kehidupan, idiologi tunggal, motor kebangkitan generasi umat, fondasi berfikir dan pembentuk figure.
Sejak usia dini, seorang muslim ditancapkan tauhid yang membebaskan manusia dari menyembah selain Allah, bahkan sejak dia baru dilahirkan dianjurkan untuk didengarkan di telinga kanannya kalimat-kalimat adzan walupun belum faham yang terkandung di dalamnya kalimat tauhid seperti halnya ketika nanti sakaratul maut, kalimat terakhir yang diperdengarkan adalah tauhid dan inilah asas kebebasan hakiki.
Berbeda dengan komunitas yang mengkultuskan sekelompok orang selain Allah yang bisa berimplementasi sesosok penguasa otoriter seperti Fir’aun yang berkata:
أنا ربكم الأعلى (النازعات: 24)
“Saya adalah tuhan kalian yang tertinggi.”
atau tokoh-tokoh agama yang menghalalkan perkara yang diharamkan Allah atau sebaliknya seperti ahli kitab.
 اتخذوا أخبارهم ورهبانهم أربابا من دون الله والمسيح ابن مريم (التوبة : 31).
“mereka orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan juga mereka mempertuhan-kan al-Masih putra Maryam.”
Jadi, penyembahan manusia terhadap manusia yang identik dengan musyrik inilah yang terpraktekkan pada pola dua komunitas tersebut. Konsep ini tidak mampu menyelamatkan umat manusia dari perbudakan. Akhirnya hanya idiologi tauhidlah yang mampu menjawab problem zaman, membebaskan umat manusia dari perbudakan dan hanya Allahlah yang disembah. Coba kita buka lembaran sejarah misi yang selalu tertulis dalam-dalam surat Rasulullah kepada diktator-diktator bumi di sekitar jazirah Arab pada waktu itu adalah;
قل يا أهل الكتاب تعالوا إلى كلمة سواء بيننا وبينكم ألا نعبد إلا الله ولا نشرك به شيئا ولا يتخذ بعضنابعضا أربابا من دون الله. فإن تولوا فقولوا اشهدوا بأنا مسلمون (آل عمران: 64)
“Katakanlah ! Hai Ahli Kitab, marilah berpegang pada satu kalimat yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak pula sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling, maka katakanlah pada mereka saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri kepada Allah.”
Generasi terbaik dari umat ini ketika memerangi tentara Persi, apa yang dikatakan Robi’ bin Amir ra. pada panglima perang Persi, Rustum?
إن الله ابتعثنا لنخرج الناس من عبادة العباد إلى عبادة الله وحده.
“Sesungguhnya Allah telah mengutus kami untuk mengeluarkan manusia dari menyembah kepada manusia menuju menyembah kepada Allah saja”.

Tauhid asas solidaritas universal
Do’a yang dibaca Nabi SAW setelah sholat yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Abi Dawud
اللهم ربنا ورب كل شيء أنا شهيد أنك أنت الرب وحدك لا شريك لك اللهم ربنا ورب كل شيء أنا شهيد أن محمدا عبدك ورسولك ، اللهم ربنا ورب كل شيء أنا شهيد أن العباد كلهم إخوة .
“Ya Alllah Ya Tuhan kami dan Tuhan segala sesuatu, aku bersaksi bahwa Engkau adalah Tuhan satu-satunya, Ya Allah Ya Tuhan kami dan Tuhan segala sesuatu, aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-Mu dan utusan-Mu, Ya Allah Ya Tuhan kami dan Tuhan segala sesuatu, aku bersaksi bahwa semua manusia adalah saudara.”
Solidaritas universal mengiringi dua syahadat, karena merupakan buah dari syahadat itu sendiri.

Tauhid asas kesederajatan universal
Ini dapat kita temui dalam ayat;
 إن أكرمكم عند الله أتقاكم (الحجرات: 13)
“Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu menurut Allah adalah yang paling taqwa.”
juga dalam pidato Rasulullah yang disaksikan puluhan ribu mata pada waktu haji wada’;
يا أيها الناس إن ربكم واحد، وإن أباكم واحد ، كلكم لآدم وآدم من تراب، لا فضل لعربي على عجمي ، ولا لأبيض على أسود إلا بالتقوى. (رواه أحمد).
“Wahai manusia! Sesungguhnya Tuhanmu satu, dan bapakmu satu, kalian semua dari Adam dan Adam diciptakan dari debu, tidak ada kemuliaan bagi bangsa Arab atas bangsa ajam juga bangsa yang berkulit putih atas bangsa yang berkulit hitam kecuali dengan taqwa”
Dari tinjauan ini, walaupun sekuler menyambut baik aqidah Islam secara teori dan wacana, tapi apa yang menjadi konsekuensi dari aqidah Islam mereka tolak mentah-mentah. Ini dapat kita lihat dengan jelas dalam dua masalah krusial;
Pertama    : Mereka menolak aqidah menjadi asas solidaritas dan persaudaraan, karena aqidah tidak bisa menjadi standar pemersatu manusia. Mereka mengedepankan kesukuan, ras, hubungan darah dan kebangsaan sebagai standar pemersatu bangsa. Ini jelas paradoks orientasi al-Qur’an yang menampilkan iman dan aqidah sebagai asas solidaritas persaudaraan إنما المؤمنون إخوة . mendahulukan pembelaan terhadap Allah dan Rasul-Nya serta komunitas mu’min atas pembelaan yang lain;
 إنما وليكم الله ورسوله والذين آمنوا الذين يقيمون الصلاة ويؤتون الزكاة وهم راكعون ومن يتول الله ورسوله والذين آمنوا فإن حزب الله هم الغالبون (المائدة: 55-56).
“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman yang mendirikan sholat dan menunaikan zakat seraya mereka tunduk kepada Allah dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya maka sesungguhnya pengikut agama Allah itulah yang pasti menang.”
Mengubur dalam-dalam semua jenis fanatisme walaupun sangat dekat dan kuat bila tidak sejalan dengan hubungan iman.
يا أيها الذين آمنوا لا تتخذوا آبائكم وإخوانكم أولياء إن استحبوا الكفر على الإيمان ومن يتولهم منكم فأولئك هم الظالمون (التوبة: 23).
“Hai orang-orang yang beriman ! janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudaramu pemimpin-pemimpinmu jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa diantara kamu yang menjadikan mereka pemimpin-pemimpinmu maka mereka itulah orang dholim”.
Juga dalam surat al-Mujadalah; 22.
لا تجد قوما يؤمنون بالله واليوم الآخر يوادون من حاد الله ورسوله ولو كانوا آباءهم أو أبناءهم أو إخوانهم أو عشيرتهم (المجادلة: 22).
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya sekalipun orang-orang itu bapak-bapak atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.”
Al-Qur’an membuat exercise figur Nabi Ibrahim as. bagaimana Beliau memutuskan hubungan kerabat dengan bapaknya, Azar setelah nyata-nyata dia musuh Allah.
قد كانت لكم أسوة حسنة في إبراهيم والذين معه إذ قالوا لقومهم إنا برءاء منكم ومما تعبدون من دون الله كفرنا بكم وبدا بيننا وبينكم العداوة والبغضاء أبدا حتى تؤمنوا بالله وحده إلا قول إبراهيم لأبيه لأستغفرن لك وما أملك لك من الله من شيء (الممتحنة: 4).
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia ketika mereka berkata kepada kaum mereka; sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari kekafiranmu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja, kecuali perkataan Ibrahim kepada Bapaknya; sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu siksaan Allah.”
Begitu pula Nabi Nuh dengan anaknya, Kan’an;
يا نوح إنه ليس من أهلك، إنه عمل غير صالح (هود: 46)
“Wahai Nabi Nuh, Kan’an bukanlah golonganmu. Itu adalah amal yang tidak baik.”
Melarang keras orang mukmin mengadakan persekutuan dengan musuh-musuh Allah kecuali dalam situasi terjepit dimana kelompok mukmin terpaksa berpura-pura pada kelompok kafir.
لا يتخذ المؤمنون الكافرين أولياء من دون المؤمنين. ومن يفعل ذلك فليس من الله في شيء إلا أن تتقوا منهم تقاه ويحذركم الله نفسه وإلى الله المصير (آل عمران: 28)
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena siasat memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksanya) dan hanya kepada Allah tempat kembali.”
Ayat ini menunjukkan bahwa al-Wilayah adalah membantu dan berada di barisan orang kafir, bukan yang dimaksud hubungan intim dhohir bathin. Kalau ini yang dimaksud, maka tidak ada dispensasi sama sekali, sebab walaupun kondisi kelompok Islam lemah, tapi masih mungkin menyembunyikan kebencian dan rasa pemusuhan dalam hatinya dan tidak ada yang mengetahuinya.
Kedua       : Sekuler menolak apa yang menjadi konsekuensi aqidah Islam terhadap generasinya yaitu menjalankan dan tunduk pada hukum Allah dan Rasul-Nya. Jelas dalam surat al-Ahzab; 36, al-Nur; 51, al-Nisa’; 65:
وما كان لمؤمن ولا مؤمنة إذا قضى الله ورسوله أمرا أن يكون لهم الخيرة من أمرهم ومن يعص الله ورسوله فقد ضل ضلالا مبينا. (الأحزاب: 36).
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukmin apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat yang nyata.”
إنما كان قول المؤمنين إذا دعوا إلى الله ورسوله ليحكم بينهم أن يقولوا سمعنا وأطعنا وأولئك هم المفلحون (النور: 51)
“Sesungguhnya jawaban orang-orang mu’min, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) diantara mereka ialah ucapan; “Kami mendengar, dan kami patuh,” dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
فلا وربك لا يؤمنون حتى يحكموك فيما شجر بينهم ثم لا يجدوا في أنفسهم حرجا مما قضيت ويسلموا تسليما (النساء: 65).
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”
Seorang Muslim harus mempolakan hidupnya sesuai dengan aqidah Islam nampak dalam perilaku dan pergaulannya dengan predikat apa saja, sipil atau pemerintah. Sedangkan faham sekuler menghendaki aqidah sebagai tawanan dalam penjara hati, tidak boleh mengarungi medan kehidupan dan kalau terpaksa diberi toleransi hanya akan diberi ruang, masjid-masjid, tidak boleh keluar dari garis masjid.
Jadi, kalau seorang muslim hidup di bawah cengkeraman faham sekuler, paradoks antara aqidah yang diimaninya dengan realita kehidupan yang dijalaninya. Idiologinya ketimuran praktek realitanya keBarat-baratan. Idiologinya berkata haram, sekuler berkata boleh. Idiologinya menuntut aktif bergerak, sekuler menghalanginya, begitulah keduanya tidak akan pernah hidup bersama.


Ibadah dan Sekuler
Memang sekuler tidak anti terhadap ibadah dan syiar-syiar Islam, karena merupakan bagian dari kebebasan beragama, tapi tidak menjadikannya sebagai tujuan utama atau kebutuhan primer manusia seperti firman Allah;
 وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون (الذاريات: 56)
“Aku tidak menjadikan jin dan manusia kecuali untuk menyembahku.”
Sesibuk apapun seorang muslim tetap berkewajiban melaksanakan sholat walupun dalam kondisi ketakutan di medan perang. Al-Baqarah; 238-239, al-Nisa’; 102.
حافظوا على الصلوات والصلاة الوسطى وقوموا لله قانتين . فإن خفتم فرجالا أو ركبانا فإذا أمنتم فاذكروا الله كما علمكم الله ما لم تكونوا تعلمون (البقرة: 238-239)
“Peliharalah segala sholatmu dan peliharalah sholat wustho, berdirilah karena Allah dalam sholatmu dengan khusu’. Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya) maka sholatlah sambil berjalan atau berkendaraan kemudian apabila kamu telah aman maka sebutlah Allah (sholatlah) sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.”
وإذا كنت فيهم فأقمت لهم الصلاة فلتقم طائفة منهم معك وليأخذوا أسلحتهم فإذا سجدوا فليكونوا من وراءكم ولتأت طائفة أخرى لم يصلوا فليصلوا معك وليأخذوا حذرهم وأسلحتهم ود الذين كفروا لو تغفلون عن أسلحتكم وأمتعتكم فيميلون عليكم ميلة واحدة ولا جناح عليكم إن كان بكم أذى من مطر أو كنتم مرضى أن تضعوا أسلحتكم وخذوا حذركم إن الله أعد للكافرين عذابا مهينا. (النساء: 102).
“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan sholat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri sholat besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka yang sholat yang besertamu sujud, telah menyempurnakan seraka’at, maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu untuk menghalangi musuh dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum sholat lalu sholatlah mereka denganmu dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu jika kamu mendapatkan kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit dan siap siagalah kamu sesungguhnya Allah telah menyediakan adzab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu.”
Kepedulian seperti ini jauh berbeda dengan pandangan sekuler yang membuang predikat muslim taat atau kurang taat sebagai ukuran untuk mengangkat pemimpin dengan alasan ketaatan seseorang terhadap agamanya adalah urusan pribadi, sedangkan suksesi adalah urusan social kemasyarakatan yang harus dibedakan. Sekuler juga membiarkan orang-orang yang terang-terangan meninggalkan ibadah tanpa ada kontrol social atau sanksi. Ini berbeda dengan konsep Islam yang memberi sanksi murtad atau keluar dari agama bagi mereka yang terus menerus meninggalkan sholat, menolak zakat, tidak puasa Ramadlon.
Sekuler juga tidak memandang zakat sebagai undang-undang positif dalam urusan ekonomi dan social tapi merupakan urusan pribadi. Silahkan yang mau mengeluarkan zakat dan tetap berkewajiban membayar pajak dan bagi yang tidak zakat tidak ada sanksi, padahal zakat salah satu syarat dari turunnya pertolongan Allah pada hamba-Nya.
الذين إن مكناهم أقاموا الصلاة وآتوا الزكاة (الحج: 41).
“Yaitu orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sholat dan menunaikan zakat.”

3. Akhlak dan Sekuler
Bisa ditebak, sekuler justru menjunjung nilai-nilai etika, karena hanya etikalah yang mampu mewarnai maju mundurnya peradaban manusia dan motivasi tunggal bangkitnya suatu bangsa. Manusia sebagai subyek dinamika peradaban harus membangunnya di atas nilai-nilai etika kemanusiaan yang luhur. Hipotesa inilah mungkin yang mengantarkan penyair kondang Syauqi dalam menulis syairnya.
وإنما الأمم الأخلاق ما بقيت * فإن همو ذهبت أخلاقهم ذهبوا
“Eksistensi umat adalah etika mereka, kalau akhlak mereka hancur, hancur pula umat itu.”
Jadi, kelihatannya sinkron antara Islam dan sekuler dalam masalah etika, tapi kalau dicermati secara kritis ada dua jurang yang membelah kedua idiologi ini.
Pertama    : Interaksi lawan jenis.
Islam menyikapi hal ini dan memberi solusi alternatif paling etis yaitu nikah, malarang pergaulan bebas di luar pagar saklar nikah dan menfonisnya dengan sebutan zina atau penyelewengan seksual yang bisa mengundang murka Allah dan mencoreng wajah komunitas masyarakat yang beretika dan estetika luhur.
ولا تقربوا الزنا إنه كان فاحشة وساء سبيلا. (الإسراء: 32).
“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan jalan yang buruk.”
Juga menutup rapat-rapat semua pintu menuju perzinaan, karenanya Islam mendidik generasinya untuk selalu menjaga kehormatan dan privasi diri serta memalingkan pandangan Ghoddlul Bashor.
قل للمؤمنين يغضوا من أبصارهم ويحفظوا فروجهم ذلك أزكى لهم إن الله خبير بما يسمعون. وقل للمؤمنات يغضضن من أبصارهن ويحفظن فروجهن (النور: 30-31).
“Katakanlah kepada orang-orang yang beriman hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya.”
Secara spesifik seorang muslimah diperintah untuk selalu menjaga feminisme dan keanggunannya:
-          Dalam berpakaian.
ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها وليضربن بخمرهن على جيوبهن (النور : 31).
“Dan janganlah mereka menamapkkan perhiasannya kecuali yang nampak daripadanya dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya.”
-          Dalam berbicara.
فلا تخضعن بالقول فيطمع الذي في قلبه مرض وقلن قولا معروفا (الأحزاب: 32).
“Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.”
-          Dalam berjalan dan bergerak
ولا يضربن بأرجلهن ليعلم ما يخفين من زينتهن (النور : 31)
“Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.”
Seperti larangan seorang muslim berduaan dengan seorang muslimah, seorang muslimah juga dilarang bepergian sendiri tanpa suami atau mahrom apalagi dalam situasi tidak aman.
Itulah orientasi Islam yang disambut acuh oleh sekuler Barat, bahkan mengamini pola pergaulan bebas dengan dalih kebebasan individual.

Kedua       : Asas etika
Sekuler membuang jauh-jauh agama sebagai asas etika. Menurut mereka, falsafah atau tindakan positif yang sesuai dengan model kekinian itulah yang patut menjadi asas etika, padahal etika dari sisi tolok ukur, tanggung jawab, tujuan dan motifasi bila tidak dijiwai agama, maka etika tinggal slogan saja, seperti kata politisi Inggris dalam menghadapi masalah kebejatan moral dan kehancuran ekonomi dia berkata; “tanpa undang-undang tidak akan ada suatu bangsa, tanpa etika tidak akan berwibawa suatu undang-undang dan tanpa iman tidak akan wujud suatu etika.”
Sebagian etika yang diajarkan Islam yang selalu dimusuhi sekuler dimana saja dan kapan saja adalah masalah hijab, karena dituduh kurang gaul, sok suci dan cenderung menutup diri. Padahal ini salah satu ekspresi dari kebebasan individual dan menjalankan perintah agama bagi seorang muslimah.

Syari’at dan Sekuler
Kalangan sekuler berbaris serempak mengahalangi siapa saja yang menginginkan syari’at Islam menjadi hukum positif negara. Menurut mereka, cukuplah agama berdomisili dalam hati atau di masjid, mereka beranggapan komunitas masyarakat punya pranata-pranata yang lebih social dan lebih dinamis dibanding produk-produk hukum lain. Jadi Islam tidak berhak mengatur dan menghukumi halal haram pada mereka dan inilah sabotase terang-terangan terhadap Allah Tuhan semesta alam.
Dari tinjauan ini, berarti sekuler telah menjadikan manusia sekutu Allah yang telah menciptakan manusia itu sendiri. Memang mereka mengakui kalau alam semesta ini Allah yang menciptakan, tapi hak manajemen tidak milik Allah. Padahal Islam berasaskan;
ألا له الخلق والأمر تبارك الله أحسن الخالقين (الأعراف: 54).
“Ingatlah menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah, Maha Suci Allah Tuhan semesta alam.”
Kalau ada sekuler yang sedikit toleran, mengakui Allah punya hak untuk ngatur dalam prakteknya mereka akan meralat hukum-hukum Allah dengan argumen-argumen ngawur yang tidak bisa dipertanggung jawab-kan di hadapan Allah dan akhirnya terjadilah menghalalkan apa yang diharamkan Allah atau sebaliknya.
Realitanya, konsep sekuler tak mampu menyaingi produk langit yang mengetahui secara total apa yang akan terjadi pada manusia, walaupun zaman berubah, ruang berbeda, peradaban manusia dinamis, Islam tetap eksis menyadikan menu-menu hukum yang sesuai dengan kemaslahatan manusia mengantarkannya menuju peradaban yang lebih dinamis walau sudah termakan usia 14 abad.
Islam berasaskan idiologi yang sangat kokoh bahwa Allah Maha Agung, tidak ada yang mampu bersembunyi dari ilmu Allah, zaman lampau, sekarang, akan datang sama saja menurut Allah.
وما تكون في شأن وما تتلو منه من قرآن ولا تعملون من عمل إلا كنا عليكم شهودا إذ تفيضون فيه وما يعزب عن ربك من مثقال ذرة في الأرض ولا في السماء ولا أصغر من ذلك ولا أكبر إلا في كتاب مبين.(يونس:61)
“Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari al-Qur’an dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan malainkan kami menjadi saksi atasmu diwaktu melakukan tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar atom di bumi ataupun di langit tidak ada yang lebih kecil dan tidak pula yang lebih besar dari itu malainka semua tercatat dalam kitab yang nyata (Lauhul Mahfudz).”
Hukum syari’at adalah monster paling menakutkan bagi sekuler di negeri Islam, karena Daulah Islamiyah yang mampu mengangkat Islam dari alam teori, wacana dan ilusi menuju Islam yang subyektif dan merambah dunia yang realistis. Seperangkat pranata hukum telah tertata rapi menunggu uluran tangan siapa saja yang mau meletakkannya sebagai hukum positif negara, juga akan menjaga umat dari serangan musuh seperti kata Khalifah Utsman bin Affan ra.:
إن الله ليزع بالسلطان ما لا يزع في القرآن
“Sesungguhnya Allah akan melindungi dengan suatu pemerintahan apa yang tidak mampu dilindungi oleh al-Qur’an.”

Daulah Islamiyah dan Negara Sekuler
Eksistensi Daulah dalam Islam
Imperalis Barat telah mampu menanam opini bahwa Islam adalah agama, bukan negara. Agama menurut istilah Barat adalah gereja dan kekuasaan Albaba. Mereka ingin mempraktekkan di negeri-negeri Islam Timur apa yang terjadi di Barat. Revolusi Barat baru bisa menuai kesuksesan setelah mereka membebaskan diri dari kekuasaan gereja, begitupula negeri-negeri Timur, Islam Arab kalau ingin bangkit harus melepaskan diri dari pengaruh agama, padahal Islam bukanlah gereja atau Albaba.
Sebagai exercise pragmatis adalah negara yang didirikan Kamal At-Tataruk di Turki pasca runtuhnya Khilafah Utsmaniyah yang merupakan benteng politik Islam terakhir dalam menghadapi tentara Salib dan Zionis internasional.
Keberhasilan Barat dalam mempublikasikan ide sekuler tidak hanya mampu menjajah pemikiran tokoh-tokoh politik modern, tapi juga mampu menusuk sebagian generasi yang menggeluti ilmu-ilmu agama di lembaga-lembaga pendidikan seperti Azhar University. Ini dapat dilihat dalam buku al-Islam wa Ushulul Hukmi milik Ali Abdul Raziq, salah satu pelajar al-Azhar yang mengusung ide sekuler secara total.
Karena itulah, selayaknya kita merapatkan barisan menghadang laju sekuler dan agen-agen komersialnya dengan menancapkan interpretasi bahwa sejarah adalah bagian dari Islam yang punya spesifik selalu relevan diberbagai waktu dan ruang serta dinamis mengikuti peradaban manusia.
Allah telah menurunkan kitab-Nya yang menjelaskan apa saja yang ada di alam semesta.
ونزلنا عليك الكتاب تبيانا لكل شيء وهدى ورحمة وبشرى للمسلمين. (النحل: 89)
“Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembir bagi orang-orang yang berserah diri.”

Dalil-dalil kewajiban mendirikan Daulah Islamiyah
Ide Daulah Islamiyah bukanlah penemuan baru, tapi inilah yang disuarakan lantang oleh nash-nash peristiwa-peristiwa historis serta karakter dakwah Islam yang universal.
Nash-nash Islam
إن الله يأمركم أن تؤدوا الأمانات إلى أهلها وإذا حكمتم بين الناس أن تحكموا بالعدل إن الله نعما يعظكم به إن الله كان سميعا بصيرا. يا أيها الذين آمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى الله والرسول (النساء: 58-59).
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya. Dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kamu. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha melihat. Hai orang-orang yang beriman ! taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan Ulil Amri diantara kamu kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada al-Qur’an dan Sunnah Rasul.”
Ayat pertama, seruan kepada pemerintah dan para hakim agar menjalankan amanat dan membuat keputusan yang adil, karena bila amanat dan keadilan disia-siakan kehancuran umat dan robohnya sendi-sendi bangunan masyarakat tinggal menunggu hitungan jari. Dalam hadits
إذا ضيعت الأمانة فانتظروا الساعة، قيل: كيف إضاعتها؟، قال: إذا وسد الأمر إلى غير أهله فانتظر الساعة.(رواه البخاري).
“Ketika amanat disia-siakan, maka tunggulah kehancuran umat. Ada yang bertanya; bagaimana amanat itu disia-siakan?, Nabi menjawab: bila urusan diserahkan kepada selain ahlinya, tunggulah kehancuran.”
Ayat kedua, seruan terhadap rakyat mukmin agar taat pada pemerintah dengan syarat dari kelompok mukmin juga dan ketaatan ini menempati rangking ketiga setelah taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta bila terjadi perbedaan hendaklah dikembalikan pada al-Qur’an dan al-Hadits.
Nash yang lain adalah hadits riwayat Muslim;
من مات وليس في عنقه بيعة مات ميتة جاهلية
“Barang siapa mati dan dilehernya tidak terikat suatu bai’at terhadap pemerintah, maka dia mati jahiliyah.”
Jelas termasuk perbuatan haram, seorang muslim bai’at kepada pemerintah yang tidak menjalankan hukum Islam. Sedangkan bai’at yang bisa menyelamatkan dari dosa adalah kepada pemerintah yang menjalankan hukum Allah. Dan kalau tidak ada, semua orang Islam berdosa sampai terwujudnya pemerintahan Islam, tidak ada yang bisa lepas dari dosa ini kecuali orang yang ingkar walau dalam hati dan berusaha semaksimal mungkin untuk memulai kehidupan yang islami. Dan ini tidak mungkin dilakukan sendirian, harus menggalang solidaritas saudara-saudaranya yang seperjuangan.
Fakta Historis
Rasulullah mengajak Kabilah-kabilah untuk beriman kepada Beliau serta membela dakwahnya sampai akhirnya Allah mempertemukan Beliau dengan Anshor dari Kabilah Aus dan Khozroj. Setelah Islam menyebar di kalangan Anshor, pada musim haji sebanya 73 laki-laki dan 2 wanita datang untuk bai’at kepada Rasulullah SAW. isi bai’at itu;
-         Anshor akan membela beliau seperti halnya membela diri mereka sendiri, istri-istri serta anak-anak mereka.
-         Patuh dan taat pada Rasulullah
-         Amar ma’ruf nahi anil munkar.
Dan hijrahnya Rasulullah ke Madinah tiada lain untuk membentuk masyarakat muslim yang nantinya akan berwujud Daulah Islam. pada masa itu bagi yang telah masuk Islam diwajibkan hijrah ke Madinah untuk memperkuat eksistensi Daulah, hidup di bawah naungannya serta berperang di bawah panji-panji Daulah Madinah.
والذين آمنوا ولم يهاجروا ما لكم من ولايتهم من شيء حتى يهاجروا (الأنفال: 72)
“Dan terhadap orang-orang yang beriman tetapi belum hijrah, maka tidak ada sedikitpun atasmu melindungi mereka sebelum mereka hijrah.”
Juga dalam Surat an-Nisa; 89:
فلا تتخذوا منهم أولياء حتى يهاجروا في سبيل الله (النساء: 89).
“Maka janganlah kamu jadikan diantara mereka penolong-penolongmu hingga mereka hijrah pada jalan Allah.”
Juga turun ayat yang mengancam orang-orang Islam yang memilih hidup di negara kafir. Dan konsekuensinya mereka tidak bisa melaksanakan kewajiban-kewajiban agamanya.
إن الذين توفاهم الملائكة ظالمي أنفسهم قالوا فيم كنتم قالوا كنا مستضعفين في الأرض قالوا ألم تكن أرض الله واسعة فتهاجروا فيها فأولئك مأواهم جهنم وساءت مصيرا إلا المستضعفين من الرجال والنساء والولدان لا يستطيعون حيلة ولا يهتدون سبيلا فأولئك عسى الله أن يعفو عنهم وكان الله عفوا غفورا (النساء: 97-99)
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri kepada mereka malaikat bertanya; dalam keadaan bagaiman kamu ini?, mereka menjawab; adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri Mekkah. Para malaikat berkata; bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?, orang-orang itu tempatnya neraka jahannam dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. Kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan untuk hijrah. Mereka itu mudah-mudahan Allah memaafkannya dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.”
Dan ketika Rasulullah wafat, apa yang digagas para Sahabat?, ternyata suksesi. Baru setelah Abu Bakar di bai’at, mereka mengubur jenazah Rasulullah SAW.
Tak pernah dijumpai dalam lembaran-lembaran sejarah orang Islam memisahkan agama dan negara kecuali setelah munculnya abad sekuler pada masa itu dan itulah yang dikhawatirkan Rasulullah, seperti hadits Mu’adz;
ألا إن رحى الإسلام دائرة فداروا مع الإسلام حيث دار ألا إن القرآن والسلطان سيفترقان فلا تفارقوا الكتاب ألا إنه سيكون عليكم أمراء يقضون لأنفسهم ما لا يقضون لكم فإن عصيتموهم قتلوكم وإن أطعتموهم أضلوكم قالوا: وماذا نصنع يا رسول الله؟، قال: كما صنع أصحاب عيسى ابن مريم، نشروا بالمناشر وحملوا على الخشب موت في طاعة الله خير من حياة في معصية الله. (رواه إسحاق بن راهويه).
“Ingatlah sesungguhnya lokomotif Islam akan selalu berputar, berputarlah kalian semua bersama Islam kemanapun Islam berputar. Ingatlah sesungguhnya al-Qur’an dan pemerintahan akan berpisah, maka janganlah kalian berpisah dengan kitab. Ingatlah sesungguhnya akan datang pada kalian para penguasa yang memutuskan perkara untuk mereka tidak pernah memperhatikan hak kalian. Bila kalian mendurhakai mereka, mereka akan membunuh kalian dan kalau kalian taat pada mereka, mereka akan menyesatkan kalian. Para Sahabat bertanya; apa yang harus kami lakukan wahai Rasulullah?, Nabi menjawab; seperti yang dilakukan pengikut-pengikut Isa bin Maryam, dibelah dengan gergaji dan disalib pada kayu-kayu. Mati mempertahankan taat kepada Allah lebih baik daripada hidup mendurhakai Allah.”

Karakteristik Islam
- Islam agama universal, pranata hukumnya meliputi semua aspek kehidupan. Karakter ini mustahil membiarkan urusan-urusan besar seperti negara dipegang orang-orang menyeleweng dan fasiq. Islam juga mengajarkan koordinasi dan menyerahkan tanggung jawab pada yang ahli agar tidak terjadi situasi caos disegala hal. Sebab, seperti kata orang padang pasir;
 الحق بسوء التنظيم قد يغلبه الباطل بخير التنظيم
“kebenaran tanpa koordinasi yang baik terkadang dikalahkan kebatilan yang terkoordinasi.”
Hingga dalam sholat Rasulullah memerintahkan untuk meluruskan barisan dan siapa yang paling berilmu itulah yang menjadi imam, juga dalam bepergian, Beliau menginstruksikan agar salah satu dari mereka menjadi ketua.
Ibnu Taimiyah dalam kitabnya, al-Siyasah al-Syar’iyyah berkata; wajib diketahui bahwa mengangkat pemimpin adalah termasuk kewajiban yang besar, bahkan urusan agama dan dunia tidak akan pernah beres kecuali ada pemimpin. Karena kemashlahatan manusia tidak bisa tercapai kecuali dengan berkumpul dan berinteraksi. Dan ketika sudah berkumpul dalam satu komunitas, harus ada seorang pemimpin. Sabda Nabi:
إذا خرج ثلاثة في سفر فليأمروا أحدهم. (رواه أبو داود)
“Ketika tiga orang keluar untuk bepergian, maka angkatlah salah satu dari mereka menjadi pimpinan.”
Ini warning dari Rasulullah, komunitas yang nomaden yang beranggotakan relatif sedikit yaitu tiga orang saja, diinstruksikan untuk mengangkat pemimpin apalagi komunitas yang besar dan plural seperti negara.
Dan Allah mewajibkan amar ma’ruf nahi munkar, ini tidak bisa maksimal kecuali ada power dan pemimpin. Dalam sebuah riwayat;
 إن السلطان ظل الله في الأرض
“Sesungguhnya pemerintah adalah bayang-bayang Allah di bumi-Nya.”
Ulama-ulama salaf seperti Fudloil bin ‘Iyadl, Ahmad bin Hanbal dan lainnya berkata;
 لو كانت لنا دعوة مستجابة لدعونا بها للسلطان
“Seandainya kami punya do’a yang mustajabah, maka kami akan mendo’akan penguasa.”
karena Allah akan memperbaiki tatanan manusia dalam skala makro disebabkan adilnya seorang pemimpin.
- secara metodologi Islam ingin menjadi subyek dan menghegemoni percaturan kehidupan. Jadi tidak cukup dikhutbahkan, dimauidlohkan juga tidak cukup dengan meletakkan konsep-konsep hukum serta ajaran-ajarannya yang ada diberbagai media ke dalam hati individual-individual muslim, dan ketika hatinya mati atau sakit, Islam gulung tikar.
 Sebagian manusia ada yang cukup menerima petunjuk dari al-Qur’an atau akal sehat, tapi ada sebagian yang tidak berhenti dari kemunkaran-nya kecuali dengan ancaman pedang.
لقد أرسلنا رسلنا بالبينات وأنزلنا معهم الكتاب والميزان ليقوم الناس بالقسط، وأنزلنا الحديد فيه بأس شديد ومنافع للناس (الحديد: 25).
“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca keadilan supaya manusia dapat melaksana-kan keadilan dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia.”
Ibnu Taimiyah berkata; barang siapa menyeleweng dari tuntunan kitab maka akan diluruskan dengan besi.
Kalau nash-nash dan fakta historis Rasulullah dan Sahabatnya dianggap kurang jelas, maka karakteristik risalah Islam sendirilah yang menuntut wujudnya Daulah Islamiyah.

Daulah Islamiyah bukan Daulah Diniyah
Ada jurang pemisah antara negara Islam dengan negara agama. Seperti yang dikenal kalangan salib Barat pada abad-abad pertengahan. Pemicunya adalah kesalahpahaman antara kata Islam dan agama. Banyak yang menganggap bahwa semua yang berbau Islam itu adalah agama, tapi kenyataannya Islam itu lebih luas dari agama. Sampai ulama ushul memasang kata al-Din sebagai salah satu lima unsur fundamental (Kulliyatul al-Khomsi) yang dilindungi oleh syari’at, yaitu; agama, nyawa, akal, keturunan dan harta.
Kita ambil contoh, lembaga pendidikan Islam terlengkap, di sana tidak hanya materi agama saja yang disajikan, tapi juga ada materi-materi aqliyah, kesehatan jasmani, etika, militer, social kemasyarakatan, ekonomi, politik, sains, sastra, ketrampilan, kesenian dan lain-lain. Jadi, materi agama adalah salah satu cabang dari cabang-cabang pendidikan islamiyah yang banyak.
Berarti salah fatal kalau dikatakan bahwa negara Islam yang kita dengung-dengungkan itu adalah negara agama dan yang benar adalah negara modern yang terbentuk dari proses pemilihan umum, bai’at, musyawarah mufakat, tanggung jawab pemerintah kepada rakyatnya dan setiap individu berhak menasehati penguasa.
Seorang pemimpin dalam daulah islamiyah, kekuasaannya tidak absolut. Di sana ada hukum syari’at yang membatasinya. Hukum-hukum ini bukan dia atau partainya atau tim suksesnya yang merancang, tapi; Robbinnas, Malikinnas, Ilahinnas, siapa saja tidak boleh mengganggu gugat hukum-hukum itu.
Seorang muslim atau muslimah bila diperintahkan melaksanakan perkara yang jelas-jelas melanggar hukum agama, berkewajiban menentang perintah itu. Karena bila terjadi pertentangan antara hak Allah dan hak pemerintah, maka hak Allah harus didahulukan. Al-Qur’an ketika menceritakan bai’at sahabat-sahabat wanita pada Rasulullah dalam satu butirnya; ‘Taat dan tidak maksiat pada Nabi’, masih membatasinya; ولا يعصينك في معروف (الممتحنة: 12) (dan wanita-wanita itu tidak mendurhakaimu dalam kebajikan). Batasan ini (Fi Ma’rufin) untuk seorang pemimpin yang ma’shum, yang selalu dikontrol wahyu, apalagi selain Beliau. Dalam hadits: إنما الطاعة في المعروف (متفق عليه) (Taat hanya dalam kebajikan.)
Abu Bakar berkata;
أطيعوني ما أطعت الله فيكم ، فإن عصيته فلا طاعة لي عليكم إن أحسنت فأعينوني وإن أسأت فقوّموني.
“Taatlah kalian semua padaku selama aku mentaati Allah dalam mengurusi kalian. Kalau aku mendurhakai Allah, maka kalian tidak boleh mentaatiku. Bila aku berbuat baik, bantulah aku dan jika aku menyeleweng luruskanlah aku.”
Jadi, hakim atau penguasa dalam Islam bukanlah wakil Allah, tapi wakil umat. Merekalah yang memilih, meminta pertanggung jawabannya, melengserkannya kalau ada faktor-faktor yang menuntut untuk dilengserkan. Khalifah Umar bin Khattab berkata; من رأى منكم فيّ اعوجاجا فليقوّمني (Barang siapa diantara kamu melihatku menyeleweng, maka luruskanlah aku).
Seorang perempuan membantah pendapat Umar ketika sedang berpidato, Beliau menganjurkan agar mahar perempuan tidak terlalu mahal, perempuan itu membaca ayat;
وإن أردتم استبدال زوج مكان زوج وآتيتم إحداهن قنطارا فلا تأخذوا منه شيئا (النساء: 20)
“Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedangkan kamu telah memberikan kepada seseorang diantara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun.”
Lalu Umar mencabut pendapatnya, lalu mengikuti pendapat perempuan tadi.
Abu Muslim al-Khoulany, seorang faqih Tabi’i datang pada Khalifah Mu’awiyyah dan menyapanya السلام عليك أيها الأجير (salam untukmu wahai buruh), orang-orang di sekitar Muawiyyah langsung beraksi, tapi Abu Muslim mengulangi salamnya lagi. Apa yang diucapkan Muawiyah?, دعوا أبا مسلم فهو أعلم بما يقول (Biarkan Abu Muslim, dia lebih tahu dengan apa yang diucapkannya).
Umar bin Abdul Aziz setelah menjadi Khalifah berkata; إنما أنا واحد منكم غير أن الله جعلني أثقلكم حملا (Aku hanyalah satu diantara kamu, hanya saja Allah telah menjadikan bebanku paling berat).
Sholahuddin al-Ayyubi juga berkata; إنما أنا عبد الشرع وشحنته (Aku hanyalah budak Syari’at dan pengawalnya).

Pengkaburan Pemahaman Daulah Islamiyah identik dengan daulah diniyah
Pemicunya adalah:
1. Pemikiran al-Hakimiyyah (pemegang keputusan hukum)
Yang pada dekade kekinian digagas oleh Abu A’la al-Maududy, Pakistan dan Sayyid Qutub, Mesir. Inti ide ini adalah hukum itu milik Allah, bukan milik manusia, alam semesta ini kekuasaan Allah, jadi siapapun tidak berhak ikut campur.
إن الحكم إلا لله أمر ألا تعبدوا إلا إياه (يوسف: 40)
“Keputusan itu hanya milik Allah, Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia.”
Neo Khawarij-kah?
Mayoritas penulis tentang al-Hakimiyah, yang digagas Maududy dan Sayid Qutub mengidentikkannya dengan kelompok Khawarij yang menentang Imam Ali karena Beliau menerima usulan at-Tahkim (mengambil jalan hukum dengan cara diplomasi). Mereka mengumandangkan La Hukma Illa Allah, lalu Imam Ali membantahnya;
كلمة حق يراد بها باطل !، نعم، لا حكم إلاالله ولكن هؤلاء يقولون لا إمرة إلا لله ولا بد للناس من أمير بر أو فاجر.
“Kalimat haq tapi dikehendaki bathil. Ya, La Hukma Illa Allah, tapi mereka sebetulnya bermaksud, tidak ada kepemimpinan kecuali Allah, padahal manusia harus punya pemimpin, adil atau fasiq.”
Makna seperti tadi kemudian diperjelas oleh Ibnu Abbas dalam diplomasinya dengan kelompok Khawarij. Ibnu Abbas membacakan ayat;
وإن خفتم شقاق بينهما فابعثوا حكما من أهله وحكما من أهلها إن يريدا إصلاحا يوفّق الله بينهما (النساء: 35).
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakim dari keluarga laki-laki dan seorang hakim dari keluarga perempuan. Jika kedua hakim itu bermaksud mengadakan perbaikan niscaya Allah memberi taufiq kepada suami istri.”
Ayat ini begitu jelas bahwa Allah telah memberi kuasa hukum kepada manusia, dalam hal ini wakil (Hakaman) dari suami dan istri untuk menyelesaikan masalah mereka dan akhirnya sebagian dari mereka bertaubat.
Pemahaman Khawarij yang kontraversional terhadap al-Hukmu wal Hakimiyyah terlanjur menjadi monumen sejarah dan tidak ada lagi kelompok atau pemikir yang mengulangi pemahaman mereka sampai kelompok Khawarij sendiri dan sekte-sekte pecahannya. Sebab, kenyataannya mereka berperang mengorbankan harta dan nyawanya hanya untuk merebut kekuasaan.
Adapun al-Hakimiyyah dalam epistimologi syari’at adalah Allah-lah yang membuat hukum untuk kemashlahatan makhluk-nya, memerintah dan melarang, menghalalkan dan mengharamkan, makna seperti ini bukanlah inovasi baru al-Maududy atau Sayyid Qutub tapi itu sudah menjadi opini publik umat Islam dan karena itulah Imam Ali tidak mengingkari perkataan Khawarij; La Hukma Illa Lillah, tapi motif dibelakang ucapan itu yang diserang Beliau.
Al-Hakimiyah versi Ulama’ Ushul Fiqh
Seperti Imam Ghozali dalam kitab al-Mustashfa, pada pembahasan al-Hakim beliau berkata; “Tiada hukum kecuali milik Allah, hukum Rasul, tuan terhadap budaknya, makhluk dengan makhluk yang lain, semuanya adalah hukum Allah”. Masih dalam pembahasan al-Hakim beliau berkata; adapun hak harus terlaksananya suatu hukum, hanya dimiliki dzat yang mencipta dan memerintah. Sedangkan Nabi, penguasa, bapak, suami, ketika memerintah dan mewajibkan maka tidak wajib melaksanakan perintahnya sebab mereka yang mewajibkan, tapi dikarenakan Allah mewajibkan untuk taat pada mereka. Tanpa faktor ini akan terjadi setiap makhluk mewajibkan sesuatu pada makhluk lain dan bisa saja yang diperintah ganti memerintah. Karena salah satunya tidak ada nilai lebih dari yang lain. Jadi yang wajib taat pada Allah dan pada orang-orang yang diwajibkan Allah untuk mentaatinya.
Al-Hakimiyah versi Maududy dan Qutub
Gagasan mereka tentang al-Hakimiyah, bukan berarti Allah-lah yang memberi kuasa hukum pada ulama’ dan pemerintah untuk membuat hukum atas nama Allah, tapi yang dimaksud adalah Allah-lah penetu hukum, adapun urusan kekuasaan politik, diserahkan pada umat, merekalah yang memilih pemimpinnya, mengawasi etos kerjanya, meminta pertanggungjawabannya, bahkan melengserkannya. Ini penting dibedakan, kalau tidak, maka terjadi pemahaman yang kabur dan menyesatkan.
Jadi, makna al-Hakimiyah bukanlah propaganda negara otokrasi (Daulah Diniyah), bahkan itulah yang diperangi Maududy maupun Qutub. 

Statemen Qutub tentang al-Hakimiyah
Kekuasaan Allah di bumi tidak dengan cara memberi kuasa hukum kepada segelintir orang (tokoh-tokoh agama), seperti kekuasaan Vatikan, juga bukan orang-orang yang mengatasnama-kan Tuhan seperti negara otokrasi ketuhanan yang sacral, tapi syari’at Allah-lah yang menjadi penentu hukum dan semua perintah bersumber pada Allah sesuai dengan apa yang telah ditetapkan dan dijelaskan dalam syari’at.

Statemen Maududy tentang al-Hakimiyah
Sebagian orang mengambil penggalan statemen Maududy dan menginterpretasikannya tidak sesuai dengan yang dikehendaki beliau serta membuat konklusi hukum dan hipotesa-hipotesa yang tidak pernah beliau ucapkan juga tidak selaras dengan alur-alur pemikiran-pemikiran dakwah beliau yang tersebar dalam puluhan buku, surat, makalah, forum-forum seminar. Kalamullah dan kalam Rasul-Nya saja bila diambil sepenggal, akan membuat pemahaman yang rancu, apalagi kalam manusia.
Maududy menjelaskan keistimewaan-keistimewaan demokrasi Barat, lalu beliau berkata; “kau lihat, bahwa demokrasi bukan dari Islam, maka negara Islam tidak betul disebut sebagai negara demokrasi. Yang betul adalah sebutan negara ketuhanan atau otokrasi”.
Lalu beliau meneruskan ulasannya, tapi otokrasi Eropa berbeda jauh dengan negara otokrasi Islam. Sebab di Eropa yang terjadi adalah segelintir orang-orang membuat undang-undang sesuai hawa nafsu dan kepentingan-kepentingan politik mereka, lalu mengintimidasi rakyatnya untuk melaksanakan undang-undang itu dengan mengatasnamakan Tuhan dan system negara seperti ini lebih pantas diberi predikat negara kesetanan daripada negara ketuhanan.
Adapun otokrasi yang dibawa Islam, di sana tidak ada praktek diktatorisme dari kelompok atau lembaga tertentu bahkan diserahkan kepada umat Islam secara umum. Merekalah yang mengurusi kepentingan-kepentingannya sesuai dengan tuntunan al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Kalau saya (Maududy) diperkenankan membuat istilah baru, maka saya memilih kalimat otokrasi yang demokratis atau negara ketuhanan yang demokratis. Karena umat Islam punya wewenang menentukan hukum walaupun dibatasi hukum Allah yang Maha Kuasa. Umat Islam-lah yang memilih dan menetapkan lembaga eksekutif, juga mereka berhak melengserkannya, begitu pula semua masalah yang dalam hukum syari’at terdapat hukum yang jelas tidak bisa dilaksanakan kecuali atas persetujuan mutlak umat Islam dan ketika membutuhkan penjelasan undang-undang atau nash-nash Syara’, maka tidak diserahkan kepada kelompok atau keluarga tertentu, tapi dipersilahkan kepada siapa saja yang kadar keilmuannya cukup untuk berijtihad.
Dan dari tinjauan inilah negara Islam disebut demokrasi dan itulah yang mestinya dipahami dari kumpulan statemen Maududy. Berarti al-Hakimiyah yang dimaksud adalah al-Tasyri’iyyah Lillahi Wahdah (kekuasaan absolut yang tidak dibatasi oleh ‘apa’ dan ‘siapa’) dan ini merupakan bukti ke-Esa-an Allah.
Kekuasaan dengan arti seperti ini tidak menafikan manusia punya hak untuk membuat hukum-hukum yang sesuai dengan izin Allah. Dan yang dilarang adalah membuat hukum yang tidak ada license dari Allah seperti hukum agama yang murni (mahdhoh) dengan cara membuat hukum-hukum baru tentang ibadah dan syi’ar-syi’ar atau dengan menambah ibadah yang telah ditetapkan sesuai dengan manusia atau mengurangi kwalitas dan kwantitas-nya, mengganti waktu, tempat dan bentuknya, juga masalah halal dan haram dengan menghalalkan apa yang diharamkan Allah atau sebaliknya. Dan inilah yang disebut Nabi termasuk jenis ar-Rububiyah sebagai tafsiran ayat yang menceritakan Ahli Kitab.
اتخذوا أحبارهم ورهبانهم أربابا من دون الله (التوبة : 31).
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah.”
Juga membuat yang bertentangan dengan nash-nash shohih yang transparan seperti undang-undang yang melegalisasi kemunkaran.
Adapun selain itu semua, umat Islam berhak membuat hukum untuk mereka sendiri dan tentunya terbatas pada ruang lingkup masalah-masalah yang tidak ada nashnya yang disebut dalam hadits; وما سكت عنه فهو عفو. (رواه الحاكم) (Dan masalah-masalah yang didiamkan oleh Syara’ adalah dima’fu). Begitu pula masalah-masalah yang nashnya hanya sebatas kaidah-kaidah umum bukan hukum-hukum yang terperinci seperti masalah Syuro (musyawaroh mufakat) dan berpijak dari nash-nash umum ini, umat Islam bisa mengembangkan sayap hukum dalam skala yang makro sebagai solusi problem kehidupan mereka, baik social kemasyarakatan, ekonomi dan politik tanpa ada pagar pembatas kecuali substansi-substansi dan kaidah hukum secara umum مقاصد الشريعة الكلية وقواعدها العامة dan semuanya dalam koridor mengambil mashlahat-mashlahat (Jalbul Masholih), menolak mafsadah (Dar-ul Mafasid) serta memenuhi kebutuhan individual atau komunitas masyarakat (Hajatunnas) seperti undang-undang lalu lintas, pelayaran, penerbangan, perkebunan, kesehatan, pertanian dll. yang masuk dalam ruang lingkup politik atau juga pembatasan perkara-perkara mubah seperti Umar melarang menyembelih hewan pada hari-hari tertentu.

2. Kalimat yang diucapkan Khalifah Utsman bin Affan ra.
Ketika Beliau diembargo para demonstran, yaitu; لا والله، إني لن أنزع رداء سربلنيه الله (Demi Allah, saya tidak akan melepas baju yang telah disandangkan Allah kepadaku). Ucapan Utsman ini ditanggapi ngawur oleh penulis liberal sekuler, katanya; teori negara ketuhanan (otokrasi) berakar dari ucapan Utsman tadi, mayoritas pemikir politik Islam berpendapat bahwa Allah-lah yang mengangkat Khalifah (pemimpin negara), rakyat tidak berhak melengserkannya dan minoritas pemikir berpendapat rakyatlah sumber kekuasaan, merekalah yang mengangkat dan melengserkan pemimpin. Dan pendapat ini yang diadopsi Mu’tazilah klasik, mungkin juga kelompok ini dijuluki Mu’tazilah karena sikap daulah Islamiyah pada mereka yang minor dan reaksi mereka terhadap daulah islamiyah sebagai single mayority.
Itulah tanggapan seorang penulis liberal sekuler untuk membodohi umat. Sekarang, mari kita buka lembaran sejarah untuk membongkar kebodohannya. Dalam catatan sejarah, tidak ditemui beliau menjalankan kekuasaannya dengan mengatasnamakan Tuhan, bahkan yang tertulis di sana adalah beliau dibai’at umat Islam dengan syarat melaksanakan roda pemerintahan di bawah naungan hukum-hukum yang termaktub dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul serta mengikuti jejak langkah dua Khalifah sebelumnya, Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Juga ada riwayat Beliau pernah berkata; أمري لأمركم تبع (Urusanku mengikuti urusan kalian) dan lagi, lihatlah masa demonstran memblokade rumah beliau, menuntut agar segera turun dari jabatan Khalifah, karena mereka tidak setuju dengan kebijakan-kebijakan beliau dalam mengendali-kan negara. Tidak ada riwayat beliau berkata; kekuasaan Tuhan ada di tanganku, kalian tidak punya hak selain tunduk. Bahkan hanya dengan logika ilmiah beliau membela diri dan kekuasaannya, tidak mengaku-ngaku sebagai wakil Tuhan.
Adapun kalimat; قميص سربلنيه الله لا أخلعه, ada riwayat dari Imam Ahmad dan Turmudzi, itu adalah wasiat Nabi kepada Utsman. Beliau berkata; إن الله لعله يقمصك قميصا فإن أرادك أحد على خلعه فلا تخلعه (ثلاث مرات) (Sesungguhnya Allah akan menyandangimu pakaian, kalau ada yang merebutnya jangan sekali-kali kau lepaskan).
Berpijak dari sini, berarti sikap Utsman adalah melaksanakan wasiat Rasulullah SAW. dan kalau sebagian orang menganggap riwayat tidah sah, maka apa yang diucapkan Utsman itu dimaksudkan agar Khilafah tidak menjadi barang mainan orang-orang ambisius terhadap kekuasaan dan memang kenyataannya masa demonstran itu bukanlah lembaga yang berkepentingan mengurusi bongkar pasang pemimpin Ahlul Halli wa al-Aqdi sehingga mengharuskan Utsman untuk menyerahkan jabatan dan menerima keputusan mereka.
Menurut apa yang diriwayatkan Imam al-Thobari dan Ibnu Katsir bahwa beliau menolak melepas keKhalifahan karena khawatir membiarkan umat bertikai merebutkan kekuasaan dan mengangkat orang-orang yang ambisius kekuasaan. Akhirnya terjadi pembunuhan dan kerusakan di mana-mana.
Utsman bin Affan sang Khalifah yang teraniaya membela diri dengan menceritakan bagaimana beliau dibai’at dulu dan beliau tahu betul bahwa orang-orang yang membai’atnya dulu tidak ada yang membatalkan bai’atnya dan orang-orang yang mendemo dan menuntut lengser adalah kelompok barisan sakit hati dan ambisius. Beliau juga melihat kobaran api fitnah siap menghancurkan eksistensi umat dan ketika beliau menolak para demonstran berarti beliau telah siap mengorbankan dirinya demi persatuan umat. Padahal bisa saja beliau memerintahkan pendukung-pendukung beliau untuk menghadang para demonstran, karena di sana telah berkumpul sahabat-sahabat pemberani, Anshor dan Muhajirin serta anak-anak mereka. Datang juga Hasan dan Husain serta Ibnu Umar berdiri dekat beliau siap membela, tapi apa yang dikatakan beliau?, aku tidak butuh itu, serta mencegah menghunus senjata sesama umat Islam, kemudian dia menghadap Allah dan meneruskan membaca al-Qur’an sampai akhirnya para demonstran masuk dan membunuh beliau.
Apakah mungkin dapat dinalar ucapan beliau seperti tadi dipahami sebagai pemegang hukum Tuhan yang berkuasa absolut terhadap manusia, kemudian dengan rela hati beliau mengorbankan nyawanya tanpa pembelaan sama sekali dan dituduh sebagai penguasa otokrasi?.
Adapun komentar yang mengatakan Utsman-lah peletak batu pertama terjadinya perpecahan opini umat tentang pemikiran politik Islam dan akhirnya memunculkan kelompok Mu’tazilah yang minoritas. Ini adalah ucapan orang yang buta terhadap sejarah Islam, tokoh-tokoh pemikir Islam atau kefahamannya dangkal disertai hawa nafsu dan kenyataannya jauh sekali dengan yang diucapkan.
Pertama    : Mayoritas umat (Ahlussunnah wal Jama’ah) berpendapat bahwa; termasuk hak umat bahkan kewajiban umat untuk memilih pemimpinnya yang dalam pelaksanaannya diserahkan pada dewan formatur (Ahlul Halli wa al-Aqdi), mengoreksi kebijaksanaan-kebijaksanaannya, bahkan melengserkan kalau tidak dikhawatirkan terjadinya kemunkaran yang lebih besar dan wajib hukumnya melawan pemerintah yang jelas-jelas melakukan kekufuran.
Inilah opini mayoritas umat Islam, bukannya miliknya minoritas Mu’tazilah seperti kata penulis liberal, sampai Ali bin Abdul Rasyid sendiri dalam bukunya, al-Islam wa Ushul al-Hukmi yang banyak memberi inspirasi pemikiran liberal sekuler, mengikuti pendapat ini.
Kedua       : Mencampur aduk interaksi pekerjaan hamba (Af’alul Ibad) yang seluruhnya milik Allah ditinjau bahwa Allah-lah yang memiliki kehendak absolut,
 تؤتي الملك من تشاء وتنزع الملك ممن تشاء وتعز من تشاء وتذل من تشاء (آل عمران: 26)
“Engkau Allah yang memberi kekuasaan pada orang yang Kau kehendaki, dan mencopot kekuasaan dari orang yang Kau kehendaki, Engkau memulyakan orang yang Kau kehendaki dan menghinakan orang yang Kau kehendaki.”
Dan ini merupakan opini publik muslim dengan masalah tanggung jawab hamba terhadap pekerjaannya kepada Allah, walaupun itu juga termasuk kehendak dan ciptaan Allah (berbeda dengan Mu’tazilah).
Ahlussunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa kehendak dan Qodar Allah tidak bisa menggugurkan tanggung jawab manusia, karenanya ada perintah amar ma’ruf nahi munkar, ada sanksi-sanksi hukum, pahala dan siksa, surga dan neraka.
Adapun klaim tentang julukan Mu’tazilah itu tuduhan tidak beralasan, tidak ada diantara para arkeolog, sekte-sekte Islam yang berkata seperti itu, mulai kalangan klasik seperti Ibnu Hazm, Suhrostany, al-Baghdady, sampai Ahmad Amin. Bukti konkrit dari kebohongan ini adalah justru Mu’tazilah-lah yang membuat catatan hitam dalam sejarah pada masa Abbasiyyah, tepatnya Khalifah Ma’mun, Mu’tashim dan Watsiq, merekalah yang membunuh suara oposisi anti Mu’tazilah dengan cambuk, penyiksaan dan kurungan penjara. Isu yang mencuat saat itu adalah idiologi al-Qur’an makhluk made in Mu’tazilah. Mereka inilah yang mestinya lebih pantas disebut menjalankan pemerintahan dengan model otokrasi, kebenaran hanya milik Mu’tazilah. Para oposan yang anti al-Qur’an makhluk dihabisi, sampai Imam Ahmad bin Hambal ikut menjadi korban.
Ketiga       : Orang-orang yang mendemo Utsman bukanlah mayoritas umat, juga bukan kelompok intelektual yang punya pengaruh pada arus bawah. Tapi mereka adalah pecundang yang terprovokasi oleh aksi orang macam Abdullah bin Saba’ dan mereka inilah benih abadi dari kelompok yang berasumsi bahwa kekuasaan itu hanya dimiliki oleh Dinasti tertentu secara turun temurun dengan system otokrasi.

3. Ucapan Khalifah Abu Ja’far al-Mashur
Dalam Khutbah yang disampaikan beliau di Mekah,
أيها الناس، إنما أنا سلطان الله في أرضه ، أسوسكم بتوفيقه وتسديده وتأييده وحارسه على ماله أعمل فيه بمشيئته وإرادته وأعطيه بإذنه فقد جعلني الله عليه قفلا، إن شاء أن يفتحني فتحني، لإعطائكم وقسم أرزاقكم، وإن شاء أن يقفلني عليها أقفلني.
“Wahai manusia ! Aku adalah penguasa yang mewakili Allah di bumi-Nya, aku mengatur kalian dengan pertolongan-Nya juga menjaga harta-Nya dengan kehendak-Nya, aku menjalankan harta-Nya, aku memberi dengan izin-Nya. Allah telah memberi kuncinya padaku, bila Allah menghendaki membukanya maka akan aku buka untuk memberi dan membagi rizqi kalian. Dan bila menghendaki untuk menutupnya, maka akan aku kunci.”
Pemikir liberal sekuler mengambil ucapan al-Manshur ini dari buku al-Islam wa Ushulul Hukmi, dan pada catatan kakinya ada keterangan diambil dari buku al-Iqdul Farid fi al-Adab karangan Ibnu Abdi Robah al-Andalusy.
Apa mungkin memutuskan masalah-masalah hukum fiqh diambil dari buku sastra?, kalau memang riwayat benar dari Manshur, maka itu adalah ucapan Manshur, tidak ada konsekuensi hukum sama sekali. Sebab kita tidak diperintah mengikuti ajaran al-Manshur. Ucapannya juga tidak bisa dijadikan hujjah.
Ini kalau kita ambil leterlek-nya dan memahaminya secara miring, padahal kalimat tersebut mungkin untuk dita’wil dengan dipahami bahwa beliau sebagai pelaksana hukum Allah di bumi-Nya, bukannya beliau mempunyai hak otoritas ketuhanan.
Bagaimana mungkin disalahkan pemahaman ini, padahal ketika ada sebagian kaum muslimin yang memberi nasehat, memerintah dan melarangnya beliau tidak berkata; Saya terjaga dari kesalahan atau aku punya hak otokrasi ketuhanan, seperti yang ditulis Ibnu Asakir dalam kitab tarekhnya diriwayatkan dari Abdullah bin Sholeh, Manshur menulis surat kepada Siwar bin Abdillah, hakim Bashrah; lihatlah tanah yang menjadi pensengketaan antara seorang panglima dan saudagar, serahkanlah pada panglima, lalu Siwar membalas suratnya bahwa bukti menunjukkan tanah ini milik saudagar; aku tidak bisa melepaskannya untuk panglima kecuali ada bukti, lalu al-Mashur menulis surat lagi, Demi Allah serahkanlah pada panglima, Siwar membalasnya; Demi Allah aku tidak akan melepas tanah ini dari tangan saudagar kecuali dengan cara yang benar. Dan ketika surat Siwar datang kepadanya, Manshur berkata; demi Allah aku telah meratakan bumi dengan keadilan dan hakimku telah mengembalikan aku kepada kebenaran.
Juga catatan Imam Suyuthi dalam kitab Tarikhul Khulafa’, seorang rakyat mengingatkan al-Manshur yang sedang berpidato, lalu beliau menjawab; selamat datang, kau telah mengingatkan dan menakut-nakuti orang besar dan aku berlindung pada Allah dari dijadikannya termasuk orang yang ketika diucapkan padanya; takutlah pada Allah, dia malah merasa bangga dengan dosa.
Itulah Kholifah al-Manshur, apakah mungkin beliau dituduh sebagai penguasa otokrasi ketuhanan?.

4. Eksperimen Revolusi Iran.
Seperti yang dituduhkan mereka bahwa Iran adalah salah satu wajah negara Islam yang otoriter, tokoh-tokoh agama di sana yang memegang roda pemerintahan berjuluk Ayatullah atau Mullah. Argumen seperti ini juga tidak masuk akal, sebab;
-          Hukum dan madzhab Iran yang Syi’ah berseberangan dengan Ahlussunnah yang merupakan mayoritas umat Islam. Tidak hanya sebatas forum, tapi juga aqidah fundamental.
-          Al-Imamah menurut mereka adalah termasuk masalah Ushuluddin dan Aqidah. Sedangkan menurut ahlussunnah adalah masalah Amaliyah dan Furu’.
-          Al-Imamah menurut mereka bersumber dari nash, sedang menurut Ahlussunnah adalah hasil Ijtihad (pemilihan).
-          Al-Imam menurut mereka ma’shum. Menurut Ahlussunnah, manusia yang kadang salah dan benar.
-          Al-Imam menurut mereka naik derajatnya pada maqom yang tidak bisa diraih oleh malaikat yang dekat dengan Allah, juga Nabi utusan. Sedang menurut Ahlissunnah seperti yang dikatakan Abu Bakar al-Shiddiq, إني وليت عليكم ولست بخيركم (aku memerintah kalian bukannya aku lebih baik dari kalian), juga Umar bin Abdul Aziz, إنما أنا واحد منكم غير أن الله جعلني أثقلكم حملا (aku hanyalah salah satu dari kalian, hanya saja Allah telah menjadikan bebanku paling berat dibanding kalian).
-          Al-Imam menurut mereka tidak boleh dilengserkan. Sedang menurut Ahlissunnah umatlah yang mengangkat dan melengserkan Imam.
Itulah sederet keyakinan-keyakinan orang Syi’ah yang berseberangan dengan aqidah Ahlissunnah, tapi yang jadi masalah adalah apakah Imam yang berpredikat ma’shum dalam pemerintahan Iran itu sekarang ada?, atau predikat itu hanya fakta historis yang habis masanya dengan menghilangnya Imam ke 12 sejak 12 abad yang lalu?, apa komentar pemerintah Iran sekarang, juga bagaimana undang-undang negara mereka dan apa sekarang peristiwa yang terjadi di sana?.
Dalam buku Akdzubatul Hukmi al-Ilahi milik Fahmi Huwaidy, sebuah paket untuk mencounter kalangan sekuler yang menuduh Islam sebagai agen tunggal teori negara otokrasi ketuhanan dengan Iran sebagai argumen kuat menurut mereka, dia berkata; “Mereka kalangan sekuler sering berdalih dengan eksperimen Iran, bahwa di sanalah negara otokrasi ketuhanan yang dipegang para tokoh-tokoh agama dan ini adalah perbandingan yang amburadul.
Pertama    : Iran adalah penganut Syi’ah, sedangkan kurang lebih tiga seperempat muslim dunia adalah penganut Ahlussunnah. Padahal kedua madzhab ini ada perbedaan krusial, khususnya masalah Imamah.
Kedua       : Pemerintahan Iran tidak mengakui kalau system pemerintahannya otokrasi. Ini tuduhan tanpa bukti, hanya saja memang di sana para cendekiawan muslim Syi’ah yang mengatur urusan perpolitikan negara, bukan urusan agama dan yang terpenting adalah memang Syi’ah Imamiyah berpendapat; Imam berpredikat Ma’shum. Tapi ini hanya khusus untuk Imam-imam dari keturunan Rasulullah (Fatimah, Husain) dan pada masa vakum (menurut aqidah mereka Imam ke-12 hilang) maka yang memegang kekuasaan berstatus wakil dari Imam dan tidak punya predikat ma’shum. Pemerintah Iran tidak berpendapat bahwa yang menentang mereka adalah musuh Allah, tapi hanya sebatas menentang undang-undang negara. Kabinet negara bertanggung jawab penuh di hadapan wakil rakyat (parlemen), tidak ada diantara mereka yang kebal hukum, sampai pernah terjadi sekitar tahun 1984, parlemen mencopot tujuh menteri sekaligus. Juga undang-undang di sana seorang perdana menteri (wakil Imam) dan presiden diangkat melalui proses pemilihan umum. Ini semua membuktikan bahwa ternyata di Iran tidak ada otokrasi ketuhanan.

Pemahaman Politik Moderat
- Pembatasan masa jabatan Kepala Negara
Ada sebuah opini bahwa pembatasan masa jabatan kepala negara hukumnya Haram, karena umat Islam sejak zaman Khalifah Abu Bakar tidak pernah ada batasan jabatan dan khususnya pada masa pemerintahan Khulfarrosyidin yang kita diperintahkan mengikuti ajaran dan perilakunya. Nabi sendiri mengingatkan kita agar tidak berbuat bid’ah, karena seperti dalam hadits; كل بدعة ضلالة (setiap bid’ah itu sesat), dan pembatasan masa jabatan kepala negara ini bisa dikategorikan bid’ah.
Ada sebuah pembahasan menarik dalam kitab al-Fiqhu al-Daulah milik Dr. Yusuf al-Qordlowy, beliau berkata; kita sebelum diperintah mengikuti ajaran Khulfa’ al-Rosyidin kita telah diperintah mengikuti ajaran Rasulullah yang merupakan referensi hukum kedua setelah al-Qur’an. Dalam hadits Irbath Nabi bersabda; عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين(berpegang teguhlah pada sunnahku dan ajaran khulafaurrosyidin). Dalam hadits ini, ajaran Nabi didahulukan baru ajaran Khufa’ al-Rosyidin.
Sudah maklum bahwa sunnah Nabi adalah ucapan, pekerjaan dan Iqror beliau. Perilaku Nabi secara khusus tidak berkonsekuensi hukum wajib dengan sendirinya, tapi hanya sebatas anjuran melaksanakan dan hukumnya mubah sepanjang tidak ada dalil lain yang menunjukkan kesunnahan atau kewajiban. Karenanya kita melihat sebagian Khulafa’ al-Rosyidin ada yang berbeda dengan perilaku Nabi, ketika mashlahat pada zaman Nabi telah berubah pada masa setelahnya. Seperti Nabi membagi-bagikan tanah Khaibar pada tentara perang, sedangkan Umar setelah berhasil menaklukkan Iraq, beliau tidak membagikannya pada tentara, karena menurut beliau yang lebih mashlahat pada zamannya tidak demikian dan seketika itu pula para sahabat protes, apalagi pendapat Umar ini bertentangan dengan leterlek keumuman ayat;
واعلموا أنما غنمتم من شيء فإن لله خمسه (الأنفال: 41).
“Ketahuilah sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah.”
Lalu Umar menjawab; apakah kalian ingin generasi penerus perjuangan ini tidak punya apa-apa?. Ide jenius ini beliau gali dari Surat al-Hasyr yang membicarakan pembagian harta Fai’ antara Muhajirin dan Anshor, lalu terusan ayatnya;
والذين جاءوا من بعدهم يقولون ربنا اغفر لنا ولإخواننا الذين سبقونا بالإيمان ولا تجعل في قلوبنا غلا للذين آمنوا ربنا إنك رؤوف رحيم (الحشر: 10).
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdo’a; Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.”
Imam Ibnu Qudamah merumuskan alasan perbedaan antara kebijakan Rasulullah dan Umar bahwa apa yang dilakukan Rasulullah adalah langkah konkrit untuk mengentaskan perekonomian dalam negeri, sedangkan Umar memandang perekonomian sudah relatif stabil. Jadi, lebih baik dipersiapkan untuk generasi-generasi yang akan datang.
Berarti kalau perilaku Rasulullah (yang merupakan sebagian dari ajaran beliau) saja tidak punya konsekuensi hukum mengikat pada orang-orang setelah beliau dan sahabat boleh berbeda dengan beliau karena ada tinjauan lain, bagaimana mungkin perilaku umat Islam dengan sendirinya punya konsekuensi hukum terhadap umat setelahnya?.
Adapun argumen Ijma’ bahwa tidak ada di sana pembatasan jabatan kepala negara, dalam argumen ini ada blunder; Ijma’ yang telah disepakati adalah berlangsungnya masa jabatan sepanjang hidup bila tidak mengakibatkan bahaya atau mafsadah. Adapun hal lain yaitu pembatasan tidak ada pembahasan sama sekali. Ada kaidah; لا ينسب لساكت قول (orang yang diam tidak punya komentar hukum), maka seyogyanya dalam masalah ini tidak ada penetapan hukum (boleh dibatasi), juga penafian hukum (tidak boleh dibatasi).

- Antara Sunnah dan Bid’ah
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa masa jabatan adalah model baru (bid’ah), sedangkan telah ditetapkan oleh nash dan ijma’ bahwa setiap bid’ah adalah sesat.
Hipotesa kedua yakni setiap bid’ah sesat adalah opini umum umat, tapi yang jadi masalah adalah hipotesa pertama, apakah termasuk kategori bid’ah hasanah atau sayyiah?, kesalahan fatal kalau ada opini bahwa Islam memusuhi inovasi baru dalam kehidupan dengan tuduhan bid’ah, padahal nama bid’ah itu hanya untuk urusan ritual orisinil, seperti aqidah, ibadah dan sesamanya. Adapun urusan kehidupan yang selalu dinamis menyangkut adat peradaban social kemasayarakatan, politik dll. tidak layak dijuluki bid’ah. Tapi itulah yang disebut para ulama’ Mashlahah Mursalah, seperti dijelaskan oleh Imam al-Syathiby dalam kitab al-I’tishom, karenanya kita temukan di lembar sejarah para sahabat melakukan perkara-perkara yang tidak pernah dilakukan Rasulullah seperti penulisan Mushhaf, pembukuan gaji pegawai dan militer, penetapan pajak dan membuat rumah tahanan.
Para Tabi’in juga melakukan perkara yang tidak dilakukan sahabat, seperti membuat mata uang, koordinasi jasa pos dll. Umat Islam secara umum juga melakukan inovasi baru yang tidak ada pada zaman kenabian dan sahabat, seperti kodifikasi berbagai disiplin ilmu, juga penemuan-penemuan ilmu baru. Dalam hadits shohih;
من سنّ سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها إلى يوم القيامة.(الحديث)
“Barang siapa yang membuat ajaran bagus, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang melakukannya sampai hari kiamat.”

- Blunder pengambilan hukum secara umum dari biografi Nabi
Ini antara lain penyebab error dalam menginterpretasikan politik yaitu mencampur aduk antara doktrin Rasulullah (as-Sunnah) dengan biografi Nabi (as-Siroh) untuk argumen suatu hukum.
Biografi Nabi tidaklah identik dengan doktrin-doktrin Rasulullah, sebab kita jumpai di sana ada sebagian biografi Nabi yang tidak masuk dalam kategori syari’at, karenanya ulama’ ushul tidak menyertakan biografi Nabi dalam definisi as-Sunnah, tapi mereka membuat definisi as-Sunnah adalah; apa yang datang dari Rasul yang mencakup ucapan, pekerjaan dan ikrar Beliau, sedangkan biografi Nabi tidak masuk dalam definisi.
Berbeda dengan kalangan Ahli Hadits, beliau-beliau ini menyertakan sifat-sifat jasmani dan etika serta biografi Nabi dalam definisi as-Sunnah. Mengapa?, karena Ahli Hadits sepakat bahwa semua yang berhubungan dengan Nabi baik yang ada kaitannya dengan syari’at atau tidak adalah as-Sunnah. Karenanya beliau-beliau mengekspose secara total kehidupan Nabi mulai sebelum diutus, kelahiran, masa menyusui, perkembangan beliau, masa muda dan waktu menikah dengan Siti Khadijah. Juga sifat-sifat spesifik jasmani dan etika Nabi dan peristiwa-peristiwa apa saja yang dialami Rasulullah sampai masa wafat beliau.
Garis persinggungan antara dua pendapat ini yaitu sebagian nilai-nilai Islam diambil dari biografi Nabi sebagai argumen umum dari hukum-hukum tertentu dan berstatus mengikat kepada semua umat.
Ada dua masalah penting sebagai catatan;
Pertama    : Dalam biografi kenabian ada sebagian peristiwa-peristiwa yang diekspose tanpa sanad yang shohih. Terkadang beliau-beliau toleran terhadap riwayat biografi Nabi yang tidak kita temukan toleran ini (sesuai dengan derajat haditsnya) dalam meriwayatkan hadits-hadits yang berhubungan dengan halal dan haram.
Kedua       : Biografi Nabi adalah ekspresi sisi nyata dari kehidupan Rasulullah, dalam artian masuk kategori fi’lu dalam definisi as-Sunnah secara global, sedangkan fi’lu dengan sendirinya tidak berkonsekuensi hukum wajib tapi sebatas mubah. Adapun hukum wajib harus ada dalil lain yang menjelaskan. Memang, kita dituntut untuk mengikuti Rasulullah.
لقد كان لكم في رسول الله أسوة حسنة لمن كان يرجو الله واليوم الآخر وذكر الله كثيرا (الأحزاب: 21).
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang mengharap rohmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”
Tapi ayati ini adalah anjuran bukan kewajiban, mengmbil suri tauladan Rasulullah itu dalam masalah etika-etika, nilai-nilai lebih serta sikap-sikap beliau secara umum, bukan sikap-sikap yang spesifik.
Jadi, tidaklah suatu keharusan kita mengikuti Rasulullah ketika memulai berdakwah dengan strategi sembunyi-sembunyi dalam kondisi kebebasan beragama dan menyampaikan pendapat dijunjung tinggi-tinggi oleh umat manusia. Juga tidaklah suatu keharusan kita hijrah seperti beliau dalam kondisi aman di negeri sendiri dan memungkinkan untuk menyampaikan dakwah, karenanya hijrah ke Madinah tidaklah wajib bagi semua muslim pasca takluknya Mekah. Beliau bersabda;
لا هجرة بعد الفتح، ولكن جهاد ونية. وإذا استنفرتم فانفروا (متفق عليه)
“Tidak ada kewajiban Hijrah setelah takluknya Mekah, tetapi jihad dan niat. Dan ketika kalian semua dikomando untuk perang, maka berangkatlah.”
Juga bukanlah suatu keharusan kita mencari dukungan pada penguasa atau kelompok-kelompok besar yang berpengaruh, seperti halnya Nabi mengajak Kabilah-kabilah untuk mendukung dan beriman pada beliau. Kalau itu bukanlah strategi yang menguntung-kan pada masa kekinian juga bukanlah suatu keharusan kita menanamkan aqidah tauhid selama 13 tahun, kerena kita sekarang di antara kaum muslimin yang telah beriman pada Allah dan Rasul-Nya. Jadi, tidak efektif mengajarkan tauhid dalam kurun waktu sepanjang itu.
Jadi, kalau kita sekarang ramai-ramai memperjuangkan pemerata-an keadilan, demokrasi dan kebebasan, pembebasan Palestina dan Masjidil Aqsha dari cengkeraman zionis atau mungkin jihad melawan musuh-musuh umat, ini semua bukanlah langkah ngawur! Yang tidak sejalan dengan petunjuk Rasulullah yang mana perjuangan model seperti ini hanya digagas Rasulullah setelah beliau berada di Madinah. Mengapa?, karena kita tahu waktu beliau di Mekah, hidup di antara masyarakat jahiliyah yang kecanduan berhala (paganis), tidak percaya pada kenabian beliau, maka logis medan yang digelar adalah seputar tauhid dan risalah kenabian. Berbeda dengan medan kita sekarang yang telah mengakui Allah sebagai Tuhan satu-satunya, Islam agama-nya, Muhammad utusannya, walaupun di sana sini ada penyeleweng-an dan kemunkaran.

Islam Politik
Istilah ini dihembuskan pemikir-pemikir Marxisme Timur dan Liberal Barat, tujuan mereka adalah mengusir umat Islam dari esensi istilah Islam politik, yaitu menghapus peran aktif umat dalam politik praktis. Yang jadi pertanyaan sekarang adalah apakah istilah ini bid’ah atau mungkin diterima oleh syara’?, apakah seorang da’I dalam kapasitasnya sebagai informan umat terjun dalam dunia politik praktis, termasuk bid’ah kah?, atau mungkin istilah yang dianjurkan agama sesuai dengan nash-nash al-Qur’an atau Hadits?.
Masih dalam Fiqhu al-Daulah, beliau berkata;
Pertama    : Istilah ini dalam prespektif kita umat Islam adalah tidak berguna. Mengapa?, karena istilah ini mereka lemparkan untuk memecah belah keutuhan umat. Islam menurut mereka bukanlah tunggal seperti yang diturunkan Allah, tapi yang ada adalah Islam rame-rame tergantung dari sudut pandang mana mereka melihatnya. Letak geografis ada Islam Asia, Afrika dll. periode ada Islam Nabawi, Rosyidi, Umawy, Abbasy, Utsmany, modern. Ras ada Islam Arab, India, Turki dll. Madzhab ada Islam Sunny, Syi’i, ada lagi cara mereka mengkotak-kotak Islam dengan sebutan Islam revolusi, radikal, klasik, kanan, kiri dan terakhir ada Islam politik, Islam ushuli, ruhy dll.
Itulah semantic game (permainan istilah) yang mereka permainkan. Yang benar, Islam itu adalah satu yaitu Islam awwal, Islam Qur’an dan Sunnah, Islam seperti yang dipahami generasi-generasi terbaik umat ini yaitu para Sahabat dan Tabi’in.
Kedua       : Islam adalah agama politik, Islam sejati adalah berperan aktif dalam kancah politik. Kalau Islam dipisahkan dari politik, maka akan menjelma menjadi agama lain, mungkin Budha atau Nashrani.

Muslim adalah figure politikus
Seorang muslim yang telah diprogram oleh aqidah, syari’at, ibadah dan tarbiyahnya, mustahil kalau tidak menjelma menjadi politikus, kecuali salah dalam menginterpretasikan Islam atau salah dalam penerapan keilmuannya. Mengapa?, karena Islam telah menetapkan beban kewajiban yang harus diemban setiap muslim bernama Amar Ma’ruf Nahi Munkar, dalam istilah lain; nasehat kepada pemimpin-pemimpin Islam dan kaum muslimin. Inilah yang dalam suatu hadits shohih disebut sebagai agama yang sebenarnya; الدين النصحية (رواه مسلم) (Agama adalah menasehati), terkadang juga diistilahkan wasiat kepada kebenaran dan kesabaran yang keduanya merupakan syarat pokok keselamatan dari kerugian dunia dan akhirat seperti dalam surat al-Ashr;
والعصر، إن الإنسان لفي خسر، إلا الذين آمنوا وعملوا الصالحات وتواصوا بالحق وتواصوا بالصبر (العصر).
“Demi masa, sesungguhnya manusia itu berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholeh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan menetapi kesabaran.”
Perhatian seorang muslim terhadap problem-problem umat Islam serta menyusun strategi untuk keluar dari problem-problem tersebut, itulah sekarang yang disebut dengan nama politik.

Melawan kemunkaran dan kedholiman adalah jihad terbesar
Rasul mengajarkan seorang muslim melawan kemunkaran internal umat, dan itu punya nilai lebih dibanding external umat (melawan umat kafir). Beliau menjawab ketika ditanya jihad yang paling utama;
أفضل الجهاد كلمة حق عند سلطان جائر (رواه النسائي)
“Jihad yang paling utama adalah kalimat kebenaran yang disampaikan kepada penguasa dholim.”
Mengapa?, karena kerusakan internal umat lah sebagai jalan mulus datangnya musuh-musuh Islam. Syahid di jalan ini juga dikategorikan Rasul termasuk martabat tertinggi.
سيد الشهداء حمزة، ثم رجل قام إلى إمام جائر فأمره ونهاه فقتله (رواه الحاكم)
“Pemimpin orang-orang yang mati Syahid adalah Hamzah, kemudian seseorang yang datang pada penguasa dhalim memerintah dan melarang kemudian dibunuh.”
Menancapkan dalam diri muslim agar menjauhi kedholiman dan orang-orang dhalim dalam sebuah do’a qunut yang diriwayat-kan Ibnu Mas’ud;
نشكرك أللهم ولا نكفرك ونخلع ونترك من يفجرك.
“Aku bersyukur kepada-Mu ya Allah dan tidak mengkufuri-Mu dan memutus hubungan serta meninggalkan orang yang mendurhakai-Mu.”
Memberi motivasi berperang untuk menyelamatkan orang-orang lemah dan tertindas.
وما لكم لا تقاتلون في سبيل الله والمستضعفين من الرجال والنساء والولدان الذين يقولون ربنا اخرجنا من هذه القرية الظالم أهلها واجعل لنا من لدنك وليّا واجعل لنا من لدنك نصيرا. (النساء: 75).
“Mengapa kamu tidak berperang di jalan Allah dan membela orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdo’a; Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang dhalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau.”
Membenci dan mengingkari orang-orang yang menyerah pada keadaan dan rela hidup di tengah-tengah orang-orang yang menghina dan mendholimi mereka, padahal dia mampu untuk pindah dari negeri itu.
إن الذين توفّاهم الملائكة ظالمي أنفسهم قالوا فيم كنتم قالوا كنا مستضعفين في الأرض قالوا ألم تكن أرض الله واسعة فتهاجروا فيها فأولئك مأواهم جهنم وساءت مصيرا. إلا المستضعفين من الرجال والنساء والولدان لا يستطيعون حيلة ولا يهتدون سبيلا فأولئك عسى الله أن يعفو عنهم وكان الله عفوا غفورا. (النساء : 97-99).
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri kepada mereka malaikat bertanya; dalam keadaan bagaiman kamu ini?, mereka menjawab; adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri Mekkah. Para malaikat berkata; bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?, orang-orang itu tempatnya neraka jahannam dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. Kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan untuk hijrah. Mereka itu mudah-mudahan Allah memaafkannya dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.”
Sampai mereka orang-orang yang lemah al-Qur’an setengah hati memaafkannya (عسى الله أن يعفو عنهم ) agar mereka menjauhi sikap rela dihina dan didholimi. Berulang-ulang dalam al-Qur’an menceritakan diktator-diktator bumi seperti Fir’aun, Hamann agar jiwa muslim terinspirasi mengingkari dan membenci sepak terjang mereka serta memberi kontribusi pembelaan, perasaan dan fikiran kepada korban-korban yang teraniaya.

Sholat dan Politik
Seorang muslim ketika melakukan ritual sholat terapung di tengah-tengah politik. Mengapa? Karena ketika dia membaca al-Qur’an di sana ada ayat-ayat;
ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون (المائدة: 44).
“Barang siapa yang tidak menghukumi dengan hukum Allah, maka mereka termasuk orang-orang kafir.”
ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الظالمون. (المائدة: 45)
“Barang siapa yang tidak menghukumi dengan hukum Allah, maka mereka termasuk orang-orang dholim.”
ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الفاسقون (المائدة: 47).
“Barang siapa yang tidak menghukumi dengan hukum Allah, maka mereka termasuk orang-orang fasiq.”
Otomatis saja ia masuk dalam ruang lingkup politik, bahkan terkadang terjadi pertentangan radikal dalam dirinya, karena dengan membaca ayat-ayat seperti ini dia kecewa dan berburuk sangka pada pemerintahan yang tidak menerapkan hukum Allah sekaligus menyusun strategi, bagaimana agar hukum Allah bisa dipraktekkan di muka bumi ini. Karena predikat kafir, dholim, fasiq atau semuanya yang mesti disandang orang-orang yang tidak mau hukum Allah.
Juga ayat-ayat yang melarang berhubungan erat dengan orang kafir, seperti;
يا أيها الذين آمنوا لا تتخذوا الكافرين أولياء من دون المؤمنين أتريدون أن تجعلوا لله عليكم سلطانا مبينا. (النساء: 144).
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin, inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah untuk menyiksamu?.”
Orang yang membaca qunut nazilah dalam sholat ketika umat Islam sedang terkena bencana, seperti perang, gempa, banjir, krisi ekonomi dll. juga sedang berpolitik, karena dia punya perhatian besar pada saudara-saudara muslimnya.
Begitulah kita masuk dalam medan politik ketika kita berada di mihrab sholat dan diperintahkan khusu’ dan inilah karakter islam yang tidak bisa dilepas antara agama dan dunia.
Apakah politik itu munkar?
Politik dari segi teori adalah sebuah disiplin ilmu yang spesifik dan dalam praktek adalah tugas yang mulya dan punya manfaat besar, karena mengatur urusan manusia menuju kehidupan yang ideal.
Imam Ibnul Qoyyim membuat definisi politik dinukil dari Imam Abil Wafa’ bin Aqil al-Hambali bahwa politik adalah tindakan yang mengatur manusia menuju perbaikan dan menjauhi kerusakan sepanjang tidak bertentangan dengan syara’. Ibnu Qoyyim menerangkan bahwa politik yang adil tidak akan pernah bertentangan dengan syara’, bahkan merupakan bagian tak terpisahkan dari syara’ dan inilah yang disebut keadilan Allah dan Rasul-Nya dan sekarang dikenal dengan istilah politik.
Para ulama mendefinisikan Imamah atau Khilafah adalah wakil umum dari Rasulullah dalam menjaga agama dan mengatur dunia dengan agama. Jadi, Khalifah adalah menjaga dan mengatur. Rasulullah adalah seorang politikus disamping beliau seorang muballigh, guru, hakim, pemimpin negara dan imam umat. Demikian juga Khulafa’ Rosyidin setelahnya, juga para politikus yang mengikuti metode Rasulullah, mengatur umat dengan adil, serta menggiring mereka dengan ilmu dan iman.
Tapi, mengapa orang pada masa ini banyak yang lari dari politik, karena melihat sisi gelapnya dan orang-orang yang terjun dalam politik praktis. Dari sinilah musuh-musuh Islam memanfaat-kan kesempatan memarginalkan umat Islam di kancah politik.
Daulah Islamiyah dan hukum Allah.
Pemahaman tak beralasan;
1. Kekhususan lafadz menjadi prioritas hukum bukan keumuman sebab turunnya wahyu
Ada sebagian opini bahwa, ayat-ayat yang memvonis kufur, dholim, fasiq terhadap orang yang tidak menjalankan hukum Allah adalah ancaman bagi orang-orang Yahudi dan Nashrani bukan orang Islam sesuai dengan sebab-sebab turunnya ayat. Benarkah pemahaman ini?, mari kita telaah;
Pertama    : Masalah ini masuk kategori al-Ma’lum mina al-Din bi al-Dhoruroh la Tuthlabu lahu adillatun, opini umum umat orang awam atau intelektual sama-sama mengetahuinya, tidak membutuhkan dalil. Bahwa Allah sebagai Tuhan alam semesta punya hukum untuk mengatur manusia dan siapa saja yang tidak menjalankannya, maka Allah berhakmemberi sanksi.
Kedua       : Banyaknya dalil-dalil tentang wajibnya menjalankan hukum-hukum Allah disamping dalam surat al-Maidah; 44, 45, 47, juga surat an-Nisa’; 60-65, surat an-Nur; 48-51, surat al-Ahzab; 36 dan yang perlu dicermati bahwa yang diturunkan Allah itu bukan nash-nash yang ada dalam kitab saja, tapi juga mencakup keadilan yang merupakan neraca obyektif manusia.
الله الذي أنزل الكتاب بالحق والميزان (الشورى: 17)
“Allahlah yang menurunkan kitab yang membawa kebenaran dan menurunkan neraca keadilan.”
لقد أرسلنا رسلنا بالبينات وأنزلنا معهم الكتاب والميزان ليقوم الناس بالقسط (الحديد: 25).
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca keadilan supaya manusia dapat melaksana-kan keadilan.”
Jadi, ada dua nur; Nur Wahyu yang diambil dari al-Kitab dan Nur akal fithrah manusia yang diambil dari al-Mizan.
Ketiga       : Kaidah; al-Ibroh bi Umumi al-Lafdzi la bi Khususi al-Sabab (keumuman lafadz menjadi prioritas hukum bukan kekhususan sebab turunnya wahyu). Tanpa menggunakan jalur pemahaman seperti ini akan terjadi pemogokan hukum-hukum yang sangat banyak yang turun bersamaan dengan sebab peristiwa-peristiwa tertentu pada masa kenabian.
Memang, semua sepakat kalau ayat ini turun pada ahli kitab Taurat dan Injil, tapi pada akhir ayat-ayat; ومن لم يحكم ...الآية adalah lafadz umum yang memasukkan siapa saja, Yahudi, Nashrani atau Muslim yang tidak menjalankan hukum Allah, seperti dalam contoh; Fulan sakit, karena makanannya tidak teratur, barang siapa yang tidak teratur makannya, maka akan terjangkit penyakit. Hipotesa pertama khusus untuk Fulan, tapi hipotesa kedua berbentuk umum yang mencakup siapa saja yang salah mengatur jam dan jenis makanan, maka akan sakit.
Jadi, sangat tidak rasional, kalau hipotesa kedua dari ayat-ayat ini khusus orang-orang Yahudi dan Nashrani, dalam arti hanya mereka yang divonis kafir, dholim dan fasiq, sedangkan orang Islam tidak. Sebab;
-          Bertentangan dengan keadilan Allah. Allah berat sebelah dalam urusan sanksi.
ليس بأمانيكم ولا أماني أهل الكتاب من يعمل سوءا يجز به (النساء: 123).
“Pahala dari Allah itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak pula menurut angan-angan ahli kitab. Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu.”
-          Akan muncul asumsi bahwa apa yang diturunkan Allah pada Yahudi dan Nashrani lebih baik daripada yang diturunkan kepada umat Islam. Sebab, yang tidak mengamalkan Taurat dan Injil divonis kafir, dholim, fasiq, sedang yang tidak mengamalkan al-Qur’an tidak ada sanksi yang jelas, padahal sudah menjadi opini umum bahwa yang diturunkan pada umat Islam adalah kitab terbaik yang menjadi supervisor kitab-kitab sebelumnya. Apakah masih orisinil ataukah sudah mengalami perubahan?.
وأنزلنا إليك الكتاب بالحق مصدقا لما بين يديه من الكتاب ومهيمنا عليه (المائدة: 48)
“Dan Kami telah turunkan al-Qur’an kepadamu dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain.”
-          Titik focus dari penyebutan cerita-cerita Ahli Kitab dalam al-Qur’an adalah agar umat Islam mengambil pelajaran, mengikuti yang baik dan waspada kepada kejelekan-kejelekan mereka. Kalau tidak demikian, maka apa gunanya cerita-cerita panjang dalam al-Qur’an?. Ayat-ayat yang jelas-jelas khusus Ahli Kitab saja oleh para ulama’ di imani total sebagai pelajaran dan peringatan, seperti;
أتأمرون الناس بالبر وتنسون أنفسكم وأنتم تتلون الكتاب أفلا تعقلون (البقرة: 44)
“Mengapa kamu suruh orang lain mengerjakan kebajikan, sedang kamu melupakan dirimu sendiri padahal kamu membaca al-Kitab Taurat, maka tidakkah kamu berpikir?.”
Apalagi cerita yang disambung dengan bentuk lafadz umum seperti yang kita bahas ini.
Keempat   : Ijma’ wajibnya menjalankan hukum Allah.

Pebedaan istilah kafir, dholim, fasiq
إنا أنزلنا التوراة فيها هدى ونور يحكم بها النبيون الذين أسلموا للذين هادوا والربانيون والأحبار بما استحفظوا من كتاب الله وكانوا عليه شهداء فلا تخشوا الناس واحشون ولا تشتروا بآياتي ثمنا قليلا ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون (المائدة: 44).
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat di dalamnya ada petunjuk dan cahaya yang menerangi yang dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya, karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, tetapi takutlah kepada-Ku dan janganlah kamu menukar ayat-ayatKu dengan harga yang sedikita. Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”
Bila kita cermati ayat ini nampaklah apa yang melatarbelakangi vonis kufur, ayat ini membahas syari’at, kitab Taurat yang diturunkan sebagai petunjuk dan cahaya hidup, keharusan para nabi dan para penguasa serta ulama’-ulama’ untuk menjalankan hukum Kitab serta wasiat agar menjaganya dengan baik lalu pembicaraan diakhiri dengan menjelaskan bahwa siapa saja yang berpaling membenci petunjuk kitab memilih petunjuk yang lain, maka jelaslah dia kafir.
Vonis kafir ini tidak memasukkan orang yang bebas dari masalah hukum atau meninggalkan hukum karena kebodohan lalu dia taubat kepada Allah, Ahlussunnah enggan menyebut mereka kafir.
وكتبنا عليهم فيها أن النفس بالنفس والعين بالعين والأنف بالأنف والأذن بالأذن والسن بالسن والجروح قصاص فمن تصدق به فهو كفارة له ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الظالمون (المائدة:45).
“Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (at-Taurat) bahwasanya jiwa dibalas dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi dan luka-lukapun ada qishosnya. Barang siapa melepaskan hak qishosnya maka melepaskan hak itu menjadi penebus dosa baginya, barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dholim.”
Ayat kedua ini tidak membahas al-Kitab secara global sebagai rukun iman dan terjemahan agama, tapi masalah kriminal, nyawa dan anggota-anggota badan yang harus diberi sanksi setimpal dan adil. Barang siapa memberi sanksi hukum selain itu, maka dia dholim dalam memberi hukum.
وقفينا على آثارهم بعيسى ابن مريم مصدقا لما بين يديه من التوراة وآتيناه الإنجيل فيه هدى ونور ومصدقا لما بين يديه من التوراة وهدى وموعظة للمتقين. وليحكم أهل الإنجيل بما أنزل الله فيه. ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الفاسقون. (المائدة: 46-47).
”Dan Kami iringkan jejak mereka (nabi-nabi Bani Israel) dengan Isa putra Maryam, membenarkan kitab yang sebelumnya yaitu Taurat dan Kami telah memberikan kepadanya Kitab Injil sedang di dalamnya ada petunjuk dan cahaya yang menerangi dan membenarkan kitab yang sebelumnya yaitu Taurat dan menjadi petunjuk serta pengajaran bagi orang-orang yang bertaqwa dan hendaklah orang-orang pengikut Injil memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah di dalamnya. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang fasiq.”
Adapun ayat ketiga ini menjelaskan petunjuk Injil seperti dimaklumi, Injil kebanyakan berisi wejangan-wejangan adab, motifasi-motifasi menjalankan syari’at yang kita kenal dalam disiplin ilmu keislaman dengan sebutan ajaran tasawwuf. Barang siapa yang tidak menjalankan petunjuk ini (Injil, tasawwuf), maka divonis fasiq.

Dua system pemerintahan yang berbeda
Seharusnya kita membedakan model pemerintahan agar tidak salah kaprah seperti yang dilakukan Ibnu Abbas ra. yaitu; pemerintah-an yang mengadopsi hukum Islam sebagai metode undang-undang dan aturan hidup, lalu ada penyelewengan. Dan pemerintahan yang membuang hukum Allah dan menggantinya dengan undang-undang buatan manusia.
Sekarang kita lihat bagaimana pemerintahan umat Islam?, ternyata mereka mengikuti apa yang pernah dilakukan umat-umat Taurat dan Injil, yaitu meninggalkan sebagian atau mungkin semua hukum-hukum Allah, bahkan lebih dari itu, mengagung-agungkan hukum buatan manusia dan menuduh hukum Allah hanya untuk manusia pada zaman turunnya saja.
Jadi, orang-orang yang meninggalkan hukum Allah tanpa ada ta’wil yang dapat diyakini kebenarannya, inilah yang menjadi sasaran ketiga ayat tersebut (kafir, dholim, fasiq), semisal; orang yang berpaling dari sanksi-sanksi pencurian, menuduh zina, perbuatan zina, tidak melaksanakan hukum-hukum tersebut serta meremehkannya dan menganggap hukum buatan manusia lebih manusiawi dari hukum Allah, maka jelaslah kekafirannya. Dan bila ada alasan lain (selain meremehkan dan anggapan tidak manusiawi) untuk tidak menjalankan hukum Allah, maka divonis dholim (bila terjadi penganiayaan hak dan keadilan) dan kalau tidak terjadi penganiayaan, maka hanya divonis fasiq, karena lafadz fasiq lebih umum dari kufur dan dholim. Setiap orang kafir dan dholim pasti fasiq, tapi tidak sebaliknya.

2. Lafadz al-Hukmu
Dalam al-Qur’an bermakna putusan hukum antara kedua belah pihak yang bertikai, tidak ada hubungan dengan politik, administrasi atau undang-undang negara dengan alasan وأن احكم بينهم, mengapa tidak وأن احكمهم ?. ini antara lain pemahaman yang jauh dari predikat benar, siapa saja yang membaca ayat al-Maidah pasti mengatakan salah pemahaman tersebut. Dalam pembahasan Taurat, di sana tidak hanya sebatas penyelesaian hukum antara kedua belah pihak, tapi lebih dari itu. Taurat identik dengan kitab hukum sebagai pedoman nabi-nabi Bani Israel menuntut umatnya. Nabi-nabi penganut Taurat tidak jauh beda dengan peran seorang pemimpin negara, seperti Musa as. yang membebaskan Bani Israel dari penindasan tiran Fir’aun, Nabi Daud dan Sulaiman juga menjadi raja.
Dan dalam pembahasan Injil seperti diketahui Injil bukanlah kitab hukum yang menjadi rujukan para hakim, tapi kitab wasiat, mauidloh, adab dan suluk.
Coba kalau asumsi ini benar, apakah para pejabat pemerintah eksekutif dan pemimpin-pemimpin negara bebas dari tanggung jawab melaksanakan hukum Allah?, tentu tidak, tanggung jawab milik bersama.
Ada fatwa dari Rasyid Ridlo bahwa vonis kafir tidak hanya terhadap para hakim, tapi juga para pejabat dan pemimpin negara, sebab walaupun mereka tidak ikut membuat undang-undang, tapi undang-undang itu dibuat atas izin mereka.

Siapa dan kapan merubah kemunkaran dengan power?
Menangani kemunkaran, siapakah yang paling berkewajiban?, ada dua opini yang mencoba menjawabnya;
Pertama    : Pemerintah, karena ini termasuk tugas negara, bukan individu. Kalau tidak, maka akan dikhawatirkan terjadi situasi caos. Pendapat ini biasanya di adopsi oleh sebagian ulama’ pemerintah.
Kedua       : Kewajiban setiap individu muslim. Pendapat ini biasanya dikumandangkan oleh generasi muda yang punya ghiroh Islamiyah. Mereka berdalil hadits Nabi;
من رأى منكم منكرا فليغيره بيده، فمن لم يستطع فبلسانه، فمن لم يستطع فبقلبه، وذلك أضعف الإيمان. (رواه مسلم)
“Barang siapa diantara kamu melihat kemunkaran, maka rubahlah dengan kekuatannya, dan barang siapa tidak mampu, maka dengan lisannya, dan bila tidak mampu maka dengan hatinya, dan itu adalah iman yang paling lemah.”
Menyimak hadits tadi, jelas sekali bahwa kewajiban ini adalah milik semua muslim. Mengapa?, karena di sana ada lafadz; من رأى seperti kata ulama’ ushul adalah menunjukkan keumuman siapa saja yang melihat kemunkaran pemerintah atau yang diperintah tidak ada yang dikecualikan, siapa saja mulai kurun Shahabat dan kurun setelahnya, sampai datangnya hari kiamat. Rasulullah adalah pemimpin negara dan hakim umat, dalam kapasitas beliau seperti itu, tetap memerintah dengan من رأى منكم bukan من رأىمن الأمراء . Lafadz منكم adalah mereka-mereka yang diperintah, bukan khusus pada pemerintah, karena kebetulan waktu itu Rasulullah yang memegang pemerintahan, kapan dan dengan apa saja mereka mampu merubah kemunkaran?.
Tapi, dalam praktek lapangan mereka biasanya mengabaikan rambu-rambu yang menjadi syarat nahi anil munkar berikut ini;
-          Aklamasi umat mengatakan haram.
-          Terang-terangan, ada pelajaran yang diberikan Umar bin Khattab dan bisa dilihat dalam tulisan Imam al-Ghozali (Ihya’ ulumuddin) bahwa Umar pernah mengintai sebuah rumah yang mencurigakan, lalu pemilik rumah mengetahui dan berkata; wahai Amirul Mu’minin ! kalau aku maksiat kepada Allah, maka hanya satu macam kemaksiatan yang kulakukan, tapi engkau, tiga kemaksiatan sekaligus yang kau lakukan, Umar bertanya; apa saja itu?, pemilik rumah menjawab; pertama, Allah berkata; ولا تجسسوا (الحجرات: 12) (janganlah kamu mengintai) dan engkau telah mengintaiku, kedua; Allah berkata; وأتوا البيوت من أبوابها (البقرة: 189) (dan datangilah rumah dari pintu-pintunya), dan engkau memanjat pagar. Ketiga; Allah berkata; لا تدخلوا بيوتا غير بيوتكم حتى تستأنسوا وتسلموا على أهلها (النور: 27) (janganlah kamu masuk rumah selain rumahmu sehingga kamu memberitahu dan mengucap-kan salam kepada pemiliknya), dan engkau tidak mengucapkan salam. Mendengar jawaban itu, Umar meninggalkan pemilik rumah tadi, dan memberi syarat agar dia segera bertaubat.
Mengapa Umar membiarkan dan tidak menghukumnya?, karena ada hadits shohih; كل أمتي معافى إلا المجاهرين (setiap umatku diampuni kecuali orang-orang yang terang-terangan berbuat dosa).
-          Punya kemampuan untuk merubah kemunkaran, biasanya ini dimiliki orang-orang yang punya kekuasaan dalam zona kekuasaannya seperti suami pada istrinya, bapak pada anak-anaknya, pemimpin yayasan pada anak buahnya, pemimpin kepada mereka yang dipimpin.

Blunder kemunkaran dilakukan oleh pemerintah
Apa yang mesti dilakukan individu atau kelompok gerakan tertentu dalam menghadapi masalah ini?, tentu jawabannya; harus punya kekuatan untuk merubahnya dan dalam zaman modern ini mungkin bisa berwujud;
1.      Kekuatan militer, seperti yang pernah terjadi di China.
2.      Lembaga Yudikatif dan Legeslatif dalam system negara yang menganut demokrasi, dimana para eksekutif, kabinet, wakil presiden dan presiden tidak bisa berkata ‘tidak’ di hadapan mereka.
3.      Kekuatan masa yang sangat besar yang menyerupai aklamasi, seperti Revolusi Iran.
Siapa saja yang tidak memiliki salah satu dari tiga kekuatan ini, hendaklah; اصبروا وصابروا ورابطوا (Bersabar, menahan sabar dan menggalang kekuatan). Dan cukuplah dengan lisan atau tulisan dan dakwah sampai suatu saat, entah kapan, tercipta opini publik secara aklamasi sehingga mampu untuk merubah kemunkaran. Abu Tsa’labah al-Khosany pernah bertanya pada Rasulullah mengenai ayat; يا أيها الذين آمنوا عليكم أنفسكم لا يضركم من ضل إذا اهتديتم (المائدة: 105) (Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu, tiadalah orang yang sesat itu akan memberi madlorot kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk), Nabi menjawab;
بل ائتمروا بالمعروف وتناهوا عن المنكر حتى إذا رأيت شحا مطاعا وهوى متبعا ودنيا مؤثرة وإعجاب كل ذي رأي برأيه فعليك بخاصة نفسك ودع العوام فإن من وراءكم أياما الصابر فيهن مثل القابض على الجمر للعامل فيهن مثل أجر خمسين رجلا يعملون كعملكم (رواه الترمذي).
“Tapi, laksanakanlah perintah dan jauhilah kemunkaran sampai engkau melihat sifat pelit menjadi model, mengikuti hawa nafsu, dunia jadi pilihan setiap orang yang punya pendapat mengagumi pendapatnya, maka cukuplah kamu mengurusi dirimu sendiri dan tinggalkanlah orang-orang bodoh, karena di belakangmu ada masa-masa dimana seorang yang sabar seperti orang yang memegang bara, orang yang beramal sholeh pada masa itu seperti pahalanya limapuluh orang yang beramal seperti amal kalian.”
Dan jangan sampai ditinggalkan mendidik generasi yang nantinya diharapkan bisa meneruskan tanggung jawab ini, yaitu generasi yang dijuluki al-Qur’an dengan sebutan Robbany.
ولكن كونوا ربانيين بما كنتم تعلمون الكتاب وبما كنتم تدرسون (آل عمران: 79).
“Hendaklah kamu menjadi orang-orang robbani karena kamu selalu mengajarkan al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.”
-          Tidak dikhawatirkan terjadi kemunkaran yang lebih besar, karenanya ulama’ menganjurkan diam terhadap jenis ini demi menjaga madhorot yang lebih ringan. Dalam hadits shohih Nabi berkata pada Aisyah;
لولا قومك حديثو عهد بشرك لبنيت الكعبة على قواعد إبراهيم .
“Seandainya kaummu tidak baru meninggalkan kemusyrikan, maka aku akan membangun Ka’bah di atas pondasi Ibrahim.”
Dalam al-Qur’an cerita Musa dan Bani Israel ketika beliau pergi ke tempat yang dijanjikan Allah selama 40 hari, kaumnya yang ditinggal-kan diprovokasi oleh Musa Samiri sampai mereka menyembah anak sapi emas, lalu Harun as. menasehati mereka, tapi mereka menjawab;
لن نبرح عليه عاكفين حتى يرجع إلينا موسى (طه: 91).
“Mereka menjawab; “Kami akan tetap menyembah patung anak lembu ini hingga Musa kembali kepada kami.”
Setelah Musa kembali, beliau marah-marah kepada Harun;
قال يا هارون ما منعك إذ رأيتهم ضلوا ألا تتبعن أفعصيت أمري قال يا ابن أم لا تأخذ بلحيتي ولا برأسي إني خشيت أن تقول فرقت بين بني إسرائيل ولم ترقب قولي (طه: 92-94).
“Berkata Musa; Hai Harun, apa yang menghalangi kamu ketika kamu melihat mereka telah sesat sehingga kamu tidak mengikuti aku, maka apakah kamu telah sengaja mendurhakai perintahku?, Harun menjawab; Hai putra ibuku, janganlah kau pegang janggutku dan jangan pula kepalaku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan berkata kepadaku; kamu telah memecah antara Bani Israel dan kamu tidak memelihara amanatku.”
Nabi Harun as. mengedepankan persatuan kaumnya menunggu sampai datangnya saudaranya, Nabi Musa as. dan berembug bersama bagaimana menghadapi situasi genting seperti ini.

Bukanlah solusi terbaik merubah sempalan-sempalan kemunkaran.
Ada masalah penting yang perlu diperhatikan bagi beliau-beliau yang bertugas memperbaiki kondisi umat, bahwa kehancuran yang menerpa umat Islam pada masa-masa ketertinggalan, masa-masa imperalis Barat sampai masa pemerintahan sekuler sekarang ini adalah keterpurukan yang sangat kritis, tidak cukup menanggulanginya dengan merubah sempalan-sempalan kemunkaran, tapi ada yang lebih besar dari itu yaitu merubah pemikiran-pemikiran dan interpretasi nilai-nilai luhur dan etika umat. Dan mestinya harus didahuluinya dengan merubah manusia secara internal dengan orientasi dan pendidikan terus menerus, sehingga terwujud keluarga-keluarga yang baik, dengan begitu Allah-lah yang akan merubah kehidupan umat ini.
إن الله لا يغير ما بقوم حتى يغيروا ما بأنفسهم (الرعد: 11)
“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah sesuatu keadaan kaum, sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”

Keharusan etika santun dalam nahi munkar
Ada sebuah cerita yang ditulis Imam al-Ghozali bahwa ada seorang yang menemui Khalifah Ma’mun dengan tujuan amar ma’ruf nahi munkar. Dia berkata pada Ma’mun: يا ظالم يا فاجر... (wahai orang dholim, wahai orang jahat…), Ma’mun yang cerdik dan kuat menahan emosi tidak langsung menghukumnya, tapi dia menjawab; “Wahai saudara, santunlah ! karena Allah telah mengutus orang yang lebih baik dari engkau kepada orang yang lebih jelek dari aku, Allah mengutus Nabi Musa dan Harun dan keduanya lebih baik dari engkau kepada Fir’aun yang lebih celaka dari aku, Allah berkata;
اذهبا إلى فرعون إنه طغى فقولا له قولا لينا لعله يتذكرون أو يحشى (طه: 43-44)
“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas, maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia ingat atau takut.”
Lafadz la’allahu adalah petunjuk kuat bagi seorang da’i agar tidak pesimis terhadap orang-orang yang didakwai sepanjang dia menggunakan etika santun, bukan metode arogan dan anarkis.

Islam dan Demokrasi
Ada opini yang berkembang di tengah umat bahwa demokrasi bertentangan dengan Islam, bahkan ada sebagian yang mengatakan; demokrasi identik dengan kekufuran. Mereka berdalih bahwa demokrasi adalah hukum rakyat untuk rakyat, sedangkan rakyat dalam konsep Islam bukanlah hakim, tapi yang menjadi hakim adalah Allah.
Kalangan sekuler memanfaatkan air yang keruh ini, opini yang tumbuh subur dan terus dipupuk di kalangan mereka adalah Islam merupakan musuh abadi demokrasi, sebab Islam selalu bergandengan dengan diktator dan tiran. Benarkah tuduhan ini?, atau sebaliknya, Islam bersih dari semua itu?, mari kita mencermatinya.

Transparasi terhadap suatu hal, langkah fital mengetahui identitas hukumnya.
Aneh memang, sebagian orang menghukumi demokrasi sebagai perkara yang jelas munkar dan kufur. Tapi, mereka tidak tahu betul demokrasi dan esensinya. Ada kaidah yang dibuat para ulama’; الحكم على الشيء فرع عن تصوره. (Transparasi terhadap suatu hal, langkah fital mengetahui identitas hukumnya), bagaimana bisa menghukumi, sedang-kan perkara yang dihukumi belum begitu transparan?, dan kalau nantinya hukumnya benar itupun tidak dibenarkan dalam Islam, mengapa?, karena ini kebetulan benar, bukan melalui metode ilmiah. Karenanya dalam sebuah hadits, hakim yang tahu hukum tapi menyeleweng dalam memberi hukum dan hakim yang bodoh tapi benar putusan hukumnya sama-sama di neraka.

Apa itu esensi demokrasi
Esensi demokrasi (tidak mengekor definisi dan istilah akademis) adalah rakyat memilih pemimpin yang mengatur urusan mereka tidak terjadi pengangkatan pemimpin atau penetapan undang-undang yang tidak mereka sukai. Mereka punya hak menasehati bila pemimpin salah, hak melengserkan dan mengganti bila terjadi penyelewengan. Rakyat tidak didoktrin dengan ancaman penjara atau dibunuh terhadap orientasi-orientasi atau system-sistem ekonomi, sosial kebudayaan, politik tertentu yang asing bagi mereka serta tidak disukai.
Esensi demokrasi identik dengan Islam
Dalam ritual sholat, Islam melarang orang yang benci umat menjadi imam. Dalam hadits;
ثلاثة لا ترتفع صلاتهم فوق رؤوسهم: رجل أم قوما وهم له كارهون...(رواه ابن ماجه).
“Tiga golongan yang sholatnya tidak terangkat di atas kepala-kepala mereka; orang yang mengimami kaum dan kaumnya membenci orang itu…”
Kalau ini masalah sholat, bagaimana dengan masalah kehidupan dan politik?, dalam hadits shohih:
خيار أئمتكم الذين تحبونهم ويحبونكم وتصلون عليهم ويصلون عليكم وشرار أئمتكم الذين تبغضونهم ويبغضونكم وتلعنونهم ويلعنونكم (رواه مسلم).
“Sebaik-baiknya pemimpin kalian adalah mereka yang kamu sukai dan menyukai kalian, dan menjadi imam sholat kalian juga menjadi ma’mum dalam sholat kalian. Dan seburuk-buruk pemimpin kalian adalah mereka yang kamu benci dan membenci kalian dan kalian melaknat mereka dan mereka malaknat kalian .”
Serangan al-Qur’an terhadap penguasa-penguasa tiran
Penguasa-penguasa tiran dan otoriter adalah musuh yang diperangi al-Qur’an. Yaitu orang-orang yang memperbudak agama dan menyembah pada mereka seperti Namrudz yang berdebat dengan Nabi Ibrahim;
ألم تر إلى الذي حاج إبراهيم في ربه أن آتاه الله الملك إذ قال إبراهيم ربي الذي يحيي ويميت، قال: أنا أحيي وأميت، قال إبراهيم: فإن الله يأتي بالشمس من المشرق فأت بها من المغرب فبهت الذي كفر والله لا يهدي القوم الظالمين. (البقرة: 258).
“Apakah kamu tidak memperhatian orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya, Allah, karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan) ketika Ibrahim mengatakan; Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan, orang itu berkata; saya dapat menghidupkan dan mematikan, Ibrahim berkata; sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat, lalu heran terdiamlah orang kafir itu dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dhalim.”
Juga Fir’aun yang berkata pada kaumnya;
أنا ربكم الأعلى (النازعات: 24)
“Aku adalah tuhan kalian yang tertinggi”.
 يا أيها الملأ ما علمت لكم من إله غيري (القصص: 38)
“Dan berkata fir’aun; Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku.”
Allah telah membongkar persekongkolan kotor antara tiga serangkai perusak bumi, pertama; penguasa tiran yang diaplikasikan dalam sosok Fir’aun. Kedua; politisi gentle yang mengabdikan kecerdikan kejeniusan berpikirnya pada seorang tiran. Diperankan dengan bagus oleh Hamann. Ketiga; kapitalis serakah yang membantu langgengnya penguasa tiran dengan sedikit berinvestasi tapi mengeruk keuntungan yang sangat besar dari keringat dan darah rakyat. Mereka ini bernaung di bawah panji-panji Qorun.

Diktatorisme dan Kerusakan
Al-Qur’an selalu menggandengkan antara diktatorisme dan kerusakan yang merupakan sebab utama kehancuran umat manusia;
الذين طغوا في البلاد فأكثروا فيها الفساد (الفجر: 11-12).
“Yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri lalu mereka berbuat kerusakan dalam negeri itu.”
Terkadang lafadz al-Thughyan diganti dengan al-‘Uluw.
إن فرعون علا في الأرض وجعل أهلها شيعا يستضعف طائفة منهم يذبح أبنائهم ويستحيي نساءهم إنه كان من المفسدين (القصص: 4)
“Sesungguhnya Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah dengan menindas segolongan dari mereka menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir’aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.”

Kritik al-Qur’an terhadap bangsa yang tunduk pada pemerintah diktator
Serangan al-Qur’an tidak mengarah pada para tiran saja, tapi sasaran dilebarkan pada mereka-mereka yang membuat kondisi seorang tiran menjadi tiran, seorang Fir’aun menjadi Fir’aun. Siapa mereka?, mereka adalah kaum atau bangsa yang pasif dan statis dalam berfikir. Lihat kaum Nabi Nuh as.
قال نوح رب إنهم عصوني واتبعوا من لم يزده ماله وولده إلا خسارا (نوح: 21)
“Nabi Nuh as. berkata; Ya Tuhanku, sesungguhnya mereka telah mendurhakaiku dan telah mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya tidak menambah kepadanya melainkan kerugian belaka.”
Juga kaum ‘Ad.
وتلك عاد جحدوا بآيات ربهم وعصوا رسله واتبعوا كل جبار عنيد (هود: 59).
“Dan itulah kisah kaum ‘Ad yang mengingkari tanda-tanda kekuasaan Tuhan mereka dan mendurhakai rasul-rasul Allah dan mereka menuruti perintah semua penguasa yang sewenang-wenang lagi menentang kebenaran.”
Kaum Fir’aun tidak ketinggalan.
فاتبعوا أمر فرعون وما أمر فرعون برشيد (هود: 97).
“Tetapi mereka mengikuti perintah Fir’aun, padahal perintah Fir’aun sekali-kali bukan perintah yang benar.”
Laskar dan punggawa-punggawa tiran juga tidak luput dari dosa dan balasan yang harus diterima oleh seorang tiran.
إن فرعون وهامان وجنودهما كانوا خاطئين (القصص: 8).
“Sesungguhnya Fir’aun, Hamann dan tentara-tentara mereka adalah orang-orang yang bersalah.”
فأخذناه وجنوده فنبذناهم في اليم فانظر كيف كان عاقبة الظالمين (القصص: 40)
“Maka Kami hukumlah Fir’aun dan bala tentaranya lalu Kami lemparkan mereka ke dalam laut, maka lihatlah bagaimana akibat orang-orang yang dhalim.”

Serangan Rasulullah terhadap penguasa-penguasa dhalim
Sunnah Nabawiyyah juga tidak tinggal diam melihat penguasa-penguasa dhalim dan otoriter. diriwayatkan dari Abu Musa al-Asy’ari beliau berkata;
إن في جهنم واديا وفي الوادي بئر يقال له هبهب حق على الله أن يسكنه كل جبار عنيد (رواه الطبراني).
“Sesungguhnya di neraka Jahannam ada jurang, dan di dalam jurang ada sumur yang disebut habhab, Allah berhak menempatkan setiap penguasa dhalim yang otoriter di dalamnya.”
Umayyah juga meriwayatkan;
          ستكون أئمة من بعدي يقولون فلا يرد عليهم قولهم يتقاحمون في النار كما تقاحم القردة (رواه أبو يعلى والطبراني)
“Akan datang setelahku pemimpin-pemimpin yang perkataannya tidak ada yang membantah, mereka betumpuk-tumpuk dalam neraka seperti tumpukan kera.”

Musyawaroh dan nasehat
Islam telah meletakkan musyawaroh sebagai pondasi kehidupan, mewajibkan kepada pemerintah untuk meminta pertimbangan dalam suatu kebijakan dan kepada umat diwajib-kan untuk memberi nasehat tidak beda dengan amar ma’ruf nahi munkar yang merupakan kewajiban serius, bahkan jihad paling utama adalah; كلمة حق تقال عند سلطان جائر.

Penguasa dalam prespektif Islam
Mereka adalah wakil atau buruh umat. Konsekuensinya umat berhak mengoreksi atau mencabut status dia sebagai wakil bila terjadi penyelewengan. Tidak dikenal dalam konsep Islam seorang penguasa yang ma’shum, yang tertulis di sana adalah manusia biasa yang bisa benar dan salah, adil dan nyleweng, maka hak umat untuk meluruskan bila terjadi penyelewengan.
Itulah yang dikumandangkan pemimpin umat pasca Rasulullah SAW. seperti Abu Bakar, beliau berkata;
أيها الناس إني وليت عليكم ولست بخيركم فإن رأيتموني على حق فأعينوني وإن رأيتموني على باطل فسددوني أطيعوني ما أطعت الله فيكم فإن عصيته فلا طاعة لي عليكم.
“Wahai manusia, aku memimpin kalian dan bukanlah aku terbaik dari kalian, kalau kalian melihatku di atas kebenaran, maka bantulah aku, dan kalau kalian melihatku dalam kebatilan, maka luruskanlah aku. Taatlah kalian kepada aku sepanjang aku mentaati Allah dalam mengurus kalian, kalau aku mendurhakai Allah, maka kalian tidak wajib taat kepadaku.”
Umar bin Khattab ra. berkata; رحم الله امرءا أهدى إليّ عيوب نفسي (semoga Allah mengasihi seseorang yang memberi hadiah kepadaku cela-cela yang ada pada diriku).
Jadi, sebenarnya esensi demokrasi jauh sebelumnya sudah digagas oleh Islam, tapi detail-detailnya diserahkan penuh kepada ijtihad umat Islam selaras dengan nash-nash dan kemashlahatan dunianya serta dinamisme peradaban manusia.
Keistimewaan demokrasi
Di tengah-tengah perjuangan panjang melawan para diktator (Beatrich, Kaisar, Raja) muncul pemikiran untuk melindungi hak bangsa-bangsa dari praktek imperialisme dunia. Dari sinilah embrio demokrasi muncul, walaupun dalam praktek memperjuangkan HAM ada kekurangan di sana sini.
Dan siapa saja berhak memunculkan pemikiran baru yang lebih ideal bagi kelangsungan hidup manusia dengan berbagai istilah yang dikehendakinya dan tidak ada salahnya kita menyadur istilah demokrasi untuk mewujudkan keadilan, musyawaroh mufakat, perlindungan HAM, dan berbaris melawan diktator-diktator bumi. Ada kaidah; ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب. (Sasaran-sasaran yang menjadi target dari perintah syari’at bila untuk mencapainya membutuhkan perantara, maka konsekuensinya perantara juga urgen seperti sasaran).
Dalam Islam tidak ada larangan menyadur teori pemikiran atau strategi praktis dari non muslim, seperti pada masa perang Khandaq, Rasulullah menerima ide menggali parit yang ditawarkan Salman al-Farisy dan strategi ini milik bangsa Persi. Tawanan-tawanan perang Badr yang bisa membaca dan menulis dimanfaatkan Rasulullah untuk mengajar anak-anak muslim walaupun mereka musyrik. Jadi; الحكمة ضالة المؤمن أنى وجدها فهو أحق بها (Hikmah adalah mutiara orang mukmin yang hilang, di mana saja dia menemukannya dialah yang berhak memilikinya.”
Dari sinilah kita menggunakan istilah demokrasi dan kita punya hak penuh untuk merevisi, bukan falsafahnya yang kita ambil yang mungkin di sana terjadi penghalalan yang haram atau sebaliknya.

Pemilu identik dengan syahadah
Pemungutan suara dalam prespektif Islam bisa dikategori-kan syahadah. Yaitu persaksian terhadap kredibilitas calon pejabat. Konsekuensinya pemegang hak suara harus memenuhi syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang saksi, semisal; adil. وأشهدوا ذوي عدل منكم (الطلاق: 2) (Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu). Juga kredibel, ممن ترضون من الشهداء (البقرة: 282) (…dari saksi-saksi yang kamu ridloi).
 Melihat kwalitas manusia sekarang, seharusnya kita memohon dispensasi pada Allah mengenai kriteria adil sesuai dengan kondisi. Secara global, mungkin mayoritas warga negara bisa menjadi saksi, kecuali mereka yang melakukan tindak kriminal, siapa saja yang memberi persaksian (memilih calon) orang yang tidak kredibel bahwa dia (calon) adalah kredibel, maka persaksian pemilih ini bohong dan dosa besar. Persaksian palsu ini oleh al-Qur’an digandeng dengan syirik kepada Allah.
فاجتنبوا الرجس من الأوثان واجتنبوا قول الزور (الحج: 30)
“Maka jauhilah berhala-berhala najis, dan jauhilah persaksian palsu.”
Seorang yang memilih calon hanya karena nepotisme (kerabat atau putra daerahnya) atau kolusi (imbalan jasa yang diharapkan), maka telah menentang al-Qur’an. وأقيموا الشهادة لله (الطلاق: 2) (dan laksanakanlah persaksian hanya karena Allah semata).
Barisan golput sampai mengakibatkan terlemparnya calon yang benar-benar kredibel dari panggung kontestan dan terpilihnya calon yang kurang memenuhi kriteria yaitu professional dan amanah (al-Qowiyyul Amin) merupakan tindakan irrasional yang menentang perintah Allah. Bagaimana tidak?, dia telah diundang untuk bersaksi (memilih), tapi dia menyembunyikan persaksiannya disaat umat sangat membutuhkannya.
 ولا يأب الشهداء إذا ما دعوا (البقرة: 282)
“janganlah saksi-saksi itu enggan memberi keterangan apabila mereka dipanggil.”
ولا تكتموا الشهادة ومن يكتمها فإنه آثم قلبه (البقرة: 283).
“dan janganlah kamu para saksi menyembunyikan persaksian dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya.”
Inilah sederet ketentuan yang harus dimiliki dan dilaksana-kan oleh orang yang mempunyai hak suara (saksi) dan tentunya kriteria seorang calon lebih ketat dibanding pemilih.

Hukum rakyat dan hukum Allah
Esensi demokrasi sebenarnya cocok dengan ajaran Islam bila kita menggalinya dari sumber-sumber orisinil yaitu al-Qur’an, as-Sunnah dan ajaran Khulafa’ Rosyidin, bukan dari lembaran sejarah, raja-raja yang dholim, juga bukan dari fatwa-fatwa miring.
Dalam demokrasi ada istilah hukum; dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat. Sekilas memang ada pencampakan hukum Allah, pemahaman seperti ini tidak ada realitanya. Sebab hukum dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat yang merupakan asas demokrasi bukannya menjadikannya hukum Allah sebagai musuh yang terus mereka perangi, tapi penguasa yang monopoli, tiran dan diktator. Itulah yang menjadi musuh abadi demokrasi.
Sebab orang-orang yang mempropagandakan demokrasi tidak terlintas sedikitpun di hati mereka sebagai pengganyang hukum Allah terhadap manusia. Mereka ini bukan Atheis yang beridiologi agama adalah racun kehidupan, tapi yang menjadi target sasaran jangka panjang perjuangan mereka adalah bagaimana para penguasa-penguasa bumi ini tidak monopoli dan diktator.
Hukum Allah pada makhluk-Nya ada dua;
Pertama    : Hukum alam, maksudnya Allah-lah yang mengatur alam semesta.
أولم يروا أنا نأتي الأرض ننقصها من أطرافها والله يحكم لا معقب لحكمه وهو سريع الحساب (الرعد: 41)
“dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnay Kami mendatangi daerah-daerah orang kafir, lalu kami kurangi daerah-daerah itu sedikit demi sedikit dari tepi-tepinya dan Allah menetapkan hukum menurut kehendak-Nya tidak ada yang dapat menolak ketetapannya dan ialah yang maha cepat hisabnya.”
Hukum Allah dalam ayat ini adalah hukum alam, bukan syari’at.
Kedua       : Hukum syari’at dengan mengutus para utusan, menurunkan kitab suci sebagai pedoman hidup umat manusia. Hukum Allah seperti tadi, mustahil diingkari oleh seorang muslim yang mempropagandakan demokrasi. Mereka itu hanya mensosialisasikan sebuah system pemerintah demokrasi yang asas-asasnya merupakan perwujudan politik Islam dalam memilih seorang pemimpin negara, mengaktifkan fungsi Majlis Permusyawaratan, amar ma’ruf nahi munkar, melawan kedholiman, apalagi bila sudah sampai tingkat kekufuran.
Bukti lagi, dalam undang-undang mereka (negara demokrasi yang muslim) ada pasal; termasuk agama negara adalah Islam dan syari’at Islam merupakan sumber dari undang-undang. Ini adalah pengukuhan hukum Allah terhadap manusia, lebih bagus lagi kalau dalam undang-undang ditambah pasal; setiap undang-undang yang bertentangan dengan syari’at harus dibatalkan.
Jadi, propaganda demokrasi tidak berkonsekuensi mengganti hukum Allah dengan hukum rakyat, karena keduanya tidak ada pertentangan. Kalau pemahaman seperti ini dipaksakan, maka akan muncul pemahaman-pemahaman konyol yang lain, seperti; dalam Islam ada aliran-aliran pemikiran dalam memahami nash-nash Islam yang kita kenal dengan madzhab-madzhab. Kalau seseorang mengikuti salah satu madzhab, konsekuensinya dia mengganti hukum Allah dengan hukum Imam madzhab tadi. Padahal, muslim paling bodohpun tidak pernah memahami demikian, begitu pula masalah ini, demokrasi adalah salah satu aliran pemikiran atau teori system negara yang dibuat manusia yang mencoba merekontruksi teori-teori sebelumnya, ada monarki, machiafelli dll. Mungkin memang diantara pencetus teori-teori tersebut ada yang Atheis, tapi ketika seorang muslim mengikuti salah satu teori system negara tersebut, apakah konsekuensinya dia Atheis tersebut?.
Voting, Apakah bertentangan dengan Islam?
Voting adalah termasuk alasan kuat bagi kelompok yang anti demokrasi, karena voting menurut demokrasi adalah penentu final dari sebuah keputusan-keputusan hukum. Mana pendapat yang paling banyak, itulah yang disahkan, tidak memandang benar atau salah. Juga banyak sekali nash-nash yang menunjukkan bahwa kelompok mayoritas selalu berada dalam barisan kebatilan, seperti;
وإن تطع أكثر من في الأرض يضلوك عن سبيل الله (الأنعام: 116)
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkan dari jalan Allah.”
وما أكثر الناس ولو حرصت بمؤمنين (يوسف: 103)
“Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman walaupun kamu sangat menginginkannya.”
ولكن أكثر الناس لايعلمون (الأعراف: 187)
“Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
بل أكثرهم لا يعقلون (العنكبوت: 63)
“Tetapi kebanyakan mereka tidak memahaminya.”
ولكن أكثر الناس لا يؤمنون (هود: 17)
“Tetapi kebanyakan manusia tidak beriman.”
ولكن أكثر الناس لا يشكرون (البقرة: 243)
“Tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.”
Sebaliknya, orang-orang sholeh selalu dalam kelompok minoritas.
 وقليل من عبادي الشكور (السبأ: 13)
"Dan sedikit dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih.”
إلا الذين آمنوا وعملوا الصالحات وقليل ما هم (ص: 24)
“Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholeh dan amat sedikitlah mereka ini.”
Memang, Islam menurut kelompok anti demokrasi tidak menganggap voting sebagai perantara putusan hukum, tapi yang ada dalam Islam adalah benar dan salah, mana yang benar itulah yang dipakai walaupun hanya satu suara atau bahkan tidak ada sama sekali. Sedangkan yang salah dibuang jauh-jauh walaupun 99 % suara mendukungnya.
Adapun mengenai nash-nash tadi, memang kelompok mayoritas selalu berada pada barisan kebatilan, tapi dalam masalah ini kurang tepat, sebab yang kita bahas adalah demokrasi yang diadopsi masyarakat muslim yang berpengetahuan intelek, beiman dan bersyukur pada Allah, bukan demokrasi yang diadopsi kelompok-kelompok pembangkang dan yang sesat dari jalan Allah.

Voting tidak bisa mengintervensi nash-nash baku
Dalam Islam, masalah-masalah yang mungkin membutuhkan jasa voting adalah masalah ijtihadiah yang di sana menampung semua pendapat, bukan masalah-masalah baku yang tidak menerima transformasi.

Mayoritas! penentu keabsahan suatu pendapat dalam masalah ijtihad
Penentu dalam masalah khilafiyah adalah mana pendapat yang mayoritas, karena pendapat dua orang, lebih dekat pada kebenaran dibanding pendapat satu orang. Dalam hadits;
إن الشيطان مع الواحد وهو مع الاثنين أبعد (رواه الترمذي)
“Sesungguhnya syetan selalu bersamaan dengan satu orang, dan syetan akan lebih jauh bila terdapat dua orang.”
Rasulullah pernah berkata pada Abu Bakar dan Umar;
لو اجتمعتما على مشورة ما خالفتكما (رواه أحمد)
“Seandainya kalian berdua berkumpul dalam musyawaroh mufakat, maka aku tidak akan bertentangan dengan kalian berdua.”
Dalam perang Uhud, Rasulullah dan sahabat-sahabat senior berpendapat menetap di Madinah, sedangkan pendapat mayoritas mengajak keluar Madinah menyongsong musuh, lalu Rasulullah memilih pendapat mayoritas ini.
Keputusan Umar mengangkat enam anggota Syuro (dewan formatur) untuk mengangkat pengganti beliau dan mereka harus memilih suara terbanyak, bila terjadi draw (tiga lawan tiga), maka harus ada penentu dari luar anggota enam ini, yaitu Abdullah bin Umar. Kalau mereka tidak menerima keputusan Ibnu Umar, maka tiga orang yang di situ ada Abdurrohman bin ‘Auf penentunya.
Juga ada hadits tentang as-Sawadu al-A’dhom dan perintah untuk selalu berada dalam kelompok ini.
إن بني إسرائيل تفرقت إحدى وسبعين فرقة، وإن هذه الأمة ستزيد عليهم فرقة، كلها في النار إلا السواد الأعظم (رواه الطبراني)
“Sesungguhnya Bani Israel telah terpecah menjadi tujuh puluh satu golongan, dan umat ini akan bertambah satu golongan melebihi Bani Israel, semuanya masuk neraka kecuali kelompok mayoritas.”
Adapun opini yang mengatakan bahwa penentu adalah mana pendapat yang benar walaupun hanya satu suara, sedangkan pendapat yang salah, walaupun 99 % harus dibuang. Sasarannya adalah masalah-masalah yang sudah ada nash-nash bakunya dan inilah yang dikehendaki dengan ucapan sebagian ulama’ ;
الجماعة ما وافق الحق وإن كنت واحدك .
“Jama’ah adalah mereka yang sesuai dengan kebenaran, walau engkau sendirian.”
Adapun masalah-masalah ijtihadiah ada metode yang bisa dijadikan penentu dari berbagai pendapat yang banyak yaitu voting. Metode ini sudah lama dikenal manusia dan telah dilegalisasi oleh para pemikir termasuk umat Islam.
Multi Partai Dalam Negara Islam
Sudah menjadi opini publik bahwa Islam mengharuskan pengikut-nya untuk bersatu serta melarang perpecahan dan perbedaan. Sedang-kan realita zaman menuntut adanya multi partai yang hanya akan mengakibatkan pecahnya persatuan umat.
Imam as-Syahid Hasan al-Banna’ pernah berfatwa; “tidak ada partai-partai an dalam Islam”. Dari fatwa inilah banyak kalangan pemikir yang anti terhadap system multipartai, sedangkan kelompok yang mengumandangkan demokrasi, mereka berpendapat bahwa kebebasan dan keberagaman adalah symbol kekuatan Islam sampai nantinya mereka mampu menggenggam kendali pemerintahan dan menjadi sigle mayority dan menganggap merekalah symbol kebenaran dan partai-partai selain mereka semuanya batil.
Inilah antara lain problem umat Islam abad kekinian yang menuntut untuk berfikir ekstra dan jeli. Ada sebuah opini yang mencoba menjawab bahwa tidak ada larangan syara’ dalam negara Islam menganut system multipartai, karena larangan syara’ membutuhkan nash. Sedangkan di sana tidak dijumpai nash yang melarang system ini.
Bahkan system multipartai ini merupakan tuntutan zaman, karena system inilah mungkin satu-satunya strategi jitu untuk menghabisi monopoli para tiran atau kelompok-kelompok tertentu terhadap pemerintahan serta menumbuhsuburkan beragam kekuatan politik yang mampu berkata tidak atau mengapa pada pemerintahan yang berkuasa.
Tapi sebentar, ada dua syarat tetap yang ditawarkan bila partai-partai ini eksistensinya ingin dilegalisasi oleh syara’. Apa itu?;
Pertama    : Islam sebagai komitmen perjuangan partai.
Kedua       : Tidak mengabdikan perjuangan partai pada kelompok-kelompok yang phoby terhadap Islam dan umatnya. Jadi, memproklamirkan partai yang visi dan misinya menyeleweng dari tuntunan agama, berfaham Atheis atau mencela agama-agama samawi secara umum bahkan mungkin agama Islam secara khusus semuanya oleh syara’ divonis illegal eksistensinya.

Partai politik new power
Dinamisme peradaban manusia menuntut inovasi amunisi baru untuk mengganti peran, ketajaman pedang, panasnya peluru atau ledakan bom dalam menghentikan penyelewengan sebuah pemerintahan. Dan seperti yang kita lihat, manusia pada zaman ini telah mampu memenuhi tuntutan itu, meluruskan penyelewengan pemerintah tanpa pengorbanan darah yang kita kenal dengan kekuatan politik atau partai-partai.
Pemerintah dengan kekuasaannya mampu mengintimidasi terhadap individu atau kelompok kecil, tapi tidak terhadap kelompok besar yang terorgansir dan punya akar kuat pada arus bawah.
Inilah kiranya eksistensi partai-partai atau gerakan-gerakan politik mutlak dibutuhkan sebagai media paling efektif dan efesien untuk menstabilkan antara kebijakan-kebijakan pemerintah dan penyambung lidah tuntutan-tuntutan rakyat.
وما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب.

Persepsi miring terhadap negara Islam
Ada sebagian persepsi bahwa negara yang mengadopsi dan mengembalikan semua urusannya pada hukum Allah tidak membutuhkan system multipartai ini, karena negara Islam itu dengan sendirinya sudah terikat dengan hukum-hukum Allah, maka hendak-lah para penggagasnya terus berjuang sampai benar-benar terwujud negara yang diimpi-impikan ini. Dan ketika berdiri, maka akan nampak seperti apa yang disebutkan Allah;
الذين إن مكناهم في الأرض أقاموا الصلاة وآتوا الزكاة وأمروا بالمعروف ونهوا عن المنكر (الحج: 41)
“Yaitu orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sholat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang munkar.”
dan selanjutnya kita serahkan sepenuhnya pembelaan, dukungan dan pengabdian pada negara Islam.
Perlu diperjelas lagi bahwa yang kita gagas itu negara Islam bukan negara agama seperti yang ada di Eropa (Vatikan). Negara Islam adalah negara modern yang mengadopsi syari’at kepala negaranya adalah bukan imam ma’shum, anggota kabinetnya juga bukan tokoh-tokoh suci, tapi mereka adalah manusia yang terkadang benar dan salah.
Ketika ma’shum dan suci tidak menjadi predikat mereka, maka sangat mungkin dalam menjalankan roda pemerintahan terjadi praktek otoriter dan kedholiman. Dan otoriter paling berbahaya adalah mengatasnamakan agama. Jadi, walaupun negara Islam sudah terbentuk, peran partai-partai politik (dengan fungsinya amar ma’ruf nahi munkar) mutlak dibutuhkan eksistensinya apalagi kalau belum terbentuk seperti sekarang ini.
Salah besar kalau ada persepsi bahwa kebenaran hanya milik negara Islam, sedangkan orang atau partai-partai oposisi selalu berada dalam lingkaran kebatilan.

Multipartai dalam politik identik multimadzhab dalam fiqh
Keberagaman yang dilegalkan syara’ adalah keberagaman pemikiran, metodologi, dan strategi berpolitik. Setiap kelompok atau partai menyampaikan pemikiran-pemikirannya seputar problem-problem actual masyarakat atau negara lengkap dengan argumen-argumen ilmiah dan sanad-sanad shohih. Orang-orang yang mempercayai sebuah hasil pemikiran otomatis dia menjadi pendukung pemikiran (Partai) tersebut. Dan mereka yang punya ide lebih cemerlang tentu akan memunculkan pemikiran (partai) tandingan.
Bukan yang dimaksud keberagaman atas dasar ras, letak geografis, generasi tertentu yang semuanya hanya mengakibatkan fantisme buta yang menjadi momok Islam sejak zaman dahulu. Jadi, multipartai dalam politik identik dalam multimadzhab dalam fiqh. Madzhab fiqh adalah sebuah kajian pemikiran yang punya sumber-sumber khusus dalam memahami syari’at, menggali hukum-hukum furu’ dari sumber-sumbernya yang asli. Pengikut suatu madzhab sebenarnya adalah murid-murid dari kajian pemikiran ini dan mempercayainya bahwa ini adalah yang paling dekat dengan kebenaran tanpa mengesampingkan (mengatakan batil) madzhab-madzhab lain.
Begitu pula dengan partai. Partai adalah madzhab dalam berpolitik yang punya falsafah, sumber serta metodologi dari Islam yang sangat luas. Pendukung dari suatu partai sangat mirip dengan pengikut suatu madzhab, masing-masing beranggapan bahwa partainyalah yang paling dekat dengan kebenaran.
Bisa kita ambil contoh; suatu partai berpandangan bahwa keputusan DPR harus dijalankan lembaga eksekutif, kepala negara ditetapkan dari hasil pemilu, masa jabatannya dibatasi lima tahun dan bisa mengikuti pemilihan lagi pada masa mendatang, DPR ditetapkan dari hasil pemilu, perempuan punya hak suara dan dicalonkan sebagai anggota dewan, negara punya wewenang menaikkan harga barang-barang pokok, menyewakan tanah inventaris, menetapkan upah minimum para buruh, laba pedagang, dalam harta ada hak-hak selain zakat, asas hubungan luar negeri adalah damai, ahlu dhimmah dibebaskan dari membayar Jizyah bila menjadi anggota militer dan mereka punya hak dicalonkan menjadi anggota dewan.
Kemudian, ada partai yang berseberangan dengan pemikiran-pemikiran tersebut, mungkin juga muncul partai yang cocok sebagian dan yang sebagian lain berseberangan.
Ketika suatu kelompok dengan seambrek pemikiran-pemikirannya menang dalam kontestan pemilu dan memegang pemerintahan, apakah hanya karena dia menjadi single mayority terus membredel kelompok-kelompok atau partai-partai yang lain dan mengubur pemikiran-pemikiran mereka?, apakah kekuasaan itu bisa menjamin langgengnya suatu pemikiran dan terkuburnya suatu pemikiran hanya disebabkan tidak berkuasa?.
Nalar waras tentu berkata tidak. Setiap pemikiran akan melewati seleksi alam dari setiap generasi, mana yang punya manfaat konkrit itulah yang abadi dan tentu ada pengikut-pengikut yang setia mendukungnya.

Partai-partai adalah madzhab-madzhab dalam politik, madzhab-madzhab adalah Partai-partai dalam fiqh
Sumber malapetaka yang muncul dalam system multipartai politik juga muncul dengan bentuk yang sama dalam madzhab-madzhab fiqh, yaitu taqlid buta tanpa modal pengetahuan, fanatisme buta serta pengkultusan sebagian tokoh bagaikan para nabi.

Pluralisme dan perbedaan
Ada opini yang membutuhkan transparansi empiris, bahwa keberagaman (pluralisme) paradoks dengan persatuan umat seperti yang diperintahkan Islam, demikian juga perbedaan dan perpecahan yang identik dengan kekufuran dan kebodohan. Pendapat ini berdasarkan firman Allah;
واعتصموا بحبل الله جميعا ولا تفرقوا (آل عمران: 103)
“Dan berpegangteguhlah kalian semua dengan tali Allah dan jangan bercerai berai.”
ولا تكونوا كالذين تفرقوا واختلفوا من بعد ما جاءهم البينات وأولئك لهم عذاب عظيم (آل عمران: 105).
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.”
Dalam hadits; لا تختلفوا فإن من كان قبلكم اختلفوا فهلكوا (متفق عليه) (janganlah kalian berselisih karena orang sebelum kalian telah berselisih dan binasa). Inilah antara lain dalil-dalil mereka, sekilas memang meyakinkan, tapi masih ada pemahaman yang tercecer yaitu ternyata pluralisme tidak identik dengan perpecahan juga sebagian perbedaan ternyata tidak dibenci oleh Allah. Seperti perbedaan pendapat dalam masalah ijtihad karenanya para sahabat banyak yang berbeda dalam masalah hukum furu’, seperti peristiwa yang masyhur pasca perang Ahzab, para sahabat diperintah Nabi mengepung Yahudi Bani Quroidhoh serta diperintahkan sholat Ashar di perkampungan mereka. Lalu sebagian sahabat ada yang sholat di tengah perjalanan dan akhirnya Rasulullah tidak marah terhadap salah satu dari dua kelompok yang berbeda faham.
Sebagian ulama’ mengkategorikan perbedaan ini sebagai rahmat bagi umat seperti dalam Atsar; اختلاف أمتي رحمة . ada riwayat dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz bahwa beliau tidak setuju kalau para sahabat tidak berbeda pendapat. Karena berkah beliau-beliau berbeda pendapat terbukalah pintu flexibilitas dan dispensasi hukum bagi umat. Sebagian ada yang mengaplikasikan perbedaan yang membawa rahmat umat ini dalam bentuk pluralisme manusia dalam berbagai disiplin ilmu dan profesionalisme sehingga terwujudlah komposisi komplit untuk memenuhi berbagai kebutuhan umat.
Al-Qur’an mengkategorikan perbedaan bahasa dan warna kulit sebagai salah satu tanda-tanda kebesaran Allah yang hanya bisa dinalar hamba-hambanya yang menggunakan secara optimal fungsi akalnya.
ومن آياته خلق السموات والأرض واختلاف ألسنتكم وألوانكم إن في ذلك لآيات للعالمين (الروم: 22).
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaannya ialah, menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.”
Jadi, bukanlah semua perbedaan itu berkonotasi buruk. Realitanya perbedaan itu ada dua macam, yaitu; perbedaan ragam (variatif), ini yang dianjurkan dan perbedaan kontradiktif dan ini yang dilarang.

Pluralisme gerakan-gerakan yang memperjuangkan Islam
Sepanjang persatuan umat sulit terwujud, berat kiranya kita menolak kehadiran berbagai gerakan atau kelompok-kelompok yang memperjuangkan Islam sebagai alternatif pamungkas dari vakumnya peran Islam secara utuh dalam percaturan dunia internasional. Tentunya dengan catatan pluralisme gerakan-gerakan ini nantinya hanya akan mengakibatkan perbedaan variatif saja, tidak sampai pada titik kontradiktif dan hendaknya semua komponen dalam menyikapi dan menghadapi problem-problem kekinian menyangkut eksistensi Islam, aqidah, syari’at dan umat Islam berada dalam satu barisan yang sejajar dan kokoh.
Dalam kondisi apapun umat ini khusnudhon, berbaik sangka adalah sikap paling ideal bagi semua kalangan, jadi kata-kata kafir, sesat, dosa yang mungkin akan kita lontarkan sebagai reaksi dari berbagai tingkah polah umat kelihatannya kurang mendidik, saling wasiat pada jalan kebenaran dan menghadapinya dengan kebenaran. Itulah yang hendaknya kita kedepankan.
Perpecahan dan permusuhan yang merupakan benih dari kehancuran umat tidak akan pernah terwujud kalau perbedaan-perbedaan internal umat ini kita jaga dari percikan-percikan api kontradiksi. Konsep ini kiranya akan selalu relevan dalam kondisi vakum negara Islam seperti sekarang maupun pasca berdirinya negara Islam sebab, hasil pemikiran-pemikiran tidak bisa dibunuh dan dipasung kecuali ada pemikiran-pemikiran baru yang lebih jitu dan konprehensif, dengan sendirinya pemikiran lama akan terkubur.

Imam Ali dan Khawarij
Bila kita membuka lembaran sejarah, di sana akan kita temukan imam Ali, bagaiman sikap dan tindakan beliau menghadapi partai Khawarij, kelompok ini menentang kebijakan politik Imam Ali dan mengatakan bahwa orang-orang yang pro pemerintahan Ali dihukumi kafir dan keluar dari agama (murtad). Bahkan sikap ini dirasa kurang cukup oleh mereka, akhirnya mereka mengangkat senjata memerangi pemerintahan imam Ali. Semua ini mereka lakukan karena menganggap imam Ali telah mengambil hukum selain hukum Allah.
 إن الحكم إلا لله (يونس: 40).
“Tiada hukum selain milik Allah.”

Setelah mendengar tuduhan Khawarij seperti itu beliau menjawabnya dengan perkataan; كلمة حق يراد بها باطل (kalimat kebenaran tapi dikehendaki kebatilan). Tapi, walaupun partai Khawarij ini jelas-jelas salah ta’wil, sikap toleran tetap muncul dari kepala beliau yang dingin. Beliau tidak memerintahkan membredel partai ini, mengusir dan mengejar sampai tertangkap dalam peperangan, tapi beliau malah berkata pada mereka;
لكم علينا ثلاث ؛ ألا نمنعكم مساجد الله، ولا نحرمكم من الفيء ما دامت أيديكم في أيدينا ، ولا نبدأكم بقتال.
“tiga hak yang harus kami berikan pada kalian, kami tidak akan melarang kalian masuk masjid-masjid Allah, juga tidak menghalangi kalian untuk mendapatkan harta fai’ selama pembelaan kalian dibarisan kami, dan kami tidak akan memulai peperangan dengan kalian.”

Calon anggota dewan perempuan antara pro dan kontra
Ada sebagian asumsi mengatakan haram. Dasar mereka antara lain;
1.      Ayat; وقرن في بيوتكن (الأحزاب: 33) (dan hendaklah kamu tetap di rumahmu) dari ayat ini mereka berkesimpulan bahwa wanita tidak boleh keluar rumah kecuali dlorurot atau ada keperluan.
Dalil ini kurang tepat karena;
Pertama    : Ayat ini membahas istri-istri Nabi. Seperti telah dimaklumi bahwa istri-istri Nabi punya privice lebih dibanding dengan wanita-wanita lain. Karenanya balasan amal beliau-beliau berlipat bila melakukan amal sholeh, juga bila melakukan amal buruk siksanya juga lebih besar.
Kedua       : Aisyar ra. pernah keluar dari rumah beliau dan hadir dalam perang Jamal memenuhi panggilan yang menurut beliau suatu kewajiban agama. Yaitu menuntut qishos orang-orang yang membunuh Utsman walaupun akhirnya beliau salah ta’wil.
Ketiga       : Praktek realita wanita kadang keluar dari rumahnya ke madrasah, universitas, berkarir dalam berbagai profesi, seperti; dokter, guru, sekretaris dll. tanpa reaksi inkar dari siapapun yang dianggap berkompeten dalam masalah seperti ini dan mengakibatkan ada indikasi ijma’ terhadap masalah wanita karir (tanpa mengabaikan syarat-syarat wanita keluar rumah).
Keempat   : Kebutuhan menuntut para muslimah yang taat pada agamanya masuk dalam medan kontestan pemilu untuk menghadang suara wanita-wanita sekuler yang beranggapan wanita sebagai pemimpin (emansipasi tanpa batas). Kebutuhan social kemasyarakatan dan politik terkadang lebih penting dibanding dengan kebutuhan individu yang memperbolehkan seorang wanita boleh keluar rumah.
Kelima      : Dalam Islam, mengurung wanita dalam rumah hanya terjadi dalam masa yang sebentar (sebelum purnanya tasyri’) sebagai sanksi dari wanita yang melakukan perbuatan asusila.
فامسكوهن في البيوت حتى يتوفاهن الموت أو يجعل الله لهن سبيلا (النساء: 15).
“maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya.”
Jadi, pada masa-masa yang normal, ayat ini tidak bisa dibuat landasan pengurungan wanita dalam rumah.
2.      Menutup pintu-pintu kemunkaran (Saddudz Dzaroi’) wanita ketika menjadi calon anggota parlemen dia pasti hadir di tengah-tengah kampanye yang di sana terjadi campur baur antara wanita dan laki-laki, demikian ini hukumnya haram. Dan perantaran hukum haramnya juga haram.
Memang menutup pintu-pintu keharaman diperintah oleh agama, tapi para ulama’ telah menetapkan bahwa; المبالغة في سد الذرائع كالمبالغة في فتحها (terlalu berlebihan dalam menutup pintu kemunkaran seperti halnya membuka kemunkaran itu sendiri), bahkan terkadang menimbulkan hilangnya kemashlahatan-kemaslahatan yang banyak lebih besar mafsadah yang dikhawatirkan.
Dalil inilah mungkin yang menjadi sandaran bahwa wanita tidak boleh menyampaikan aspirasi politiknya melalui pemilu, khawatir terjadi fitnah. Akibatnya banyak sekali suara yang terbuang sia-sia yang bisa dimungkinkan suara-suara ini mendukung calon-calon agamis, apalagi jelas-jelas kalangan sekuler mengambil untung banyak dari suara wanita-wanita sekuler.
Jadi, seorang muslimah yang taat ketika memilih atau mencalonkan harus menjaga diri ketika bertemu dengan lawan jenis dari apa-apa yang dilarang agama, seperti berbicara dengan nada yang mesra, berpakaian seksi, berduaan tanpa mahrom dll.
Ada analog dengan masalah ini, yaitu masalah hak perempuan mengenyam pendidikan. Dulu ada sebagian ulama’ berpendapat bahwa wanita hanya boleh diajari membaca, menulis tidak diperbolehkan, karena akan disalahgunakan untuk menulis surat-surat cinta. Tetapi akhirnya pendapat ini tidak lulus dari seleksi alam dan ternyata pendidikan untuk para wanita (khususnya menulis) bukanlah hal yang buruk, bahkan terkadang dari kaum Hawa ini tidak sedikit yang berprestasi dalam berbagai bidang.
3.      Wanita dan kekuasaan terhadap laki-laki. Adalagi yang mengatakan bahwa mencalonkan wanita menjadi anggota DPR tidak diperboleh-kan, karena di sana terjadi kepemimpinan wanita terhadap laki-laki, seperti yang ditetapkan al-Qur’an bahwa laki-laku adalah pemimpin wanita.الرجال قوامون على النساء (laki-laki adalah pemimpin para wanita).

Transparansi dalil
Pertama    : Jumlah perempuan yang mencalonkan DPR terbatas, mayoritas tetap didominasi orang laki-laki. Dan mayoritas inilah yang memiliki peran aktif. Merekalah yang merancang dan menetapkan undang-undang. Jadi, di sini tidak terjadi kepemimpinan wanita terhadap laki-laki.
Kedua       : Ayat tersebut menjelaskan hubungan suami istri dalam suatu rumah tangga, suami adalah pemimpin yang bertanggung jawab dalam keluarganya. Lengkapnya ayat;
الرجال قوامون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض وبما أنفقوا من أموالهم (النساء: 34)
“kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.”
Akhir ayat ini وبما أنفقوا من أموالهم adalah indikasi tak terbantah bahwa yang dimaksud adalah kepemimpinan seorang laki-laki dalam rumah tangga dan inilah yang dikatakan Allah sebagai derajat yang diberikan kepada kaum Adam.
ولهن مثل الذي عليهن بالمعروف وللرجال عليهن درجة (البقرة: 228).
“dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya.”
Walaupun demikian seorang istri tetap dituntut punya peran aktif dalam menyelesaikan masalah-masalah penting keluarga, seperti dalam masalah menyusui anak.
فإن أرادا فصالا عن تراض منهما وتشاور فلا جناح عليهما (البقرة: 233).
“Apabila keduanya ingin menyapih (kurang dari dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya.”
Juga ada hadits riwayat Imam Ahmad;
 آمروا النساء في بناتهن
“Perintahlah wanita-wanita untuk berembug dengan anak-anak perempuannya ketika mau menjodohkan.”
Dalam hadits ini wanita punya peran penting dalam menjodohkan anak-anak perempuannya.
Adapun sebagian perempuan menjadi pemimpin sebagian orang laki-laki (di luar masalah keluarga) tidak ada dalil yang melarangnya. Yang dilarang adalah kekuasaan secara umum terhadap laki-laki. Hadits yang diriwayatkan Imam Bukhori dari sahabat Abi Bakroh ra.;
لن يفلح قوم ولّوا أمرهم امرأة
“Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka pada seorang wanita.”
Yang dimaksud adalah kekuasaan umum terhadap umat (pemimpin negara). Ini bisa dilihat pada kalimat Amrohum yang berarti kekuasaan secara umum terhadap masalah-masalah umat. Adapun sebagian masalah tidak ada larangan seperti fatwa, ijtihad, mendidik, riwayat dan urusan administrasi. Ini semua diperbolehkan bagi kaum wanita secara aklamasi dan dibuktikan dalam realita kehidupan sejak kurun-kurun awal sampai Imam Abu Hanifah memperbolehkan seorang wanita menjadi hakim (selain masalah hudud dan qishos) bahkan sebagian fuqoha’ salaf memperbolehkan persaksian wanita dalam masalah hudud dan qishos seperti kata Ibnu Qoyyim dalam kitab at-Thururq al-Hukmiyah, Imam at-Thobary dan Ibnu Hazm juga lebih kontraversional lagi, beliau memperbolehkan perempuan memegang kekuasaan secara umum. Ini semua menunjukkan bahwa memang tidak ada nash transparan yang melarang wanita menjadi hakim, kalau ada pastilah Ibnu Hazm, imam madzhab Dhohiry inilah yang memegang panji-panji dan berperang membela nash ini, seperti kebiasaan beliau yang khas dengan pemahaman leterlek-nya.
Dilihat dari sebab munculnya hadits tadi juga memperkuat bahwa yang dimaksud adalah kekuasaan secara umum telah sampai informasi pada Rasulullah bahwa Bangsa Persi setelah kematian rajanya mengangkat ‘Buron’ anak perempuan Kisro menjadi pemimpin mereka, lalu Rasulullah memberi komentar; لن يفلح قوم ولّوا أمرهم امرأة. , ada lagi argumen yang mengatakan DPR statusnya lebih tinggi dari pemerintah, bahkan dari kepala pemerintah, karena lembaga ini berhak mengoreksi dan meminta pertanggungjawaban pemerintah dan pemimpinnya. Ringkasnya, wanita memang tidak boleh menjabat kekuasaan secara umum (pemimpin negara) dan kalau menjadi anggota DPR sama saja memberi peluang kekuasaan dalam bentuk lain.

Fungsi Anggota DPR
Sudah maklum bahwa tugas DPR dalam system negara demokrasi adalah mengoreksi kinerja pemerintah dan merumuskan undang-undang. Argumen di atas perlu transparansi lebih lanjut agar tidak terjadi salah faham.

Supervising kinerja birokrasi
Dalam Islam, istilah ini dikenal dengan sebutan amar ma’ruf nahi munkar atau Nasihah fi al-Din yang merupakan kewajiban setiap muslim, laki-laki maupun perempuan. Al-Qur’an menyebutnya dengan gamblang;
والمؤمنون والمؤمنات بعضهم أولياء بعض يأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر (التوبة: 71).
“dan orang-orang yang beriman lelaki dan perempuan sebagian mereka adalah menjadi penolong sebagian yang lain, mereka menyuruh mengerjakan yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar.”
Rasulullah ketika berkata dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Muslim;
 الدين النصيحة لله ولرسوله ولكتابه ولأئمة المسلمين وعامتهم
“Agama adalah nasehat menasehati karena Allah dan Rasul-Nya dan kitab-Nya dan kepada pemimpin-pemimpin umat Islam dan umat Islam.”
Juga tidak mengkhususkan kewajiban ini pada laki-laki saja. Rasulullah juga pernah minta pendapat pada Ummi Salamah dalam peristiwa perang Hudaibiyah, lalu Umi Salamah memberi ide cemerlang dan seketika Rasulullah melaksanakannya (para sahabat diperintahkan untuk mencukur rambut, tapi mereka tidak ada yang melaksanakannya, lalu Umi Salamah memberi saran kepada Nabi agar memanggil tukang cukur beliau dan mencukurnya di hadapan para sahabat). Dan ternyata ide ini berhasil, para sahabat langsung mengikuti apa yang dilakukan Rasulullah.
Jadi, sepanjang wanita secara individu berhak memberi nasehat dan menyampaikan aspirasi serta amar ma’ruf nahi munkar, maka tidak ada dalil syar’I sekalipun yang menghadang langkahnya berpartisipasi menyampaikan aspirasi politiknya dalam wadah lembaga DPR, karena hukum dasar dalam masalah adat dan mu’amalah adalah mubah kecuali ada nash shohih dan jelas yang melarangnya.
Adapun anggapan bahwa dalam sejarah Islam tidak pernah tertulis seorang wanita menjadi anggota permusyawaratan, seperti ini tidak bisa dikatakan sebagai aklamasi umat yang bisa dijadikan dalil syar’I untuk melarang wanita menjadi anggota DPR. Masalah seperti ini masuk dalam kategori transformasi fatwa disebabkan oleh perubahan zaman letak geografis dan kondisi. Pada masa-masa itu majlis syuro belum terkoordinasi seperti sekarang dan belum sampai berfikir anggotanya khusus laki-laki ataukah perempuan juga punya hak?.
Realistis saja, sekarang banyak sekali lapangan pekerjaan dan jabatan dipegang oleh wanita-wanita karir yang pada zaman dahulu tidak pernah kita jumpai. Sekarang banyak sekolahan, universitas tidak hanya didominasi kaum laki-laki, para wanita juga banyak yang membawa pulang ijazah dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Sebagian dari mereka ada yang menjadi direktur sebuah yayasan yang anggotanya laki-laki, kepala sekolah, rector perguruan tinggi, direktur perusahaan bahkan terkadang suaminya sendiri menjadi bawahan sang istri dalam suatu sekolahan, universitas, rumah sakit atau yayasan. Dan ketika berada di rumah sang istri tetaplah menjadi istri yang harus patuh pada suami.
Jadi pendapat yang mengatakan bahwa MPR lebih tinggi dibanding lembaga eksekutif, termasuk pemimpin negara, tidak bisa diterima secara mutlak. Sebab tidak semua pengawas itu lebih tinggi statusnya dibanding yang diawasi, tapi yang terpenting adalah dia punya hak mengoreksi walaupun lebih rendah statusnya.
Tidak bisa dipungkiri bahwa jabatan Amirul Mu’minin dan presiden lebih tinggi derajat dan kekuasaannya. Walaupun demikian setiap individu rakyatnya punya hak menasehati pemimpinnya, seperti yang dikatakan Abu Bakar ra, Khalifah pertama;
إن رأيتموني على حق فأعينوني، وإن رأيتموني على باطل فقوّموني .
Juga Umar bin Khattab;
من رأي منكم فيّ اعوجاجا فليقوّمني .
Seorang istri juga berhak berkata pada suaminya, mengapa kau membeli barang ini?, mengapa anakmu tidak kau jaga?, mengapa kamu tidak silaturrohmi?, dll, padahal suamilah pemimpin keluarga yang menafkahinya.
Kalau toh MPR dianggap lebih tinggi statusnya dibanding pemerintah, itupun cara pandangnya harus secara kolektif, bukan individual anggota dan realitanya mayoritas anggotanya didominasi orang laki-laki.

Perancang undang-undang
Sebagian mereka membesar-besarkan tugas ini beranggapan bahwa lembaga yudikatif lebih tinggi wewenangnya dibanding sekedar presiden dan ketua departemen-departemen lain. Lembaga yudikatif lah yang merumuskan undang-undang negara dan karena-nya seorang wanita tidak boleh menjadi salah satu anggotanya.
Sebenarnya masalah ini tidak serumit itu. Rumus undang-undang dasar hanya Allah. Pokok-pokok hukum larangan dan perintah juga dari Allah. Kita ini manusia hanya bisa menggali hukum yang tidak ada nashnya atau merumuskan hukum-hukum particular dari nash-nash universal.
Ijtihad dalam syari’at Islam adalah even terbuka sepanjang masa bagi siapa saja, pria atau wanita, tidak ada satu pemikirpun (kalangan ulama’ ushul fiqh) yang mengatakan; “diantara syarat ijtihad adalah laki-laki dan bagi para wanita harus minggir, dilarang mengikuti”.
Lihat siapa Ummul Mu’minin Aisyah ra. beliau adalah salah satu diantara jajaran para mujtahid dan mufti periode sahabat, banyak kritik-kritik ilmiah yang dikemukakan beliau terhadap pemahaman atau riwayat-riwayat ulama’ dari kalangan sahabat Nabi yang tidak sesuai dengan pemahaman atau riwayat beliau dan ini tersusun rapi dalam kitab-kitab popular seperti al-Ijabah li Istidrokati Aisyah ala al-Shohabah milik Imam al-Zarkasyi, lalu diringkas Imam as-Suyuthi dalam kitab ‘Ainul Ishobah.
Memang benar, dalam sejarah kita ijtihad dari kalangan wanita tidak sesemarak kaum laki-laki, dan ini kalau dicari penyebab intinya kurang bergairahnya kaum wanita menggeluti berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Tentu karena situasi dan kondisi waktu itu yang kurang berpihak pada mereka, berbeda dengan kondisi kita sekarang, jumlah siswi mendekati atau bahkan sama dengan jumlah siswa. Dan diantara siswi-siswi ini ada yang melebihi sebagian siswa, ini membuktikan bahwa prestasi bukanlah suatu sifat yang selalu melekat dan hanya dimiliki kaum laki-laki.
Al-Qur’an juga menceritakan sosok ratu negeri Saba’, Balqis, bagaimana sikap beliau setelah menerima surat dari Nabi Sulaiman, tindakan demokratis muncul dari pemikirannya yang cerdas yaitu mengumpulkan para punggawa kerajaan untuk menyatu pendapat-pendapat sebagai tindak lanjut dari isi surat Nabi Sulaiman.
قالت ياأيها الملأ أفتوني في أمري ما كنت قاطعة أمرا حتى تشهدون (النمل: 32)
“Berkata dia, Balqis; hai para pembesar, berilah aku pertimbangan dalam urusanku ini, aku tidak pernah memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam majlisku.”
lalu bagaimana para pejabat negara ini menyerahkan putusan masalah ini pada sang Ratu;
قالوا: نحن أولوا قوة وأولوا بأس شديد والأمر إليكِ فانظري ماذا تأمرين (النمل: 33)
“Mereka menjawab; kita adalah orang-orang yang mempunyai kekuatan dan juga memiliki keberanian yang sangat (dalam peperangan) dan keputusan berada di tanganmu, maka pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan.”
karena mereka berharap sang Ratu punya ide yang lebih bijak, bagaimana caranya agar tidak terjadi pertumpahan darah sia-sia dari kedua belah pihak.
قالت: إن الملوك إذا دخلوا قرية أفسدوها وجعلوا أعزة أهلها أذلة وكذلك يفعلون (النمل: 34)
“Dia berkata; Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu negeri niscaya dia membinasakannya dan menjadikan penduduknya yang mulia jadi hina dan demikian pulalah yang akan mereka perbuat.”
lalu sang Ratu menyampaikan solusi alternatif dari situasi genting ini.
وإني مرسلة إليهم بهدية فناظرة بم يرجع المرسلون (النمل : 35)
“Dan sesungguhnya aku akan mengirim utusan kepada mereka dengan membawa hadiah, dan aku akan menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh utusan-utusan itu.”
Berkat kecerdasan dan sikap bijaknya akhirnya sang Ratu mendapat petunjuk dari Allah dan masuk agama Nabi Sulaiman.
قالت رب إني ظلمت نفسي وأسلمت مع سليمان لله رب العالمين (النمل: 44).
“Berkatalah Balqis; Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat dhalim terhadap diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah Tuhan semesta alam.”
Allah mengabadikan cerita ini dalam al-Qur’an, tidak sekedar main-main, tapi ini sebagai argumen kuat bahwa terkadang seorang perempuan punya ketajaman berfikir dan manajemen dalam urusan politik dan pemerintahan yang tidak dimiliki kebanyakan kaum laki-laki.
Ada lagi argumen tak terbantah bahwa di sana ada masalah-masalah perundang-undangan yang berhubungan dengan kewanitaan dan kekeluargaan dan mestinya pendapat dari kaum wanita yang ditampung, aspirasi mereka tak boleh absen, sebab mungkin ide merekalah yang lebih komprehenship dibanding kaum lelaki.
Umar pernah bertanya pada putrinya, Khafshoh; “Berapa lama seorang wanita kuat, sabar ditinggal suaminya?”, Hafsoh menjawab; “Empat bulan atau maksimal enam bulan”, dari jawaban Hafsoh inilah, Umar menetapkan undang-undang bahwa prajurit yang sudah beristri dalam masa tugasnya maksimal setiap enam bulan harus menjenguk sang istri. Undang-undang ini ditetapkan ini setelah kaget mendengar derita wanita kesepian ditinggal suami sambil menyanyi di atas pembaringan.
تطاول هذا الليل واسود جانبه * وأرقني أن لا حبيب ألاعبه
فوالله لو لا الله تحشى عــواقبه * لـحرك من هذا السرير جوانبه
“Sungguh panjang malam ini dan hitam pekat sekelilingnya,
dan aku terbaring lunglai karena tidak ada kekasih yang aku cumbu.”
“Demi Allah, seandainya tidak karena takut akibat dari Allah,
pastilah ranjang ini sudah bergoyang.”
Begitu pula undang-undang umar tentang santunan terhadap setiap bayi yang lahir dalam masa Islam setelah sebelumnya hanya bayi yang sudah lepas dari susu ibunya yang mendapat santunan. Karena undang-undang inilah banyak sekali ibu-ibu yang mempercepat masa bayi mengkonsumsi selain susu ibu, karena mengharapkan santunan pemerintah. Suatu hari Umar mendengar tangis bayi yang tidak kunjung berhenti, lalu beliau bertanya pada ibunya, sang ibu menjawab (tidak kenal siapa orang yang bertanya); “Amirul Mu’minin tidak memberi santunan pada bayi yang belum disapih, karenanya aku mempercepat masa penyapihannya”. Setalah mendengar jawaban itu, Umar memaki-maki dirinya sendiri; “Celaka Umar, berapa banyak dia membunuh bayi-bayi umat Islam?”. dan setelah itu beliau merubah undang-undang yang mendapat santunan adalah setiap bayi mulai lahirnya.
Walaupun seorang wanita sah-sah saja menjadi anggota dewan, bukan berarti mereka bebas bergaul dengan orang laki-laki yang bukan mahromnya tanpa batas atau meninggalkan tugas-tugas keluarga (suami, rumah dan anak-anaknya), atau seenaknya berpakaian seksi, berjalan, bergerak dan berbicara tanpa mengindahkan etika-etika kewanitaan yang telah diatur oleh Islam.
Kritik terhadap fatwa yang mengharamkan wanita melaksanakan hak politiknya
Fatwa ini muncul dari pemahaman bahwa;
1. Fitrah wanita yang diproyeksikan hanya mengurusi masalah keluarga sebagai ibu yang mengurusi pertumbuhan dan pendidikan anak-anaknya. Tugas seperti inilah yang menyebabkan fungsi perasaan kewanitaannya lebih dominan dibanding akal sehatnya.
2. Firman Allah;
يا أيها النبي قل لأزواجك إن كنتن تردن الحياة الدنيا وزينتها فتعالين أمتعكن وأسرحكن سراحا جميلا. وإن كنتن تردن الله ورسوله والدار الآخرة فإن الله أعد للمحسنات منكن أجرا عظيما. (الأحزاب: 28-29).
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia perhiasannya maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik dan jika kamu sekalian menghendaki keridloan Allah dan Rasul-Nya serta kesenangan di negeri Akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik di antaramu pahala yang besar.”
Ayat ini menunjukkan apa yang pernah terjadi pada istri-istri Nabi, yaitu keinginan dan permintaan beliau-beliau kepada Rasulullah agar mendapatkan bagian spesial dari harta ghonimah sehingga bisa menikmat hidup mewah seperti layaknya istri-istri raja yang lain.
3. Kecemburuan sebagian istri Nabi, dan ini merupakan bukti kuat fungsi perasaannya lebih dominan dari akal sehatnya.
إن تتوبا إلى الله فقد صغت قلوبكما وإن تظاهرا عليه فإن الله هو مولاه وجبريل وصالح المؤمنين والملائكة بعد ذلك ظهير (التحريم: 4)
“Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong untuk menerima kebaikan dan jika kamu berdua bantu membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah pelindung-nya dan begitu pula Jibril dan orang-orang mu’min yang baik dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula.”
Ini semua istri-istri Rasulullah, wanita yang berada dalam lingkungan nubuwwah dan wahyu, beliau-beliau tidak bebas dari sifat-sifat kewanitaan yang kurang baik, apalagi wanita-wanita yang lain.
Setelah menelaah fatwa-fatwa ini, ternyata ada pemahaman yang perlu klarifikasi ilmiah, yaitu apakah kecondongan dan keinginan beliau-beliau, istri-istri Rasulullah, terhadap kemewahan harta duniawi bisa dijadikan standar baku dari lemahnya akal serta ketidak mampuan beliau memikirkan problem-problem publik umat?. Dan ternyata tidak bisa, sebab hal-hal seperti ini tergolong manusiawi dan merupakan karakter umum para wanita. Dan setelah turunnya ayat Tahyir, sifat-sifat tercela itu langsung hilang.
Dan kalau fatwa tadi benar, apakah kaum lelaki steril dari sikap-sikap condong terhadap kemewahan duniawi?, apakah pencetus fatwa ini lupa terhadap ayat;
وإذا رأوا تجارة أو لهوا انفضوا إليها وتركوك قائما قل ما عند الله خير من اللهو ومن التجارة والله خير الرازقين (الجمعة: 11).
“Dan apabila mereka melihat peniagaan atau permainan mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhutbah). Katakanlah apa yang di sisi Allah adalah lebih baik daripada permainan dan peniagaan dan Allah sebaik-baik pemberi rizqi.”
Para sahabat yang semuanya laki-laki berhamburan keluar masjid menyambut kedatangan para saudagar di saat Rasulullah berkhutbah, hanya sedikit dari beliau-beliau yang tetap mendengarkan khutbah Rasulullah.
Ada lagi yang tidak boleh dilupakan pasca perang Uhud turun ayat;
ولقد صدقكم الله وعده إذ تحسونهم بإذنه حتى إذا فشلتم وتنازعتم في الأمر وعصيتم من بعد ما أراكم ما تحبون منكم من يريد الدنيا منكم من يريد الآخرة (آل عمران: 152)
“Dan sesungguhnya Allah telah memenuhi janjinya kepadamu ketika kamu membunuh mereka dengan izin-Nya sampai pada saat kamu lemah dan berselisih dalam urusan itu dan mendurhakai perintah Rasul sesudah Allah memperlihatkan kepadamu apa yang kamu sukai. Diantaramu ada yang menghendaki dunia dan diantara kamu ada orang yang menghendaki akhirat.”
Ayat ini adalah teguran Allah terhadap sebagian para sahabat (generasi terbaik umat ini) atas kecerobohan beliau-beliau berani mendurhakai instruksi Rasulullah dengan meninggalkan pos-pos strategis sebagai benteng pertahanan hanya karena melihat tentara-tentara yang lain ramai-ramai mengumpulkan harta ghonimah. Ibnu Mas’ud sendiri sampai tercengang tidak percaya dengan kenyataan ini, beliau berkata;
ما كنت أعلم أن فينا من يريد الدنيا حتى نزلت هذه الآية
“Aku tidak pernah tahu kalau diantara kami ada yang menginginkan harta duniawi sampai ayat ini turun.”
Apakah mungkin bisa diambil konklusi bahwa kaum laki-laki juga tidak layak mengurusi atau memikirkan problem-problem besar yang dihadapi umat hanya karena peristiwa-peristiwa particular seperti ini?.
Momen perang Badar juga tidak boleh dilupakan begitu saja, apa yang dilakukan atau sikap sebagian sahabat sebelum perang?, al-Qur’an merekamnya dengan baik;
كما أخرجك ربك من بيتك بالحق وإن فريقا من المؤمنين لكارهون . يجادلونك في الحق بعد ما تبين كأنما يساقون إلى الموت وهم ينظرون. وإذ يعدكم الله إحدى الطائفتين أنها لكم وتودون أن غير ذات الشوكة تكون لكم (الأنفال: 5-7).
“Sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu pergi dari rumahmu dengan kebenaran, padahal sesungguhnya sebagian dari orang-orang yang beriman itu tidak menyukainya, mereka membantahmu tentang kebenaran sesudah nyata (bahwa mereka pasti menang) seolah-olah mereka dihalau kepada kematian sedang mereka melihat (sebab-sebab kematian itu). Dan ingatlah ketika Allah menjanjikan kepadamu bahwa salah satu dari dua golongan (yang kamu hadapi) adalah untukmu, sedang kamu menginginkan bahwa yang tidak mempunyai kekuatan senjatalah yang untukmu.”
Juga pasca perang, bagaimana sikap sebagian sahabat terhadap para tawanan.
تريدون عرض الدنيا والله يريد الآخرة والله عزيز حكيم. لو لا كتاب من الله سبق لمسكم فيما أخذتم عذاب عظيم (الأنفال: 67-68)
“Kamu menghendaki harta benda duniawi sedangkan Allah menghendaki pahal akhirat untukmu dan Allah Maha Perkasa lagi Bijaksana. Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil.”
Kalau fatwa tadi mau jujur, sebetulnya sifat-sifat lemah seperti itu milik bersama, bukan monopoli kaum wanita dan yang menjadi sentral utama adalah bisa atau tidaknya sang pelaku mengembalikan posisi fungsi akalnya di atas keinginan hawa nafsunya.
Mengapa juga fatwa ini tidak menyebut kepahlawanan Umi Salamah dalam peristiwa Hudaibiyah?, nampak mencolok subyektifitas fatwa ini ketika raja Balqis tidak masuk pembahasan sama sekali, padahal al-Qur’an memuji-muji ketajaman akal beliau yang mampu menyelamatkan bangsanya dari kehancuran.
قالت إن الملوك إذا دخلوا قرية أفسدوها وجعلوا أعزة أهلها أذلة. وكذلك يفعلون (النمل: 34)
Kendala-kendala rutinitas kewanitaan
Rutinitas haidl, mengandung, melahirkan, menyusui, tugas-tugas sebagai ibu merupakan argumen-argumen kuat yang melatarbelakangi fatwa wanita dilarang menjadi caleg, sebab fisik, rohani serta fikiran-nya dengan sendirinya akan terganggu, sehingga dianggap tidak akan mampu memikul tugas yudikatif dan legeslatif.
Argumen ini tidak salah dan memang tidak semua wanita mampu menjalankan tugas-tugasnya. Jadi, seorang wanita yang disibukkan tugas-tugas keibuan harus minggir dari pentas caleg, kalau dia nekat tentu orang-orang akan berkata; jangan! Anak-anakmu lebih membutuhkanmu, sebab tugas-tugasnya sebagai ibu lebih urgen dibanding yang lain.
Tetapi di sana, ada wanita-wanita yang tidak dikaruniai anak, juga punya waktu, kekuatan, pengetahuan dan kecerdasan lebih. Ada lagi wanita-wanita yang sudah menjalani usia menopause serta punya kelonggaran untuk mengurusi masalah-masalah publik, wanita-wanita seperti ini, apa yang menghalangi mereka untuk berpartisipasi sebagai caleg bila syarat-syarat yang lain sebagai calon telah terpenuhi.
وقرن في بيوتكن (الأحزاب: 33).
Ayat ini juga menjadi landasan fatwa tersebut, padahal sudah maklum bahwa ayat ini khusus untuk istri-istri Nabi. Ayat sebelumnya: يا نساء النبي لستن كأحد من النساء (الأحزاب: 32) (Wahai istri-istri Nabi, kalian tidaklah seperti salah satu dari wanita biasa), karenanya umat Islam pada masa ini memperbolehkan para wanita keluar rumah untuk belajar di sekolahan, lalu di universitas, pergi ke pasar, berkarya di luar rumah dalam berbagai profesi, tapi tentu dalam batas-batas kewajaran seorang muslimah, tidak boleh seenaknya berpakaian seksi.
Ayat ini وقرن في بيوتكن tidak menghalangi Aisyah ra. keluar dari rumah beliau, bahkan dari Madinah bepergian ke Bashrah dalam peristiwa perang Jamal. Kalau ada yang meriwayatkan beliau menyesal karena keluar rumah. Ini bukan karena keluar rumahnya tidak diperintahkan agama, tapi penyesalan ini karena pendapat politiknya salah dan ini perkara lain.
Ayat ini juga dijadikan argumen umum terhadap larangan seorang wanita keluar dari rumahnya kecuali dalam situasi dlorurot atau kebutuhan yang urgen yang dikategorikan dlorurot sampai ketika disodori masalah wanita yang pergi belajar ke sekolahan atau pergi ke universitas, mereka (pencetus fatwa ini) diam seribu bahasa dan tidak aneh kalau mereka melarang para wanita ikut serta dalam pemungutan suara dan kalau fatwa diskriminatif ini dilaksanakan umat, apa yang terjadi?, separo mungkin suara umat terbuang sia-sia. Di sisi lain kelompok sekuler mengeruk keuntungan besar dari suara-suara wanita yang sealiran dengan pemikiran-pemikiran sekuler.
Fatwa ini lupa dengan terusan ayat; ولا تبرجن تبرج الجاهلية الأولى . Secara eksplisit, justru ayat ini memerintahkan para wanita keluar rumah, larangan berpenampilan seksi (tabarruj) berarti ketika si wanita berada di luar rumah, sebab ketika dia berada dalam rumah, tidak ada larangan sama sekali untuk berdandan seseksi mungkin.
لن يفلح قوم ولّوا أمرهم امرأة
Hadits ini juga menjadi dalil fatwa diskriminatif ini. Imam Bukhori dan lainnya meriwayatkan dari sahabat Abu Bakroh ra. ketika sampai pada Rasulullah, informasi bahwa bangsa Persi mengangkat anak perempuan Kisro setelah matinya menjadi ratu negeri Persi. Lalu Rasulullah bersabda: لن يفلح قوم ولّوا أمرهم امرأة .
Paling tidak ada tiga poin penting sebagai penbanding dalam memahami hadits ini;
Pertama    : Apakah keumuman hadits tadi yang menjadi acuan hukum, atau justru peristiwa partikularnya?. Dalam artian Rasulullah dalam hadits ini menghendaki celakanya bangsa Persi yang menganut system kerajaan tahta pewaris, menjadikan putri raja sebagai putra mahkota walaupun bangsa Persi masih punya ribuan orang yang lebih patut dan mumpuni dibanding Buron, putri Kisro.
Benar memang, mayoritas pemikir ushul berkata; العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب , tapi kaidah ini tidak bermerek aklamasi sebab ada riwayat dari Ibnu Abbas ra dan Ibnu Umar ra. tentang keharusan memajang peristiwa-peristiwa particular yang menjadi sebab turunnya wahyu sebagai acuan pencetusan hukum, kalau tidak, akan terjadi pemahaman dan penafsiran yang ngawur seperti ngawurnya Haruriyah, kelompok Khawarij dan sesamanya yang mangambil ayat-ayat tentang orang-orang musyrik. Mereka generalisasikan pada orang-orang mu’min.
Kalau hadits ini dipaksakan dipahami secara umum, maka akan bertentangan dengan nash al-Qur’an yang menceritakan wanita yang menjadi ratu negeri Saba’ yaitu Balqis yang memimpin rakyatnya dengan system demokrasi, adil dan bijaksana. Juga akan sangat kontradiksi dengan realita yang kita lihat sekarang, yaitu tidak sedikit dari kaum wanita punya kontribusi lebih baik dari kebanyakan kaum laki-laki di negerinya.
Kedua       : Para ulama’ telah sepakat malarang wanita memegang kekuasaan mutlak atau al-Imamah al-‘Udhma dan inilah yang dikehendaki hadits tadi. Cocok dengan sebab peristiwanya, juga leterlek lafadz; ولّوا أمرهم . Dalam riwayat lain; تملكهم امرأة , jadi larangan ini berlaku bagi wanita yang menjadi pemimpin umat secara internasional dan realitanya sekarang tidak ada pasca runtuhnya Khilafah Utsmaniyah tahun 1924 M.
Sebagian ulama’ menganalogkan ketika seorang wanita menjadi ratu atau presiden yang punya wewenang penuh tidak dibatasi oleh undang-undang negara dengan larangan yang termaktub dalam hadits tadi.
Tapi, tidak ada beda pandangan menyikapi negara-negara muslim yang ada sekarang lebih mirip dengan system federasi pada zaman dahulu, seperti Mesir, Syam, Hijaz, Yaman di bawah satu keKhalifah-an.
Adapun selain jabatan Imamah dan Khilafah atau sesamanya seperti presiden, adalah masalah khilaf yang menjadi media berfikir dan berijtihad. Umar bin Khattab ra. pernah mengangkat wanita Syaffa’ binti Abdillah al-Adawiyah menjadi pengelola pasar yang bertugas mengawasi sirkulasi pasar dan ini masuk kategori kekuasaan umum.
Ketiga       : Masyarakat modern sekarang di bawah naungan system demokrasi ketika mengangkat seorang wanita menduduki jabatan-jabatan umum, seperti wakil presiden, sekretaris atau DPR dll, bukan berarti mereka menyerahkan urusan sepenuhnya pada sang wanita dan membebani tanggung jawab penuh padanya. Realita yang terlihat tanggung jawab secara kolektif dan kekuasaan secara koalisi, sang wanita diserahi sebagian saja dari urusan-urusan ini.
Dari sini dapat diambil konklusi bahwa, seperti Margareth Teacher; Inggris, Indria Gandhi; India, dll. kalau dianalisa secara cermat bukanlah pemerintahan yang dikepalai oleh seorang wanita, tapi pemerintahan yang dikendalikan oleh lembaga-lembaga parlemen dan struktur kabinet, walaupun wanita yang menjadi pimpinannya.
Jadi, bukanlah wanita yang memegang kekuasaan mutlak yang tidak bisa ditolak apa yang jadi perintahnya, sebab dia hanya menjadi pemimpin sebuah partai yang siap ditendang partai lain dari gelanggang kontestan ketika terjadi pemilu, kalah adalah resiko realistis dan berakibat terlempar dari kursi-kursi jabatan pemerintahan seperti yang pernah terjadi pada Indria Gandhi, dalam partainya dia hanya punya satu suara ketika mayoritas suara menentangnya, jadilah dia tak ubahnya orang-orang yang ada di jalanan.
 Koalisi dalam pemerintah non Islam
Ada fenomena menarik tentang seorang muslim atau partai politik Islam menggalang koalisi dengan pemerintahan non Islam. bagaimana tinjauan Islam mengahadapi fenomena ini?, bolehkan atau malah dilarang agama?.
Hukum asal adalah anti koalisi
Dalam masalah ini hukum dasarnya adalah seorang muslim tidak boleh menggalang koalisi kecuali dalam pemerintahan yang sekiranya dalam departemen yang ia jabat semisal kabinet atau jabatan-jabatan yang lain dia bisa menjalankan syari’at Allah dan tidak menentang perintah Allah dan Rasul-Nya.
وما كان لمؤمن ولا مؤمنة إذا قضى الله ورسوله أمرا أن يكون لهم الخيرة من أمرهم. ومن يعص الله ورسوله فقد ضل ضلالا مبينا. (الأحزاب: 36).
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki mukmin dan tidak pula bagi perempuan mu’min apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan akan ada bagi mereka pilihan (yang lain)tentang urusan mereka dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.”
فليحذر الذين يخالفون عن أمره أن تصيبهم فتنة أو يصيبهم عذاب أليم (النور: 63)
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.”
Ketika pemerintahan itu tidak Islami dalam artian tidak menerap-kan syari’at Islam dalam urusan-urusan kehidupan yang beraneka ragam, undang-undang, pendidikan, kebudayaan, informasi, ekonomi, politik dan administrasi kenegaraan, semua ini konsepnya diambil dari non Islam baik Barat atau Timur, kanan atau kiri, falsafah liberal atau marxisme atau sebagian diambil dari Islam. Ini semua dalam pandangan Islam harus dicampakkan.
وأن احكم بما أنزل الله ولا تتبع أهوائهم واحذرهم أن يفتنوك عن بعض ما أنزل الله إليك فإن تولّوا فاعلم أنما يريد الله أن يصيبهم ببعض ذنوبهم وإن كثيرا من الناس لفاسقون (المائدة: 49).
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling dari hukum yang telah diturunkan Allah, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasiq.”
Al-Qur’an juga sangat mengingkari Bani Israel yang hanya mengambil sebagian ajaran kitab dan berpaling dari sebagian yang lain.
أفتؤمنون ببعض الكتاب وتكفرون ببعض فما جزاء من يفعل ذلك منكم إلا حزي في الحياة الدنيا ويوم القيامة يردون إلى أشد العذاب وما الله بغافل عما تعملون أولئك الذين اشتروا الحياة الدنيا بالآخرة فلا يخفف عنهم العذاب ولا هم ينصرون. (البقرة: 85-86).
“Apakah kamu beriman kepada sebagian Ahlu Kitab (Taurat) dan inkar terhadap sebagian yang lain?, tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia dan pada hari kiamat dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat. Itulah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat. Maka tidak akan diringankan siksa mereka dan mereka tidak akan ditolong.”
Dan ketika tanggung jawab awal dari penyelewengan hukum Allah adalah kepala negara, maka pihak-pihak yang membantu penyelewengan ini dihukumi sama berdosanya.
إن فرعون وهامان وجنودهما كانوا خاطئين (القصص: 8).
“Sesungguhnya Fir’aun dan Hamann dan tentara-terntaranya, mereka adalah orang-orang yang salah.”
juga bangsa yang pasif mengikuti apa saja yang diperintahkan penguasa dholim.
قال نوح رب إنهم عصوني واتبعوا من لم يزده ماله وولده إلا خسارا (نوح: 21)
“Nabi Nuh as. berkata; Ya Tuhanku, sesungguhnya mereka telah mendurhakaiku dan telah mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya tidak menambah kepadanya melainkan kerugian belaka.”
karena mereka sama saja dengan memperlicin jalan kedholiman.
ولا تعاونوا على الإثم والعدوان (المائدة: 3)
“Dan janganlah kalian tolong-menolong terhadap dosa dan menganiaya.”

Keluar dari hukum asal karena petimbangan syara’
1.      Perintah meminimalisasi kedholiman sebatas kemampuan.
فاتقوا الله ما استطعتم (التغابن: 16)
“maka takutlah kepada Allah semampu kalian.”
إذا أمرتكم بأمر فأتوا منه ما استطعتم (متفق عليه)
“ketika aku perintah kepada kalian, maka laksanakanlah semampu kalian.”
لا يكلف الله نفسا إلا وسعها (البقرة: 286)
“Allah tidak akan membebani seseorang kecuali kadar kemampuannya.”
An-Najjasyi, raja Habasyah masuk Islam pada zaman Rasulullah, tapi beliau tidak mampu melaksanakan hukum-hukum Islam di negerinya, karena takut dilengserkan rakyatnya. Dan Rasulullah tidak mengingkarinya, bahkan waktu beliau wafat, Rasulullah mensholati-nya di Madinah, karena di Habasyah tidak ada yang mensholati sebab tidak ada yang muslim.
2.      Mengambil madhorot yang lebih ringan, karenanya ulama’ memperbolehkan diam terhadap kemunkaran sebab takut terjadi kemunkaran yang lebih besar. Nabi bersabda pada Aisyah ra.;
لولا أن قومكِ حديثو عهد بشرك لبنيت الكعبة على قواعد إبراهيم. (متفق عليه)
“Seandainya kaummu tidak baru meninggalkan kemusyrikan, maka aku akan membangun Ka’bah di atas pondasi Ibrahim.”
Rasulullah sengaja tidak membangun Ka’bah sesuai pondasi Nabi Ibrahim padahal ini wajib, tapi tidak dilakukan karena orang Quraisy baru masuk Islam.
Kisah Nabi Musa dalam al-Qur’an ketika beliau pergi munajat kepada Allah selama 30 malam ditambah 10 malam dalam masa bepergian ini, Musa Samiri membuat anak sapi emas untuk menyesat-kan kaum Nabi Musa. Musa Samiri berkata pada Bani Israel;
هذا إلهكم وإله موسى فنسي (طه: 88)
“Inilah Tuhanmu dan Tuhan Musa, tetapi Musa telah lupa.”
dan Bani Israel mempercayainya, kemudian Nabi Harun memper-ingatannya;
وإن ربكم الرحمن فاتبعوني وأطيعوا أمري (طه: 90)
“Dan sesungguhnya Tuhanmu ialah Tuhan yang Maha Pemurah, maka ikutilah aku dan taatilah perintahku.”
Mereka menjawab;
قالوا لن نبرح عليه عاكفين حتى يرجع إلينا موسى (طه: 91)
“Mereka menjawab; “Kami akan tetap menyembah patung anak lembu ini hingga Musa kembali kepada kami.”
Lalu, ketika Nabi Musa kembali dan menjumpai kaumnya sesat beliau sangat marah dan berkata pada kaumnya;
قال بئسما خلفتموني من بعدي أعجلتم أمر ربكم (الأعراف: 150)
”Berkatalah dia, alangkah buruknya perbuatan yang kamu kerjakan sesudah kepergianku.”
saking marahnya, lembaran-lembaran papan Taurat dilempar begitu saja, sambil menarik kepala saudaranya, Nabi Harun as. dan memaki-maki.
قال يا هارون ما منعك إذ رأيتهم ضلوا ألا تتبعن أفعصيت أمري قال يا ابن أم لا تأخذ بلحيتي ولا برأسي إني خشيت أن تقول فرقت بين بني إسرائيل ولم ترقب قولي (طه: 92-94)
“Berkata Musa; Hai Harun, apa yang menghalangi kamu ketika kamu melihat mereka telah sesat sehingga kamu tidak mengikuti aku, maka apakah kamu telah sengaja mendurhakai perintahku?, Harun menjawab; Hai putra ibuku, janganlah kau pegang janggutku dan jangan pula kepalaku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan berkata kepadaku; kamu telah memecah antara Bani Israel dan kamu tidak memelihara amanatku.”
Maksudnya, Nabi Harun as. sengaja membiarkan kaumnya padahal ini kemunkaran yang sangat berbahaya, tidak bisa ditolelir, yaitu syirik, menyembah anak sapi emas. Karena keutuhan kaumnya dipandang lebih penting pada waktu itu sampai menunggu datangnya Nabi Musa as. untuk berembug mengatasi situasi darurat ini dengan metode yang bijaksana.
3.      Bergeser dari idealisme baku menuju kondisi realistis, syara’ memajang doktrin-doktrin atau idealisme baku untuk manusia muslim agar mereka berkompetisi mengamalkannya, tapi apa boleh buat, kondisi realistis sering kali menendangnya jatuh walaupun dengan terseok-seok usaha dilakukan tetap sulit mencapai target maksimal doktrin-doktrin ini. Akhirnya, di bawah tekanan dlorurot apa yang mungkin dilakukan, terpaksa bergeser pada doktrin-doktrin yang lebih ringan.
Latar belakang seperti inilah yang melahirkan kaidah-kaidah populer seperti; المشقة تجلب التيسير (kondisi sulit akan mendatangkan dispensasi), لا ضرر ولا ضرار (tidak ada kemadlorotan juga tidak boleh membuat madlorot kepada orang lain), الضرورات تبيح المحضورات (kondisi dlorurot memper-bolehkan perkara-perkara yang dilarang), رفع الحرج (menghilangkan kesulitan).
Coba baca al-Qur’an dan telitilah hadits-hadits Nabi !, di sana akan nampak sangat transparan bahwa Allah membangun hukum-hukum syara’-Nya atas dasar kemudahan, bukan kejam, tidak berperi-kemanusiaan, seperti kata orang-orang liberal. Kondisi-kondisi realistis, intimidasi dlorurot dan kebutuhan-kebutuhan urgen manusia menjadi pondasi-pondasi inti dari hukum-hukum ini.
يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر (البقرة: 105)
“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.”
يريد الله أن يخفف عنكم وخلق الإنسان ضعيفا (النساء: 28)
“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu dan manusia dijadikan bersifat lemah.”
ذلك تخفيف من ربكم ورحمة (البقرة: 178)
“Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat.”
هو اجتباكم وما جعل عليكم في الدين من حرج (الحج: 78)
“Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.”
فمن اضطر غير باغ ولا عاد فلا إثم عليه إن الله غفور رحيم (البقرة: 173)
“Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
إلا من أكره وقلبه مطمئن بالإيمان (النحل: 106)
“Kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa).”
Dalam kitab-kitab hadits, juga akan kita jumpai ;
يسروا ولا تعسروا، بشروا ولا تنفروا (متفق عليه)
“Mudahkanlah dan jangan kau persulit, dan berilah kabar gembira jangan mereka kau buat lari.”
إنما بعثتم ميسرين ولم تبعثوا معسرين (رواه البخاري والترمذي والنسائي)
“Kalian tidak diutus kecuali hanya memberi kemudahan, dan tidak diutus untukmempersulit.”
أحب الدين إلى الله الحنيفية السمحاء
“Agama paling disukai Allah adalah agama yang lurus dan toleran.”
Dalam kitab-kitab fiqh juga akan kita temukan produk-produk fatwa seperti diperbolehkannya persaksian orang fasiq ketika tidak dijumpai orang adil, qodli muqollid ketika tidak ada mujtahid, juga kepala negara yang muqollid bahkan orang bodohpun boleh memegang jabatan ini asal dibimbing orang-orang alim, jihad bersama orang kuat, pintar berstrategi tapi durjana ketika tidak ada pemimpin yang kuat dan sholeh, bahkan Imam Ahmad pernah ditanya tentang seorang komandan yang kuat tapi brengsek dengan komandan sholeh tapi lemah, bersama siapa kita mesti berperang?, beliau menjawab; bersama komandan brengsek tapi kuat, mengapa?, kerena kebrengse-kan komandan berbahaya bagi dirinya sendiri, tapi kekuatannya dipersembahkan kepada kaum muslimin. Sedangkan komandan yang lemah tidak ada gunanya bagi umat Islam walaupun dia sholeh, karena kesholehannya dinikmati sendiri.
Jawaban ini sangat relevan dan konditioner, kemaslahatan umat menjadi target utama agar urusan agama dan dunia mereka tidak digagahi musuh-musuh Islam, kalau kita melihat keadaan umat sekarang ini ketertinggalan dan perpecahan tidak henti-hentinya terjadi di mana-mana, sangat kontradiksi dengan musuh-musuh Islam yang memiliki power dan fasilitas-fasilitas canggih. Logis kiranya kita menerima konsep ini (kondisi lemah) yang mestinya kita buang saat kita punya power cukup nantinya, juga menerima dengan lapang dada kondisi perpecahan internal umat sambil berusaha semaksimal mungkin bagaimana nilai-nilai luhur ini (doktrin-doktrin baku) dapat kita jalankan saat persatuan umat terwujud nanti.
ألأن خفف الله عنكم وعلم أن فيكم ضعفا (الأنفال: 66)
“Sekarang Allah telah memberi keringanan pada kalian dan Allah maha tahu bahwa kalian dalam keadaan lemah.”
Ayat ini memberi indikasi bahwa kondisi terburuk atau lemah masuk dalam kategori diperbolehkannya dispensasi hukum. Jadi, siapa saja yang tidak mampu menembus lembaga eksekutif negara dan berperan aktif di sana (dari partai-partai Islam tentunya), maka tidak ada larangan untuk berkoalisi dengan partai-partai lain dengan catatan ada keuntungan konkrit yang bisa dinikmati umat.
4. Doktrin stimulan.
Allah punya hukum yang berlaku bagi semua makhluk, yaitu doktrin stimulan, segala sesuatu bermula dari kecil kemudian membesar, lemah kemudian menjadi kuat, tumbuhan, hewan juga manusia harus menjalani siklus alam ini. Demikian pula syari’at Allah tak lepas dari proses ini. Secara stimulan, wahyu, al-Qur’an atau hadits turun sesuai dengan kebutuhan dan tingkat kesiapan manusia menerimanya, seperti larangan khomr, sampai tiga kali Allah menurunkan wahyu.
Manusia sebesar apapun ambisinya terkadang terjebak dalam kesulitan untuk menggapai ambisi-ambisi besarnya secara langsung, tapi tidak mustahil dapat dicapai secara stimulan sesuai dengan kondisi dan tingkat jerih payahnya syara’, adat dan akal, semua ACC dengan teori ini. Para pemikirpun aklamasi bahwa;
ما لا يدرك كله لا يترك جله
“Apa yang tidak bisa digapai semuanya tidak boleh ditinggal inti-intinya.”
Pemerintahan Islam adalah ambisi besar umat Islam untuk menggapainya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Langkah-langkah konkrit secara stimulan yang mungkin kita lakukan agar menjadi tauladan baginya dengan jalan semisal menegakkan kebenaran dan keadilan, maka pintu gerbang pemerintahan Islam sedikit demi sedikit akan terbuka serta memberi motivasi pada umat agar mengikuti langkah-langkah ini.
Dalam sejarah Islam, ada exercise figure yang patut dijadikan uswah hasanah di sana kita akan temukan Umar bin Abdul Aziz, Khalifah Rosyidin kelima dalam masa pemerintahan beliau yang terbilang sebentar yang berkisar dua tahun. Beliau berusaha mengembalikan tatanan umat sesuai dengan tuntunan Rasulullah dan sahabat-sahabatnya setelah sebelumnya dicemari aksi-aksi Bani Umayyah secara turun-temurun.
Beliau menghidupkan sunnah-sunnah Rasulullah, menebar keadilan dan nilai-nilai kebajikan dan hasilnya tidak akan pernah dilupakan oleh sejarah, siapapun akan mengenang jasa-jasa beliau, tapi beliau tidak bisa mencapai target maksimal, dari ambisi-ambisi positif ini, terbukti beliau tidak mampu mengembalikan proses suksesi keKhalifahan pada system syuro dan mengeluarkannya dari cengkeraman Bani Umayyah.
Pembenahan-pembenahan ini beliau jalankan dengan bijaksana dan stimulan sampai-sampai anak beliau, Abdul Malik bertanya;
يا أبت ما لي أراك متباطئا في إنفاض الأمور ؟، فوالله لو غلت بي وبك القدور في سبيل الله
“Wahai bapakku, mengapa aku melihatmu tidak cekatan dalam melaksanakan masalah-masalah penting?, demi Allah aku tidak perduli walaupun engkau dan aku direbus dalam tungku api karena membela agama Allah.”
Sang anak bermaksud mempercepat proses tatanan umat yang dilakukan ayahnya, tak memperdulikan akibat-akibat yang mungkin terjadi nantinya sepanjang dalam jalan Allah.
Sang ayahpun menjawab;
لا تعجل يا بني ! فإن الله تعالى ذم الخمر في القرآن في آيتين ، ثم حرمها في الثالثة ، وإني أخشى أن أحمل الناس على الحق جملة فيدفعوه جملة فيكون من وراءه فتنة .
“Jangan tergesa-gesa wahai anakku ! karena Allah telah mencela khomr dalam al-Qur’an dalam dua ayat, kemudian baru mengharamkannya pada ayat ketiga dan aku khawatir membebani manusia kepada kebenaran secara total, akibatnya mereka akan menolaknya secara total pula dan akhirnya dibelakang mereka terjadi fitnah.”
 Syarat-syarat diperbolehkannya koalisi;
Pertama    : Harus ada koalisi riil, bukan sekedar jargon atau pengakuan belaka menjadi alat kepentingan politik kelompok lain.
Kedua       : Pemerintahannya tidak popular dengan kedholiman, menganiaya hak-hak sesama, sebab muslim sejati justru diperintahkan melawan pemerintahan seperti ini, bukan malah diperintah membentengi dan berkoalisi dengan mereka.
Kalau Nabi Yusuf as. diminta Fir’aun (diktator bumi dan penganiaya Bani Israel) menjadi salah satu pejabat negara tentu beliau akan menolak dan tidak akan pernah meminta pada Fir’aun untuk menjadi menteri urusan logistik negeri Mesir. Kemungkinan seperti ini terjadi karena Fir’aun (raja Mesir) pada zaman Nabi Yusuf as. bukanlah Fir’aun zaman Nabi Musa as. yang diktator, walaupun sama-sama kafirnya.
ولقد جاءكم يوسف من قبل بالبينات فما زلتم في شك مماجاءكم به (غافر: 34)
“Telah datang kepadamu Nabi Yusuf sebelum kamu dengan keterangan-keterangan, maka kamu tidak henti-hentinya dalam keraguan dari apa yang dibawa Yusuf kepadamu.”
Dari sini, tidaklah diperbolehkan bagi muslim atau kelompok Islam yang konsekuen dengan ajarannya berkoalisi dalam pemerintahan diktator yang membelenggu leher rakyatnya. Toleransi diberikan bila pemerintahannya menganut system demokrasi yang menjunjung tinggi-tinggi hak dan martabat manusia.
Ketiga       : Punya hak menentang sesuatu yang bertentangan dengan Islam atau minimal mempertahankan diri, seorang menteri misalnya, mungkin bisa berbuat adil dalam tugas-tugas kementerian-nya, tapi dia juga dituntut dalam kebinet kementerian sebab dia salah satu anggotanya untuk mentaati undang-undang atau kesepakatan-kesepakatan yang bertentangan dengan Islam. Di sanalah dia harus menentang atau setidak-tidaknya mempertahankan diri, tapi kalau kesepakatan atau undang-undang tadi sangat membahayakan Islam dan penganutnya, maka dua solusi di atas dirasa tidak cukup, dia harus all out mengundurkan diri dari jabatan seperti kesepakatan membuka hubungan bilateral dengan negara Israel dan mengakui secara de facto eksistensi negara Israel yang telah merampas tanah air bangsa Palestina.
Keempat   : Harus sering-sering membuat evaluasi kerja selama berkoalisi dalam pemerintahan dan hasilnya dijadikan referensi, apakah keadilan dan kemaslahatan telah terealisasikan? Dan sebatas mana?. Evaluasi inilah yang menentukan langkah selanjutnya mengundurkan diri atau terus berkoalisi.

Caleg non Muslim
Ada sebuah fatwa yang mengharamkan seorang non Muslim yang hidup dalam negara Islam menjadi caleg, alasannya adalah :
1. Memberi kekuasaan pada non muslim, padahal dalam al-Qur’an;
ولن يجعل الله للكافرين على المؤمنين سبيلا (النساء: 141)
“Dan Allah tidak akan menjadikan kekuasaan bagi orang-orang kafir terhadap orang-orang mu’min.”
Tidaklah aneh kalau ada fatwa seperti itu, sebab orang Islam sendiri bila mencalonkan menjadi anggota dewan ada fatwa yang mengharamkan, apalagi non Muslim. Alasannya, dia telah meminta jabatan, sedangkan orang yang meminta jabatan itu tidak boleh diberi seperti dalam hadits shohih;
أنا لا نولّي هذا الأمر أحدا سأله أو حرص عليه.
“Aku tidak memberikan suatu jabatan kepada seseorang yang meminta-nya atau berambisi menjabatnya.”
Nabi juga pernah berkata pada Abdurrohman bin Samuroh;
لا تسأل الولاية أو الإمارة فإنك إن سألتها وكلت إليها وإن لم تسألها أعنت عليها.
“Jangan kau meminta jabatan atau kepemimpinan, karena engkau bila memintanya akan dipersulit olehmu dan bila kau tidak memintanya engkau akan ditolong menjalaninya.”
Wakil rakyat dari golongan atau daerah tertentu tidak bisa dikategorikan pemimpin yang berkuasa yang barang siapa meminta atau berambisi mendapatkannya dilarang oleh Nabi memberikan jabatan tersebut. Wakil bukanlah pemimpin negara, menteri atau pejabat yang berkuasa, tapi dia adalah gambaran dari sebuah daerah atau golongan yang diwakilinya yang bertugas menguasai dan mengevaluasi kerja para eksekutif negara bukan dievaluasi, mengapa? Karena dia tidak mempunyai wewenang kekuasaan sehingga harus dievaluasi.
Dan lagi masalah perwakilan ini tidak ada nash trasnparan yang melarang, jadi sepanjang mayoritas anggota Dewan itu muslim, boleh saja non muslim menjadi salah satu anggotanya yang mewakili aspirasi daerah atau kelompoknya, tak beda dengan masalah wanita menjadi anggota Dewan bila mayoritas anggotanya laki-laki. Toleran hukum seperti ini terjadi bila non muslim sebagai minoritas yang hidup dalam negara Islam. Sebagian ulama berpendapat bahwa hak dan kewajiban non muslim sama dengan kaum muslimin.
لا ينهاكم الله عن الذين لم يقاتلوكم فى الدين ولم يخرجوكم من دياركم أن تبروهم وتقسطوا إليهم إن الله يحب المقسطين ( الممتحنة 8 ).
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”.
Termasuk berbuat baik dan adil pada mereka adalah memberi wadah aspirasi mereka dalam Dewan Perwakilan Rakyat, seperti kaum wanita juga hendaknya ada perwakilan dari mereka dalam DPR untuk menampung dan menyampaikan aspirasi serta memperjuangkan kepentingan-kepentingan kaum wanita, dan lagi ini merupakan solusi konkrit agar mereka (minoritas non muslim) tidak merasa terkucilkan di negeri sendiri. Kalau ini sampai terjadi maka musuh-musuh Islam akan mengail di air yang keruh, mereka akan menyulut api permusuhan dan kebencian pada ummat Islam, dan ini adalah bahaya besar bagi ummat Islam.
Ummat Islam pada masa-masa lampau juga memanfaatkan kecakapan para ahli dzimmah (non muslim) untuk memegang jabatan-jabatan tertentu, pada masa-masa Daulah Abasyiyah misalnya. Para ulama juga tidak langsung mengingkarinya, baru ketika mereka kedapatan berbuat diktator dan dzolim baru ada reaksi dari ulama. Jadi walaupun non muslim memegang jabatan tertentu tetap saja di bawah kekuasaan ummat Islam secara umum.
Seperti halnya seorang muslim kawin dengan kafir kitabiyah maka wanita inilah yang mengurusi rumah dan anak-anaknya, berarti wanita kitabi ini punya wewenang dan tanggung jawab terhadap rumah dan anak-anaknya, seperti dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar RA :
كلكم راع وكلكم مسؤول عن رعيته ...والمرأة راعية فى بيت زوجها وهي مسؤولة عن رعيتها (متفق عليه )
“Kalian semua adalah pemimpin, dan setiap pemimpin harus bertanggung jawab pada rakyatnya… dan seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya, dia harus bertanggung jawab atas kepemimpinannya”.
Walaupun demikian wewnang dan kekuasaan isteri tetap dibawah suami sebagai pemimpin keluarga.
2. Menjalin hubungan pembelaan akrab dengan non muslim yang dalam Al-Qur’an dilarang keras.
Argumen kedua ini juga perlu diseleksi
Pertama larangan menjalin hubungan dengan non muslim yang terkandung dalam ayat hanya sebatas urusan ingroup dan out group yang kebetulan diantara grup-grup itu terjadi kompetisi, dalam artian out group merupakan komunitas lain yang berbeda agama, aqidah pemikiran-pemikiran serta syiar-syiarnya dengan ingroup, bisa digambarkan outgroup adalah yahudi, nasroni, majusi dll tidak sampai menabrak pada kapasitas out group sebagai tetangga, teman atau sama-sasma pribumi dengan ingroup.
Jadi yang pasti pembelaan seorang muslim hanya untuk ummat Islam, karenanya kalimat من دون المؤمنين dalam ayat-ayat yang menjelas-kan larangan ini selalu tercantum sebagai bukti tak terbantah bahwa ini hanya urusan ingroup dan out group.
لا يتخذ المؤمنون الكافرين أولياء من دون المؤمنين ومن يفعل ذلك فليس من الله فى شيء إلا أن تتقوا منهم تقاه ( أل عمران 28 )
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan oran-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena siasat memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka”.
يآأيها الذين آمنوا لا تتخذوا الكافرين أوليآء من دون المؤمنين أتريدون أن تجعلوا لله عليكم سلطانا مبينا (النساء 144 )
“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah untuk menyiksamu”.
بشر المنافقين بأن لهم عذابا أليما الذين يتخذون الكافرين أوليآء من دون المؤمنين أيبتغون عندهم العزة فإن الغزة لله جميعا ( النساء 138-139 )
“kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapatkan siksaan yang pedih yaitu orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah”.
Ayat-ayat di atas adalah larangan berbuat hianat pada agama atau grup sendiri dan ini realistis, sebab tidak pernah terdengar ada ajaran agama atau undang-undang di dunia ini yang memberi toleransi pada seorang pengikutnya yang tega menggunting dalam lipatan.
Kedua : Hubungan kasih sayang yang dilarang oleh ayat-ayat Al-Qur’an bukanlah kepada sembarang non muslim, hanya mereka yang menyakiti, memusuhi dan terlibat konflik dengan ummat Islam yang menjadi sasaran larangan ini. Jadi non muslim yang mengikat perjanjian damai atau berstatus dzimmi tidak ada larangan. Mari kita baca ayat ini :
لا تجد قوما يؤمنون بالله واليوم الآخر يوآدون من حآد الله ورسوله ( المجادله 22 )
“kamu tidak akan mendaptai sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari ahir saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya”.
Kalimat حآد الله ورسوله memusuhi Allah dan Rasul-Nya tidak bisa difahami sekedar sikap pasif (kufur) dari da’wah Rasulullah, tapi harus ada reaksi riil semisal memerangi, embargo, menentang, menyakiti pada pengikut da’wah Rasulullah. Pada awal-awal surat Mumtahanah kita jumpai ayat :
يآأيها الذين آمنوا لا تتخذوا عدوى وعدوكم أوليآء تلقون إليهم بالمودة وقد كفروا بما جآءكم من الحق يخرجون الرسول وإياكم أن تؤمنوا بالله ربكم (الممتحنه 1 )
“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu mengambil musuhku dan musuhmu menjadi teman-teman yang setia yang kamu sampaikan pada mereka (berita-berita Muhammad) karena rasa kasih sayang, padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu. Mereka mengusir rosul dan mengusir kamu karena kamu beriman kepada Allah Tuhanmu”.
Dalam ayat ini disebut dua alasan tak terpisahkan sebagai penyebab haramnya menjalin hubungan pembelaan terhadap non muslim yaitu kekafiran mereka terhadap Islam dan mencoret kewarga negaraan (Mekkah) serta mengusir Rasulullah dan para pengikutnya dari tanah air tercinta mereka. Jadi hukum haram ini tidak cukup hanya dengan alasan pertama وقد كفروا بما جآءكم من الحق .
Dipertengahan surat ini ada ayat lebih transparan
لا ينهاكم الله عن الذين لم يقاتلوكم فى الدين ولم يخرجوكم من دياركم أن تبروهم وتقسطوا إليهم إن الله يحب المقسطين . إنما ينهاكم الله عن الذين قاتلوكم فى الدين وأخرجوكم من دياركم وظاهروا على إخراجكم أن تولوهم ومن يتولهم فألئك هم الظالمون (الممتحنة 8-9 )
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagian kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu orang lain untuk mengusirmu dan barang siapa sebagai kawan maka mereka itulah sebagai orang-orang yang dzolim”.
Ini klasifikasi non muslim, ada yang menjunjung hak-hak azasi manusia berupa kebebasan beragama. Kelompok seperti wajib untuk dihormati dan diperlakukan secara adil. Sedangkan kelompok yang kedua yaitu mereka yang mengkebiri kebebasan beragama seperti musyrikin Mekkah yang menyakiti dan memerangi Rasulullah dan pengikutnya.
Ketiga : Islam memperbolehkan seorang muslim mengawini wanita ahli kitab dan sudah lazim dalam kehidupan rumah tangga harus didasari cinta dan kasih sayang sehingga terwujud ketentraman hati “sakinah”.
ومن آياته أن خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنوا إليها وجعل بينكم مودة ورحمة ( الروم 21 )
dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan dijadikannya diantaramu rasa kasih dan sayang”.
Ini dalil tak terbantah bahwa hubungan kasih sayang muslim dengan non muslim tidak dilarang. Bagaimana mungkin seorang suami tidak mencintai isterinya yang merupakan teman hidupnya, bila sang isteri kebetulan kitabiyah? Bagaimana mungkin suami tidak mencintai mertua dan kerabatnya? Padahal Allah telah berfirman :
وهو الذى خلق من المآء بشرا فجعله نسبا وصهرا ( الفرقان 54 )
“Dan Dia pula yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu punya keturunan dan mushoharoh”.
Keempat : Islam menjunjung tinggi hubungan solidaritas antar pemeluknya dan merupakan media pemersatu ummat dari keturunan siapapun, negara manapun, ras dan suku apapun. Jadi seorang muslim dengan muslim yang lain hubungannya lebih dekat daripada dengan non muslim walaupun bapaknya atau anaknya sendiri. Solidaritas seperti ini bukan milik Islam saja, tapi ini merupakan karakter semua agama atau ideologi.
 Tapi perlu juga diketahui bahwa di sana ada berbagai model solidaritas yang diakui oleh Islam selain solidaritas keagamaan, ada solidaritas kebangsaan, kaum dan kemanusiaan, karenanya kita temui dalam Al-Qur’an ayat-ayat seperti :
كذبت قوم نوح المرسلين . إذ قال لهم أخوهم نوح ألا تتقون .(الشعراء 105 – 106 )
“Kaum Nabi Nuh telah mendustakan para Rasul ketika saudara mereka, Nuh berkata kepada mereka; mengapa kamu tidak bertaqwa?.”
كذبت قوم لوط المرسلين إذ قال لهم أخوهم لوط ألا تتقون (الشعراء: 160-161)
“Kaum Nabi Luth telah mendustakan para Rasul ketika saudara mereka, Luth berkata kepada mereka; mengapa kamu tidak bertaqwa?.”
Allah melegalkan hubungan saudara, Rasul-rasul-Nya dengan kaumnya walaupun mereka mengkufuri dakwah-dakwah beliau dan ini bukan solidaritas keagamaan tapi sama-sama satu kaum.
Dalam hadits Nabi yang diriwayatkan Imam Ahmad dari sahabat Zaid bin Arqom; أنا شهيد أن العباد كلهم إخوة (Aku bersaksi bahwa semua hamba adalah saudara). Ini adalah solidaritas kemanusiaan dari agama dan bangsa apapun.


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 komentar:

 

Facebook Gue