S E
K U L E R I S M E
Definisi
Berasal
dari secularism yang berarti gerakan yang bertujuan mamalingkan manusia
dari kepentingan-kepentingan akhirat dan menfokuskannya pada
kepentingan-kepentingan dunia saja. Intinya memisahkan agama dari kehidupan
manusia secara pribadi atau dalam bermasyarakat dan bernegara atau memisahkan
urusan agama dari negara.
Embrio Sekulerisme
Faham
ini muncul dari Barat sekitar abad pertengahan. Pemikir-pemikir liberal menjadi
motor membebaskan rakyat dan negara dari cengkeraman tokoh-tokoh gereja.
Fungsi
gereja saat itu pasif dan statis menghadapi dinamika peradaban manusia, mengedepankan
tahayyul daripada nasionalisme, menyebabkan mandeknya laju pemerintahan yang
selalu tidak sinkron dengan kemauan gereja.
Situasi
ini sangat paradoks dengan peradaban Islam, jauh sebelum itu pemikir-pemikir
Islam dalam buku-bukunya telah membahas teori bundarnya bumi dengan leluasa.
Seperti Ibnu Hazm dalam bukunya; al-Fashlu fi al-Milal wa al-Nihal,
memaparkan dalil-dalil rasional tentang bundarnya bumi dan pemikir-pemikir
Islam lainnya. Gereja malah mengintimidasi orang yang berfikir seperti itu dan
dianggapnya kafir, keluar dari agama. Kebebasan beragama, berfikir, berpolitik
dikebiri total oleh gereja.
Inilah yang menyebabkan munculnya revolusi rakyat
yang terkenal dengan pekikan
اشنقوا آخر ملك بأمعاء آخر قسيس
“Entengi raja terakhir dengan usus-usus pendeta
terakhir.”
Penyebab lain dari munculnya faham sekulerisme
adalah ajaran agama Kristen yang memisahkan manusia antara jasad dan ruhnya,
agama dari urusan negara sesuai dengan perkataan Nabi Isa dalam Injil دع ما
لقيصر لقيصر وما لله لله (biarkan hak Kaisar untuk
Kaisar dan hak Allah untuk Allah).
Sikap Islam terhadap Sekulerisme
1.
Muslim
dan sekuler
Islam
tidak memberi celah sedikitpun terhadap penganutnya untuk keluar dari
tuntunannya. Mulai baligh sampai ke liang kubur, bahkan kejadian dia sebelum
hidup.
ولقد خلقنا
الإنسان من سلالة من طين. ثم جعلناه نطفة في قرار مكين. ثم خلقنا النطفة علقة
فخلقنا العلقة مضغة فخلقنا المضغة عظاما فكسونا العظام لحما ثم أنشأناه خلقا آخر
فتبارك الله أحسن الخالقين.(المؤمنون: 12-14).
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu
saripati (berasal) dari tanah, kemudian Kami jadikan sari pati itu air mani
(yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim) kemudian air mani itu Kami
jadikan segumpal darah, dan lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal
daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang lalu tulang
belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang
berbentuk lain. Maka Maha sucilah Allah pencipta yang paling baik.”
Juga apa yang ditemui setelah mati.
هل ينظرون
إلا تأويله يوم يأتي تأويله يقول الذين نسوه من قبل قد جاءت رسل ربنا بالحق فهل
لنا من شفعاء فيشفعوا لنا أو نرد فنعمل غير الذي كنا نعمل قد خسروا أنفسهم وضل
عنهم ما كانوا يفترون. (الأعراف: 53).
“Tidaklah mereka menunggu-nunggu kecuali terlaksananya kebenaran
al-Qur’an itu pada hari datangnya kebenaran pemberitaan itu, berkatalah
orang-orang yang melupakannya sebelum itu; sesungguhnya telah datang
Rasul-rasul Tuhan kami membawa yang haq, maka adakah bagi kami pemberi syafa’at
yang akan memberi syafa’at kepada kami atau dapatkah kami dikembalikan ke dunia
sehingga kami dapat beramal yang lain dari yang pernah kami amalkan. Sungguh
mereka telah merugikan diri mereka sendiri dan telah lenyaplah dari mereka
Tuhan-tuhan yang mereka adakan.”
Jadi paradoks sekali jika seorang muslim menerima
faham sekuler. Sebab konsep sekuler memisahkan ruh dan jasad, urusan agama
dengan dunia sehingga akan membentuk figure setengah iman setengah kafir
seperti sifat orang Yahudi
نؤمن ببعض ونكفر ببعض (النساء: 150)
“kami
beriman kepada yang sebagian dan kami kafir terhadap sebagian.”
Ini terjadi karena dia beranggapan bahwa untuk
urusan agama Allah punya hukum, sedangkan urusan dunia Allah tidak punya hukum
dalam arti tidak ada hisab. Padahal konsep muslim sejati tidak demikian. Dalam
al-Qur’an disebut:
ما يلفظ من قول إلا لديه رقيب عتيد (ق: 18)
“Tiada
ucapan yang diucapkannya melainkan ada didekatnya malaikat pengawas yang selalu
hadir.”
إن السمع والبصر والفؤاد كل أولئك عنه مسؤولا
(الإسراء: 36)
“sesungguhnya
pendengaran, penglihatan dan hati semuanya itu akan diminta
pertanggungjawabannya.”
Inilah
muslim sejati, dimanapun dan kapanpun selalu dinaungi ajaran Islam.
Aqidah dan Sekuler
Faham
sekuler, liberal tidak mengingkari aqidah Islam, juga tidak melarang manusia
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta hari akhir, karena ini konsekuensi
kebebasan beragama yang telah disepakati dunia internasional. Tapi, Islam di
negerinya Darul Islam tidak puas hanya diacungi jari toleransi atau
diisukan sebagai momok kemunduran peradaban, tapi aqidah Islam ingin menjadi
ruh kehidupan, idiologi tunggal, motor kebangkitan generasi umat, fondasi
berfikir dan pembentuk figure.
Sejak
usia dini, seorang muslim ditancapkan tauhid yang membebaskan manusia dari
menyembah selain Allah, bahkan sejak dia baru dilahirkan dianjurkan untuk
didengarkan di telinga kanannya kalimat-kalimat adzan walupun belum faham yang
terkandung di dalamnya kalimat tauhid seperti halnya ketika nanti sakaratul
maut, kalimat terakhir yang diperdengarkan adalah tauhid dan inilah asas
kebebasan hakiki.
Berbeda
dengan komunitas yang mengkultuskan sekelompok orang selain Allah yang bisa
berimplementasi sesosok penguasa otoriter seperti Fir’aun yang berkata:
أنا ربكم الأعلى (النازعات: 24)
“Saya adalah tuhan kalian yang tertinggi.”
atau tokoh-tokoh agama yang menghalalkan perkara
yang diharamkan Allah atau sebaliknya seperti ahli kitab.
اتخذوا أخبارهم ورهبانهم أربابا من دون الله والمسيح
ابن مريم (التوبة : 31).
“mereka orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka
sebagai tuhan selain Allah dan juga mereka mempertuhan-kan al-Masih putra
Maryam.”
Jadi,
penyembahan manusia terhadap manusia yang identik dengan musyrik inilah yang
terpraktekkan pada pola dua komunitas tersebut. Konsep ini tidak mampu
menyelamatkan umat manusia dari perbudakan. Akhirnya hanya idiologi tauhidlah
yang mampu menjawab problem zaman, membebaskan umat manusia dari perbudakan dan
hanya Allahlah yang disembah. Coba kita buka lembaran sejarah misi yang selalu
tertulis dalam-dalam surat Rasulullah kepada diktator-diktator bumi di sekitar
jazirah Arab pada waktu itu adalah;
قل يا أهل
الكتاب تعالوا إلى كلمة سواء بيننا وبينكم ألا نعبد إلا الله ولا نشرك به شيئا ولا
يتخذ بعضنابعضا أربابا من دون الله. فإن تولوا فقولوا اشهدوا بأنا مسلمون (آل
عمران: 64)
“Katakanlah ! Hai Ahli Kitab, marilah berpegang pada satu
kalimat yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu bahwa tidak kita
sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan
tidak pula sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain
Allah. Jika mereka berpaling, maka katakanlah pada mereka saksikanlah bahwa
kami adalah orang-orang yang berserah diri kepada Allah.”
Generasi
terbaik dari umat ini ketika memerangi tentara Persi, apa yang dikatakan Robi’
bin Amir ra. pada panglima perang Persi, Rustum?
إن الله ابتعثنا لنخرج الناس من عبادة العباد إلى
عبادة الله وحده.
“Sesungguhnya Allah telah mengutus kami untuk mengeluarkan
manusia dari menyembah kepada manusia menuju menyembah kepada Allah saja”.
Tauhid asas solidaritas universal
Do’a
yang dibaca Nabi SAW setelah sholat yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Abi Dawud
اللهم ربنا
ورب كل شيء أنا شهيد أنك أنت الرب وحدك لا شريك لك اللهم ربنا ورب كل شيء أنا شهيد
أن محمدا عبدك ورسولك ، اللهم ربنا ورب كل شيء أنا شهيد أن العباد كلهم إخوة .
“Ya Alllah Ya Tuhan kami dan Tuhan segala sesuatu, aku bersaksi
bahwa Engkau adalah Tuhan satu-satunya, Ya Allah Ya Tuhan kami dan Tuhan segala
sesuatu, aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-Mu dan utusan-Mu, Ya Allah Ya
Tuhan kami dan Tuhan segala sesuatu, aku bersaksi bahwa semua manusia adalah
saudara.”
Solidaritas
universal mengiringi dua syahadat, karena merupakan buah dari syahadat itu
sendiri.
Tauhid asas kesederajatan universal
Ini
dapat kita temui dalam ayat;
إن أكرمكم عند الله أتقاكم (الحجرات: 13)
“Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu
menurut Allah adalah yang paling taqwa.”
juga dalam pidato Rasulullah yang disaksikan
puluhan ribu mata pada waktu haji wada’;
يا أيها
الناس إن ربكم واحد، وإن أباكم واحد ، كلكم لآدم وآدم من تراب، لا فضل لعربي على
عجمي ، ولا لأبيض على أسود إلا بالتقوى. (رواه أحمد).
“Wahai manusia! Sesungguhnya Tuhanmu satu, dan bapakmu satu,
kalian semua dari Adam dan Adam diciptakan dari debu, tidak ada kemuliaan bagi
bangsa Arab atas bangsa ajam juga bangsa yang berkulit putih atas bangsa yang
berkulit hitam kecuali dengan taqwa”
Dari
tinjauan ini, walaupun sekuler menyambut baik aqidah Islam secara teori dan
wacana, tapi apa yang menjadi konsekuensi dari aqidah Islam mereka tolak mentah-mentah.
Ini dapat kita lihat dengan jelas dalam dua masalah krusial;
Pertama : Mereka
menolak aqidah menjadi asas solidaritas dan persaudaraan, karena aqidah tidak
bisa menjadi standar pemersatu manusia. Mereka mengedepankan kesukuan, ras,
hubungan darah dan kebangsaan sebagai standar pemersatu bangsa. Ini jelas
paradoks orientasi al-Qur’an yang menampilkan iman dan aqidah sebagai asas
solidaritas persaudaraan إنما المؤمنون إخوة . mendahulukan pembelaan terhadap Allah dan Rasul-Nya serta
komunitas mu’min atas pembelaan yang lain;
إنما وليكم الله ورسوله والذين آمنوا الذين يقيمون
الصلاة ويؤتون الزكاة وهم راكعون ومن يتول الله ورسوله والذين آمنوا فإن حزب الله
هم الغالبون (المائدة: 55-56).
“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan
orang-orang yang beriman yang mendirikan sholat dan menunaikan zakat seraya
mereka tunduk kepada Allah dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan
orang-orang yang beriman menjadi penolongnya maka sesungguhnya pengikut agama
Allah itulah yang pasti menang.”
Mengubur dalam-dalam semua jenis fanatisme
walaupun sangat dekat dan kuat bila tidak sejalan dengan hubungan iman.
يا أيها
الذين آمنوا لا تتخذوا آبائكم وإخوانكم أولياء إن استحبوا الكفر على الإيمان ومن
يتولهم منكم فأولئك هم الظالمون (التوبة: 23).
“Hai orang-orang yang beriman ! janganlah kamu jadikan
bapak-bapak dan saudaramu pemimpin-pemimpinmu jika mereka lebih mengutamakan
kekafiran atas keimanan dan siapa diantara kamu yang menjadikan mereka
pemimpin-pemimpinmu maka mereka itulah orang dholim”.
Juga dalam surat al-Mujadalah; 22.
لا تجد
قوما يؤمنون بالله واليوم الآخر يوادون من حاد الله ورسوله ولو كانوا آباءهم أو
أبناءهم أو إخوانهم أو عشيرتهم (المجادلة: 22).
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada
Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang
menentang Allah dan Rasul-Nya sekalipun orang-orang itu bapak-bapak atau
anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.”
Al-Qur’an
membuat exercise figur Nabi Ibrahim as. bagaimana Beliau memutuskan hubungan
kerabat dengan bapaknya, Azar setelah nyata-nyata dia musuh Allah.
قد كانت
لكم أسوة حسنة في إبراهيم والذين معه إذ قالوا لقومهم إنا برءاء منكم ومما تعبدون
من دون الله كفرنا بكم وبدا بيننا وبينكم العداوة والبغضاء أبدا حتى تؤمنوا بالله
وحده إلا قول إبراهيم لأبيه لأستغفرن لك وما أملك لك من الله من شيء (الممتحنة:
4).
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada
Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia ketika mereka berkata kepada
kaum mereka; sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu
sembah selain Allah, kami ingkari kekafiranmu dan telah nyata antara kami dan
kamu permusuhan dan kebencian buat selama lamanya sampai kamu beriman kepada
Allah saja, kecuali perkataan Ibrahim kepada Bapaknya; sesungguhnya aku akan
memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu
siksaan Allah.”
Begitu
pula Nabi Nuh dengan anaknya, Kan’an;
يا نوح إنه ليس من أهلك، إنه عمل غير صالح (هود: 46)
“Wahai Nabi Nuh, Kan’an bukanlah golonganmu. Itu adalah amal
yang tidak baik.”
Melarang
keras orang mukmin mengadakan persekutuan dengan musuh-musuh Allah kecuali
dalam situasi terjepit dimana kelompok mukmin terpaksa berpura-pura pada
kelompok kafir.
لا يتخذ
المؤمنون الكافرين أولياء من دون المؤمنين. ومن يفعل ذلك فليس من الله في شيء إلا
أن تتقوا منهم تقاه ويحذركم الله نفسه وإلى الله المصير (آل عمران: 28)
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir
menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat
demikian niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena siasat
memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah
memperingatkan kamu terhadap diri (siksanya) dan hanya kepada Allah tempat
kembali.”
Ayat
ini menunjukkan bahwa al-Wilayah adalah membantu dan berada di barisan
orang kafir, bukan yang dimaksud hubungan intim dhohir bathin. Kalau ini yang
dimaksud, maka tidak ada dispensasi sama sekali, sebab walaupun kondisi
kelompok Islam lemah, tapi masih mungkin menyembunyikan kebencian dan rasa
pemusuhan dalam hatinya dan tidak ada yang mengetahuinya.
Kedua : Sekuler menolak apa yang menjadi konsekuensi
aqidah Islam terhadap generasinya yaitu menjalankan dan tunduk pada hukum Allah
dan Rasul-Nya. Jelas dalam surat al-Ahzab; 36, al-Nur; 51, al-Nisa’; 65:
وما كان
لمؤمن ولا مؤمنة إذا قضى الله ورسوله أمرا أن يكون لهم الخيرة من أمرهم ومن يعص
الله ورسوله فقد ضل ضلالا مبينا. (الأحزاب: 36).
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula
bagi perempuan yang mukmin apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu
ketetapan akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka dan
barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat
yang nyata.”
إنما كان
قول المؤمنين إذا دعوا إلى الله ورسوله ليحكم بينهم أن يقولوا سمعنا وأطعنا وأولئك
هم المفلحون (النور: 51)
“Sesungguhnya jawaban orang-orang mu’min, bila mereka dipanggil
kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) diantara mereka
ialah ucapan; “Kami mendengar, dan kami patuh,” dan mereka itulah orang-orang yang
beruntung.”
فلا وربك
لا يؤمنون حتى يحكموك فيما شجر بينهم ثم لا يجدوا في أنفسهم حرجا مما قضيت ويسلموا
تسليما (النساء: 65).
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman
hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan,
kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang
kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”
Seorang
Muslim harus mempolakan hidupnya sesuai dengan aqidah Islam nampak dalam
perilaku dan pergaulannya dengan predikat apa saja, sipil atau pemerintah.
Sedangkan faham sekuler menghendaki aqidah sebagai tawanan dalam penjara hati,
tidak boleh mengarungi medan kehidupan dan kalau terpaksa diberi toleransi
hanya akan diberi ruang, masjid-masjid, tidak boleh keluar dari garis masjid.
Jadi,
kalau seorang muslim hidup di bawah cengkeraman faham sekuler, paradoks antara
aqidah yang diimaninya dengan realita kehidupan yang dijalaninya. Idiologinya
ketimuran praktek realitanya keBarat-baratan. Idiologinya berkata haram, sekuler
berkata boleh. Idiologinya menuntut aktif bergerak, sekuler menghalanginya,
begitulah keduanya tidak akan pernah hidup bersama.
Ibadah dan Sekuler
Memang
sekuler tidak anti terhadap ibadah dan syiar-syiar Islam, karena merupakan
bagian dari kebebasan beragama, tapi tidak menjadikannya sebagai tujuan utama
atau kebutuhan primer manusia seperti firman Allah;
وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون (الذاريات: 56)
“Aku
tidak menjadikan jin dan manusia kecuali untuk menyembahku.”
Sesibuk
apapun seorang muslim tetap berkewajiban melaksanakan sholat walupun dalam
kondisi ketakutan di medan perang. Al-Baqarah; 238-239, al-Nisa’; 102.
حافظوا على
الصلوات والصلاة الوسطى وقوموا لله قانتين . فإن خفتم فرجالا أو ركبانا فإذا أمنتم
فاذكروا الله كما علمكم الله ما لم تكونوا تعلمون (البقرة: 238-239)
“Peliharalah segala sholatmu dan peliharalah sholat wustho,
berdirilah karena Allah dalam sholatmu dengan khusu’. Jika kamu dalam keadaan
takut (bahaya) maka sholatlah sambil berjalan atau berkendaraan kemudian
apabila kamu telah aman maka sebutlah Allah (sholatlah) sebagaimana Allah telah
mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.”
وإذا كنت
فيهم فأقمت لهم الصلاة فلتقم طائفة منهم معك وليأخذوا أسلحتهم فإذا سجدوا فليكونوا
من وراءكم ولتأت طائفة أخرى لم يصلوا فليصلوا معك وليأخذوا حذرهم وأسلحتهم ود
الذين كفروا لو تغفلون عن أسلحتكم وأمتعتكم فيميلون عليكم ميلة واحدة ولا جناح
عليكم إن كان بكم أذى من مطر أو كنتم مرضى أن تضعوا أسلحتكم وخذوا حذركم إن الله
أعد للكافرين عذابا مهينا. (النساء: 102).
“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu)
lalu kamu hendak mendirikan sholat bersama-sama mereka, maka hendaklah
segolongan dari mereka berdiri sholat besertamu dan menyandang senjata,
kemudian apabila mereka yang sholat yang besertamu sujud, telah menyempurnakan
seraka’at, maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu untuk menghalangi musuh
dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum sholat lalu sholatlah
mereka denganmu dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata.
Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu
lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus dan tidak ada dosa atasmu meletakkan
senjata-senjatamu jika kamu mendapatkan kesusahan karena hujan atau karena kamu
memang sakit dan siap siagalah kamu sesungguhnya Allah telah menyediakan adzab
yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu.”
Kepedulian
seperti ini jauh berbeda dengan pandangan sekuler yang membuang predikat muslim
taat atau kurang taat sebagai ukuran untuk mengangkat pemimpin dengan alasan
ketaatan seseorang terhadap agamanya adalah urusan pribadi, sedangkan suksesi
adalah urusan social kemasyarakatan yang harus dibedakan. Sekuler juga
membiarkan orang-orang yang terang-terangan meninggalkan ibadah tanpa ada
kontrol social atau sanksi. Ini berbeda dengan konsep Islam yang memberi sanksi
murtad atau keluar dari agama bagi mereka yang terus menerus meninggalkan
sholat, menolak zakat, tidak puasa Ramadlon.
Sekuler
juga tidak memandang zakat sebagai undang-undang positif dalam urusan ekonomi
dan social tapi merupakan urusan pribadi. Silahkan yang mau mengeluarkan zakat
dan tetap berkewajiban membayar pajak dan bagi yang tidak zakat tidak ada
sanksi, padahal zakat salah satu syarat dari turunnya pertolongan Allah pada
hamba-Nya.
الذين إن مكناهم أقاموا الصلاة وآتوا الزكاة (الحج:
41).
“Yaitu orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di
muka bumi niscaya mereka mendirikan sholat dan menunaikan zakat.”
3. Akhlak dan Sekuler
Bisa
ditebak, sekuler justru menjunjung nilai-nilai etika, karena hanya etikalah yang
mampu mewarnai maju mundurnya peradaban manusia dan motivasi tunggal bangkitnya
suatu bangsa. Manusia sebagai subyek dinamika peradaban harus membangunnya di
atas nilai-nilai etika kemanusiaan yang luhur. Hipotesa inilah mungkin yang
mengantarkan penyair kondang Syauqi dalam menulis syairnya.
وإنما الأمم الأخلاق ما بقيت * فإن همو ذهبت أخلاقهم
ذهبوا
“Eksistensi umat adalah etika mereka, kalau akhlak mereka
hancur, hancur pula umat itu.”
Jadi,
kelihatannya sinkron antara Islam dan sekuler dalam masalah etika, tapi kalau
dicermati secara kritis ada dua jurang yang membelah kedua idiologi ini.
Pertama : Interaksi lawan jenis.
Islam
menyikapi hal ini dan memberi solusi alternatif paling etis yaitu nikah,
malarang pergaulan bebas di luar pagar saklar nikah dan menfonisnya dengan
sebutan zina atau penyelewengan seksual yang bisa mengundang murka Allah dan
mencoreng wajah komunitas masyarakat yang beretika dan estetika luhur.
ولا تقربوا الزنا إنه كان فاحشة وساء سبيلا.
(الإسراء: 32).
“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah
suatu perbuatan yang keji dan jalan yang buruk.”
Juga menutup rapat-rapat semua pintu menuju
perzinaan, karenanya Islam mendidik generasinya untuk selalu menjaga kehormatan
dan privasi diri serta memalingkan pandangan Ghoddlul Bashor.
قل
للمؤمنين يغضوا من أبصارهم ويحفظوا فروجهم ذلك أزكى لهم إن الله خبير بما يسمعون.
وقل للمؤمنات يغضضن من أبصارهن ويحفظن فروجهن (النور: 30-31).
“Katakanlah kepada orang-orang yang beriman hendaklah mereka
menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih
suci bagi mereka sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang mereka perbuat.
Katakanlah kepada wanita yang beriman hendaklah mereka menahan pandangannya dan
memelihara kemaluannya.”
Secara
spesifik seorang muslimah diperintah untuk selalu menjaga feminisme dan
keanggunannya:
-
Dalam berpakaian.
ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها وليضربن بخمرهن على جيوبهن
(النور : 31).
“Dan janganlah mereka menamapkkan perhiasannya kecuali yang
nampak daripadanya dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya.”
-
Dalam berbicara.
فلا تخضعن بالقول فيطمع الذي في قلبه مرض وقلن قولا معروفا
(الأحزاب: 32).
“Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga
berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan
yang baik.”
-
Dalam berjalan dan bergerak
ولا يضربن بأرجلهن ليعلم ما يخفين من زينتهن (النور
: 31)
“Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan.”
Seperti
larangan seorang muslim berduaan dengan seorang muslimah, seorang muslimah juga
dilarang bepergian sendiri tanpa suami atau mahrom apalagi dalam situasi tidak
aman.
Itulah
orientasi Islam yang disambut acuh oleh sekuler Barat, bahkan mengamini pola
pergaulan bebas dengan dalih kebebasan individual.
Kedua : Asas etika
Sekuler
membuang jauh-jauh agama sebagai asas etika. Menurut mereka, falsafah atau
tindakan positif yang sesuai dengan model kekinian itulah yang patut menjadi
asas etika, padahal etika dari sisi tolok ukur, tanggung jawab, tujuan dan
motifasi bila tidak dijiwai agama, maka etika tinggal slogan saja, seperti kata
politisi Inggris dalam menghadapi masalah kebejatan moral dan kehancuran
ekonomi dia berkata; “tanpa undang-undang tidak akan ada suatu bangsa, tanpa
etika tidak akan berwibawa suatu undang-undang dan tanpa iman tidak akan wujud
suatu etika.”
Sebagian
etika yang diajarkan Islam yang selalu dimusuhi sekuler dimana saja dan kapan
saja adalah masalah hijab, karena dituduh kurang gaul, sok suci dan cenderung
menutup diri. Padahal ini salah satu ekspresi dari kebebasan individual dan
menjalankan perintah agama bagi seorang muslimah.
Syari’at dan Sekuler
Kalangan
sekuler berbaris serempak mengahalangi siapa saja yang menginginkan syari’at
Islam menjadi hukum positif negara. Menurut mereka, cukuplah agama berdomisili
dalam hati atau di masjid, mereka beranggapan komunitas masyarakat punya
pranata-pranata yang lebih social dan lebih dinamis dibanding produk-produk
hukum lain. Jadi Islam tidak berhak mengatur dan menghukumi halal haram pada
mereka dan inilah sabotase terang-terangan terhadap Allah Tuhan semesta alam.
Dari
tinjauan ini, berarti sekuler telah menjadikan manusia sekutu Allah yang telah
menciptakan manusia itu sendiri. Memang mereka mengakui kalau alam semesta ini
Allah yang menciptakan, tapi hak manajemen tidak milik Allah. Padahal Islam
berasaskan;
ألا له الخلق والأمر تبارك الله أحسن الخالقين
(الأعراف: 54).
“Ingatlah menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah, Maha
Suci Allah Tuhan semesta alam.”
Kalau
ada sekuler yang sedikit toleran, mengakui Allah punya hak untuk ngatur dalam
prakteknya mereka akan meralat hukum-hukum Allah dengan argumen-argumen ngawur
yang tidak bisa dipertanggung jawab-kan di hadapan Allah dan akhirnya
terjadilah menghalalkan apa yang diharamkan Allah atau sebaliknya.
Realitanya,
konsep sekuler tak mampu menyaingi produk langit yang mengetahui secara total
apa yang akan terjadi pada manusia, walaupun zaman berubah, ruang berbeda,
peradaban manusia dinamis, Islam tetap eksis menyadikan menu-menu hukum yang
sesuai dengan kemaslahatan manusia mengantarkannya menuju peradaban yang lebih
dinamis walau sudah termakan usia 14 abad.
Islam
berasaskan idiologi yang sangat kokoh bahwa Allah Maha Agung, tidak ada yang
mampu bersembunyi dari ilmu Allah, zaman lampau, sekarang, akan datang sama
saja menurut Allah.
وما تكون
في شأن وما تتلو منه من قرآن ولا تعملون من عمل إلا كنا عليكم شهودا إذ تفيضون فيه
وما يعزب عن ربك من مثقال ذرة في الأرض ولا في السماء ولا أصغر من ذلك ولا أكبر
إلا في كتاب مبين.(يونس:61)
“Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu
ayat dari al-Qur’an dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan malainkan kami
menjadi saksi atasmu diwaktu melakukan tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu
biarpun sebesar atom di bumi ataupun di langit tidak ada yang lebih kecil dan
tidak pula yang lebih besar dari itu malainka semua tercatat dalam kitab yang
nyata (Lauhul Mahfudz).”
Hukum
syari’at adalah monster paling menakutkan bagi sekuler di negeri Islam, karena
Daulah Islamiyah yang mampu mengangkat Islam dari alam teori, wacana dan ilusi
menuju Islam yang subyektif dan merambah dunia yang realistis. Seperangkat
pranata hukum telah tertata rapi menunggu uluran tangan siapa saja yang mau
meletakkannya sebagai hukum positif negara, juga akan menjaga umat dari
serangan musuh seperti kata Khalifah Utsman bin Affan ra.:
إن الله ليزع بالسلطان ما لا يزع في القرآن
“Sesungguhnya Allah akan melindungi dengan suatu pemerintahan
apa yang tidak mampu dilindungi oleh al-Qur’an.”
Daulah Islamiyah dan Negara Sekuler
Eksistensi Daulah dalam Islam
Imperalis
Barat telah mampu menanam opini bahwa Islam adalah agama, bukan negara. Agama
menurut istilah Barat adalah gereja dan kekuasaan Albaba. Mereka ingin
mempraktekkan di negeri-negeri Islam Timur apa yang terjadi di Barat. Revolusi
Barat baru bisa menuai kesuksesan setelah mereka membebaskan diri dari
kekuasaan gereja, begitupula negeri-negeri Timur, Islam Arab kalau ingin
bangkit harus melepaskan diri dari pengaruh agama, padahal Islam bukanlah
gereja atau Albaba.
Sebagai
exercise pragmatis adalah negara yang didirikan Kamal At-Tataruk di Turki pasca
runtuhnya Khilafah Utsmaniyah yang merupakan benteng politik Islam terakhir
dalam menghadapi tentara Salib dan Zionis internasional.
Keberhasilan
Barat dalam mempublikasikan ide sekuler tidak hanya mampu menjajah pemikiran
tokoh-tokoh politik modern, tapi juga mampu menusuk sebagian generasi yang
menggeluti ilmu-ilmu agama di lembaga-lembaga pendidikan seperti Azhar
University. Ini dapat dilihat dalam buku al-Islam wa Ushulul Hukmi milik
Ali Abdul Raziq, salah satu pelajar al-Azhar yang mengusung ide sekuler secara
total.
Karena
itulah, selayaknya kita merapatkan barisan menghadang laju sekuler dan
agen-agen komersialnya dengan menancapkan interpretasi bahwa sejarah adalah
bagian dari Islam yang punya spesifik selalu relevan diberbagai waktu dan ruang
serta dinamis mengikuti peradaban manusia.
Allah
telah menurunkan kitab-Nya yang menjelaskan apa saja yang ada di alam semesta.
ونزلنا عليك الكتاب تبيانا لكل شيء وهدى ورحمة وبشرى
للمسلمين. (النحل: 89)
“Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab untuk menjelaskan segala
sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembir bagi orang-orang yang
berserah diri.”
Dalil-dalil kewajiban mendirikan Daulah Islamiyah
Ide
Daulah Islamiyah bukanlah penemuan baru, tapi inilah yang disuarakan lantang
oleh nash-nash peristiwa-peristiwa historis serta karakter dakwah Islam yang
universal.
Nash-nash
Islam
إن الله
يأمركم أن تؤدوا الأمانات إلى أهلها وإذا حكمتم بين الناس أن تحكموا بالعدل إن
الله نعما يعظكم به إن الله كان سميعا بصيرا. يا أيها الذين آمنوا أطيعوا الله
وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى الله والرسول
(النساء: 58-59).
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya. Dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum diantara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kamu. Sesungguhnya Allah Maha mendengar
lagi Maha melihat. Hai orang-orang yang beriman ! taatilah Allah dan taatilah
Rasul-Nya dan Ulil Amri diantara kamu kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada al-Qur’an dan Sunnah Rasul.”
Ayat
pertama, seruan kepada pemerintah dan para hakim agar menjalankan amanat dan
membuat keputusan yang adil, karena bila amanat dan keadilan disia-siakan
kehancuran umat dan robohnya sendi-sendi bangunan masyarakat tinggal menunggu
hitungan jari. Dalam hadits
إذا ضيعت
الأمانة فانتظروا الساعة، قيل: كيف إضاعتها؟، قال: إذا وسد الأمر إلى غير أهله
فانتظر الساعة.(رواه البخاري).
“Ketika amanat disia-siakan, maka tunggulah kehancuran umat. Ada
yang bertanya; bagaimana amanat itu disia-siakan?, Nabi menjawab: bila urusan
diserahkan kepada selain ahlinya, tunggulah kehancuran.”
Ayat
kedua, seruan terhadap rakyat mukmin agar taat pada pemerintah dengan syarat
dari kelompok mukmin juga dan ketaatan ini menempati rangking ketiga setelah
taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta bila terjadi perbedaan hendaklah
dikembalikan pada al-Qur’an dan al-Hadits.
Nash
yang lain adalah hadits riwayat Muslim;
من مات وليس في عنقه بيعة مات ميتة جاهلية
“Barang siapa mati dan dilehernya tidak terikat suatu bai’at
terhadap pemerintah, maka dia mati jahiliyah.”
Jelas
termasuk perbuatan haram, seorang muslim bai’at kepada pemerintah yang tidak
menjalankan hukum Islam. Sedangkan bai’at yang bisa menyelamatkan dari dosa
adalah kepada pemerintah yang menjalankan hukum Allah. Dan kalau tidak ada,
semua orang Islam berdosa sampai terwujudnya pemerintahan Islam, tidak ada yang
bisa lepas dari dosa ini kecuali orang yang ingkar walau dalam hati dan
berusaha semaksimal mungkin untuk memulai kehidupan yang islami. Dan ini tidak
mungkin dilakukan sendirian, harus menggalang solidaritas saudara-saudaranya
yang seperjuangan.
Fakta
Historis
Rasulullah
mengajak Kabilah-kabilah untuk beriman kepada Beliau serta membela dakwahnya
sampai akhirnya Allah mempertemukan Beliau dengan Anshor dari Kabilah Aus dan
Khozroj. Setelah Islam menyebar di kalangan Anshor, pada musim haji sebanya 73
laki-laki dan 2 wanita datang untuk bai’at kepada Rasulullah SAW. isi bai’at
itu;
-
Anshor akan membela beliau seperti halnya membela
diri mereka sendiri, istri-istri serta anak-anak mereka.
-
Patuh dan taat pada Rasulullah
-
Amar ma’ruf nahi anil munkar.
Dan
hijrahnya Rasulullah ke Madinah tiada lain untuk membentuk masyarakat muslim
yang nantinya akan berwujud Daulah Islam. pada masa itu bagi yang telah masuk
Islam diwajibkan hijrah ke Madinah untuk memperkuat eksistensi Daulah, hidup di
bawah naungannya serta berperang di bawah panji-panji Daulah Madinah.
والذين آمنوا ولم يهاجروا ما لكم من ولايتهم من شيء
حتى يهاجروا (الأنفال: 72)
“Dan terhadap orang-orang yang beriman tetapi belum hijrah, maka
tidak ada sedikitpun atasmu melindungi mereka sebelum mereka hijrah.”
Juga dalam Surat an-Nisa; 89:
فلا تتخذوا منهم أولياء حتى يهاجروا في سبيل الله
(النساء: 89).
“Maka janganlah kamu jadikan diantara mereka penolong-penolongmu
hingga mereka hijrah pada jalan Allah.”
Juga turun ayat yang mengancam orang-orang Islam
yang memilih hidup di negara kafir. Dan konsekuensinya mereka tidak bisa
melaksanakan kewajiban-kewajiban agamanya.
إن الذين
توفاهم الملائكة ظالمي أنفسهم قالوا فيم كنتم قالوا كنا مستضعفين في الأرض قالوا
ألم تكن أرض الله واسعة فتهاجروا فيها فأولئك مأواهم جهنم وساءت مصيرا إلا
المستضعفين من الرجال والنساء والولدان لا يستطيعون حيلة ولا يهتدون سبيلا فأولئك
عسى الله أن يعفو عنهم وكان الله عفوا غفورا (النساء: 97-99)
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan
menganiaya diri sendiri kepada mereka malaikat bertanya; dalam keadaan bagaiman
kamu ini?, mereka menjawab; adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri
Mekkah. Para malaikat berkata; bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu
dapat berhijrah di bumi itu?, orang-orang itu tempatnya neraka jahannam dan
jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. Kecuali mereka yang tertindas baik
laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan
tidak mengetahui jalan untuk hijrah. Mereka itu mudah-mudahan Allah
memaafkannya dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.”
Dan
ketika Rasulullah wafat, apa yang digagas para Sahabat?, ternyata suksesi. Baru
setelah Abu Bakar di bai’at, mereka mengubur jenazah Rasulullah SAW.
Tak
pernah dijumpai dalam lembaran-lembaran sejarah orang Islam memisahkan agama
dan negara kecuali setelah munculnya abad sekuler pada masa itu dan itulah yang
dikhawatirkan Rasulullah, seperti hadits Mu’adz;
ألا إن رحى
الإسلام دائرة فداروا مع الإسلام حيث دار ألا إن القرآن والسلطان سيفترقان فلا
تفارقوا الكتاب ألا إنه سيكون عليكم أمراء يقضون لأنفسهم ما لا يقضون لكم فإن
عصيتموهم قتلوكم وإن أطعتموهم أضلوكم قالوا: وماذا نصنع يا رسول الله؟، قال: كما
صنع أصحاب عيسى ابن مريم، نشروا بالمناشر وحملوا على الخشب موت في طاعة الله خير
من حياة في معصية الله. (رواه إسحاق بن راهويه).
“Ingatlah sesungguhnya lokomotif Islam akan selalu berputar,
berputarlah kalian semua bersama Islam kemanapun Islam berputar. Ingatlah
sesungguhnya al-Qur’an dan pemerintahan akan berpisah, maka janganlah kalian
berpisah dengan kitab. Ingatlah sesungguhnya akan datang pada kalian para
penguasa yang memutuskan perkara untuk mereka tidak pernah memperhatikan hak
kalian. Bila kalian mendurhakai mereka, mereka akan membunuh kalian dan kalau
kalian taat pada mereka, mereka akan menyesatkan kalian. Para Sahabat bertanya;
apa yang harus kami lakukan wahai Rasulullah?, Nabi menjawab; seperti yang
dilakukan pengikut-pengikut Isa bin Maryam, dibelah dengan gergaji dan disalib
pada kayu-kayu. Mati mempertahankan taat kepada Allah lebih baik daripada hidup
mendurhakai Allah.”
Karakteristik
Islam
- Islam agama universal, pranata hukumnya meliputi
semua aspek kehidupan. Karakter ini mustahil membiarkan urusan-urusan besar
seperti negara dipegang orang-orang menyeleweng dan fasiq. Islam juga
mengajarkan koordinasi dan menyerahkan tanggung jawab pada yang ahli agar tidak
terjadi situasi caos disegala hal. Sebab, seperti kata orang padang
pasir;
الحق بسوء التنظيم قد يغلبه الباطل بخير التنظيم
“kebenaran
tanpa koordinasi yang baik terkadang dikalahkan kebatilan yang terkoordinasi.”
Hingga
dalam sholat Rasulullah memerintahkan untuk meluruskan barisan dan siapa yang
paling berilmu itulah yang menjadi imam, juga dalam bepergian, Beliau
menginstruksikan agar salah satu dari mereka menjadi ketua.
Ibnu
Taimiyah dalam kitabnya, al-Siyasah al-Syar’iyyah berkata; wajib
diketahui bahwa mengangkat pemimpin adalah termasuk kewajiban yang besar,
bahkan urusan agama dan dunia tidak akan pernah beres kecuali ada pemimpin.
Karena kemashlahatan manusia tidak bisa tercapai kecuali dengan berkumpul dan
berinteraksi. Dan ketika sudah berkumpul dalam satu komunitas, harus ada
seorang pemimpin. Sabda Nabi:
إذا خرج
ثلاثة في سفر فليأمروا أحدهم. (رواه أبو داود)
“Ketika tiga orang keluar untuk bepergian, maka angkatlah salah
satu dari mereka menjadi pimpinan.”
Ini
warning dari Rasulullah, komunitas yang nomaden yang beranggotakan
relatif sedikit yaitu tiga orang saja, diinstruksikan untuk mengangkat pemimpin
apalagi komunitas yang besar dan plural seperti negara.
Dan Allah mewajibkan amar ma’ruf nahi munkar, ini
tidak bisa maksimal kecuali ada power dan pemimpin. Dalam sebuah riwayat;
إن السلطان ظل الله في الأرض
“Sesungguhnya
pemerintah adalah bayang-bayang Allah di bumi-Nya.”
Ulama-ulama salaf seperti Fudloil bin ‘Iyadl,
Ahmad bin Hanbal dan lainnya berkata;
لو كانت لنا دعوة مستجابة لدعونا بها للسلطان
“Seandainya
kami punya do’a yang mustajabah, maka kami akan mendo’akan penguasa.”
karena
Allah akan memperbaiki tatanan manusia dalam skala makro disebabkan adilnya
seorang pemimpin.
-
secara metodologi Islam ingin menjadi subyek dan menghegemoni percaturan
kehidupan. Jadi tidak cukup dikhutbahkan, dimauidlohkan juga tidak cukup dengan
meletakkan konsep-konsep hukum serta ajaran-ajarannya yang ada diberbagai media
ke dalam hati individual-individual muslim, dan ketika hatinya mati atau sakit,
Islam gulung tikar.
Sebagian manusia ada yang cukup menerima
petunjuk dari al-Qur’an atau akal sehat, tapi ada sebagian yang tidak berhenti
dari kemunkaran-nya kecuali dengan ancaman pedang.
لقد أرسلنا
رسلنا بالبينات وأنزلنا معهم الكتاب والميزان ليقوم الناس بالقسط، وأنزلنا الحديد
فيه بأس شديد ومنافع للناس (الحديد: 25).
“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan
membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab
dan neraca keadilan supaya manusia dapat melaksana-kan keadilan dan Kami
ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat
bagi manusia.”
Ibnu
Taimiyah berkata; barang siapa menyeleweng dari tuntunan kitab maka akan
diluruskan dengan besi.
Kalau
nash-nash dan fakta historis Rasulullah dan Sahabatnya dianggap kurang jelas,
maka karakteristik risalah Islam sendirilah yang menuntut wujudnya Daulah
Islamiyah.
Daulah Islamiyah bukan Daulah Diniyah
Ada
jurang pemisah antara negara Islam dengan negara agama. Seperti yang dikenal
kalangan salib Barat pada abad-abad pertengahan. Pemicunya adalah
kesalahpahaman antara kata Islam dan agama. Banyak yang menganggap bahwa semua
yang berbau Islam itu adalah agama, tapi kenyataannya Islam itu lebih luas dari
agama. Sampai ulama ushul memasang kata al-Din sebagai salah satu lima
unsur fundamental (Kulliyatul al-Khomsi) yang dilindungi oleh syari’at,
yaitu; agama, nyawa, akal, keturunan dan harta.
Kita
ambil contoh, lembaga pendidikan Islam terlengkap, di sana tidak hanya materi
agama saja yang disajikan, tapi juga ada materi-materi aqliyah, kesehatan
jasmani, etika, militer, social kemasyarakatan, ekonomi, politik, sains,
sastra, ketrampilan, kesenian dan lain-lain. Jadi, materi agama adalah salah
satu cabang dari cabang-cabang pendidikan islamiyah yang banyak.
Berarti
salah fatal kalau dikatakan bahwa negara Islam yang kita dengung-dengungkan itu
adalah negara agama dan yang benar adalah negara modern yang terbentuk dari
proses pemilihan umum, bai’at, musyawarah mufakat, tanggung jawab pemerintah
kepada rakyatnya dan setiap individu berhak menasehati penguasa.
Seorang
pemimpin dalam daulah islamiyah, kekuasaannya tidak absolut. Di sana ada hukum
syari’at yang membatasinya. Hukum-hukum ini bukan dia atau partainya atau tim
suksesnya yang merancang, tapi; Robbinnas,
Malikinnas, Ilahinnas, siapa saja tidak boleh mengganggu gugat
hukum-hukum itu.
Seorang muslim atau muslimah bila diperintahkan
melaksanakan perkara yang jelas-jelas melanggar hukum agama, berkewajiban
menentang perintah itu. Karena bila terjadi pertentangan antara hak Allah dan
hak pemerintah, maka hak Allah harus didahulukan. Al-Qur’an ketika menceritakan
bai’at sahabat-sahabat wanita pada Rasulullah dalam satu butirnya; ‘Taat dan
tidak maksiat pada Nabi’, masih membatasinya; ولا يعصينك في معروف (الممتحنة: 12) (dan
wanita-wanita itu tidak mendurhakaimu dalam kebajikan).
Batasan ini (Fi Ma’rufin) untuk seorang pemimpin yang ma’shum, yang
selalu dikontrol wahyu, apalagi selain Beliau. Dalam hadits: إنما
الطاعة في المعروف (متفق عليه) (Taat hanya dalam kebajikan.)
Abu
Bakar berkata;
أطيعوني ما
أطعت الله فيكم ، فإن عصيته فلا طاعة لي عليكم إن أحسنت فأعينوني وإن أسأت
فقوّموني.
“Taatlah kalian semua padaku selama aku mentaati Allah dalam
mengurusi kalian. Kalau aku mendurhakai Allah, maka kalian tidak boleh
mentaatiku. Bila aku berbuat baik, bantulah aku dan jika aku menyeleweng
luruskanlah aku.”
Jadi, hakim atau penguasa dalam Islam bukanlah
wakil Allah, tapi wakil umat. Merekalah yang memilih, meminta pertanggung
jawabannya, melengserkannya kalau ada faktor-faktor yang menuntut untuk
dilengserkan. Khalifah Umar bin Khattab berkata; من رأى منكم فيّ اعوجاجا فليقوّمني (Barang
siapa diantara kamu melihatku menyeleweng, maka luruskanlah aku).
Seorang
perempuan membantah pendapat Umar ketika sedang berpidato, Beliau menganjurkan
agar mahar perempuan tidak terlalu mahal, perempuan itu membaca ayat;
وإن أردتم استبدال زوج مكان زوج وآتيتم إحداهن
قنطارا فلا تأخذوا منه شيئا (النساء: 20)
“Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain,
sedangkan kamu telah memberikan kepada seseorang diantara mereka harta yang
banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun.”
Lalu
Umar mencabut pendapatnya, lalu mengikuti pendapat perempuan tadi.
Abu Muslim al-Khoulany, seorang faqih Tabi’i
datang pada Khalifah Mu’awiyyah dan menyapanya السلام عليك أيها الأجير (salam untukmu wahai buruh),
orang-orang di sekitar Muawiyyah langsung beraksi, tapi Abu Muslim mengulangi
salamnya lagi. Apa yang diucapkan Muawiyah?, دعوا أبا مسلم فهو أعلم بما يقول (Biarkan
Abu Muslim, dia lebih tahu dengan apa yang diucapkannya).
Umar bin Abdul Aziz setelah menjadi Khalifah
berkata; إنما أنا
واحد منكم غير أن الله جعلني أثقلكم حملا (Aku hanyalah satu diantara kamu, hanya saja Allah
telah menjadikan bebanku paling berat).
Sholahuddin al-Ayyubi juga berkata; إنما أنا
عبد الشرع وشحنته (Aku hanyalah budak Syari’at
dan pengawalnya).
Pengkaburan Pemahaman Daulah Islamiyah identik
dengan daulah diniyah
Pemicunya
adalah:
1. Pemikiran al-Hakimiyyah (pemegang keputusan
hukum)
Yang
pada dekade kekinian digagas oleh Abu A’la al-Maududy, Pakistan dan Sayyid Qutub,
Mesir. Inti ide ini adalah hukum itu milik Allah, bukan milik manusia, alam
semesta ini kekuasaan Allah, jadi siapapun tidak berhak ikut campur.
إن الحكم إلا لله أمر ألا تعبدوا إلا إياه (يوسف:
40)
“Keputusan itu hanya milik Allah, Dia telah memerintahkan agar
kamu tidak menyembah selain Dia.”
Neo Khawarij-kah?
Mayoritas
penulis tentang al-Hakimiyah, yang digagas Maududy dan Sayid Qutub mengidentikkannya
dengan kelompok Khawarij yang menentang Imam Ali karena Beliau menerima usulan at-Tahkim
(mengambil jalan hukum dengan cara diplomasi). Mereka mengumandangkan La
Hukma Illa Allah, lalu Imam Ali membantahnya;
كلمة حق
يراد بها باطل !، نعم، لا حكم إلاالله ولكن هؤلاء يقولون لا إمرة إلا لله ولا بد
للناس من أمير بر أو فاجر.
“Kalimat haq tapi dikehendaki bathil. Ya, La Hukma Illa Allah,
tapi mereka sebetulnya bermaksud, tidak ada kepemimpinan kecuali Allah, padahal
manusia harus punya pemimpin, adil atau fasiq.”
Makna
seperti tadi kemudian diperjelas oleh Ibnu Abbas dalam diplomasinya dengan
kelompok Khawarij. Ibnu Abbas membacakan ayat;
وإن خفتم
شقاق بينهما فابعثوا حكما من أهله وحكما من أهلها إن يريدا إصلاحا يوفّق الله
بينهما (النساء: 35).
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya,
maka kirimlah seorang hakim dari keluarga laki-laki dan seorang hakim dari
keluarga perempuan. Jika kedua hakim itu bermaksud mengadakan perbaikan niscaya
Allah memberi taufiq kepada suami istri.”
Ayat
ini begitu jelas bahwa Allah telah memberi kuasa hukum kepada manusia, dalam
hal ini wakil (Hakaman) dari suami dan istri untuk menyelesaikan masalah
mereka dan akhirnya sebagian dari mereka bertaubat.
Pemahaman
Khawarij yang kontraversional terhadap al-Hukmu wal Hakimiyyah terlanjur
menjadi monumen sejarah dan tidak ada lagi kelompok atau pemikir yang
mengulangi pemahaman mereka sampai kelompok Khawarij sendiri dan sekte-sekte
pecahannya. Sebab, kenyataannya mereka berperang mengorbankan harta dan
nyawanya hanya untuk merebut kekuasaan.
Adapun
al-Hakimiyyah dalam epistimologi syari’at adalah Allah-lah yang membuat hukum
untuk kemashlahatan makhluk-nya, memerintah dan melarang, menghalalkan dan
mengharamkan, makna seperti ini bukanlah inovasi baru al-Maududy atau Sayyid
Qutub tapi itu sudah menjadi opini publik umat Islam dan karena itulah Imam Ali
tidak mengingkari perkataan Khawarij; La Hukma Illa Lillah, tapi motif
dibelakang ucapan itu yang diserang Beliau.
Al-Hakimiyah versi Ulama’ Ushul Fiqh
Seperti
Imam Ghozali dalam kitab al-Mustashfa, pada pembahasan al-Hakim beliau
berkata; “Tiada hukum kecuali milik Allah, hukum Rasul, tuan terhadap budaknya,
makhluk dengan makhluk yang lain, semuanya adalah hukum Allah”. Masih dalam
pembahasan al-Hakim beliau berkata; adapun hak harus terlaksananya suatu hukum,
hanya dimiliki dzat yang mencipta dan memerintah. Sedangkan Nabi, penguasa,
bapak, suami, ketika memerintah dan mewajibkan maka tidak wajib melaksanakan
perintahnya sebab mereka yang mewajibkan, tapi dikarenakan Allah mewajibkan
untuk taat pada mereka. Tanpa faktor ini akan terjadi setiap makhluk mewajibkan
sesuatu pada makhluk lain dan bisa saja yang diperintah ganti memerintah.
Karena salah satunya tidak ada nilai lebih dari yang lain. Jadi yang wajib taat
pada Allah dan pada orang-orang yang diwajibkan Allah untuk mentaatinya.
Al-Hakimiyah versi Maududy dan Qutub
Gagasan
mereka tentang al-Hakimiyah, bukan berarti Allah-lah yang memberi kuasa hukum
pada ulama’ dan pemerintah untuk membuat hukum atas nama Allah, tapi yang
dimaksud adalah Allah-lah penetu hukum, adapun urusan kekuasaan politik,
diserahkan pada umat, merekalah yang memilih pemimpinnya, mengawasi etos
kerjanya, meminta pertanggungjawabannya, bahkan melengserkannya. Ini penting
dibedakan, kalau tidak, maka terjadi pemahaman yang kabur dan menyesatkan.
Jadi,
makna al-Hakimiyah bukanlah propaganda negara otokrasi (Daulah Diniyah), bahkan
itulah yang diperangi Maududy maupun Qutub.
Statemen Qutub tentang al-Hakimiyah
Kekuasaan
Allah di bumi tidak dengan cara memberi kuasa hukum kepada segelintir orang
(tokoh-tokoh agama), seperti kekuasaan Vatikan, juga bukan orang-orang yang
mengatasnama-kan Tuhan seperti negara otokrasi ketuhanan yang sacral, tapi
syari’at Allah-lah yang menjadi penentu hukum dan semua perintah bersumber pada
Allah sesuai dengan apa yang telah ditetapkan dan dijelaskan dalam syari’at.
Statemen Maududy tentang al-Hakimiyah
Sebagian
orang mengambil penggalan statemen Maududy dan menginterpretasikannya tidak
sesuai dengan yang dikehendaki beliau serta membuat konklusi hukum dan
hipotesa-hipotesa yang tidak pernah beliau ucapkan juga tidak selaras dengan
alur-alur pemikiran-pemikiran dakwah beliau yang tersebar dalam puluhan buku,
surat, makalah, forum-forum seminar. Kalamullah dan kalam Rasul-Nya saja bila
diambil sepenggal, akan membuat pemahaman yang rancu, apalagi kalam manusia.
Maududy
menjelaskan keistimewaan-keistimewaan demokrasi Barat, lalu beliau berkata;
“kau lihat, bahwa demokrasi bukan dari Islam, maka negara Islam tidak betul
disebut sebagai negara demokrasi. Yang betul adalah sebutan negara ketuhanan
atau otokrasi”.
Lalu
beliau meneruskan ulasannya, tapi otokrasi Eropa berbeda jauh dengan negara
otokrasi Islam. Sebab di Eropa yang terjadi adalah segelintir orang-orang
membuat undang-undang sesuai hawa nafsu dan kepentingan-kepentingan politik
mereka, lalu mengintimidasi rakyatnya untuk melaksanakan undang-undang itu
dengan mengatasnamakan Tuhan dan system negara seperti ini lebih pantas diberi
predikat negara kesetanan daripada negara ketuhanan.
Adapun
otokrasi yang dibawa Islam, di sana tidak ada praktek diktatorisme dari
kelompok atau lembaga tertentu bahkan diserahkan kepada umat Islam secara umum.
Merekalah yang mengurusi kepentingan-kepentingannya sesuai dengan tuntunan
al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Kalau saya (Maududy) diperkenankan membuat istilah
baru, maka saya memilih kalimat otokrasi yang demokratis atau negara ketuhanan
yang demokratis. Karena umat Islam punya wewenang menentukan hukum walaupun
dibatasi hukum Allah yang Maha Kuasa. Umat Islam-lah yang memilih dan
menetapkan lembaga eksekutif, juga mereka berhak melengserkannya, begitu pula
semua masalah yang dalam hukum syari’at terdapat hukum yang jelas tidak bisa
dilaksanakan kecuali atas persetujuan mutlak umat Islam dan ketika membutuhkan
penjelasan undang-undang atau nash-nash Syara’, maka tidak diserahkan kepada
kelompok atau keluarga tertentu, tapi dipersilahkan kepada siapa saja yang
kadar keilmuannya cukup untuk berijtihad.
Dan
dari tinjauan inilah negara Islam disebut demokrasi dan itulah yang mestinya
dipahami dari kumpulan statemen Maududy. Berarti al-Hakimiyah yang dimaksud
adalah al-Tasyri’iyyah Lillahi Wahdah (kekuasaan absolut yang tidak
dibatasi oleh ‘apa’ dan ‘siapa’) dan ini merupakan bukti ke-Esa-an Allah.
Kekuasaan
dengan arti seperti ini tidak menafikan manusia punya hak untuk membuat
hukum-hukum yang sesuai dengan izin Allah. Dan yang dilarang adalah membuat
hukum yang tidak ada license dari Allah seperti hukum agama yang murni (mahdhoh)
dengan cara membuat hukum-hukum baru tentang ibadah dan syi’ar-syi’ar atau
dengan menambah ibadah yang telah ditetapkan sesuai dengan manusia atau
mengurangi kwalitas dan kwantitas-nya, mengganti waktu, tempat dan bentuknya,
juga masalah halal dan haram dengan menghalalkan apa yang diharamkan Allah atau
sebaliknya. Dan inilah yang disebut Nabi termasuk jenis ar-Rububiyah
sebagai tafsiran ayat yang menceritakan Ahli Kitab.
اتخذوا أحبارهم ورهبانهم أربابا من دون الله (التوبة
: 31).
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka
sebagai Tuhan selain Allah.”
Juga
membuat yang bertentangan dengan nash-nash shohih yang transparan seperti
undang-undang yang melegalisasi kemunkaran.
Adapun selain itu semua, umat Islam berhak membuat
hukum untuk mereka sendiri dan tentunya terbatas pada ruang lingkup
masalah-masalah yang tidak ada nashnya yang disebut dalam hadits; وما سكت عنه فهو عفو. (رواه الحاكم) (Dan
masalah-masalah yang didiamkan oleh Syara’ adalah dima’fu).
Begitu pula masalah-masalah yang nashnya hanya sebatas kaidah-kaidah umum bukan
hukum-hukum yang terperinci seperti masalah Syuro (musyawaroh mufakat)
dan berpijak dari nash-nash umum ini, umat Islam bisa mengembangkan sayap hukum
dalam skala yang makro sebagai solusi problem kehidupan mereka, baik social
kemasyarakatan, ekonomi dan politik tanpa ada pagar pembatas kecuali
substansi-substansi dan kaidah hukum secara umum مقاصد الشريعة الكلية وقواعدها العامة dan semuanya dalam koridor mengambil mashlahat-mashlahat (Jalbul
Masholih), menolak mafsadah (Dar-ul Mafasid) serta memenuhi
kebutuhan individual atau komunitas masyarakat (Hajatunnas) seperti
undang-undang lalu lintas, pelayaran, penerbangan, perkebunan, kesehatan,
pertanian dll. yang masuk dalam ruang lingkup politik atau juga pembatasan
perkara-perkara mubah seperti Umar melarang menyembelih hewan pada hari-hari
tertentu.
2. Kalimat yang diucapkan Khalifah Utsman bin
Affan ra.
Ketika Beliau diembargo para demonstran, yaitu; لا والله،
إني لن أنزع رداء سربلنيه الله (Demi Allah, saya tidak akan melepas baju yang
telah disandangkan Allah kepadaku). Ucapan Utsman ini ditanggapi ngawur oleh penulis
liberal sekuler, katanya; teori negara ketuhanan (otokrasi) berakar dari ucapan
Utsman tadi, mayoritas pemikir politik Islam berpendapat bahwa Allah-lah yang
mengangkat Khalifah (pemimpin negara), rakyat tidak berhak melengserkannya dan
minoritas pemikir berpendapat rakyatlah sumber kekuasaan, merekalah yang
mengangkat dan melengserkan pemimpin. Dan pendapat ini yang diadopsi Mu’tazilah
klasik, mungkin juga kelompok ini dijuluki Mu’tazilah karena sikap daulah
Islamiyah pada mereka yang minor dan reaksi mereka terhadap daulah islamiyah
sebagai single mayority.
Itulah tanggapan seorang penulis liberal sekuler
untuk membodohi umat. Sekarang, mari kita buka lembaran sejarah untuk
membongkar kebodohannya. Dalam catatan sejarah, tidak ditemui beliau
menjalankan kekuasaannya dengan mengatasnamakan Tuhan, bahkan yang tertulis di
sana adalah beliau dibai’at umat Islam dengan syarat melaksanakan roda
pemerintahan di bawah naungan hukum-hukum yang termaktub dalam al-Qur’an dan
Sunnah Rasul serta mengikuti jejak langkah dua Khalifah sebelumnya, Abu Bakar
dan Umar bin Khattab. Juga ada riwayat Beliau pernah berkata; أمري
لأمركم تبع (Urusanku
mengikuti urusan kalian) dan lagi, lihatlah masa demonstran memblokade
rumah beliau, menuntut agar segera turun dari jabatan Khalifah, karena mereka
tidak setuju dengan kebijakan-kebijakan beliau dalam mengendali-kan negara.
Tidak ada riwayat beliau berkata; kekuasaan Tuhan ada di tanganku, kalian tidak
punya hak selain tunduk. Bahkan hanya dengan logika ilmiah beliau membela diri
dan kekuasaannya, tidak mengaku-ngaku sebagai wakil Tuhan.
Adapun kalimat; قميص سربلنيه الله لا أخلعه, ada riwayat dari Imam Ahmad dan Turmudzi, itu adalah wasiat
Nabi kepada Utsman. Beliau berkata; إن الله لعله يقمصك قميصا فإن أرادك أحد على خلعه
فلا تخلعه (ثلاث مرات) (Sesungguhnya Allah akan menyandangimu pakaian,
kalau ada yang merebutnya jangan sekali-kali kau lepaskan).
Berpijak
dari sini, berarti sikap Utsman adalah melaksanakan wasiat Rasulullah SAW. dan
kalau sebagian orang menganggap riwayat tidah sah, maka apa yang diucapkan
Utsman itu dimaksudkan agar Khilafah tidak menjadi barang mainan orang-orang
ambisius terhadap kekuasaan dan memang kenyataannya masa demonstran itu
bukanlah lembaga yang berkepentingan mengurusi bongkar pasang pemimpin Ahlul
Halli wa al-Aqdi sehingga mengharuskan Utsman untuk menyerahkan jabatan dan
menerima keputusan mereka.
Menurut
apa yang diriwayatkan Imam al-Thobari dan Ibnu Katsir bahwa beliau menolak
melepas keKhalifahan karena khawatir membiarkan umat bertikai merebutkan
kekuasaan dan mengangkat orang-orang yang ambisius kekuasaan. Akhirnya terjadi
pembunuhan dan kerusakan di mana-mana.
Utsman
bin Affan sang Khalifah yang teraniaya membela diri dengan menceritakan
bagaimana beliau dibai’at dulu dan beliau tahu betul bahwa orang-orang yang
membai’atnya dulu tidak ada yang membatalkan bai’atnya dan orang-orang yang
mendemo dan menuntut lengser adalah kelompok barisan sakit hati dan ambisius.
Beliau juga melihat kobaran api fitnah siap menghancurkan eksistensi umat dan
ketika beliau menolak para demonstran berarti beliau telah siap mengorbankan
dirinya demi persatuan umat. Padahal bisa saja beliau memerintahkan
pendukung-pendukung beliau untuk menghadang para demonstran, karena di sana
telah berkumpul sahabat-sahabat pemberani, Anshor dan Muhajirin serta anak-anak
mereka. Datang juga Hasan dan Husain serta Ibnu Umar berdiri dekat beliau siap
membela, tapi apa yang dikatakan beliau?, aku tidak butuh itu, serta mencegah
menghunus senjata sesama umat Islam, kemudian dia menghadap Allah dan
meneruskan membaca al-Qur’an sampai akhirnya para demonstran masuk dan membunuh
beliau.
Apakah
mungkin dapat dinalar ucapan beliau seperti tadi dipahami sebagai pemegang
hukum Tuhan yang berkuasa absolut terhadap manusia, kemudian dengan rela hati
beliau mengorbankan nyawanya tanpa pembelaan sama sekali dan dituduh sebagai
penguasa otokrasi?.
Adapun
komentar yang mengatakan Utsman-lah peletak batu pertama terjadinya perpecahan
opini umat tentang pemikiran politik Islam dan akhirnya memunculkan kelompok
Mu’tazilah yang minoritas. Ini adalah ucapan orang yang buta terhadap sejarah
Islam, tokoh-tokoh pemikir Islam atau kefahamannya dangkal disertai hawa nafsu
dan kenyataannya jauh sekali dengan yang diucapkan.
Pertama : Mayoritas umat (Ahlussunnah wal Jama’ah)
berpendapat bahwa; termasuk hak umat bahkan kewajiban umat untuk memilih pemimpinnya
yang dalam pelaksanaannya diserahkan pada dewan formatur (Ahlul Halli wa
al-Aqdi), mengoreksi kebijaksanaan-kebijaksanaannya, bahkan melengserkan
kalau tidak dikhawatirkan terjadinya kemunkaran yang lebih besar dan wajib
hukumnya melawan pemerintah yang jelas-jelas melakukan kekufuran.
Inilah
opini mayoritas umat Islam, bukannya miliknya minoritas Mu’tazilah seperti kata
penulis liberal, sampai Ali bin Abdul Rasyid sendiri dalam bukunya, al-Islam
wa Ushul al-Hukmi yang banyak memberi inspirasi pemikiran liberal sekuler,
mengikuti pendapat ini.
Kedua : Mencampur aduk interaksi pekerjaan hamba (Af’alul
Ibad) yang seluruhnya milik Allah ditinjau bahwa Allah-lah yang memiliki
kehendak absolut,
تؤتي الملك من تشاء وتنزع الملك ممن تشاء وتعز من تشاء وتذل من
تشاء (آل عمران: 26)
“Engkau Allah yang memberi kekuasaan pada orang yang Kau
kehendaki, dan mencopot kekuasaan dari orang yang Kau kehendaki, Engkau
memulyakan orang yang Kau kehendaki dan menghinakan orang yang Kau kehendaki.”
Dan
ini merupakan opini publik muslim dengan masalah tanggung jawab hamba terhadap
pekerjaannya kepada Allah, walaupun itu juga termasuk kehendak dan ciptaan
Allah (berbeda dengan Mu’tazilah).
Ahlussunnah
wal Jama’ah berpendapat bahwa kehendak dan Qodar Allah tidak bisa menggugurkan
tanggung jawab manusia, karenanya ada perintah amar ma’ruf nahi munkar, ada
sanksi-sanksi hukum, pahala dan siksa, surga dan neraka.
Adapun
klaim tentang julukan Mu’tazilah itu tuduhan tidak beralasan, tidak ada
diantara para arkeolog, sekte-sekte Islam yang berkata seperti itu, mulai
kalangan klasik seperti Ibnu Hazm, Suhrostany, al-Baghdady, sampai Ahmad Amin.
Bukti konkrit dari kebohongan ini adalah justru Mu’tazilah-lah yang membuat
catatan hitam dalam sejarah pada masa Abbasiyyah, tepatnya Khalifah Ma’mun,
Mu’tashim dan Watsiq, merekalah yang membunuh suara oposisi anti Mu’tazilah
dengan cambuk, penyiksaan dan kurungan penjara. Isu yang mencuat saat itu
adalah idiologi al-Qur’an makhluk made in Mu’tazilah. Mereka inilah yang
mestinya lebih pantas disebut menjalankan pemerintahan dengan model otokrasi,
kebenaran hanya milik Mu’tazilah. Para oposan yang anti al-Qur’an makhluk
dihabisi, sampai Imam Ahmad bin Hambal ikut menjadi korban.
Ketiga : Orang-orang yang mendemo Utsman bukanlah mayoritas
umat, juga bukan kelompok intelektual yang punya pengaruh pada arus bawah. Tapi
mereka adalah pecundang yang terprovokasi oleh aksi orang macam Abdullah bin
Saba’ dan mereka inilah benih abadi dari kelompok yang berasumsi bahwa
kekuasaan itu hanya dimiliki oleh Dinasti tertentu secara turun temurun dengan
system otokrasi.
3.
Ucapan Khalifah Abu Ja’far al-Mashur
Dalam
Khutbah yang disampaikan beliau di Mekah,
أيها
الناس، إنما أنا سلطان الله في أرضه ، أسوسكم بتوفيقه وتسديده وتأييده وحارسه على
ماله أعمل فيه بمشيئته وإرادته وأعطيه بإذنه فقد جعلني الله عليه قفلا، إن شاء أن
يفتحني فتحني، لإعطائكم وقسم أرزاقكم، وإن شاء أن يقفلني عليها أقفلني.
“Wahai manusia ! Aku adalah penguasa yang mewakili Allah di
bumi-Nya, aku mengatur kalian dengan pertolongan-Nya juga menjaga harta-Nya
dengan kehendak-Nya, aku menjalankan harta-Nya, aku memberi dengan izin-Nya.
Allah telah memberi kuncinya padaku, bila Allah menghendaki membukanya maka
akan aku buka untuk memberi dan membagi rizqi kalian. Dan bila menghendaki
untuk menutupnya, maka akan aku kunci.”
Pemikir
liberal sekuler mengambil ucapan al-Manshur ini dari buku al-Islam wa
Ushulul Hukmi, dan pada catatan kakinya ada keterangan diambil dari buku al-Iqdul
Farid fi al-Adab karangan Ibnu Abdi Robah al-Andalusy.
Apa
mungkin memutuskan masalah-masalah hukum fiqh diambil dari buku sastra?, kalau
memang riwayat benar dari Manshur, maka itu adalah ucapan Manshur, tidak ada
konsekuensi hukum sama sekali. Sebab kita tidak diperintah mengikuti ajaran
al-Manshur. Ucapannya juga tidak bisa dijadikan hujjah.
Ini
kalau kita ambil leterlek-nya dan memahaminya secara miring, padahal
kalimat tersebut mungkin untuk dita’wil dengan dipahami bahwa beliau sebagai
pelaksana hukum Allah di bumi-Nya, bukannya beliau mempunyai hak otoritas
ketuhanan.
Bagaimana
mungkin disalahkan pemahaman ini, padahal ketika ada sebagian kaum muslimin
yang memberi nasehat, memerintah dan melarangnya beliau tidak berkata; Saya
terjaga dari kesalahan atau aku punya hak otokrasi ketuhanan,
seperti yang ditulis Ibnu Asakir dalam kitab tarekhnya diriwayatkan dari
Abdullah bin Sholeh, Manshur menulis surat kepada Siwar bin Abdillah, hakim
Bashrah; lihatlah tanah yang menjadi pensengketaan antara seorang panglima dan
saudagar, serahkanlah pada panglima, lalu Siwar membalas suratnya bahwa bukti
menunjukkan tanah ini milik saudagar; aku tidak bisa melepaskannya untuk
panglima kecuali ada bukti, lalu al-Mashur menulis surat lagi, Demi Allah
serahkanlah pada panglima, Siwar membalasnya; Demi Allah aku tidak akan melepas
tanah ini dari tangan saudagar kecuali dengan cara yang benar. Dan ketika surat
Siwar datang kepadanya, Manshur berkata; demi Allah aku telah meratakan bumi
dengan keadilan dan hakimku telah mengembalikan aku kepada kebenaran.
Juga
catatan Imam Suyuthi dalam kitab Tarikhul Khulafa’, seorang rakyat
mengingatkan al-Manshur yang sedang berpidato, lalu beliau menjawab; selamat
datang, kau telah mengingatkan dan menakut-nakuti orang besar dan aku
berlindung pada Allah dari dijadikannya termasuk orang yang ketika diucapkan
padanya; takutlah pada Allah, dia malah merasa bangga dengan dosa.
Itulah
Kholifah al-Manshur, apakah mungkin beliau dituduh sebagai penguasa otokrasi
ketuhanan?.
4. Eksperimen Revolusi Iran.
Seperti
yang dituduhkan mereka bahwa Iran adalah salah satu wajah negara Islam yang
otoriter, tokoh-tokoh agama di sana yang memegang roda pemerintahan berjuluk Ayatullah
atau Mullah. Argumen seperti ini juga tidak masuk akal, sebab;
-
Hukum dan madzhab Iran yang Syi’ah berseberangan
dengan Ahlussunnah yang merupakan mayoritas umat Islam. Tidak hanya sebatas
forum, tapi juga aqidah fundamental.
-
Al-Imamah menurut mereka adalah termasuk masalah Ushuluddin
dan Aqidah. Sedangkan menurut ahlussunnah adalah masalah Amaliyah dan Furu’.
-
Al-Imamah menurut mereka bersumber dari nash, sedang menurut
Ahlussunnah adalah hasil Ijtihad (pemilihan).
-
Al-Imam menurut mereka ma’shum. Menurut Ahlussunnah,
manusia yang kadang salah dan benar.
-
Al-Imam menurut mereka naik derajatnya pada maqom yang
tidak bisa diraih oleh malaikat yang dekat dengan Allah, juga Nabi utusan.
Sedang menurut Ahlissunnah seperti yang dikatakan Abu Bakar al-Shiddiq, إني وليت
عليكم ولست بخيركم (aku
memerintah kalian bukannya aku lebih baik dari kalian),
juga Umar bin Abdul Aziz, إنما أنا واحد منكم غير أن الله جعلني أثقلكم حملا (aku
hanyalah salah satu dari kalian, hanya saja Allah telah menjadikan bebanku
paling berat dibanding kalian).
-
Al-Imam menurut mereka tidak boleh dilengserkan. Sedang
menurut Ahlissunnah umatlah yang mengangkat dan melengserkan Imam.
Itulah
sederet keyakinan-keyakinan orang Syi’ah yang berseberangan dengan aqidah
Ahlissunnah, tapi yang jadi masalah adalah apakah Imam yang berpredikat ma’shum
dalam pemerintahan Iran itu sekarang ada?, atau predikat itu hanya fakta
historis yang habis masanya dengan menghilangnya Imam ke 12 sejak 12 abad yang
lalu?, apa komentar pemerintah Iran sekarang, juga bagaimana undang-undang
negara mereka dan apa sekarang peristiwa yang terjadi di sana?.
Dalam
buku Akdzubatul Hukmi al-Ilahi milik Fahmi Huwaidy, sebuah paket untuk
mencounter kalangan sekuler yang menuduh Islam sebagai agen tunggal teori
negara otokrasi ketuhanan dengan Iran sebagai argumen kuat menurut mereka, dia
berkata; “Mereka kalangan sekuler sering berdalih dengan eksperimen Iran, bahwa
di sanalah negara otokrasi ketuhanan yang dipegang para tokoh-tokoh agama dan
ini adalah perbandingan yang amburadul.
Pertama : Iran adalah penganut Syi’ah, sedangkan kurang
lebih tiga seperempat muslim dunia adalah penganut Ahlussunnah. Padahal kedua
madzhab ini ada perbedaan krusial, khususnya masalah Imamah.
Kedua : Pemerintahan Iran tidak mengakui kalau system
pemerintahannya otokrasi. Ini tuduhan tanpa bukti, hanya saja memang di sana
para cendekiawan muslim Syi’ah yang mengatur urusan perpolitikan negara, bukan
urusan agama dan yang terpenting adalah memang Syi’ah Imamiyah berpendapat;
Imam berpredikat Ma’shum. Tapi ini hanya khusus untuk Imam-imam dari keturunan
Rasulullah (Fatimah, Husain) dan pada masa vakum (menurut aqidah mereka Imam
ke-12 hilang) maka yang memegang kekuasaan berstatus wakil dari Imam dan tidak
punya predikat ma’shum. Pemerintah Iran tidak berpendapat bahwa yang menentang
mereka adalah musuh Allah, tapi hanya sebatas menentang undang-undang negara.
Kabinet negara bertanggung jawab penuh di hadapan wakil rakyat (parlemen),
tidak ada diantara mereka yang kebal hukum, sampai pernah terjadi sekitar tahun
1984, parlemen mencopot tujuh menteri sekaligus. Juga undang-undang di sana
seorang perdana menteri (wakil Imam) dan presiden diangkat melalui proses
pemilihan umum. Ini semua membuktikan bahwa ternyata di Iran tidak ada otokrasi
ketuhanan.
Pemahaman Politik Moderat
-
Pembatasan masa jabatan Kepala Negara
Ada sebuah opini bahwa pembatasan masa jabatan
kepala negara hukumnya Haram, karena umat Islam sejak zaman Khalifah Abu Bakar
tidak pernah ada batasan jabatan dan khususnya pada masa pemerintahan Khulfarrosyidin
yang kita diperintahkan mengikuti ajaran dan perilakunya. Nabi sendiri
mengingatkan kita agar tidak berbuat bid’ah, karena seperti dalam hadits; كل بدعة
ضلالة (setiap
bid’ah itu sesat), dan pembatasan masa jabatan kepala negara ini
bisa dikategorikan bid’ah.
Ada sebuah pembahasan menarik dalam kitab al-Fiqhu
al-Daulah milik Dr. Yusuf al-Qordlowy, beliau berkata; kita sebelum
diperintah mengikuti ajaran Khulfa’ al-Rosyidin kita telah diperintah mengikuti
ajaran Rasulullah yang merupakan referensi hukum kedua setelah al-Qur’an. Dalam
hadits Irbath Nabi bersabda; عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين(berpegang teguhlah pada sunnahku dan ajaran khulafaurrosyidin).
Dalam hadits ini, ajaran Nabi didahulukan baru ajaran Khufa’ al-Rosyidin.
Sudah
maklum bahwa sunnah Nabi adalah ucapan, pekerjaan dan Iqror beliau. Perilaku Nabi
secara khusus tidak berkonsekuensi hukum wajib dengan sendirinya, tapi hanya
sebatas anjuran melaksanakan dan hukumnya mubah sepanjang tidak ada dalil lain
yang menunjukkan kesunnahan atau kewajiban. Karenanya kita melihat sebagian
Khulafa’ al-Rosyidin ada yang berbeda dengan perilaku Nabi, ketika mashlahat
pada zaman Nabi telah berubah pada masa setelahnya. Seperti Nabi
membagi-bagikan tanah Khaibar pada tentara perang, sedangkan Umar setelah
berhasil menaklukkan Iraq, beliau tidak membagikannya pada tentara, karena
menurut beliau yang lebih mashlahat pada zamannya tidak demikian dan seketika
itu pula para sahabat protes, apalagi pendapat Umar ini bertentangan dengan
leterlek keumuman ayat;
واعلموا أنما غنمتم من شيء فإن لله خمسه (الأنفال:
41).
“Ketahuilah sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh
sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah.”
Lalu Umar menjawab; apakah kalian ingin generasi
penerus perjuangan ini tidak punya apa-apa?. Ide jenius ini beliau gali dari
Surat al-Hasyr yang membicarakan pembagian harta Fai’ antara Muhajirin dan
Anshor, lalu terusan ayatnya;
والذين
جاءوا من بعدهم يقولون ربنا اغفر لنا ولإخواننا الذين سبقونا بالإيمان ولا تجعل في
قلوبنا غلا للذين آمنوا ربنا إنك رؤوف رحيم (الحشر: 10).
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan
Anshor), mereka berdo’a; Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara
kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami dan janganlah Engkau membiarkan
kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami,
sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.”
Imam
Ibnu Qudamah merumuskan alasan perbedaan antara kebijakan Rasulullah dan Umar
bahwa apa yang dilakukan Rasulullah adalah langkah konkrit untuk mengentaskan
perekonomian dalam negeri, sedangkan Umar memandang perekonomian sudah relatif
stabil. Jadi, lebih baik dipersiapkan untuk generasi-generasi yang akan datang.
Berarti
kalau perilaku Rasulullah (yang merupakan sebagian dari ajaran beliau) saja
tidak punya konsekuensi hukum mengikat pada orang-orang setelah beliau dan
sahabat boleh berbeda dengan beliau karena ada tinjauan lain, bagaimana mungkin
perilaku umat Islam dengan sendirinya punya konsekuensi hukum terhadap umat
setelahnya?.
Adapun argumen Ijma’ bahwa tidak ada di sana
pembatasan jabatan kepala negara, dalam argumen ini ada blunder; Ijma’ yang
telah disepakati adalah berlangsungnya masa jabatan sepanjang hidup bila tidak
mengakibatkan bahaya atau mafsadah. Adapun hal lain yaitu pembatasan tidak ada
pembahasan sama sekali. Ada kaidah; لا ينسب لساكت قول (orang yang diam tidak punya komentar hukum),
maka seyogyanya dalam masalah ini tidak ada penetapan hukum (boleh dibatasi),
juga penafian hukum (tidak boleh dibatasi).
-
Antara Sunnah dan Bid’ah
Adapun
pendapat yang mengatakan bahwa masa jabatan adalah model baru (bid’ah),
sedangkan telah ditetapkan oleh nash dan ijma’ bahwa setiap bid’ah adalah
sesat.
Hipotesa
kedua yakni setiap bid’ah sesat adalah opini umum umat, tapi yang jadi masalah
adalah hipotesa pertama, apakah termasuk kategori bid’ah hasanah atau sayyiah?,
kesalahan fatal kalau ada opini bahwa Islam memusuhi inovasi baru dalam
kehidupan dengan tuduhan bid’ah, padahal nama bid’ah itu hanya untuk urusan
ritual orisinil, seperti aqidah, ibadah dan sesamanya. Adapun urusan kehidupan
yang selalu dinamis menyangkut adat peradaban social kemasayarakatan, politik dll.
tidak layak dijuluki bid’ah. Tapi itulah yang disebut para ulama’ Mashlahah
Mursalah, seperti dijelaskan oleh Imam al-Syathiby dalam kitab al-I’tishom,
karenanya kita temukan di lembar sejarah para sahabat melakukan perkara-perkara
yang tidak pernah dilakukan Rasulullah seperti penulisan Mushhaf, pembukuan
gaji pegawai dan militer, penetapan pajak dan membuat rumah tahanan.
Para
Tabi’in juga melakukan perkara yang tidak dilakukan sahabat, seperti membuat
mata uang, koordinasi jasa pos dll. Umat Islam secara umum juga melakukan
inovasi baru yang tidak ada pada zaman kenabian dan sahabat, seperti kodifikasi
berbagai disiplin ilmu, juga penemuan-penemuan ilmu baru. Dalam hadits shohih;
من سنّ سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها إلى يوم
القيامة.(الحديث)
“Barang siapa yang membuat ajaran bagus, maka ia mendapatkan
pahalanya dan pahala orang yang melakukannya sampai hari kiamat.”
-
Blunder pengambilan hukum secara umum dari biografi Nabi
Ini
antara lain penyebab error dalam menginterpretasikan politik yaitu mencampur
aduk antara doktrin Rasulullah (as-Sunnah) dengan biografi Nabi (as-Siroh)
untuk argumen suatu hukum.
Biografi
Nabi tidaklah identik dengan doktrin-doktrin Rasulullah, sebab kita jumpai di
sana ada sebagian biografi Nabi yang tidak masuk dalam kategori syari’at,
karenanya ulama’ ushul tidak menyertakan biografi Nabi dalam definisi
as-Sunnah, tapi mereka membuat definisi as-Sunnah adalah; apa yang datang dari
Rasul yang mencakup ucapan, pekerjaan dan ikrar Beliau, sedangkan biografi Nabi
tidak masuk dalam definisi.
Berbeda
dengan kalangan Ahli Hadits, beliau-beliau ini menyertakan sifat-sifat jasmani
dan etika serta biografi Nabi dalam definisi as-Sunnah. Mengapa?, karena Ahli
Hadits sepakat bahwa semua yang berhubungan dengan Nabi baik yang ada kaitannya
dengan syari’at atau tidak adalah as-Sunnah. Karenanya beliau-beliau
mengekspose secara total kehidupan Nabi mulai sebelum diutus, kelahiran, masa
menyusui, perkembangan beliau, masa muda dan waktu menikah dengan Siti
Khadijah. Juga sifat-sifat spesifik jasmani dan etika Nabi dan
peristiwa-peristiwa apa saja yang dialami Rasulullah sampai masa wafat beliau.
Garis
persinggungan antara dua pendapat ini yaitu sebagian nilai-nilai Islam diambil
dari biografi Nabi sebagai argumen umum dari hukum-hukum tertentu dan berstatus
mengikat kepada semua umat.
Ada
dua masalah penting sebagai catatan;
Pertama : Dalam biografi kenabian ada sebagian
peristiwa-peristiwa yang diekspose tanpa sanad yang shohih. Terkadang
beliau-beliau toleran terhadap riwayat biografi Nabi yang tidak kita temukan
toleran ini (sesuai dengan derajat haditsnya) dalam meriwayatkan hadits-hadits
yang berhubungan dengan halal dan haram.
Kedua : Biografi Nabi adalah ekspresi sisi nyata dari
kehidupan Rasulullah, dalam artian masuk kategori fi’lu dalam definisi
as-Sunnah secara global, sedangkan fi’lu dengan sendirinya tidak berkonsekuensi
hukum wajib tapi sebatas mubah. Adapun hukum wajib harus ada dalil lain yang
menjelaskan. Memang, kita dituntut untuk mengikuti Rasulullah.
لقد كان
لكم في رسول الله أسوة حسنة لمن كان يرجو الله واليوم الآخر وذكر الله كثيرا
(الأحزاب: 21).
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan
yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang mengharap rohmat Allah dan kedatangan
hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”
Tapi
ayati ini adalah anjuran bukan kewajiban, mengmbil suri tauladan Rasulullah itu
dalam masalah etika-etika, nilai-nilai lebih serta sikap-sikap beliau secara
umum, bukan sikap-sikap yang spesifik.
Jadi,
tidaklah suatu keharusan kita mengikuti Rasulullah ketika memulai berdakwah
dengan strategi sembunyi-sembunyi dalam kondisi kebebasan beragama dan
menyampaikan pendapat dijunjung tinggi-tinggi oleh umat manusia. Juga tidaklah
suatu keharusan kita hijrah seperti beliau dalam kondisi aman di negeri sendiri
dan memungkinkan untuk menyampaikan dakwah, karenanya hijrah ke Madinah
tidaklah wajib bagi semua muslim pasca takluknya Mekah. Beliau bersabda;
لا هجرة بعد الفتح، ولكن جهاد ونية. وإذا استنفرتم
فانفروا (متفق عليه)
“Tidak ada kewajiban Hijrah setelah takluknya
Mekah, tetapi jihad dan niat. Dan ketika kalian semua dikomando untuk perang,
maka berangkatlah.”
Juga
bukanlah suatu keharusan kita mencari dukungan pada penguasa atau kelompok-kelompok
besar yang berpengaruh, seperti halnya Nabi mengajak Kabilah-kabilah untuk
mendukung dan beriman pada beliau. Kalau itu bukanlah strategi yang
menguntung-kan pada masa kekinian juga bukanlah suatu keharusan kita menanamkan
aqidah tauhid selama 13 tahun, kerena kita sekarang di antara kaum muslimin
yang telah beriman pada Allah dan Rasul-Nya. Jadi, tidak efektif mengajarkan
tauhid dalam kurun waktu sepanjang itu.
Jadi,
kalau kita sekarang ramai-ramai memperjuangkan pemerata-an keadilan, demokrasi
dan kebebasan, pembebasan Palestina dan Masjidil Aqsha dari cengkeraman zionis
atau mungkin jihad melawan musuh-musuh umat, ini semua bukanlah langkah ngawur!
Yang tidak sejalan dengan petunjuk Rasulullah yang mana perjuangan model
seperti ini hanya digagas Rasulullah setelah beliau berada di Madinah.
Mengapa?, karena kita tahu waktu beliau di Mekah, hidup di antara masyarakat
jahiliyah yang kecanduan berhala (paganis), tidak percaya pada kenabian beliau,
maka logis medan yang digelar adalah seputar tauhid dan risalah kenabian.
Berbeda dengan medan kita sekarang yang telah mengakui Allah sebagai Tuhan
satu-satunya, Islam agama-nya, Muhammad utusannya, walaupun di sana sini ada
penyeleweng-an dan kemunkaran.
Islam Politik
Istilah
ini dihembuskan pemikir-pemikir Marxisme Timur dan Liberal Barat, tujuan mereka
adalah mengusir umat Islam dari esensi istilah Islam politik, yaitu menghapus
peran aktif umat dalam politik praktis. Yang jadi pertanyaan sekarang adalah
apakah istilah ini bid’ah atau mungkin diterima oleh syara’?, apakah seorang
da’I dalam kapasitasnya sebagai informan umat terjun dalam dunia politik
praktis, termasuk bid’ah kah?, atau mungkin istilah yang dianjurkan agama
sesuai dengan nash-nash al-Qur’an atau Hadits?.
Masih
dalam Fiqhu al-Daulah, beliau berkata;
Pertama : Istilah ini dalam prespektif kita umat Islam
adalah tidak berguna. Mengapa?, karena istilah ini mereka lemparkan untuk
memecah belah keutuhan umat. Islam menurut mereka bukanlah tunggal seperti yang
diturunkan Allah, tapi yang ada adalah Islam rame-rame tergantung dari sudut
pandang mana mereka melihatnya. Letak geografis ada Islam Asia, Afrika dll.
periode ada Islam Nabawi, Rosyidi, Umawy, Abbasy, Utsmany, modern. Ras ada
Islam Arab, India, Turki dll. Madzhab ada Islam Sunny, Syi’i, ada lagi cara
mereka mengkotak-kotak Islam dengan sebutan Islam revolusi, radikal, klasik,
kanan, kiri dan terakhir ada Islam politik, Islam ushuli, ruhy dll.
Itulah
semantic game (permainan istilah) yang mereka permainkan. Yang benar, Islam itu
adalah satu yaitu Islam awwal, Islam Qur’an dan Sunnah, Islam seperti yang
dipahami generasi-generasi terbaik umat ini yaitu para Sahabat dan Tabi’in.
Kedua : Islam adalah agama politik, Islam sejati adalah
berperan aktif dalam kancah politik. Kalau Islam dipisahkan dari politik, maka
akan menjelma menjadi agama lain, mungkin Budha atau Nashrani.
Muslim adalah figure politikus
Seorang
muslim yang telah diprogram oleh aqidah, syari’at, ibadah dan tarbiyahnya,
mustahil kalau tidak menjelma menjadi politikus, kecuali salah dalam
menginterpretasikan Islam atau salah dalam penerapan keilmuannya. Mengapa?,
karena Islam telah menetapkan beban kewajiban yang harus diemban setiap muslim
bernama Amar Ma’ruf Nahi Munkar, dalam istilah lain; nasehat kepada
pemimpin-pemimpin Islam dan kaum muslimin. Inilah yang dalam suatu hadits
shohih disebut sebagai agama yang sebenarnya; الدين
النصحية (رواه مسلم) (Agama adalah menasehati), terkadang juga diistilahkan wasiat kepada
kebenaran dan kesabaran yang keduanya merupakan syarat pokok keselamatan dari
kerugian dunia dan akhirat seperti dalam surat al-Ashr;
والعصر، إن
الإنسان لفي خسر، إلا الذين آمنوا وعملوا الصالحات وتواصوا بالحق وتواصوا بالصبر
(العصر).
“Demi masa, sesungguhnya manusia itu berada dalam
kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholeh dan
nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan menetapi kesabaran.”
Perhatian
seorang muslim terhadap problem-problem umat Islam serta menyusun strategi
untuk keluar dari problem-problem tersebut, itulah sekarang yang disebut dengan
nama politik.
Melawan kemunkaran dan kedholiman adalah jihad
terbesar
Rasul
mengajarkan seorang muslim melawan kemunkaran internal umat, dan itu punya
nilai lebih dibanding external umat (melawan umat kafir). Beliau menjawab
ketika ditanya jihad yang paling utama;
أفضل الجهاد كلمة حق عند سلطان جائر (رواه النسائي)
“Jihad yang paling utama adalah kalimat kebenaran yang
disampaikan kepada penguasa dholim.”
Mengapa?,
karena kerusakan internal umat lah sebagai jalan mulus datangnya musuh-musuh
Islam. Syahid di jalan ini juga dikategorikan Rasul termasuk martabat
tertinggi.
سيد الشهداء حمزة، ثم رجل قام إلى إمام جائر فأمره
ونهاه فقتله (رواه الحاكم)
“Pemimpin orang-orang yang mati Syahid adalah Hamzah, kemudian
seseorang yang datang pada penguasa dhalim memerintah dan melarang kemudian
dibunuh.”
Menancapkan
dalam diri muslim agar menjauhi kedholiman dan orang-orang dhalim dalam sebuah
do’a qunut yang diriwayat-kan Ibnu Mas’ud;
نشكرك أللهم ولا نكفرك ونخلع ونترك من يفجرك.
“Aku bersyukur kepada-Mu ya Allah dan tidak mengkufuri-Mu dan
memutus hubungan serta meninggalkan orang yang mendurhakai-Mu.”
Memberi
motivasi berperang untuk menyelamatkan orang-orang lemah dan tertindas.
وما لكم لا
تقاتلون في سبيل الله والمستضعفين من الرجال والنساء والولدان الذين يقولون ربنا
اخرجنا من هذه القرية الظالم أهلها واجعل لنا من لدنك وليّا واجعل لنا من لدنك
نصيرا. (النساء: 75).
“Mengapa kamu tidak berperang di jalan Allah dan membela
orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang
semuanya berdo’a; Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang
dhalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau.”
Membenci
dan mengingkari orang-orang yang menyerah pada keadaan dan rela hidup di
tengah-tengah orang-orang yang menghina dan mendholimi mereka, padahal dia
mampu untuk pindah dari negeri itu.
إن الذين
توفّاهم الملائكة ظالمي أنفسهم قالوا فيم كنتم قالوا كنا مستضعفين في الأرض قالوا
ألم تكن أرض الله واسعة فتهاجروا فيها فأولئك مأواهم جهنم وساءت مصيرا. إلا
المستضعفين من الرجال والنساء والولدان لا يستطيعون حيلة ولا يهتدون سبيلا فأولئك
عسى الله أن يعفو عنهم وكان الله عفوا غفورا. (النساء : 97-99).
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan
menganiaya diri sendiri kepada mereka malaikat bertanya; dalam keadaan bagaiman
kamu ini?, mereka menjawab; adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri
Mekkah. Para malaikat berkata; bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu
dapat berhijrah di bumi itu?, orang-orang itu tempatnya neraka jahannam dan
jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. Kecuali mereka yang tertindas baik
laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan
tidak mengetahui jalan untuk hijrah. Mereka itu mudah-mudahan Allah
memaafkannya dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.”
Sampai mereka orang-orang yang lemah al-Qur’an
setengah hati memaafkannya (عسى الله أن يعفو عنهم ) agar mereka menjauhi sikap rela dihina dan didholimi.
Berulang-ulang dalam al-Qur’an menceritakan diktator-diktator bumi seperti
Fir’aun, Hamann agar jiwa muslim terinspirasi mengingkari dan membenci sepak
terjang mereka serta memberi kontribusi pembelaan, perasaan dan fikiran kepada
korban-korban yang teraniaya.
Sholat dan Politik
Seorang
muslim ketika melakukan ritual sholat terapung di tengah-tengah politik.
Mengapa? Karena ketika dia membaca al-Qur’an di sana ada ayat-ayat;
ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون
(المائدة: 44).
“Barang siapa yang tidak menghukumi dengan hukum Allah, maka
mereka termasuk orang-orang kafir.”
ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الظالمون.
(المائدة: 45)
“Barang siapa yang tidak menghukumi dengan hukum Allah, maka
mereka termasuk orang-orang dholim.”
ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الفاسقون
(المائدة: 47).
“Barang siapa yang tidak menghukumi dengan hukum Allah, maka
mereka termasuk orang-orang fasiq.”
Otomatis
saja ia masuk dalam ruang lingkup politik, bahkan terkadang terjadi
pertentangan radikal dalam dirinya, karena dengan membaca ayat-ayat seperti ini
dia kecewa dan berburuk sangka pada pemerintahan yang tidak menerapkan hukum
Allah sekaligus menyusun strategi, bagaimana agar hukum Allah bisa dipraktekkan
di muka bumi ini. Karena predikat kafir, dholim, fasiq atau semuanya yang mesti
disandang orang-orang yang tidak mau hukum Allah.
Juga
ayat-ayat yang melarang berhubungan erat dengan orang kafir, seperti;
يا أيها
الذين آمنوا لا تتخذوا الكافرين أولياء من دون المؤمنين أتريدون أن تجعلوا لله
عليكم سلطانا مبينا. (النساء: 144).
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil
orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin, inginkah
kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah untuk menyiksamu?.”
Orang
yang membaca qunut nazilah dalam sholat ketika umat Islam sedang terkena
bencana, seperti perang, gempa, banjir, krisi ekonomi dll. juga sedang
berpolitik, karena dia punya perhatian besar pada saudara-saudara muslimnya.
Begitulah
kita masuk dalam medan politik ketika kita berada di mihrab sholat dan
diperintahkan khusu’ dan inilah karakter islam yang tidak bisa dilepas antara
agama dan dunia.
Apakah politik itu munkar?
Politik
dari segi teori adalah sebuah disiplin ilmu yang spesifik dan dalam praktek
adalah tugas yang mulya dan punya manfaat besar, karena mengatur urusan manusia
menuju kehidupan yang ideal.
Imam
Ibnul Qoyyim membuat definisi politik dinukil dari Imam Abil Wafa’ bin Aqil
al-Hambali bahwa politik adalah tindakan yang mengatur manusia menuju perbaikan
dan menjauhi kerusakan sepanjang tidak bertentangan dengan syara’. Ibnu Qoyyim
menerangkan bahwa politik yang adil tidak akan pernah bertentangan dengan
syara’, bahkan merupakan bagian tak terpisahkan dari syara’ dan inilah yang
disebut keadilan Allah dan Rasul-Nya dan sekarang dikenal dengan istilah
politik.
Para
ulama mendefinisikan Imamah atau Khilafah adalah wakil umum dari Rasulullah
dalam menjaga agama dan mengatur dunia dengan agama. Jadi, Khalifah adalah
menjaga dan mengatur. Rasulullah adalah seorang politikus disamping beliau
seorang muballigh, guru, hakim, pemimpin negara dan imam umat. Demikian juga
Khulafa’ Rosyidin setelahnya, juga para politikus yang mengikuti metode
Rasulullah, mengatur umat dengan adil, serta menggiring mereka dengan ilmu dan
iman.
Tapi,
mengapa orang pada masa ini banyak yang lari dari politik, karena melihat sisi
gelapnya dan orang-orang yang terjun dalam politik praktis. Dari sinilah
musuh-musuh Islam memanfaat-kan kesempatan memarginalkan umat Islam di kancah
politik.
Daulah Islamiyah dan hukum Allah.
Pemahaman
tak beralasan;
1. Kekhususan lafadz menjadi prioritas hukum bukan
keumuman sebab turunnya wahyu
Ada
sebagian opini bahwa, ayat-ayat yang memvonis kufur, dholim, fasiq terhadap
orang yang tidak menjalankan hukum Allah adalah ancaman bagi orang-orang Yahudi
dan Nashrani bukan orang Islam sesuai dengan sebab-sebab turunnya ayat.
Benarkah pemahaman ini?, mari kita telaah;
Pertama : Masalah
ini masuk kategori al-Ma’lum mina al-Din bi al-Dhoruroh la Tuthlabu lahu
adillatun, opini umum umat orang awam atau intelektual sama-sama
mengetahuinya, tidak membutuhkan dalil. Bahwa Allah sebagai Tuhan alam semesta
punya hukum untuk mengatur manusia dan siapa saja yang tidak menjalankannya,
maka Allah berhakmemberi sanksi.
Kedua :
Banyaknya
dalil-dalil tentang wajibnya menjalankan hukum-hukum Allah disamping dalam
surat al-Maidah; 44, 45, 47, juga surat an-Nisa’; 60-65, surat an-Nur; 48-51,
surat al-Ahzab; 36 dan yang perlu dicermati bahwa yang diturunkan Allah itu
bukan nash-nash yang ada dalam kitab saja, tapi juga mencakup keadilan yang
merupakan neraca obyektif manusia.
الله الذي أنزل الكتاب بالحق والميزان (الشورى: 17)
“Allahlah yang menurunkan kitab yang membawa kebenaran dan
menurunkan neraca keadilan.”
لقد أرسلنا رسلنا بالبينات وأنزلنا معهم الكتاب
والميزان ليقوم الناس بالقسط (الحديد: 25).
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami
dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka
al-Kitab dan neraca keadilan supaya manusia dapat melaksana-kan keadilan.”
Jadi, ada dua nur; Nur Wahyu yang diambil dari
al-Kitab dan Nur akal fithrah manusia yang diambil dari al-Mizan.
Ketiga :
Kaidah;
al-Ibroh bi Umumi al-Lafdzi la bi Khususi al-Sabab (keumuman lafadz
menjadi prioritas hukum bukan kekhususan sebab turunnya wahyu). Tanpa
menggunakan jalur pemahaman seperti ini akan terjadi pemogokan hukum-hukum yang
sangat banyak yang turun bersamaan dengan sebab peristiwa-peristiwa tertentu
pada masa kenabian.
Memang, semua sepakat kalau ayat ini turun pada
ahli kitab Taurat dan Injil, tapi pada akhir ayat-ayat; ومن لم
يحكم ...الآية adalah lafadz umum yang memasukkan
siapa saja, Yahudi, Nashrani atau Muslim yang tidak menjalankan hukum Allah,
seperti dalam contoh; Fulan sakit, karena makanannya tidak teratur, barang
siapa yang tidak teratur makannya, maka akan terjangkit penyakit. Hipotesa
pertama khusus untuk Fulan, tapi hipotesa kedua berbentuk umum yang mencakup
siapa saja yang salah mengatur jam dan jenis makanan, maka akan sakit.
Jadi,
sangat tidak rasional, kalau hipotesa kedua dari ayat-ayat ini khusus
orang-orang Yahudi dan Nashrani, dalam arti hanya mereka yang divonis kafir,
dholim dan fasiq, sedangkan orang Islam tidak. Sebab;
-
Bertentangan dengan keadilan Allah. Allah berat
sebelah dalam urusan sanksi.
ليس بأمانيكم ولا أماني أهل الكتاب من يعمل سوءا يجز به (النساء:
123).
“Pahala dari Allah itu bukanlah menurut angan-anganmu yang
kosong dan tidak pula menurut angan-angan ahli kitab. Barang siapa yang
mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu.”
-
Akan muncul asumsi bahwa apa yang diturunkan Allah
pada Yahudi dan Nashrani lebih baik daripada yang diturunkan kepada umat Islam.
Sebab, yang tidak mengamalkan Taurat dan Injil divonis kafir, dholim, fasiq,
sedang yang tidak mengamalkan al-Qur’an tidak ada sanksi yang jelas, padahal
sudah menjadi opini umum bahwa yang diturunkan pada umat Islam adalah kitab
terbaik yang menjadi supervisor kitab-kitab sebelumnya. Apakah masih orisinil
ataukah sudah mengalami perubahan?.
وأنزلنا إليك الكتاب بالحق مصدقا لما بين يديه من الكتاب ومهيمنا
عليه (المائدة: 48)
“Dan Kami telah turunkan al-Qur’an kepadamu dengan membawa
kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab yang diturunkan
sebelumnya dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain.”
-
Titik focus dari penyebutan cerita-cerita Ahli
Kitab dalam al-Qur’an adalah agar umat Islam mengambil pelajaran, mengikuti
yang baik dan waspada kepada kejelekan-kejelekan mereka. Kalau tidak demikian,
maka apa gunanya cerita-cerita panjang dalam al-Qur’an?. Ayat-ayat yang
jelas-jelas khusus Ahli Kitab saja oleh para ulama’ di imani total sebagai
pelajaran dan peringatan, seperti;
أتأمرون الناس بالبر وتنسون أنفسكم وأنتم تتلون الكتاب أفلا
تعقلون (البقرة: 44)
“Mengapa kamu suruh orang lain mengerjakan kebajikan, sedang
kamu melupakan dirimu sendiri padahal kamu membaca al-Kitab Taurat, maka
tidakkah kamu berpikir?.”
Apalagi cerita yang disambung dengan bentuk lafadz
umum seperti yang kita bahas ini.
Keempat : Ijma’ wajibnya menjalankan hukum Allah.
Pebedaan
istilah kafir, dholim, fasiq
إنا أنزلنا
التوراة فيها هدى ونور يحكم بها النبيون الذين أسلموا للذين هادوا والربانيون
والأحبار بما استحفظوا من كتاب الله وكانوا عليه شهداء فلا تخشوا الناس واحشون ولا
تشتروا بآياتي ثمنا قليلا ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون (المائدة:
44).
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat di dalamnya ada
petunjuk dan cahaya yang menerangi yang dengan kitab itu diputuskan perkara
orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh
orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka disebabkan mereka
diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi
terhadapnya, karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, tetapi takutlah
kepada-Ku dan janganlah kamu menukar ayat-ayatKu dengan harga yang sedikita.
Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan maka mereka itu
adalah orang-orang yang kafir.”
Bila
kita cermati ayat ini nampaklah apa yang melatarbelakangi vonis kufur, ayat ini
membahas syari’at, kitab Taurat yang diturunkan sebagai petunjuk dan cahaya
hidup, keharusan para nabi dan para penguasa serta ulama’-ulama’ untuk
menjalankan hukum Kitab serta wasiat agar menjaganya dengan baik lalu
pembicaraan diakhiri dengan menjelaskan bahwa siapa saja yang berpaling
membenci petunjuk kitab memilih petunjuk yang lain, maka jelaslah dia kafir.
Vonis
kafir ini tidak memasukkan orang yang bebas dari masalah hukum atau
meninggalkan hukum karena kebodohan lalu dia taubat kepada Allah, Ahlussunnah
enggan menyebut mereka kafir.
وكتبنا
عليهم فيها أن النفس بالنفس والعين بالعين والأنف بالأنف والأذن بالأذن والسن
بالسن والجروح قصاص فمن تصدق به فهو كفارة له ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم
الظالمون (المائدة:45).
“Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (at-Taurat)
bahwasanya jiwa dibalas dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung,
telinga dengan telinga, gigi dengan gigi dan luka-lukapun ada qishosnya. Barang
siapa melepaskan hak qishosnya maka melepaskan hak itu menjadi penebus dosa
baginya, barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan
Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dholim.”
Ayat
kedua ini tidak membahas al-Kitab secara global sebagai rukun iman dan
terjemahan agama, tapi masalah kriminal, nyawa dan anggota-anggota badan yang
harus diberi sanksi setimpal dan adil. Barang siapa memberi sanksi hukum selain
itu, maka dia dholim dalam memberi hukum.
وقفينا على
آثارهم بعيسى ابن مريم مصدقا لما بين يديه من التوراة وآتيناه الإنجيل فيه هدى
ونور ومصدقا لما بين يديه من التوراة وهدى وموعظة للمتقين. وليحكم أهل الإنجيل بما
أنزل الله فيه. ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الفاسقون. (المائدة: 46-47).
”Dan Kami iringkan jejak mereka (nabi-nabi Bani Israel) dengan
Isa putra Maryam, membenarkan kitab yang sebelumnya yaitu Taurat dan Kami telah
memberikan kepadanya Kitab Injil sedang di dalamnya ada petunjuk dan cahaya
yang menerangi dan membenarkan kitab yang sebelumnya yaitu Taurat dan menjadi
petunjuk serta pengajaran bagi orang-orang yang bertaqwa dan hendaklah
orang-orang pengikut Injil memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah
di dalamnya. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan
Allah, maka mereka itu adalah orang-orang fasiq.”
Adapun
ayat ketiga ini menjelaskan petunjuk Injil seperti dimaklumi, Injil kebanyakan
berisi wejangan-wejangan adab, motifasi-motifasi menjalankan syari’at yang kita
kenal dalam disiplin ilmu keislaman dengan sebutan ajaran tasawwuf. Barang
siapa yang tidak menjalankan petunjuk ini (Injil, tasawwuf), maka divonis
fasiq.
Dua system pemerintahan yang berbeda
Seharusnya
kita membedakan model pemerintahan agar tidak salah kaprah seperti yang
dilakukan Ibnu Abbas ra. yaitu; pemerintah-an yang mengadopsi hukum Islam
sebagai metode undang-undang dan aturan hidup, lalu ada penyelewengan. Dan
pemerintahan yang membuang hukum Allah dan menggantinya dengan undang-undang
buatan manusia.
Sekarang
kita lihat bagaimana pemerintahan umat Islam?, ternyata mereka mengikuti apa
yang pernah dilakukan umat-umat Taurat dan Injil, yaitu meninggalkan sebagian
atau mungkin semua hukum-hukum Allah, bahkan lebih dari itu, mengagung-agungkan
hukum buatan manusia dan menuduh hukum Allah hanya untuk manusia pada zaman
turunnya saja.
Jadi,
orang-orang yang meninggalkan hukum Allah tanpa ada ta’wil yang dapat diyakini
kebenarannya, inilah yang menjadi sasaran ketiga ayat tersebut (kafir, dholim,
fasiq), semisal; orang yang berpaling dari sanksi-sanksi pencurian, menuduh
zina, perbuatan zina, tidak melaksanakan hukum-hukum tersebut serta
meremehkannya dan menganggap hukum buatan manusia lebih manusiawi dari hukum
Allah, maka jelaslah kekafirannya. Dan bila ada alasan lain (selain meremehkan
dan anggapan tidak manusiawi) untuk tidak menjalankan hukum Allah, maka divonis
dholim (bila terjadi penganiayaan hak dan keadilan) dan kalau tidak terjadi
penganiayaan, maka hanya divonis fasiq, karena lafadz fasiq lebih umum dari
kufur dan dholim. Setiap orang kafir dan dholim pasti fasiq, tapi tidak
sebaliknya.
2.
Lafadz al-Hukmu
Dalam al-Qur’an bermakna putusan hukum antara
kedua belah pihak yang bertikai, tidak ada hubungan dengan politik,
administrasi atau undang-undang negara dengan alasan وأن احكم بينهم, mengapa tidak وأن احكمهم ?. ini antara lain pemahaman yang jauh dari predikat benar,
siapa saja yang membaca ayat al-Maidah pasti mengatakan salah pemahaman
tersebut. Dalam pembahasan Taurat, di sana tidak hanya sebatas penyelesaian
hukum antara kedua belah pihak, tapi lebih dari itu. Taurat identik dengan
kitab hukum sebagai pedoman nabi-nabi Bani Israel menuntut umatnya. Nabi-nabi
penganut Taurat tidak jauh beda dengan peran seorang pemimpin negara, seperti
Musa as. yang membebaskan Bani Israel dari penindasan tiran Fir’aun, Nabi Daud
dan Sulaiman juga menjadi raja.
Dan
dalam pembahasan Injil seperti diketahui Injil bukanlah kitab hukum yang
menjadi rujukan para hakim, tapi kitab wasiat, mauidloh, adab dan suluk.
Coba
kalau asumsi ini benar, apakah para pejabat pemerintah eksekutif dan
pemimpin-pemimpin negara bebas dari tanggung jawab melaksanakan hukum Allah?,
tentu tidak, tanggung jawab milik bersama.
Ada
fatwa dari Rasyid Ridlo bahwa vonis kafir tidak hanya terhadap para hakim, tapi
juga para pejabat dan pemimpin negara, sebab walaupun mereka tidak ikut membuat
undang-undang, tapi undang-undang itu dibuat atas izin mereka.
Siapa dan kapan merubah kemunkaran dengan power?
Menangani
kemunkaran, siapakah yang paling berkewajiban?, ada dua opini yang mencoba
menjawabnya;
Pertama : Pemerintah, karena ini termasuk tugas negara,
bukan individu. Kalau tidak, maka akan dikhawatirkan terjadi situasi caos.
Pendapat ini biasanya di adopsi oleh sebagian ulama’ pemerintah.
Kedua : Kewajiban setiap individu muslim. Pendapat ini
biasanya dikumandangkan oleh generasi muda yang punya ghiroh Islamiyah. Mereka
berdalil hadits Nabi;
من رأى
منكم منكرا فليغيره بيده، فمن لم يستطع فبلسانه، فمن لم يستطع فبقلبه، وذلك أضعف
الإيمان. (رواه مسلم)
“Barang siapa diantara kamu melihat kemunkaran, maka rubahlah
dengan kekuatannya, dan barang siapa tidak mampu, maka dengan lisannya, dan
bila tidak mampu maka dengan hatinya, dan itu adalah iman yang paling lemah.”
Menyimak hadits tadi, jelas sekali bahwa kewajiban
ini adalah milik semua muslim. Mengapa?, karena di sana ada lafadz; من رأى seperti
kata ulama’ ushul adalah menunjukkan keumuman siapa saja yang melihat
kemunkaran pemerintah atau yang diperintah tidak ada yang dikecualikan, siapa
saja mulai kurun Shahabat dan kurun setelahnya, sampai datangnya hari kiamat.
Rasulullah adalah pemimpin negara dan hakim umat, dalam kapasitas beliau
seperti itu, tetap memerintah dengan من رأى منكم bukan من رأىمن الأمراء . Lafadz منكم adalah mereka-mereka yang
diperintah, bukan khusus pada pemerintah, karena kebetulan waktu itu Rasulullah
yang memegang pemerintahan, kapan dan dengan apa saja mereka mampu merubah
kemunkaran?.
Tapi,
dalam praktek lapangan mereka biasanya mengabaikan rambu-rambu yang menjadi
syarat nahi anil munkar berikut ini;
-
Aklamasi umat mengatakan haram.
-
Terang-terangan, ada pelajaran yang diberikan Umar
bin Khattab dan bisa dilihat dalam tulisan Imam al-Ghozali (Ihya’ ulumuddin)
bahwa Umar pernah mengintai sebuah rumah yang mencurigakan, lalu pemilik rumah
mengetahui dan berkata; wahai Amirul Mu’minin ! kalau aku maksiat kepada Allah,
maka hanya satu macam kemaksiatan yang kulakukan, tapi engkau, tiga kemaksiatan
sekaligus yang kau lakukan, Umar bertanya; apa saja itu?, pemilik rumah
menjawab; pertama, Allah berkata; ولا تجسسوا (الحجرات: 12) (janganlah kamu mengintai) dan
engkau telah mengintaiku, kedua; Allah berkata; وأتوا البيوت من أبوابها (البقرة: 189) (dan
datangilah rumah dari pintu-pintunya), dan engkau memanjat pagar. Ketiga; Allah
berkata; لا تدخلوا
بيوتا غير بيوتكم حتى تستأنسوا وتسلموا على أهلها (النور: 27) (janganlah
kamu masuk rumah selain rumahmu sehingga kamu memberitahu dan mengucap-kan
salam kepada pemiliknya), dan engkau tidak mengucapkan salam. Mendengar
jawaban itu, Umar meninggalkan pemilik rumah tadi, dan memberi syarat agar dia
segera bertaubat.
Mengapa Umar membiarkan dan tidak menghukumnya?,
karena ada hadits shohih; كل أمتي معافى إلا المجاهرين (setiap umatku diampuni kecuali orang-orang yang terang-terangan
berbuat dosa).
-
Punya kemampuan untuk merubah kemunkaran, biasanya
ini dimiliki orang-orang yang punya kekuasaan dalam zona kekuasaannya seperti
suami pada istrinya, bapak pada anak-anaknya, pemimpin yayasan pada anak
buahnya, pemimpin kepada mereka yang dipimpin.
Blunder
kemunkaran dilakukan oleh pemerintah
Apa
yang mesti dilakukan individu atau kelompok gerakan tertentu dalam menghadapi
masalah ini?, tentu jawabannya; harus punya kekuatan untuk merubahnya dan dalam
zaman modern ini mungkin bisa berwujud;
1.
Kekuatan militer, seperti yang pernah terjadi di
China.
2.
Lembaga Yudikatif dan Legeslatif dalam system
negara yang menganut demokrasi, dimana para eksekutif, kabinet, wakil presiden
dan presiden tidak bisa berkata ‘tidak’ di hadapan mereka.
3.
Kekuatan masa yang sangat besar yang menyerupai
aklamasi, seperti Revolusi Iran.
Siapa
saja yang tidak memiliki salah satu dari tiga kekuatan ini, hendaklah; اصبروا
وصابروا ورابطوا (Bersabar, menahan sabar dan
menggalang kekuatan). Dan cukuplah dengan lisan atau tulisan dan dakwah
sampai suatu saat, entah kapan, tercipta opini publik secara aklamasi sehingga
mampu untuk merubah kemunkaran. Abu Tsa’labah al-Khosany pernah bertanya pada
Rasulullah mengenai ayat; يا أيها الذين آمنوا عليكم أنفسكم لا يضركم من ضل
إذا اهتديتم (المائدة: 105) (Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu,
tiadalah orang yang sesat itu akan memberi madlorot kepadamu apabila kamu telah
mendapat petunjuk), Nabi menjawab;
بل ائتمروا
بالمعروف وتناهوا عن المنكر حتى إذا رأيت شحا مطاعا وهوى متبعا ودنيا مؤثرة وإعجاب
كل ذي رأي برأيه فعليك بخاصة نفسك ودع العوام فإن من وراءكم أياما الصابر فيهن مثل
القابض على الجمر للعامل فيهن مثل أجر خمسين رجلا يعملون كعملكم (رواه الترمذي).
“Tapi, laksanakanlah perintah dan jauhilah
kemunkaran sampai engkau melihat sifat pelit menjadi model, mengikuti hawa
nafsu, dunia jadi pilihan setiap orang yang punya pendapat mengagumi
pendapatnya, maka cukuplah kamu mengurusi dirimu sendiri dan tinggalkanlah
orang-orang bodoh, karena di belakangmu ada masa-masa dimana seorang yang sabar
seperti orang yang memegang bara, orang yang beramal sholeh pada masa itu
seperti pahalanya limapuluh orang yang beramal seperti amal kalian.”
Dan jangan sampai ditinggalkan mendidik generasi
yang nantinya diharapkan bisa meneruskan tanggung jawab ini, yaitu generasi
yang dijuluki al-Qur’an dengan sebutan Robbany.
ولكن كونوا ربانيين بما كنتم تعلمون الكتاب وبما كنتم تدرسون (آل
عمران: 79).
“Hendaklah kamu menjadi orang-orang robbani karena kamu selalu
mengajarkan al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.”
-
Tidak dikhawatirkan terjadi kemunkaran yang lebih
besar, karenanya ulama’ menganjurkan diam terhadap jenis ini demi menjaga
madhorot yang lebih ringan. Dalam hadits shohih Nabi berkata pada Aisyah;
لولا قومك حديثو عهد بشرك لبنيت الكعبة على قواعد إبراهيم .
“Seandainya kaummu tidak baru meninggalkan kemusyrikan, maka aku
akan membangun Ka’bah di atas pondasi Ibrahim.”
Dalam
al-Qur’an cerita Musa dan Bani Israel ketika beliau pergi ke tempat yang
dijanjikan Allah selama 40 hari, kaumnya yang ditinggal-kan diprovokasi oleh
Musa Samiri sampai mereka menyembah anak sapi emas, lalu Harun as. menasehati
mereka, tapi mereka menjawab;
لن نبرح عليه عاكفين حتى يرجع إلينا موسى (طه: 91).
“Mereka menjawab; “Kami akan tetap menyembah patung anak lembu
ini hingga Musa kembali kepada kami.”
Setelah Musa kembali, beliau marah-marah kepada
Harun;
قال يا
هارون ما منعك إذ رأيتهم ضلوا ألا تتبعن أفعصيت أمري قال يا ابن أم لا تأخذ بلحيتي
ولا برأسي إني خشيت أن تقول فرقت بين بني إسرائيل ولم ترقب قولي (طه: 92-94).
“Berkata Musa; Hai Harun, apa yang menghalangi kamu ketika kamu
melihat mereka telah sesat sehingga kamu tidak mengikuti aku, maka apakah kamu telah
sengaja mendurhakai perintahku?, Harun menjawab; Hai putra ibuku, janganlah kau
pegang janggutku dan jangan pula kepalaku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu
akan berkata kepadaku; kamu telah memecah antara Bani Israel dan kamu tidak
memelihara amanatku.”
Nabi
Harun as. mengedepankan persatuan kaumnya menunggu sampai datangnya saudaranya,
Nabi Musa as. dan berembug bersama bagaimana menghadapi situasi genting seperti
ini.
Bukanlah solusi terbaik merubah sempalan-sempalan
kemunkaran.
Ada
masalah penting yang perlu diperhatikan bagi beliau-beliau yang bertugas
memperbaiki kondisi umat, bahwa kehancuran yang menerpa umat Islam pada
masa-masa ketertinggalan, masa-masa imperalis Barat sampai masa pemerintahan
sekuler sekarang ini adalah keterpurukan yang sangat kritis, tidak cukup
menanggulanginya dengan merubah sempalan-sempalan kemunkaran, tapi ada yang
lebih besar dari itu yaitu merubah pemikiran-pemikiran dan interpretasi
nilai-nilai luhur dan etika umat. Dan mestinya harus didahuluinya dengan merubah
manusia secara internal dengan orientasi dan pendidikan terus menerus, sehingga
terwujud keluarga-keluarga yang baik, dengan begitu Allah-lah yang akan merubah
kehidupan umat ini.
إن الله لا يغير ما بقوم حتى يغيروا ما بأنفسهم
(الرعد: 11)
“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah sesuatu keadaan kaum,
sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”
Keharusan etika santun dalam nahi munkar
Ada sebuah cerita yang ditulis Imam al-Ghozali
bahwa ada seorang yang menemui Khalifah Ma’mun dengan tujuan amar ma’ruf nahi
munkar. Dia berkata pada Ma’mun: يا ظالم يا فاجر... (wahai orang dholim, wahai orang jahat…),
Ma’mun yang cerdik dan kuat menahan emosi tidak langsung menghukumnya, tapi dia
menjawab; “Wahai saudara, santunlah ! karena Allah telah mengutus orang yang
lebih baik dari engkau kepada orang yang lebih jelek dari aku, Allah mengutus
Nabi Musa dan Harun dan keduanya lebih baik dari engkau kepada Fir’aun yang
lebih celaka dari aku, Allah berkata;
اذهبا إلى فرعون إنه طغى فقولا له قولا لينا لعله
يتذكرون أو يحشى (طه: 43-44)
“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah
melampaui batas, maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang
lemah lembut, mudah-mudahan dia ingat atau takut.”
Lafadz la’allahu
adalah petunjuk kuat bagi seorang da’i agar tidak pesimis terhadap orang-orang
yang didakwai sepanjang dia menggunakan etika santun, bukan metode arogan dan
anarkis.
Islam dan Demokrasi
Ada
opini yang berkembang di tengah umat bahwa demokrasi bertentangan dengan Islam,
bahkan ada sebagian yang mengatakan; demokrasi identik dengan kekufuran. Mereka
berdalih bahwa demokrasi adalah hukum rakyat untuk rakyat, sedangkan rakyat
dalam konsep Islam bukanlah hakim, tapi yang menjadi hakim adalah Allah.
Kalangan
sekuler memanfaatkan air yang keruh ini, opini yang tumbuh subur dan terus dipupuk
di kalangan mereka adalah Islam merupakan musuh abadi demokrasi, sebab Islam
selalu bergandengan dengan diktator dan tiran. Benarkah tuduhan ini?, atau
sebaliknya, Islam bersih dari semua itu?, mari kita mencermatinya.
Transparasi terhadap suatu hal, langkah fital
mengetahui identitas hukumnya.
Aneh memang, sebagian orang menghukumi demokrasi
sebagai perkara yang jelas munkar dan kufur. Tapi, mereka tidak tahu betul
demokrasi dan esensinya. Ada kaidah yang dibuat para ulama’; الحكم على
الشيء فرع عن تصوره. (Transparasi terhadap
suatu hal, langkah fital mengetahui identitas hukumnya), bagaimana bisa
menghukumi, sedang-kan perkara yang dihukumi belum begitu transparan?, dan
kalau nantinya hukumnya benar itupun tidak dibenarkan dalam Islam, mengapa?,
karena ini kebetulan benar, bukan melalui metode ilmiah. Karenanya dalam sebuah
hadits, hakim yang tahu hukum tapi menyeleweng dalam memberi hukum dan hakim
yang bodoh tapi benar putusan hukumnya sama-sama di neraka.
Apa
itu esensi demokrasi
Esensi
demokrasi (tidak mengekor definisi dan istilah akademis) adalah rakyat memilih
pemimpin yang mengatur urusan mereka tidak terjadi pengangkatan pemimpin atau
penetapan undang-undang yang tidak mereka sukai. Mereka punya hak menasehati
bila pemimpin salah, hak melengserkan dan mengganti bila terjadi penyelewengan.
Rakyat tidak didoktrin dengan ancaman penjara atau dibunuh terhadap
orientasi-orientasi atau system-sistem ekonomi, sosial kebudayaan, politik
tertentu yang asing bagi mereka serta tidak disukai.
Esensi
demokrasi identik dengan Islam
Dalam
ritual sholat, Islam melarang orang yang benci umat menjadi imam. Dalam hadits;
ثلاثة لا ترتفع صلاتهم فوق رؤوسهم: رجل أم قوما وهم
له كارهون...(رواه ابن ماجه).
“Tiga golongan yang sholatnya tidak terangkat di atas
kepala-kepala mereka; orang yang mengimami kaum dan kaumnya membenci orang
itu…”
Kalau
ini masalah sholat, bagaimana dengan masalah kehidupan dan politik?, dalam
hadits shohih:
خيار
أئمتكم الذين تحبونهم ويحبونكم وتصلون عليهم ويصلون عليكم وشرار أئمتكم الذين
تبغضونهم ويبغضونكم وتلعنونهم ويلعنونكم (رواه مسلم).
“Sebaik-baiknya pemimpin kalian adalah mereka yang kamu sukai
dan menyukai kalian, dan menjadi imam sholat kalian juga menjadi ma’mum dalam
sholat kalian. Dan seburuk-buruk pemimpin kalian adalah mereka yang kamu benci
dan membenci kalian dan kalian melaknat mereka dan mereka malaknat kalian .”
Serangan al-Qur’an terhadap penguasa-penguasa
tiran
Penguasa-penguasa
tiran dan otoriter adalah musuh yang diperangi al-Qur’an. Yaitu orang-orang
yang memperbudak agama dan menyembah pada mereka seperti Namrudz yang berdebat
dengan Nabi Ibrahim;
ألم تر إلى
الذي حاج إبراهيم في ربه أن آتاه الله الملك إذ قال إبراهيم ربي الذي يحيي ويميت،
قال: أنا أحيي وأميت، قال إبراهيم: فإن الله يأتي بالشمس من المشرق فأت بها من
المغرب فبهت الذي كفر والله لا يهدي القوم الظالمين. (البقرة: 258).
“Apakah kamu tidak memperhatian orang yang mendebat Ibrahim
tentang Tuhannya, Allah, karena Allah telah memberikan kepada orang itu
pemerintahan (kekuasaan) ketika Ibrahim mengatakan; Tuhanku ialah yang
menghidupkan dan mematikan, orang itu berkata; saya dapat menghidupkan dan mematikan,
Ibrahim berkata; sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka
terbitkanlah dia dari barat, lalu heran terdiamlah orang kafir itu dan Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dhalim.”
Juga Fir’aun yang berkata pada kaumnya;
أنا ربكم الأعلى (النازعات: 24)
“Aku adalah tuhan kalian yang
tertinggi”.
يا أيها الملأ ما علمت لكم من إله غيري (القصص: 38)
“Dan
berkata fir’aun; Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain
aku.”
Allah telah membongkar persekongkolan kotor antara
tiga serangkai perusak bumi, pertama; penguasa tiran yang diaplikasikan dalam
sosok Fir’aun. Kedua; politisi gentle yang mengabdikan kecerdikan kejeniusan
berpikirnya pada seorang tiran. Diperankan dengan bagus oleh Hamann. Ketiga;
kapitalis serakah yang membantu langgengnya penguasa tiran dengan sedikit
berinvestasi tapi mengeruk keuntungan yang sangat besar dari keringat dan darah
rakyat. Mereka ini bernaung di bawah panji-panji Qorun.
Diktatorisme
dan Kerusakan
Al-Qur’an
selalu menggandengkan antara diktatorisme dan kerusakan yang merupakan sebab
utama kehancuran umat manusia;
الذين طغوا في البلاد فأكثروا فيها الفساد (الفجر:
11-12).
“Yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri lalu mereka berbuat
kerusakan dalam negeri itu.”
Terkadang
lafadz al-Thughyan diganti dengan al-‘Uluw.
إن فرعون
علا في الأرض وجعل أهلها شيعا يستضعف طائفة منهم يذبح أبنائهم ويستحيي نساءهم إنه
كان من المفسدين (القصص: 4)
“Sesungguhnya Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi
dan menjadikan penduduknya berpecah belah dengan menindas segolongan dari
mereka menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak
perempuan mereka. Sesungguhnya Fir’aun termasuk orang-orang yang berbuat
kerusakan.”
Kritik
al-Qur’an terhadap bangsa yang tunduk pada pemerintah diktator
Serangan
al-Qur’an tidak mengarah pada para tiran saja, tapi sasaran dilebarkan pada
mereka-mereka yang membuat kondisi seorang tiran menjadi tiran, seorang Fir’aun
menjadi Fir’aun. Siapa mereka?, mereka adalah kaum atau bangsa yang pasif dan
statis dalam berfikir. Lihat kaum Nabi Nuh as.
قال نوح رب إنهم عصوني واتبعوا من لم يزده ماله
وولده إلا خسارا (نوح: 21)
“Nabi Nuh as. berkata; Ya Tuhanku, sesungguhnya mereka telah
mendurhakaiku dan telah mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya tidak
menambah kepadanya melainkan kerugian belaka.”
Juga kaum ‘Ad.
وتلك عاد جحدوا بآيات ربهم وعصوا رسله واتبعوا كل
جبار عنيد (هود: 59).
“Dan itulah kisah kaum ‘Ad yang mengingkari tanda-tanda
kekuasaan Tuhan mereka dan mendurhakai rasul-rasul Allah dan mereka menuruti
perintah semua penguasa yang sewenang-wenang lagi menentang kebenaran.”
Kaum Fir’aun tidak ketinggalan.
فاتبعوا أمر فرعون وما أمر فرعون برشيد (هود: 97).
“Tetapi mereka mengikuti perintah Fir’aun, padahal perintah
Fir’aun sekali-kali bukan perintah yang benar.”
Laskar
dan punggawa-punggawa tiran juga tidak luput dari dosa dan balasan yang harus
diterima oleh seorang tiran.
إن فرعون وهامان وجنودهما كانوا خاطئين (القصص: 8).
“Sesungguhnya Fir’aun, Hamann dan tentara-tentara mereka adalah
orang-orang yang bersalah.”
فأخذناه وجنوده فنبذناهم في اليم فانظر كيف كان
عاقبة الظالمين (القصص: 40)
“Maka Kami hukumlah Fir’aun dan bala tentaranya lalu Kami
lemparkan mereka ke dalam laut, maka lihatlah bagaimana akibat orang-orang yang
dhalim.”
Serangan Rasulullah terhadap penguasa-penguasa
dhalim
Sunnah
Nabawiyyah juga tidak tinggal diam melihat penguasa-penguasa dhalim dan
otoriter. diriwayatkan dari Abu Musa al-Asy’ari beliau berkata;
إن في جهنم
واديا وفي الوادي بئر يقال له هبهب حق على الله أن يسكنه كل جبار عنيد (رواه
الطبراني).
“Sesungguhnya di neraka Jahannam ada jurang, dan di dalam jurang
ada sumur yang disebut habhab, Allah berhak menempatkan setiap penguasa
dhalim yang otoriter di dalamnya.”
Umayyah juga meriwayatkan;
ستكون أئمة من بعدي يقولون فلا يرد
عليهم قولهم يتقاحمون في النار كما تقاحم القردة (رواه أبو يعلى والطبراني)
“Akan datang setelahku pemimpin-pemimpin yang perkataannya tidak
ada yang membantah, mereka betumpuk-tumpuk dalam neraka seperti tumpukan kera.”
Musyawaroh dan nasehat
Islam telah meletakkan musyawaroh sebagai pondasi
kehidupan, mewajibkan kepada pemerintah untuk meminta pertimbangan dalam suatu
kebijakan dan kepada umat diwajib-kan untuk memberi nasehat tidak beda dengan
amar ma’ruf nahi munkar yang merupakan kewajiban serius, bahkan jihad paling
utama adalah; كلمة حق تقال عند سلطان جائر.
Penguasa dalam prespektif Islam
Mereka
adalah wakil atau buruh umat. Konsekuensinya umat berhak mengoreksi atau
mencabut status dia sebagai wakil bila terjadi penyelewengan. Tidak dikenal
dalam konsep Islam seorang penguasa yang ma’shum, yang tertulis di sana adalah
manusia biasa yang bisa benar dan salah, adil dan nyleweng, maka hak umat untuk
meluruskan bila terjadi penyelewengan.
Itulah
yang dikumandangkan pemimpin umat pasca Rasulullah SAW. seperti Abu Bakar,
beliau berkata;
أيها الناس
إني وليت عليكم ولست بخيركم فإن رأيتموني على حق فأعينوني وإن رأيتموني على باطل
فسددوني أطيعوني ما أطعت الله فيكم فإن عصيته فلا طاعة لي عليكم.
“Wahai manusia, aku memimpin kalian dan bukanlah aku terbaik
dari kalian, kalau kalian melihatku di atas kebenaran, maka bantulah aku, dan
kalau kalian melihatku dalam kebatilan, maka luruskanlah aku. Taatlah kalian
kepada aku sepanjang aku mentaati Allah dalam mengurus kalian, kalau aku
mendurhakai Allah, maka kalian tidak wajib taat kepadaku.”
Umar
bin Khattab ra. berkata; رحم الله امرءا أهدى إليّ عيوب نفسي (semoga Allah mengasihi seseorang yang memberi hadiah kepadaku
cela-cela yang ada pada diriku).
Jadi,
sebenarnya esensi demokrasi jauh sebelumnya sudah digagas oleh Islam, tapi
detail-detailnya diserahkan penuh kepada ijtihad umat Islam selaras dengan
nash-nash dan kemashlahatan dunianya serta dinamisme peradaban manusia.
Keistimewaan demokrasi
Di
tengah-tengah perjuangan panjang melawan para diktator (Beatrich, Kaisar, Raja)
muncul pemikiran untuk melindungi hak bangsa-bangsa dari praktek imperialisme
dunia. Dari sinilah embrio demokrasi muncul, walaupun dalam praktek
memperjuangkan HAM ada kekurangan di sana sini.
Dan siapa saja berhak memunculkan pemikiran baru
yang lebih ideal bagi kelangsungan hidup manusia dengan berbagai istilah yang
dikehendakinya dan tidak ada salahnya kita menyadur istilah demokrasi untuk
mewujudkan keadilan, musyawaroh mufakat, perlindungan HAM, dan berbaris melawan
diktator-diktator bumi. Ada kaidah; ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب. (Sasaran-sasaran
yang menjadi target dari perintah syari’at bila untuk mencapainya membutuhkan
perantara, maka konsekuensinya perantara juga urgen seperti sasaran).
Dalam Islam tidak ada larangan menyadur teori
pemikiran atau strategi praktis dari non muslim, seperti pada masa perang
Khandaq, Rasulullah menerima ide menggali parit yang ditawarkan Salman
al-Farisy dan strategi ini milik bangsa Persi. Tawanan-tawanan perang Badr yang
bisa membaca dan menulis dimanfaatkan Rasulullah untuk mengajar anak-anak
muslim walaupun mereka musyrik. Jadi; الحكمة ضالة المؤمن أنى وجدها فهو أحق بها (Hikmah adalah mutiara orang mukmin yang hilang, di mana saja
dia menemukannya dialah yang berhak memilikinya.”
Dari
sinilah kita menggunakan istilah demokrasi dan kita punya hak penuh untuk merevisi,
bukan falsafahnya yang kita ambil yang mungkin di sana terjadi penghalalan yang
haram atau sebaliknya.
Pemilu identik dengan syahadah
Pemungutan suara dalam prespektif Islam bisa
dikategori-kan syahadah. Yaitu persaksian terhadap kredibilitas calon pejabat.
Konsekuensinya pemegang hak suara harus memenuhi syarat-syarat yang harus
dimiliki oleh seorang saksi, semisal; adil. وأشهدوا ذوي عدل منكم (الطلاق: 2) (Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu).
Juga kredibel, ممن ترضون من الشهداء (البقرة: 282) (…dari saksi-saksi yang kamu ridloi).
Melihat kwalitas manusia sekarang, seharusnya kita
memohon dispensasi pada Allah mengenai kriteria adil sesuai dengan kondisi.
Secara global, mungkin mayoritas warga negara bisa menjadi saksi, kecuali
mereka yang melakukan tindak kriminal, siapa saja yang memberi persaksian
(memilih calon) orang yang tidak kredibel bahwa dia (calon) adalah kredibel,
maka persaksian pemilih ini bohong dan dosa besar. Persaksian palsu ini oleh
al-Qur’an digandeng dengan syirik kepada Allah.
فاجتنبوا الرجس من الأوثان واجتنبوا قول الزور
(الحج: 30)
“Maka jauhilah berhala-berhala najis, dan jauhilah persaksian
palsu.”
Seorang yang memilih calon hanya karena nepotisme
(kerabat atau putra daerahnya) atau kolusi (imbalan jasa yang diharapkan), maka
telah menentang al-Qur’an. وأقيموا الشهادة لله (الطلاق:
2) (dan
laksanakanlah persaksian hanya karena Allah semata).
Barisan
golput sampai mengakibatkan terlemparnya calon yang benar-benar kredibel dari
panggung kontestan dan terpilihnya calon yang kurang memenuhi kriteria yaitu
professional dan amanah (al-Qowiyyul Amin) merupakan tindakan irrasional
yang menentang perintah Allah. Bagaimana tidak?, dia telah diundang untuk
bersaksi (memilih), tapi dia menyembunyikan persaksiannya disaat umat sangat
membutuhkannya.
ولا يأب الشهداء إذا ما دعوا
(البقرة: 282)
“janganlah saksi-saksi itu enggan memberi
keterangan apabila mereka dipanggil.”
ولا تكتموا الشهادة ومن يكتمها فإنه آثم قلبه
(البقرة: 283).
“dan janganlah kamu para saksi menyembunyikan persaksian dan
barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang
berdosa hatinya.”
Inilah
sederet ketentuan yang harus dimiliki dan dilaksana-kan oleh orang yang
mempunyai hak suara (saksi) dan tentunya kriteria seorang calon lebih ketat
dibanding pemilih.
Hukum rakyat dan hukum Allah
Esensi
demokrasi sebenarnya cocok dengan ajaran Islam bila kita menggalinya dari
sumber-sumber orisinil yaitu al-Qur’an, as-Sunnah dan ajaran Khulafa’ Rosyidin,
bukan dari lembaran sejarah, raja-raja yang dholim, juga bukan dari fatwa-fatwa
miring.
Dalam
demokrasi ada istilah hukum; dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat. Sekilas
memang ada pencampakan hukum Allah, pemahaman seperti ini tidak ada realitanya.
Sebab hukum dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat yang merupakan asas demokrasi
bukannya menjadikannya hukum Allah sebagai musuh yang terus mereka perangi,
tapi penguasa yang monopoli, tiran dan diktator. Itulah yang menjadi musuh
abadi demokrasi.
Sebab
orang-orang yang mempropagandakan demokrasi tidak terlintas sedikitpun di hati
mereka sebagai pengganyang hukum Allah terhadap manusia. Mereka ini bukan
Atheis yang beridiologi agama adalah racun kehidupan, tapi yang menjadi target
sasaran jangka panjang perjuangan mereka adalah bagaimana para
penguasa-penguasa bumi ini tidak monopoli dan diktator.
Hukum
Allah pada makhluk-Nya ada dua;
Pertama : Hukum alam, maksudnya Allah-lah yang mengatur alam
semesta.
أولم يروا
أنا نأتي الأرض ننقصها من أطرافها والله يحكم لا معقب لحكمه وهو سريع الحساب
(الرعد: 41)
“dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnay Kami
mendatangi daerah-daerah orang kafir, lalu kami kurangi daerah-daerah itu
sedikit demi sedikit dari tepi-tepinya dan Allah menetapkan hukum menurut
kehendak-Nya tidak ada yang dapat menolak ketetapannya dan ialah yang maha
cepat hisabnya.”
Hukum
Allah dalam ayat ini adalah hukum alam, bukan syari’at.
Kedua : Hukum syari’at dengan mengutus para utusan, menurunkan
kitab suci sebagai pedoman hidup umat manusia. Hukum Allah seperti tadi,
mustahil diingkari oleh seorang muslim yang mempropagandakan demokrasi. Mereka
itu hanya mensosialisasikan sebuah system pemerintah demokrasi yang
asas-asasnya merupakan perwujudan politik Islam dalam memilih seorang pemimpin
negara, mengaktifkan fungsi Majlis Permusyawaratan, amar ma’ruf nahi munkar,
melawan kedholiman, apalagi bila sudah sampai tingkat kekufuran.
Bukti
lagi, dalam undang-undang mereka (negara demokrasi yang muslim) ada pasal;
termasuk agama negara adalah Islam dan syari’at Islam merupakan sumber dari
undang-undang. Ini adalah pengukuhan hukum Allah terhadap manusia, lebih bagus
lagi kalau dalam undang-undang ditambah pasal; setiap undang-undang yang
bertentangan dengan syari’at harus dibatalkan.
Jadi,
propaganda demokrasi tidak berkonsekuensi mengganti hukum Allah dengan hukum
rakyat, karena keduanya tidak ada pertentangan. Kalau pemahaman seperti ini
dipaksakan, maka akan muncul pemahaman-pemahaman konyol yang lain, seperti;
dalam Islam ada aliran-aliran pemikiran dalam memahami nash-nash Islam yang
kita kenal dengan madzhab-madzhab. Kalau seseorang mengikuti salah satu
madzhab, konsekuensinya dia mengganti hukum Allah dengan hukum Imam madzhab
tadi. Padahal, muslim paling bodohpun tidak pernah memahami demikian, begitu
pula masalah ini, demokrasi adalah salah satu aliran pemikiran atau teori
system negara yang dibuat manusia yang mencoba merekontruksi teori-teori
sebelumnya, ada monarki, machiafelli dll. Mungkin memang diantara pencetus
teori-teori tersebut ada yang Atheis, tapi ketika seorang muslim mengikuti
salah satu teori system negara tersebut, apakah konsekuensinya dia Atheis
tersebut?.
Voting, Apakah bertentangan dengan Islam?
Voting
adalah termasuk alasan kuat bagi kelompok yang anti demokrasi, karena voting
menurut demokrasi adalah penentu final dari sebuah keputusan-keputusan hukum.
Mana pendapat yang paling banyak, itulah yang disahkan, tidak memandang benar
atau salah. Juga banyak sekali nash-nash yang menunjukkan bahwa kelompok
mayoritas selalu berada dalam barisan kebatilan, seperti;
وإن تطع أكثر من في الأرض يضلوك عن سبيل الله
(الأنعام: 116)
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi
ini, niscaya mereka akan menyesatkan dari jalan Allah.”
وما أكثر الناس ولو حرصت بمؤمنين (يوسف: 103)
“Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman walaupun kamu
sangat menginginkannya.”
ولكن أكثر الناس لايعلمون (الأعراف: 187)
“Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
بل أكثرهم لا يعقلون (العنكبوت: 63)
“Tetapi kebanyakan mereka tidak memahaminya.”
ولكن أكثر الناس لا يؤمنون (هود: 17)
“Tetapi kebanyakan manusia tidak beriman.”
ولكن أكثر الناس لا يشكرون (البقرة: 243)
“Tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.”
Sebaliknya, orang-orang sholeh selalu dalam
kelompok minoritas.
وقليل من عبادي الشكور (السبأ: 13)
"Dan sedikit dari hamba-hamba-Ku yang berterima
kasih.”
إلا الذين آمنوا وعملوا الصالحات وقليل ما هم (ص: 24)
“Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholeh
dan amat sedikitlah mereka ini.”
Memang,
Islam menurut kelompok anti demokrasi tidak menganggap voting sebagai perantara
putusan hukum, tapi yang ada dalam Islam adalah benar dan salah, mana yang
benar itulah yang dipakai walaupun hanya satu suara atau bahkan tidak ada sama
sekali. Sedangkan yang salah dibuang jauh-jauh walaupun 99 % suara
mendukungnya.
Adapun
mengenai nash-nash tadi, memang kelompok mayoritas selalu berada pada barisan
kebatilan, tapi dalam masalah ini kurang tepat, sebab yang kita bahas adalah
demokrasi yang diadopsi masyarakat muslim yang berpengetahuan intelek, beiman
dan bersyukur pada Allah, bukan demokrasi yang diadopsi kelompok-kelompok
pembangkang dan yang sesat dari jalan Allah.
Voting tidak bisa mengintervensi nash-nash baku
Dalam
Islam, masalah-masalah yang mungkin membutuhkan jasa voting adalah masalah
ijtihadiah yang di sana menampung semua pendapat, bukan masalah-masalah baku
yang tidak menerima transformasi.
Mayoritas! penentu keabsahan suatu pendapat dalam
masalah ijtihad
Penentu
dalam masalah khilafiyah adalah mana pendapat yang mayoritas, karena pendapat
dua orang, lebih dekat pada kebenaran dibanding pendapat satu orang. Dalam
hadits;
إن الشيطان مع الواحد وهو مع الاثنين أبعد (رواه
الترمذي)
“Sesungguhnya syetan selalu bersamaan dengan satu orang, dan
syetan akan lebih jauh bila terdapat dua orang.”
Rasulullah
pernah berkata pada Abu Bakar dan Umar;
لو اجتمعتما على مشورة ما خالفتكما (رواه أحمد)
“Seandainya kalian berdua berkumpul dalam musyawaroh mufakat,
maka aku tidak akan bertentangan dengan kalian berdua.”
Dalam
perang Uhud, Rasulullah dan sahabat-sahabat senior berpendapat menetap di
Madinah, sedangkan pendapat mayoritas mengajak keluar Madinah menyongsong
musuh, lalu Rasulullah memilih pendapat mayoritas ini.
Keputusan
Umar mengangkat enam anggota Syuro (dewan formatur) untuk mengangkat pengganti
beliau dan mereka harus memilih suara terbanyak, bila terjadi draw (tiga lawan
tiga), maka harus ada penentu dari luar anggota enam ini, yaitu Abdullah bin
Umar. Kalau mereka tidak menerima keputusan Ibnu Umar, maka tiga orang yang di
situ ada Abdurrohman bin ‘Auf penentunya.
Juga
ada hadits tentang as-Sawadu al-A’dhom dan perintah untuk selalu berada
dalam kelompok ini.
إن بني
إسرائيل تفرقت إحدى وسبعين فرقة، وإن هذه الأمة ستزيد عليهم فرقة، كلها في النار
إلا السواد الأعظم (رواه الطبراني)
“Sesungguhnya Bani Israel telah terpecah menjadi tujuh puluh
satu golongan, dan umat ini akan bertambah satu golongan melebihi Bani Israel,
semuanya masuk neraka kecuali kelompok mayoritas.”
Adapun
opini yang mengatakan bahwa penentu adalah mana pendapat yang benar walaupun
hanya satu suara, sedangkan pendapat yang salah, walaupun 99 % harus dibuang.
Sasarannya adalah masalah-masalah yang sudah ada nash-nash bakunya dan inilah
yang dikehendaki dengan ucapan sebagian ulama’ ;
الجماعة ما وافق الحق وإن كنت واحدك .
“Jama’ah adalah mereka yang sesuai dengan kebenaran, walau
engkau sendirian.”
Adapun
masalah-masalah ijtihadiah ada metode yang bisa dijadikan penentu dari berbagai
pendapat yang banyak yaitu voting. Metode ini sudah lama dikenal manusia dan
telah dilegalisasi oleh para pemikir termasuk umat Islam.
Multi Partai Dalam Negara Islam
Sudah
menjadi opini publik bahwa Islam mengharuskan pengikut-nya untuk bersatu serta
melarang perpecahan dan perbedaan. Sedang-kan realita zaman menuntut adanya
multi partai yang hanya akan mengakibatkan pecahnya persatuan umat.
Imam
as-Syahid Hasan al-Banna’ pernah berfatwa; “tidak ada partai-partai an dalam
Islam”. Dari fatwa inilah banyak kalangan pemikir yang anti terhadap system
multipartai, sedangkan kelompok yang mengumandangkan demokrasi, mereka
berpendapat bahwa kebebasan dan keberagaman adalah symbol kekuatan Islam sampai
nantinya mereka mampu menggenggam kendali pemerintahan dan menjadi sigle
mayority dan menganggap merekalah symbol kebenaran dan partai-partai selain
mereka semuanya batil.
Inilah
antara lain problem umat Islam abad kekinian yang menuntut untuk berfikir
ekstra dan jeli. Ada sebuah opini yang mencoba menjawab bahwa tidak ada
larangan syara’ dalam negara Islam menganut system multipartai, karena larangan
syara’ membutuhkan nash. Sedangkan di sana tidak dijumpai nash yang melarang
system ini.
Bahkan
system multipartai ini merupakan tuntutan zaman, karena system inilah mungkin
satu-satunya strategi jitu untuk menghabisi monopoli para tiran atau
kelompok-kelompok tertentu terhadap pemerintahan serta menumbuhsuburkan beragam
kekuatan politik yang mampu berkata tidak atau mengapa pada pemerintahan yang
berkuasa.
Tapi
sebentar, ada dua syarat tetap yang ditawarkan bila partai-partai ini
eksistensinya ingin dilegalisasi oleh syara’. Apa itu?;
Pertama : Islam sebagai komitmen perjuangan partai.
Kedua : Tidak mengabdikan perjuangan partai pada
kelompok-kelompok yang phoby terhadap Islam dan umatnya. Jadi,
memproklamirkan partai yang visi dan misinya menyeleweng dari tuntunan agama,
berfaham Atheis atau mencela agama-agama samawi secara umum bahkan mungkin
agama Islam secara khusus semuanya oleh syara’ divonis illegal eksistensinya.
Partai politik new power
Dinamisme
peradaban manusia menuntut inovasi amunisi baru untuk mengganti peran,
ketajaman pedang, panasnya peluru atau ledakan bom dalam menghentikan
penyelewengan sebuah pemerintahan. Dan seperti yang kita lihat, manusia pada
zaman ini telah mampu memenuhi tuntutan itu, meluruskan penyelewengan
pemerintah tanpa pengorbanan darah yang kita kenal dengan kekuatan politik atau
partai-partai.
Pemerintah
dengan kekuasaannya mampu mengintimidasi terhadap individu atau kelompok kecil,
tapi tidak terhadap kelompok besar yang terorgansir dan punya akar kuat pada
arus bawah.
Inilah kiranya eksistensi partai-partai atau
gerakan-gerakan politik mutlak dibutuhkan sebagai media paling efektif dan
efesien untuk menstabilkan antara kebijakan-kebijakan pemerintah dan penyambung
lidah tuntutan-tuntutan rakyat.
وما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب.
Persepsi miring terhadap negara Islam
Ada
sebagian persepsi bahwa negara yang mengadopsi dan mengembalikan semua
urusannya pada hukum Allah tidak membutuhkan system multipartai ini, karena
negara Islam itu dengan sendirinya sudah terikat dengan hukum-hukum Allah, maka
hendak-lah para penggagasnya terus berjuang sampai benar-benar terwujud negara
yang diimpi-impikan ini. Dan ketika berdiri, maka akan nampak seperti apa yang
disebutkan Allah;
الذين إن مكناهم في الأرض أقاموا الصلاة وآتوا
الزكاة وأمروا بالمعروف ونهوا عن المنكر (الحج: 41)
“Yaitu orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di
muka bumi niscaya mereka mendirikan sholat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat
yang ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang munkar.”
dan selanjutnya kita serahkan sepenuhnya
pembelaan, dukungan dan pengabdian pada negara Islam.
Perlu
diperjelas lagi bahwa yang kita gagas itu negara Islam bukan negara agama
seperti yang ada di Eropa (Vatikan). Negara Islam adalah negara modern yang
mengadopsi syari’at kepala negaranya adalah bukan imam ma’shum, anggota
kabinetnya juga bukan tokoh-tokoh suci, tapi mereka adalah manusia yang
terkadang benar dan salah.
Ketika
ma’shum dan suci tidak menjadi predikat mereka, maka sangat mungkin dalam menjalankan
roda pemerintahan terjadi praktek otoriter dan kedholiman. Dan otoriter paling
berbahaya adalah mengatasnamakan agama. Jadi, walaupun negara Islam sudah
terbentuk, peran partai-partai politik (dengan fungsinya amar ma’ruf nahi
munkar) mutlak dibutuhkan eksistensinya apalagi kalau belum terbentuk seperti
sekarang ini.
Salah
besar kalau ada persepsi bahwa kebenaran hanya milik negara Islam, sedangkan
orang atau partai-partai oposisi selalu berada dalam lingkaran kebatilan.
Multipartai dalam politik identik multimadzhab
dalam fiqh
Keberagaman
yang dilegalkan syara’ adalah keberagaman pemikiran, metodologi, dan strategi
berpolitik. Setiap kelompok atau partai menyampaikan pemikiran-pemikirannya
seputar problem-problem actual masyarakat atau negara lengkap dengan
argumen-argumen ilmiah dan sanad-sanad shohih. Orang-orang yang mempercayai
sebuah hasil pemikiran otomatis dia menjadi pendukung pemikiran (Partai)
tersebut. Dan mereka yang punya ide lebih cemerlang tentu akan memunculkan
pemikiran (partai) tandingan.
Bukan
yang dimaksud keberagaman atas dasar ras, letak geografis, generasi tertentu
yang semuanya hanya mengakibatkan fantisme buta yang menjadi momok Islam sejak
zaman dahulu. Jadi, multipartai dalam politik identik dalam multimadzhab dalam
fiqh. Madzhab fiqh adalah sebuah kajian pemikiran yang punya sumber-sumber
khusus dalam memahami syari’at, menggali hukum-hukum furu’ dari
sumber-sumbernya yang asli. Pengikut suatu madzhab sebenarnya adalah
murid-murid dari kajian pemikiran ini dan mempercayainya bahwa ini adalah yang
paling dekat dengan kebenaran tanpa mengesampingkan (mengatakan batil)
madzhab-madzhab lain.
Begitu
pula dengan partai. Partai adalah madzhab dalam berpolitik yang punya falsafah,
sumber serta metodologi dari Islam yang sangat luas. Pendukung dari suatu
partai sangat mirip dengan pengikut suatu madzhab, masing-masing beranggapan
bahwa partainyalah yang paling dekat dengan kebenaran.
Bisa
kita ambil contoh; suatu partai berpandangan bahwa keputusan DPR harus
dijalankan lembaga eksekutif, kepala negara ditetapkan dari hasil pemilu, masa
jabatannya dibatasi lima tahun dan bisa mengikuti pemilihan lagi pada masa
mendatang, DPR ditetapkan dari hasil pemilu, perempuan punya hak suara dan
dicalonkan sebagai anggota dewan, negara punya wewenang menaikkan harga
barang-barang pokok, menyewakan tanah inventaris, menetapkan upah minimum para
buruh, laba pedagang, dalam harta ada hak-hak selain zakat, asas hubungan luar
negeri adalah damai, ahlu dhimmah dibebaskan dari membayar Jizyah bila
menjadi anggota militer dan mereka punya hak dicalonkan menjadi anggota dewan.
Kemudian,
ada partai yang berseberangan dengan pemikiran-pemikiran tersebut, mungkin juga
muncul partai yang cocok sebagian dan yang sebagian lain berseberangan.
Ketika
suatu kelompok dengan seambrek pemikiran-pemikirannya menang dalam kontestan
pemilu dan memegang pemerintahan, apakah hanya karena dia menjadi single
mayority terus membredel kelompok-kelompok atau partai-partai yang lain dan
mengubur pemikiran-pemikiran mereka?, apakah kekuasaan itu bisa menjamin
langgengnya suatu pemikiran dan terkuburnya suatu pemikiran hanya disebabkan
tidak berkuasa?.
Nalar
waras tentu berkata tidak. Setiap pemikiran akan melewati seleksi alam dari
setiap generasi, mana yang punya manfaat konkrit itulah yang abadi dan tentu
ada pengikut-pengikut yang setia mendukungnya.
Partai-partai adalah madzhab-madzhab dalam
politik, madzhab-madzhab adalah Partai-partai dalam fiqh
Sumber
malapetaka yang muncul dalam system multipartai politik juga muncul dengan
bentuk yang sama dalam madzhab-madzhab fiqh, yaitu taqlid buta tanpa modal
pengetahuan, fanatisme buta serta pengkultusan sebagian tokoh bagaikan para
nabi.
Pluralisme dan perbedaan
Ada
opini yang membutuhkan transparansi empiris, bahwa keberagaman (pluralisme)
paradoks dengan persatuan umat seperti yang diperintahkan Islam, demikian juga
perbedaan dan perpecahan yang identik dengan kekufuran dan kebodohan. Pendapat
ini berdasarkan firman Allah;
واعتصموا بحبل الله جميعا ولا تفرقوا (آل عمران:
103)
“Dan berpegangteguhlah kalian semua dengan tali Allah dan jangan
bercerai berai.”
ولا تكونوا
كالذين تفرقوا واختلفوا من بعد ما جاءهم البينات وأولئك لهم عذاب عظيم (آل عمران:
105).
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai berai
dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka
itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.”
Dalam hadits; لا تختلفوا فإن من كان قبلكم اختلفوا فهلكوا (متفق
عليه) (janganlah
kalian berselisih karena orang sebelum kalian telah berselisih dan binasa).
Inilah antara lain dalil-dalil mereka, sekilas memang meyakinkan, tapi masih
ada pemahaman yang tercecer yaitu ternyata pluralisme tidak identik dengan
perpecahan juga sebagian perbedaan ternyata tidak dibenci oleh Allah. Seperti
perbedaan pendapat dalam masalah ijtihad karenanya para sahabat banyak yang
berbeda dalam masalah hukum furu’, seperti peristiwa yang masyhur pasca perang
Ahzab, para sahabat diperintah Nabi mengepung Yahudi Bani Quroidhoh serta
diperintahkan sholat Ashar di perkampungan mereka. Lalu sebagian sahabat ada
yang sholat di tengah perjalanan dan akhirnya Rasulullah tidak marah terhadap
salah satu dari dua kelompok yang berbeda faham.
Sebagian ulama’ mengkategorikan perbedaan ini
sebagai rahmat bagi umat seperti dalam Atsar; اختلاف أمتي رحمة . ada riwayat dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz bahwa beliau
tidak setuju kalau para sahabat tidak berbeda pendapat. Karena berkah
beliau-beliau berbeda pendapat terbukalah pintu flexibilitas dan dispensasi
hukum bagi umat. Sebagian ada yang mengaplikasikan perbedaan yang membawa
rahmat umat ini dalam bentuk pluralisme manusia dalam berbagai disiplin ilmu
dan profesionalisme sehingga terwujudlah komposisi komplit untuk memenuhi
berbagai kebutuhan umat.
Al-Qur’an
mengkategorikan perbedaan bahasa dan warna kulit sebagai salah satu tanda-tanda
kebesaran Allah yang hanya bisa dinalar hamba-hambanya yang menggunakan secara
optimal fungsi akalnya.
ومن آياته خلق السموات والأرض واختلاف ألسنتكم وألوانكم إن في
ذلك لآيات للعالمين (الروم: 22).
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaannya ialah, menciptakan langit
dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang
mengetahui.”
Jadi,
bukanlah semua perbedaan itu berkonotasi buruk. Realitanya perbedaan itu ada
dua macam, yaitu; perbedaan ragam (variatif), ini yang dianjurkan dan perbedaan
kontradiktif dan ini yang dilarang.
Pluralisme gerakan-gerakan yang memperjuangkan
Islam
Sepanjang
persatuan umat sulit terwujud, berat kiranya kita menolak kehadiran berbagai
gerakan atau kelompok-kelompok yang memperjuangkan Islam sebagai alternatif
pamungkas dari vakumnya peran Islam secara utuh dalam percaturan dunia
internasional. Tentunya dengan catatan pluralisme gerakan-gerakan ini nantinya
hanya akan mengakibatkan perbedaan variatif saja, tidak sampai pada titik
kontradiktif dan hendaknya semua komponen dalam menyikapi dan menghadapi
problem-problem kekinian menyangkut eksistensi Islam, aqidah, syari’at dan umat
Islam berada dalam satu barisan yang sejajar dan kokoh.
Dalam
kondisi apapun umat ini khusnudhon, berbaik sangka adalah sikap paling
ideal bagi semua kalangan, jadi kata-kata kafir, sesat, dosa yang mungkin akan
kita lontarkan sebagai reaksi dari berbagai tingkah polah umat kelihatannya
kurang mendidik, saling wasiat pada jalan kebenaran dan menghadapinya dengan
kebenaran. Itulah yang hendaknya kita kedepankan.
Perpecahan
dan permusuhan yang merupakan benih dari kehancuran umat tidak akan pernah
terwujud kalau perbedaan-perbedaan internal umat ini kita jaga dari
percikan-percikan api kontradiksi. Konsep ini kiranya akan selalu relevan dalam
kondisi vakum negara Islam seperti sekarang maupun pasca berdirinya negara
Islam sebab, hasil pemikiran-pemikiran tidak bisa dibunuh dan dipasung kecuali
ada pemikiran-pemikiran baru yang lebih jitu dan konprehensif, dengan
sendirinya pemikiran lama akan terkubur.
Imam Ali dan Khawarij
Bila kita membuka lembaran sejarah, di sana akan
kita temukan imam Ali, bagaiman sikap dan tindakan beliau menghadapi partai
Khawarij, kelompok ini menentang kebijakan politik Imam Ali dan mengatakan
bahwa orang-orang yang pro pemerintahan Ali dihukumi kafir dan keluar dari
agama (murtad). Bahkan sikap ini dirasa kurang cukup oleh mereka, akhirnya
mereka mengangkat senjata memerangi pemerintahan imam Ali. Semua ini mereka
lakukan karena menganggap imam Ali telah mengambil hukum selain hukum Allah.
إن الحكم إلا لله (يونس: 40).
“Tiada hukum selain milik
Allah.”
Setelah mendengar tuduhan Khawarij seperti itu
beliau menjawabnya dengan perkataan; كلمة حق يراد بها باطل (kalimat kebenaran tapi dikehendaki kebatilan).
Tapi, walaupun partai Khawarij ini jelas-jelas salah ta’wil, sikap toleran
tetap muncul dari kepala beliau yang dingin. Beliau tidak memerintahkan
membredel partai ini, mengusir dan mengejar sampai tertangkap dalam peperangan,
tapi beliau malah berkata pada mereka;
لكم علينا
ثلاث ؛ ألا نمنعكم مساجد الله، ولا نحرمكم من الفيء ما دامت أيديكم في أيدينا ،
ولا نبدأكم بقتال.
“tiga hak yang harus kami berikan pada kalian, kami tidak akan
melarang kalian masuk masjid-masjid Allah, juga tidak menghalangi kalian untuk
mendapatkan harta fai’ selama pembelaan kalian dibarisan kami, dan kami tidak
akan memulai peperangan dengan kalian.”
Calon anggota dewan perempuan antara pro dan
kontra
Ada
sebagian asumsi mengatakan haram. Dasar mereka antara lain;
1. Ayat;
وقرن في
بيوتكن (الأحزاب: 33) (dan hendaklah kamu tetap di rumahmu) dari
ayat ini mereka berkesimpulan bahwa wanita tidak boleh keluar rumah kecuali
dlorurot atau ada keperluan.
Dalil ini kurang tepat karena;
Pertama : Ayat
ini membahas istri-istri Nabi. Seperti telah dimaklumi bahwa istri-istri Nabi
punya privice lebih dibanding dengan wanita-wanita lain. Karenanya balasan amal
beliau-beliau berlipat bila melakukan amal sholeh, juga bila melakukan amal
buruk siksanya juga lebih besar.
Kedua :
Aisyar
ra. pernah keluar dari rumah beliau dan hadir dalam perang Jamal memenuhi
panggilan yang menurut beliau suatu kewajiban agama. Yaitu menuntut qishos
orang-orang yang membunuh Utsman walaupun akhirnya beliau salah ta’wil.
Ketiga :
Praktek
realita wanita kadang keluar dari rumahnya ke madrasah, universitas, berkarir
dalam berbagai profesi, seperti; dokter, guru, sekretaris dll. tanpa reaksi
inkar dari siapapun yang dianggap berkompeten dalam masalah seperti ini dan
mengakibatkan ada indikasi ijma’ terhadap masalah wanita karir (tanpa
mengabaikan syarat-syarat wanita keluar rumah).
Keempat : Kebutuhan
menuntut para muslimah yang taat pada agamanya masuk dalam medan kontestan
pemilu untuk menghadang suara wanita-wanita sekuler yang beranggapan wanita
sebagai pemimpin (emansipasi tanpa batas). Kebutuhan social kemasyarakatan dan
politik terkadang lebih penting dibanding dengan kebutuhan individu yang
memperbolehkan seorang wanita boleh keluar rumah.
Kelima :
Dalam Islam, mengurung wanita dalam rumah hanya terjadi dalam masa yang
sebentar (sebelum purnanya tasyri’) sebagai sanksi dari wanita yang melakukan
perbuatan asusila.
فامسكوهن في البيوت حتى يتوفاهن الموت أو يجعل الله لهن سبيلا
(النساء: 15).
“maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai
mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya.”
Jadi,
pada masa-masa yang normal, ayat ini tidak bisa dibuat landasan pengurungan
wanita dalam rumah.
2.
Menutup pintu-pintu kemunkaran (Saddudz
Dzaroi’) wanita ketika menjadi calon anggota parlemen dia pasti hadir di
tengah-tengah kampanye yang di sana terjadi campur baur antara wanita dan
laki-laki, demikian ini hukumnya haram. Dan perantaran hukum haramnya juga
haram.
Memang menutup pintu-pintu keharaman diperintah
oleh agama, tapi para ulama’ telah menetapkan bahwa; المبالغة في سد الذرائع كالمبالغة في فتحها (terlalu
berlebihan dalam menutup pintu kemunkaran seperti halnya membuka kemunkaran itu
sendiri),
bahkan terkadang menimbulkan hilangnya kemashlahatan-kemaslahatan yang banyak
lebih besar mafsadah yang dikhawatirkan.
Dalil
inilah mungkin yang menjadi sandaran bahwa wanita tidak boleh menyampaikan
aspirasi politiknya melalui pemilu, khawatir terjadi fitnah. Akibatnya banyak
sekali suara yang terbuang sia-sia yang bisa dimungkinkan suara-suara ini
mendukung calon-calon agamis, apalagi jelas-jelas kalangan sekuler mengambil
untung banyak dari suara wanita-wanita sekuler.
Jadi,
seorang muslimah yang taat ketika memilih atau mencalonkan harus menjaga diri
ketika bertemu dengan lawan jenis dari apa-apa yang dilarang agama, seperti
berbicara dengan nada yang mesra, berpakaian seksi, berduaan tanpa mahrom dll.
Ada
analog dengan masalah ini, yaitu masalah hak perempuan mengenyam pendidikan.
Dulu ada sebagian ulama’ berpendapat bahwa wanita hanya boleh diajari membaca,
menulis tidak diperbolehkan, karena akan disalahgunakan untuk menulis
surat-surat cinta. Tetapi akhirnya pendapat ini tidak lulus dari seleksi alam
dan ternyata pendidikan untuk para wanita (khususnya menulis) bukanlah hal yang
buruk, bahkan terkadang dari kaum Hawa ini tidak sedikit yang berprestasi dalam
berbagai bidang.
3. Wanita
dan kekuasaan terhadap laki-laki. Adalagi yang mengatakan bahwa mencalonkan
wanita menjadi anggota DPR tidak diperboleh-kan, karena di sana terjadi
kepemimpinan wanita terhadap laki-laki, seperti yang ditetapkan al-Qur’an bahwa
laki-laku adalah pemimpin wanita.الرجال قوامون على النساء (laki-laki adalah pemimpin para wanita).
Transparansi dalil
Pertama : Jumlah perempuan yang mencalonkan DPR terbatas,
mayoritas tetap didominasi orang laki-laki. Dan mayoritas inilah yang memiliki
peran aktif. Merekalah yang merancang dan menetapkan undang-undang. Jadi, di
sini tidak terjadi kepemimpinan wanita terhadap laki-laki.
Kedua : Ayat tersebut menjelaskan hubungan suami istri
dalam suatu rumah tangga, suami adalah pemimpin yang bertanggung jawab dalam
keluarganya. Lengkapnya ayat;
الرجال قوامون على النساء بما فضل الله بعضهم على
بعض وبما أنفقوا من أموالهم (النساء: 34)
“kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena
Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain
(wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta
mereka.”
Akhir ayat ini وبما أنفقوا من أموالهم adalah
indikasi tak terbantah bahwa yang dimaksud adalah kepemimpinan seorang
laki-laki dalam rumah tangga dan inilah yang dikatakan Allah sebagai derajat
yang diberikan kepada kaum Adam.
ولهن مثل الذي عليهن بالمعروف وللرجال عليهن درجة
(البقرة: 228).
“dan para wanita mempunyai
hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf akan tetapi para
suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya.”
Walaupun
demikian seorang istri tetap dituntut punya peran aktif dalam menyelesaikan
masalah-masalah penting keluarga, seperti dalam masalah menyusui anak.
فإن أرادا فصالا عن تراض منهما وتشاور فلا جناح
عليهما (البقرة: 233).
“Apabila keduanya ingin menyapih (kurang dari dua tahun) dengan
kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya.”
Juga ada hadits riwayat Imam Ahmad;
آمروا النساء في بناتهن
“Perintahlah
wanita-wanita untuk berembug dengan anak-anak perempuannya ketika mau menjodohkan.”
Dalam
hadits ini wanita punya peran penting dalam menjodohkan anak-anak perempuannya.
Adapun
sebagian perempuan menjadi pemimpin sebagian orang laki-laki (di luar masalah
keluarga) tidak ada dalil yang melarangnya. Yang dilarang adalah kekuasaan
secara umum terhadap laki-laki. Hadits yang diriwayatkan Imam Bukhori dari
sahabat Abi Bakroh ra.;
لن يفلح قوم ولّوا أمرهم امرأة
“Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka
pada seorang wanita.”
Yang
dimaksud adalah kekuasaan umum terhadap umat (pemimpin negara). Ini bisa
dilihat pada kalimat Amrohum yang berarti kekuasaan secara umum terhadap
masalah-masalah umat. Adapun sebagian masalah tidak ada larangan seperti fatwa,
ijtihad, mendidik, riwayat dan urusan administrasi. Ini semua diperbolehkan
bagi kaum wanita secara aklamasi dan dibuktikan dalam realita kehidupan sejak
kurun-kurun awal sampai Imam Abu Hanifah memperbolehkan seorang wanita menjadi
hakim (selain masalah hudud dan qishos) bahkan sebagian fuqoha’ salaf
memperbolehkan persaksian wanita dalam masalah hudud dan qishos seperti kata
Ibnu Qoyyim dalam kitab at-Thururq al-Hukmiyah, Imam at-Thobary dan Ibnu
Hazm juga lebih kontraversional lagi, beliau memperbolehkan perempuan memegang
kekuasaan secara umum. Ini semua menunjukkan bahwa memang tidak ada nash
transparan yang melarang wanita menjadi hakim, kalau ada pastilah Ibnu Hazm,
imam madzhab Dhohiry inilah yang memegang panji-panji dan berperang membela
nash ini, seperti kebiasaan beliau yang khas dengan pemahaman leterlek-nya.
Dilihat dari sebab munculnya hadits tadi juga
memperkuat bahwa yang dimaksud adalah kekuasaan secara umum telah sampai
informasi pada Rasulullah bahwa Bangsa Persi setelah kematian rajanya
mengangkat ‘Buron’ anak perempuan Kisro menjadi pemimpin mereka, lalu
Rasulullah memberi komentar; لن يفلح قوم ولّوا أمرهم امرأة. , ada lagi argumen yang mengatakan DPR statusnya lebih tinggi
dari pemerintah, bahkan dari kepala pemerintah, karena lembaga ini berhak
mengoreksi dan meminta pertanggungjawaban pemerintah dan pemimpinnya.
Ringkasnya, wanita memang tidak boleh menjabat kekuasaan secara umum (pemimpin
negara) dan kalau menjadi anggota DPR sama saja memberi peluang kekuasaan dalam
bentuk lain.
Fungsi Anggota DPR
Sudah
maklum bahwa tugas DPR dalam system negara demokrasi adalah mengoreksi kinerja
pemerintah dan merumuskan undang-undang. Argumen di atas perlu transparansi
lebih lanjut agar tidak terjadi salah faham.
Supervising kinerja birokrasi
Dalam
Islam, istilah ini dikenal dengan sebutan amar ma’ruf nahi munkar atau Nasihah
fi al-Din yang merupakan kewajiban setiap muslim, laki-laki maupun
perempuan. Al-Qur’an menyebutnya dengan gamblang;
والمؤمنون والمؤمنات بعضهم أولياء بعض يأمرون
بالمعروف وينهون عن المنكر (التوبة: 71).
“dan orang-orang yang beriman lelaki dan perempuan sebagian
mereka adalah menjadi penolong sebagian yang lain, mereka menyuruh mengerjakan
yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar.”
Rasulullah ketika berkata dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan Imam Muslim;
الدين النصيحة لله ولرسوله ولكتابه ولأئمة المسلمين وعامتهم
“Agama
adalah nasehat menasehati karena Allah dan Rasul-Nya dan kitab-Nya dan kepada
pemimpin-pemimpin umat Islam dan umat Islam.”
Juga
tidak mengkhususkan kewajiban ini pada laki-laki saja. Rasulullah juga pernah
minta pendapat pada Ummi Salamah dalam peristiwa perang Hudaibiyah, lalu Umi
Salamah memberi ide cemerlang dan seketika Rasulullah melaksanakannya (para sahabat
diperintahkan untuk mencukur rambut, tapi mereka tidak ada yang
melaksanakannya, lalu Umi Salamah memberi saran kepada Nabi agar memanggil
tukang cukur beliau dan mencukurnya di hadapan para sahabat). Dan ternyata ide
ini berhasil, para sahabat langsung mengikuti apa yang dilakukan Rasulullah.
Jadi,
sepanjang wanita secara individu berhak memberi nasehat dan menyampaikan
aspirasi serta amar ma’ruf nahi munkar, maka tidak ada dalil syar’I sekalipun
yang menghadang langkahnya berpartisipasi menyampaikan aspirasi politiknya
dalam wadah lembaga DPR, karena hukum dasar dalam masalah adat dan mu’amalah
adalah mubah kecuali ada nash shohih dan jelas yang melarangnya.
Adapun
anggapan bahwa dalam sejarah Islam tidak pernah tertulis seorang wanita menjadi
anggota permusyawaratan, seperti ini tidak bisa dikatakan sebagai aklamasi umat
yang bisa dijadikan dalil syar’I untuk melarang wanita menjadi anggota DPR.
Masalah seperti ini masuk dalam kategori transformasi fatwa disebabkan oleh
perubahan zaman letak geografis dan kondisi. Pada masa-masa itu majlis syuro
belum terkoordinasi seperti sekarang dan belum sampai berfikir anggotanya
khusus laki-laki ataukah perempuan juga punya hak?.
Realistis
saja, sekarang banyak sekali lapangan pekerjaan dan jabatan dipegang oleh
wanita-wanita karir yang pada zaman dahulu tidak pernah kita jumpai. Sekarang
banyak sekolahan, universitas tidak hanya didominasi kaum laki-laki, para
wanita juga banyak yang membawa pulang ijazah dalam berbagai disiplin ilmu
pengetahuan. Sebagian dari mereka ada yang menjadi direktur sebuah yayasan yang
anggotanya laki-laki, kepala sekolah, rector perguruan tinggi, direktur
perusahaan bahkan terkadang suaminya sendiri menjadi bawahan sang istri dalam
suatu sekolahan, universitas, rumah sakit atau yayasan. Dan ketika berada di
rumah sang istri tetaplah menjadi istri yang harus patuh pada suami.
Jadi
pendapat yang mengatakan bahwa MPR lebih tinggi dibanding lembaga eksekutif,
termasuk pemimpin negara, tidak bisa diterima secara mutlak. Sebab tidak semua
pengawas itu lebih tinggi statusnya dibanding yang diawasi, tapi yang
terpenting adalah dia punya hak mengoreksi walaupun lebih rendah statusnya.
Tidak
bisa dipungkiri bahwa jabatan Amirul Mu’minin dan presiden lebih tinggi
derajat dan kekuasaannya. Walaupun demikian setiap individu rakyatnya punya hak
menasehati pemimpinnya, seperti yang dikatakan Abu Bakar ra, Khalifah pertama;
إن رأيتموني على حق فأعينوني، وإن رأيتموني على باطل
فقوّموني .
Juga
Umar bin Khattab;
من رأي منكم فيّ اعوجاجا فليقوّمني .
Seorang
istri juga berhak berkata pada suaminya, mengapa kau membeli barang ini?,
mengapa anakmu tidak kau jaga?, mengapa kamu tidak silaturrohmi?, dll, padahal
suamilah pemimpin keluarga yang menafkahinya.
Kalau
toh MPR dianggap lebih tinggi statusnya dibanding pemerintah, itupun cara
pandangnya harus secara kolektif, bukan individual anggota dan realitanya
mayoritas anggotanya didominasi orang laki-laki.
Perancang undang-undang
Sebagian
mereka membesar-besarkan tugas ini beranggapan bahwa lembaga yudikatif lebih
tinggi wewenangnya dibanding sekedar presiden dan ketua departemen-departemen
lain. Lembaga yudikatif lah yang merumuskan undang-undang negara dan karena-nya
seorang wanita tidak boleh menjadi salah satu anggotanya.
Sebenarnya
masalah ini tidak serumit itu. Rumus undang-undang dasar hanya Allah.
Pokok-pokok hukum larangan dan perintah juga dari Allah. Kita ini manusia hanya
bisa menggali hukum yang tidak ada nashnya atau merumuskan hukum-hukum
particular dari nash-nash universal.
Ijtihad
dalam syari’at Islam adalah even terbuka sepanjang masa bagi siapa saja, pria
atau wanita, tidak ada satu pemikirpun (kalangan ulama’ ushul fiqh) yang
mengatakan; “diantara syarat ijtihad adalah laki-laki dan bagi para wanita
harus minggir, dilarang mengikuti”.
Lihat
siapa Ummul Mu’minin Aisyah ra. beliau adalah salah satu diantara jajaran para
mujtahid dan mufti periode sahabat, banyak kritik-kritik ilmiah yang
dikemukakan beliau terhadap pemahaman atau riwayat-riwayat ulama’ dari kalangan
sahabat Nabi yang tidak sesuai dengan pemahaman atau riwayat beliau dan ini
tersusun rapi dalam kitab-kitab popular seperti al-Ijabah li Istidrokati
Aisyah ala al-Shohabah milik Imam al-Zarkasyi, lalu diringkas Imam
as-Suyuthi dalam kitab ‘Ainul Ishobah.
Memang
benar, dalam sejarah kita ijtihad dari kalangan wanita tidak sesemarak kaum
laki-laki, dan ini kalau dicari penyebab intinya kurang bergairahnya kaum
wanita menggeluti berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Tentu karena situasi dan
kondisi waktu itu yang kurang berpihak pada mereka, berbeda dengan kondisi kita
sekarang, jumlah siswi mendekati atau bahkan sama dengan jumlah siswa. Dan
diantara siswi-siswi ini ada yang melebihi sebagian siswa, ini membuktikan
bahwa prestasi bukanlah suatu sifat yang selalu melekat dan hanya dimiliki kaum
laki-laki.
Al-Qur’an
juga menceritakan sosok ratu negeri Saba’, Balqis, bagaimana sikap beliau
setelah menerima surat dari Nabi Sulaiman, tindakan demokratis muncul dari
pemikirannya yang cerdas yaitu mengumpulkan para punggawa kerajaan untuk
menyatu pendapat-pendapat sebagai tindak lanjut dari isi surat Nabi Sulaiman.
قالت ياأيها الملأ أفتوني في أمري ما كنت قاطعة أمرا
حتى تشهدون (النمل: 32)
“Berkata dia, Balqis; hai para pembesar, berilah aku
pertimbangan dalam urusanku ini, aku tidak pernah memutuskan sesuatu persoalan
sebelum kamu berada dalam majlisku.”
lalu bagaimana para pejabat negara ini menyerahkan
putusan masalah ini pada sang Ratu;
قالوا: نحن أولوا قوة وأولوا بأس شديد والأمر إليكِ فانظري ماذا
تأمرين (النمل: 33)
“Mereka menjawab; kita adalah orang-orang yang mempunyai
kekuatan dan juga memiliki keberanian yang sangat (dalam peperangan) dan
keputusan berada di tanganmu, maka pertimbangkanlah apa yang akan kamu
perintahkan.”
karena mereka berharap sang Ratu punya ide yang
lebih bijak, bagaimana caranya agar tidak terjadi pertumpahan darah sia-sia
dari kedua belah pihak.
قالت: إن الملوك إذا دخلوا قرية أفسدوها وجعلوا أعزة
أهلها أذلة وكذلك يفعلون (النمل: 34)
“Dia berkata; Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu
negeri niscaya dia membinasakannya dan menjadikan penduduknya yang mulia jadi
hina dan demikian pulalah yang akan mereka perbuat.”
lalu sang Ratu menyampaikan solusi alternatif dari
situasi genting ini.
وإني مرسلة إليهم بهدية فناظرة بم يرجع المرسلون
(النمل : 35)
“Dan sesungguhnya aku akan mengirim utusan kepada mereka dengan
membawa hadiah, dan aku akan menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh
utusan-utusan itu.”
Berkat
kecerdasan dan sikap bijaknya akhirnya sang Ratu mendapat petunjuk dari Allah
dan masuk agama Nabi Sulaiman.
قالت رب إني ظلمت نفسي وأسلمت مع سليمان لله رب
العالمين (النمل: 44).
“Berkatalah Balqis; Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat
dhalim terhadap diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah
Tuhan semesta alam.”
Allah
mengabadikan cerita ini dalam al-Qur’an, tidak sekedar main-main, tapi ini
sebagai argumen kuat bahwa terkadang seorang perempuan punya ketajaman berfikir
dan manajemen dalam urusan politik dan pemerintahan yang tidak dimiliki
kebanyakan kaum laki-laki.
Ada
lagi argumen tak terbantah bahwa di sana ada masalah-masalah perundang-undangan
yang berhubungan dengan kewanitaan dan kekeluargaan dan mestinya pendapat dari
kaum wanita yang ditampung, aspirasi mereka tak boleh absen, sebab mungkin ide
merekalah yang lebih komprehenship dibanding kaum lelaki.
Umar
pernah bertanya pada putrinya, Khafshoh; “Berapa lama seorang wanita kuat,
sabar ditinggal suaminya?”, Hafsoh menjawab; “Empat bulan atau maksimal enam
bulan”, dari jawaban Hafsoh inilah, Umar menetapkan undang-undang bahwa
prajurit yang sudah beristri dalam masa tugasnya maksimal setiap enam bulan
harus menjenguk sang istri. Undang-undang ini ditetapkan ini setelah kaget
mendengar derita wanita kesepian ditinggal suami sambil menyanyi di atas
pembaringan.
تطاول هذا الليل واسود جانبه * وأرقني أن لا حبيب
ألاعبه
فوالله لو لا الله تحشى عــواقبه * لـحرك من هذا
السرير جوانبه
“Sungguh panjang malam ini dan hitam pekat sekelilingnya,
dan
aku terbaring lunglai karena tidak ada kekasih yang aku cumbu.”
“Demi
Allah, seandainya tidak karena takut akibat dari Allah,
pastilah
ranjang ini sudah bergoyang.”
Begitu
pula undang-undang umar tentang santunan terhadap setiap bayi yang lahir dalam
masa Islam setelah sebelumnya hanya bayi yang sudah lepas dari susu ibunya yang
mendapat santunan. Karena undang-undang inilah banyak sekali ibu-ibu yang
mempercepat masa bayi mengkonsumsi selain susu ibu, karena mengharapkan
santunan pemerintah. Suatu hari Umar mendengar tangis bayi yang tidak kunjung
berhenti, lalu beliau bertanya pada ibunya, sang ibu menjawab (tidak kenal
siapa orang yang bertanya); “Amirul Mu’minin tidak memberi santunan pada bayi
yang belum disapih, karenanya aku mempercepat masa penyapihannya”. Setalah
mendengar jawaban itu, Umar memaki-maki dirinya sendiri; “Celaka Umar, berapa
banyak dia membunuh bayi-bayi umat Islam?”. dan setelah itu beliau merubah
undang-undang yang mendapat santunan adalah setiap bayi mulai lahirnya.
Walaupun
seorang wanita sah-sah saja menjadi anggota dewan, bukan berarti mereka bebas
bergaul dengan orang laki-laki yang bukan mahromnya tanpa batas atau
meninggalkan tugas-tugas keluarga (suami, rumah dan anak-anaknya), atau
seenaknya berpakaian seksi, berjalan, bergerak dan berbicara tanpa mengindahkan
etika-etika kewanitaan yang telah diatur oleh Islam.
Kritik terhadap fatwa yang mengharamkan wanita
melaksanakan hak politiknya
Fatwa
ini muncul dari pemahaman bahwa;
1.
Fitrah wanita yang diproyeksikan hanya mengurusi masalah keluarga sebagai ibu
yang mengurusi pertumbuhan dan pendidikan anak-anaknya. Tugas seperti inilah
yang menyebabkan fungsi perasaan kewanitaannya lebih dominan dibanding akal
sehatnya.
2.
Firman Allah;
يا أيها
النبي قل لأزواجك إن كنتن تردن الحياة الدنيا وزينتها فتعالين أمتعكن وأسرحكن
سراحا جميلا. وإن كنتن تردن الله ورسوله والدار الآخرة فإن الله أعد للمحسنات منكن
أجرا عظيما. (الأحزاب: 28-29).
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, jika kamu sekalian
mengingini kehidupan dunia perhiasannya maka marilah supaya kuberikan kepadamu
mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik dan jika kamu sekalian
menghendaki keridloan Allah dan Rasul-Nya serta kesenangan di negeri Akhirat, maka
sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik di antaramu pahala
yang besar.”
Ayat
ini menunjukkan apa yang pernah terjadi pada istri-istri Nabi, yaitu keinginan
dan permintaan beliau-beliau kepada Rasulullah agar mendapatkan bagian spesial
dari harta ghonimah sehingga bisa menikmat hidup mewah seperti layaknya
istri-istri raja yang lain.
3.
Kecemburuan sebagian istri Nabi, dan ini merupakan bukti kuat fungsi
perasaannya lebih dominan dari akal sehatnya.
إن تتوبا
إلى الله فقد صغت قلوبكما وإن تظاهرا عليه فإن الله هو مولاه وجبريل وصالح
المؤمنين والملائكة بعد ذلك ظهير (التحريم: 4)
“Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hati
kamu berdua telah condong untuk menerima kebaikan dan jika kamu berdua bantu
membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah pelindung-nya dan
begitu pula Jibril dan orang-orang mu’min yang baik dan selain dari itu
malaikat-malaikat adalah penolongnya pula.”
Ini
semua istri-istri Rasulullah, wanita yang berada dalam lingkungan nubuwwah dan
wahyu, beliau-beliau tidak bebas dari sifat-sifat kewanitaan yang kurang baik,
apalagi wanita-wanita yang lain.
Setelah
menelaah fatwa-fatwa ini, ternyata ada pemahaman yang perlu klarifikasi ilmiah,
yaitu apakah kecondongan dan keinginan beliau-beliau, istri-istri Rasulullah,
terhadap kemewahan harta duniawi bisa dijadikan standar baku dari lemahnya akal
serta ketidak mampuan beliau memikirkan problem-problem publik umat?. Dan
ternyata tidak bisa, sebab hal-hal seperti ini tergolong manusiawi dan
merupakan karakter umum para wanita. Dan setelah turunnya ayat Tahyir,
sifat-sifat tercela itu langsung hilang.
Dan
kalau fatwa tadi benar, apakah kaum lelaki steril dari sikap-sikap condong
terhadap kemewahan duniawi?, apakah pencetus fatwa ini lupa terhadap ayat;
وإذا رأوا
تجارة أو لهوا انفضوا إليها وتركوك قائما قل ما عند الله خير من اللهو ومن التجارة
والله خير الرازقين (الجمعة: 11).
“Dan apabila mereka melihat peniagaan atau permainan mereka
bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhutbah).
Katakanlah apa yang di sisi Allah adalah lebih baik daripada permainan dan
peniagaan dan Allah sebaik-baik pemberi rizqi.”
Para
sahabat yang semuanya laki-laki berhamburan keluar masjid menyambut kedatangan
para saudagar di saat Rasulullah berkhutbah, hanya sedikit dari beliau-beliau
yang tetap mendengarkan khutbah Rasulullah.
Ada
lagi yang tidak boleh dilupakan pasca perang Uhud turun ayat;
ولقد صدقكم
الله وعده إذ تحسونهم بإذنه حتى إذا فشلتم وتنازعتم في الأمر وعصيتم من بعد ما
أراكم ما تحبون منكم من يريد الدنيا منكم من يريد الآخرة (آل عمران: 152)
“Dan sesungguhnya Allah telah memenuhi janjinya kepadamu ketika
kamu membunuh mereka dengan izin-Nya sampai pada saat kamu lemah dan berselisih
dalam urusan itu dan mendurhakai perintah Rasul sesudah Allah memperlihatkan
kepadamu apa yang kamu sukai. Diantaramu ada yang menghendaki dunia dan
diantara kamu ada orang yang menghendaki akhirat.”
Ayat
ini adalah teguran Allah terhadap sebagian para sahabat (generasi terbaik umat
ini) atas kecerobohan beliau-beliau berani mendurhakai instruksi Rasulullah
dengan meninggalkan pos-pos strategis sebagai benteng pertahanan hanya karena
melihat tentara-tentara yang lain ramai-ramai mengumpulkan harta ghonimah. Ibnu
Mas’ud sendiri sampai tercengang tidak percaya dengan kenyataan ini, beliau
berkata;
ما كنت أعلم أن فينا من يريد الدنيا حتى نزلت هذه
الآية
“Aku tidak pernah tahu kalau diantara kami ada yang menginginkan
harta duniawi sampai ayat ini turun.”
Apakah
mungkin bisa diambil konklusi bahwa kaum laki-laki juga tidak layak mengurusi
atau memikirkan problem-problem besar yang dihadapi umat hanya karena
peristiwa-peristiwa particular seperti ini?.
Momen
perang Badar juga tidak boleh dilupakan begitu saja, apa yang dilakukan atau
sikap sebagian sahabat sebelum perang?, al-Qur’an merekamnya dengan baik;
كما أخرجك
ربك من بيتك بالحق وإن فريقا من المؤمنين لكارهون . يجادلونك في الحق بعد ما تبين
كأنما يساقون إلى الموت وهم ينظرون. وإذ يعدكم الله إحدى الطائفتين أنها لكم
وتودون أن غير ذات الشوكة تكون لكم (الأنفال: 5-7).
“Sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu pergi dari rumahmu dengan
kebenaran, padahal sesungguhnya sebagian dari orang-orang yang beriman itu
tidak menyukainya, mereka membantahmu tentang kebenaran sesudah nyata (bahwa
mereka pasti menang) seolah-olah mereka dihalau kepada kematian sedang mereka
melihat (sebab-sebab kematian itu). Dan ingatlah ketika Allah menjanjikan
kepadamu bahwa salah satu dari dua golongan (yang kamu hadapi) adalah untukmu,
sedang kamu menginginkan bahwa yang tidak mempunyai kekuatan senjatalah yang
untukmu.”
Juga
pasca perang, bagaimana sikap sebagian sahabat terhadap para tawanan.
تريدون عرض
الدنيا والله يريد الآخرة والله عزيز حكيم. لو لا كتاب من الله سبق لمسكم فيما
أخذتم عذاب عظيم (الأنفال: 67-68)
“Kamu menghendaki harta benda duniawi sedangkan Allah
menghendaki pahal akhirat untukmu dan Allah Maha Perkasa lagi Bijaksana. Kalau
sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu
ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil.”
Kalau
fatwa tadi mau jujur, sebetulnya sifat-sifat lemah seperti itu milik bersama,
bukan monopoli kaum wanita dan yang menjadi sentral utama adalah bisa atau
tidaknya sang pelaku mengembalikan posisi fungsi akalnya di atas keinginan hawa
nafsunya.
Mengapa
juga fatwa ini tidak menyebut kepahlawanan Umi Salamah dalam peristiwa Hudaibiyah?,
nampak mencolok subyektifitas fatwa ini ketika raja Balqis tidak masuk
pembahasan sama sekali, padahal al-Qur’an memuji-muji ketajaman akal beliau
yang mampu menyelamatkan bangsanya dari kehancuran.
قالت إن الملوك إذا دخلوا قرية
أفسدوها وجعلوا أعزة أهلها أذلة. وكذلك يفعلون (النمل: 34)
Kendala-kendala rutinitas kewanitaan
Rutinitas
haidl, mengandung, melahirkan, menyusui, tugas-tugas sebagai ibu merupakan
argumen-argumen kuat yang melatarbelakangi fatwa wanita dilarang menjadi caleg,
sebab fisik, rohani serta fikiran-nya dengan sendirinya akan terganggu,
sehingga dianggap tidak akan mampu memikul tugas yudikatif dan legeslatif.
Argumen
ini tidak salah dan memang tidak semua wanita mampu menjalankan tugas-tugasnya.
Jadi, seorang wanita yang disibukkan tugas-tugas keibuan harus minggir dari
pentas caleg, kalau dia nekat tentu orang-orang akan berkata; jangan!
Anak-anakmu lebih membutuhkanmu, sebab tugas-tugasnya sebagai ibu lebih urgen
dibanding yang lain.
Tetapi
di sana, ada wanita-wanita yang tidak dikaruniai anak, juga punya waktu,
kekuatan, pengetahuan dan kecerdasan lebih. Ada lagi wanita-wanita yang sudah
menjalani usia menopause serta punya kelonggaran untuk mengurusi
masalah-masalah publik, wanita-wanita seperti ini, apa yang menghalangi mereka untuk
berpartisipasi sebagai caleg bila syarat-syarat yang lain sebagai calon telah
terpenuhi.
وقرن في بيوتكن (الأحزاب: 33).
Ayat ini juga menjadi landasan fatwa tersebut,
padahal sudah maklum bahwa ayat ini khusus untuk istri-istri Nabi. Ayat
sebelumnya: يا نساء
النبي لستن كأحد من النساء (الأحزاب: 32) (Wahai istri-istri Nabi, kalian tidaklah seperti
salah satu dari wanita biasa), karenanya umat Islam pada masa ini
memperbolehkan para wanita keluar rumah untuk belajar di sekolahan, lalu di
universitas, pergi ke pasar, berkarya di luar rumah dalam berbagai profesi,
tapi tentu dalam batas-batas kewajaran seorang muslimah, tidak boleh seenaknya
berpakaian seksi.
Ayat ini وقرن في بيوتكن tidak menghalangi Aisyah ra. keluar dari rumah beliau, bahkan
dari Madinah bepergian ke Bashrah dalam peristiwa perang Jamal. Kalau ada yang
meriwayatkan beliau menyesal karena keluar rumah. Ini bukan karena keluar
rumahnya tidak diperintahkan agama, tapi penyesalan ini karena pendapat
politiknya salah dan ini perkara lain.
Ayat
ini juga dijadikan argumen umum terhadap larangan seorang wanita keluar dari
rumahnya kecuali dalam situasi dlorurot atau kebutuhan yang urgen yang
dikategorikan dlorurot sampai ketika disodori masalah wanita yang pergi belajar
ke sekolahan atau pergi ke universitas, mereka (pencetus fatwa ini) diam seribu
bahasa dan tidak aneh kalau mereka melarang para wanita ikut serta dalam
pemungutan suara dan kalau fatwa diskriminatif ini dilaksanakan umat, apa yang
terjadi?, separo mungkin suara umat terbuang sia-sia. Di sisi lain kelompok
sekuler mengeruk keuntungan besar dari suara-suara wanita yang sealiran dengan
pemikiran-pemikiran sekuler.
Fatwa ini lupa dengan terusan ayat; ولا تبرجن
تبرج الجاهلية الأولى . Secara eksplisit, justru
ayat ini memerintahkan para wanita keluar rumah, larangan berpenampilan seksi
(tabarruj) berarti ketika si wanita berada di luar rumah, sebab ketika dia
berada dalam rumah, tidak ada larangan sama sekali untuk berdandan seseksi
mungkin.
لن يفلح قوم ولّوا أمرهم امرأة
Hadits ini juga menjadi dalil fatwa diskriminatif
ini. Imam Bukhori dan lainnya meriwayatkan dari sahabat Abu Bakroh ra. ketika
sampai pada Rasulullah, informasi bahwa bangsa Persi mengangkat anak perempuan
Kisro setelah matinya menjadi ratu negeri Persi. Lalu Rasulullah bersabda: لن يفلح
قوم ولّوا أمرهم امرأة .
Paling
tidak ada tiga poin penting sebagai penbanding dalam memahami hadits ini;
Pertama : Apakah keumuman hadits tadi yang menjadi acuan
hukum, atau justru peristiwa partikularnya?. Dalam artian Rasulullah dalam
hadits ini menghendaki celakanya bangsa Persi yang menganut system kerajaan
tahta pewaris, menjadikan putri raja sebagai putra mahkota walaupun bangsa
Persi masih punya ribuan orang yang lebih patut dan mumpuni dibanding Buron,
putri Kisro.
Benar memang, mayoritas pemikir ushul berkata; العبرة
بعموم اللفظ لا بخصوص السبب , tapi kaidah ini tidak
bermerek aklamasi sebab ada riwayat dari Ibnu Abbas ra dan Ibnu Umar ra.
tentang keharusan memajang peristiwa-peristiwa particular yang menjadi sebab
turunnya wahyu sebagai acuan pencetusan hukum, kalau tidak, akan terjadi
pemahaman dan penafsiran yang ngawur seperti ngawurnya Haruriyah, kelompok
Khawarij dan sesamanya yang mangambil ayat-ayat tentang orang-orang musyrik.
Mereka generalisasikan pada orang-orang mu’min.
Kalau
hadits ini dipaksakan dipahami secara umum, maka akan bertentangan dengan nash
al-Qur’an yang menceritakan wanita yang menjadi ratu negeri Saba’ yaitu Balqis
yang memimpin rakyatnya dengan system demokrasi, adil dan bijaksana. Juga akan
sangat kontradiksi dengan realita yang kita lihat sekarang, yaitu tidak sedikit
dari kaum wanita punya kontribusi lebih baik dari kebanyakan kaum laki-laki di
negerinya.
Kedua :
Para
ulama’ telah sepakat malarang wanita memegang kekuasaan mutlak atau al-Imamah
al-‘Udhma dan inilah yang dikehendaki hadits tadi. Cocok dengan sebab
peristiwanya, juga leterlek lafadz; ولّوا أمرهم . Dalam riwayat lain; تملكهم امرأة , jadi larangan ini berlaku bagi wanita yang menjadi pemimpin
umat secara internasional dan realitanya sekarang tidak ada pasca runtuhnya
Khilafah Utsmaniyah tahun 1924 M.
Sebagian
ulama’ menganalogkan ketika seorang wanita menjadi ratu atau presiden yang
punya wewenang penuh tidak dibatasi oleh undang-undang negara dengan larangan
yang termaktub dalam hadits tadi.
Tapi,
tidak ada beda pandangan menyikapi negara-negara muslim yang ada sekarang lebih
mirip dengan system federasi pada zaman dahulu, seperti Mesir, Syam, Hijaz,
Yaman di bawah satu keKhalifah-an.
Adapun
selain jabatan Imamah dan Khilafah atau sesamanya seperti presiden, adalah
masalah khilaf yang menjadi media berfikir dan berijtihad. Umar bin Khattab ra.
pernah mengangkat wanita Syaffa’ binti Abdillah al-Adawiyah menjadi pengelola
pasar yang bertugas mengawasi sirkulasi pasar dan ini masuk kategori kekuasaan
umum.
Ketiga : Masyarakat modern sekarang di bawah naungan system
demokrasi ketika mengangkat seorang wanita menduduki jabatan-jabatan umum,
seperti wakil presiden, sekretaris atau DPR dll, bukan berarti mereka
menyerahkan urusan sepenuhnya pada sang wanita dan membebani tanggung jawab
penuh padanya. Realita yang terlihat tanggung jawab secara kolektif dan
kekuasaan secara koalisi, sang wanita diserahi sebagian saja dari urusan-urusan
ini.
Dari
sini dapat diambil konklusi bahwa, seperti Margareth Teacher; Inggris, Indria
Gandhi; India, dll. kalau dianalisa secara cermat bukanlah pemerintahan yang dikepalai
oleh seorang wanita, tapi pemerintahan yang dikendalikan oleh lembaga-lembaga
parlemen dan struktur kabinet, walaupun wanita yang menjadi pimpinannya.
Jadi,
bukanlah wanita yang memegang kekuasaan mutlak yang tidak bisa ditolak apa yang
jadi perintahnya, sebab dia hanya menjadi pemimpin sebuah partai yang siap
ditendang partai lain dari gelanggang kontestan ketika terjadi pemilu, kalah
adalah resiko realistis dan berakibat terlempar dari kursi-kursi jabatan
pemerintahan seperti yang pernah terjadi pada Indria Gandhi, dalam partainya
dia hanya punya satu suara ketika mayoritas suara menentangnya, jadilah dia tak
ubahnya orang-orang yang ada di jalanan.
Koalisi
dalam pemerintah non Islam
Ada
fenomena menarik tentang seorang muslim atau partai politik Islam menggalang
koalisi dengan pemerintahan non Islam. bagaimana tinjauan Islam mengahadapi
fenomena ini?, bolehkan atau malah dilarang agama?.
Hukum asal adalah anti koalisi
Dalam
masalah ini hukum dasarnya adalah seorang muslim tidak boleh menggalang koalisi
kecuali dalam pemerintahan yang sekiranya dalam departemen yang ia jabat
semisal kabinet atau jabatan-jabatan yang lain dia bisa menjalankan syari’at
Allah dan tidak menentang perintah Allah dan Rasul-Nya.
وما كان
لمؤمن ولا مؤمنة إذا قضى الله ورسوله أمرا أن يكون لهم الخيرة من أمرهم. ومن يعص
الله ورسوله فقد ضل ضلالا مبينا. (الأحزاب: 36).
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki mukmin dan tidak pula bagi
perempuan mu’min apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan
akan ada bagi mereka pilihan (yang lain)tentang urusan mereka dan barang siapa
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang
nyata.”
فليحذر الذين يخالفون عن أمره أن تصيبهم فتنة أو
يصيبهم عذاب أليم (النور: 63)
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut
akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.”
Ketika
pemerintahan itu tidak Islami dalam artian tidak menerap-kan syari’at Islam
dalam urusan-urusan kehidupan yang beraneka ragam, undang-undang, pendidikan,
kebudayaan, informasi, ekonomi, politik dan administrasi kenegaraan, semua ini
konsepnya diambil dari non Islam baik Barat atau Timur, kanan atau kiri,
falsafah liberal atau marxisme atau sebagian diambil dari Islam. Ini semua
dalam pandangan Islam harus dicampakkan.
وأن احكم
بما أنزل الله ولا تتبع أهوائهم واحذرهم أن يفتنوك عن بعض ما أنزل الله إليك فإن
تولّوا فاعلم أنما يريد الله أن يصيبهم ببعض ذنوبهم وإن كثيرا من الناس لفاسقون
(المائدة: 49).
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut
apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dan
berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari
sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling dari hukum
yang telah diturunkan Allah, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah
menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa
mereka dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasiq.”
Al-Qur’an
juga sangat mengingkari Bani Israel yang hanya mengambil sebagian ajaran kitab
dan berpaling dari sebagian yang lain.
أفتؤمنون
ببعض الكتاب وتكفرون ببعض فما جزاء من يفعل ذلك منكم إلا حزي في الحياة الدنيا
ويوم القيامة يردون إلى أشد العذاب وما الله بغافل عما تعملون أولئك الذين اشتروا
الحياة الدنيا بالآخرة فلا يخفف عنهم العذاب ولا هم ينصرون. (البقرة: 85-86).
“Apakah kamu beriman kepada sebagian Ahlu Kitab (Taurat) dan
inkar terhadap sebagian yang lain?, tiadalah balasan bagi orang yang berbuat
demikian daripadamu melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia dan pada hari
kiamat dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa
yang kamu perbuat. Itulah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan
kehidupan akhirat. Maka tidak akan diringankan siksa mereka dan mereka tidak
akan ditolong.”
Dan
ketika tanggung jawab awal dari penyelewengan hukum Allah adalah kepala negara,
maka pihak-pihak yang membantu penyelewengan ini dihukumi sama berdosanya.
إن فرعون وهامان وجنودهما كانوا خاطئين (القصص: 8).
“Sesungguhnya Fir’aun dan Hamann dan tentara-terntaranya, mereka
adalah orang-orang yang salah.”
juga bangsa yang pasif mengikuti apa saja yang
diperintahkan penguasa dholim.
قال نوح رب إنهم عصوني واتبعوا من لم يزده ماله وولده إلا خسارا
(نوح: 21)
“Nabi Nuh as. berkata; Ya Tuhanku, sesungguhnya mereka telah
mendurhakaiku dan telah mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya tidak
menambah kepadanya melainkan kerugian belaka.”
karena mereka sama saja dengan memperlicin jalan
kedholiman.
ولا تعاونوا على الإثم والعدوان (المائدة: 3)
“Dan janganlah kalian tolong-menolong terhadap dosa dan
menganiaya.”
Keluar dari hukum asal karena petimbangan syara’
1. Perintah
meminimalisasi kedholiman sebatas kemampuan.
فاتقوا الله ما استطعتم (التغابن: 16)
“maka takutlah kepada Allah semampu kalian.”
إذا أمرتكم بأمر فأتوا منه ما استطعتم (متفق عليه)
“ketika aku perintah kepada kalian, maka laksanakanlah semampu
kalian.”
لا يكلف الله نفسا إلا وسعها (البقرة: 286)
“Allah tidak akan membebani seseorang kecuali kadar
kemampuannya.”
An-Najjasyi,
raja Habasyah masuk Islam pada zaman Rasulullah, tapi beliau tidak mampu
melaksanakan hukum-hukum Islam di negerinya, karena takut dilengserkan
rakyatnya. Dan Rasulullah tidak mengingkarinya, bahkan waktu beliau wafat,
Rasulullah mensholati-nya di Madinah, karena di Habasyah tidak ada yang
mensholati sebab tidak ada yang muslim.
2.
Mengambil madhorot yang lebih ringan, karenanya
ulama’ memperbolehkan diam terhadap kemunkaran sebab takut terjadi kemunkaran
yang lebih besar. Nabi bersabda pada Aisyah ra.;
لولا أن قومكِ حديثو عهد بشرك لبنيت الكعبة على قواعد إبراهيم.
(متفق عليه)
“Seandainya kaummu tidak baru meninggalkan kemusyrikan, maka aku
akan membangun Ka’bah di atas pondasi Ibrahim.”
Rasulullah
sengaja tidak membangun Ka’bah sesuai pondasi Nabi Ibrahim padahal ini wajib,
tapi tidak dilakukan karena orang Quraisy baru masuk Islam.
Kisah
Nabi Musa dalam al-Qur’an ketika beliau pergi munajat kepada Allah selama 30
malam ditambah 10 malam dalam masa bepergian ini, Musa Samiri membuat anak sapi
emas untuk menyesat-kan kaum Nabi Musa. Musa Samiri berkata pada Bani Israel;
هذا إلهكم وإله موسى فنسي (طه: 88)
“Inilah Tuhanmu dan Tuhan Musa, tetapi Musa telah lupa.”
dan Bani Israel mempercayainya, kemudian Nabi
Harun memper-ingatannya;
وإن ربكم الرحمن فاتبعوني وأطيعوا أمري (طه: 90)
“Dan sesungguhnya Tuhanmu ialah Tuhan yang Maha Pemurah, maka
ikutilah aku dan taatilah perintahku.”
Mereka menjawab;
قالوا لن نبرح عليه عاكفين حتى يرجع إلينا موسى (طه:
91)
“Mereka menjawab; “Kami akan tetap menyembah patung anak lembu
ini hingga Musa kembali kepada kami.”
Lalu, ketika Nabi Musa kembali dan menjumpai
kaumnya sesat beliau sangat marah dan berkata pada kaumnya;
قال بئسما خلفتموني من بعدي أعجلتم أمر ربكم
(الأعراف: 150)
”Berkatalah dia, alangkah buruknya perbuatan yang kamu kerjakan
sesudah kepergianku.”
saking marahnya, lembaran-lembaran papan Taurat
dilempar begitu saja, sambil menarik kepala saudaranya, Nabi Harun as. dan
memaki-maki.
قال يا
هارون ما منعك إذ رأيتهم ضلوا ألا تتبعن أفعصيت أمري قال يا ابن أم لا تأخذ بلحيتي
ولا برأسي إني خشيت أن تقول فرقت بين بني إسرائيل ولم ترقب قولي (طه: 92-94)
“Berkata Musa; Hai Harun, apa yang menghalangi kamu ketika kamu
melihat mereka telah sesat sehingga kamu tidak mengikuti aku, maka apakah kamu
telah sengaja mendurhakai perintahku?, Harun menjawab; Hai putra ibuku,
janganlah kau pegang janggutku dan jangan pula kepalaku, sesungguhnya aku
khawatir bahwa kamu akan berkata kepadaku; kamu telah memecah antara Bani
Israel dan kamu tidak memelihara amanatku.”
Maksudnya,
Nabi Harun as. sengaja membiarkan kaumnya padahal ini kemunkaran yang sangat
berbahaya, tidak bisa ditolelir, yaitu syirik, menyembah anak sapi emas. Karena
keutuhan kaumnya dipandang lebih penting pada waktu itu sampai menunggu
datangnya Nabi Musa as. untuk berembug mengatasi situasi darurat ini dengan
metode yang bijaksana.
3.
Bergeser dari idealisme baku menuju kondisi
realistis, syara’ memajang doktrin-doktrin atau idealisme baku untuk manusia
muslim agar mereka berkompetisi mengamalkannya, tapi apa boleh buat, kondisi
realistis sering kali menendangnya jatuh walaupun dengan terseok-seok usaha
dilakukan tetap sulit mencapai target maksimal doktrin-doktrin ini. Akhirnya,
di bawah tekanan dlorurot apa yang mungkin dilakukan, terpaksa bergeser pada
doktrin-doktrin yang lebih ringan.
Latar belakang seperti inilah yang melahirkan
kaidah-kaidah populer seperti; المشقة تجلب التيسير (kondisi sulit akan mendatangkan dispensasi), لا ضرر ولا
ضرار (tidak
ada kemadlorotan juga tidak boleh membuat madlorot kepada orang lain), الضرورات
تبيح المحضورات (kondisi dlorurot
memper-bolehkan perkara-perkara yang dilarang), رفع الحرج (menghilangkan kesulitan).
Coba
baca al-Qur’an dan telitilah hadits-hadits Nabi !, di sana akan nampak sangat
transparan bahwa Allah membangun hukum-hukum syara’-Nya atas dasar kemudahan,
bukan kejam, tidak berperi-kemanusiaan, seperti kata orang-orang liberal.
Kondisi-kondisi realistis, intimidasi dlorurot dan kebutuhan-kebutuhan urgen
manusia menjadi pondasi-pondasi inti dari hukum-hukum ini.
يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر (البقرة:
105)
“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu.”
يريد الله أن يخفف عنكم وخلق الإنسان ضعيفا (النساء:
28)
“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu dan manusia
dijadikan bersifat lemah.”
ذلك تخفيف من ربكم ورحمة (البقرة: 178)
“Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan
suatu rahmat.”
هو اجتباكم وما جعل عليكم في الدين من حرج (الحج:
78)
“Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan
untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.”
فمن اضطر غير باغ ولا عاد فلا إثم عليه إن الله غفور
رحيم (البقرة: 173)
“Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang
ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa
baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
إلا من أكره وقلبه مطمئن بالإيمان (النحل: 106)
“Kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang
dalam beriman (dia tidak berdosa).”
Dalam
kitab-kitab hadits, juga akan kita jumpai ;
يسروا ولا تعسروا، بشروا ولا تنفروا (متفق عليه)
“Mudahkanlah dan jangan kau persulit, dan berilah kabar gembira
jangan mereka kau buat lari.”
إنما بعثتم ميسرين ولم تبعثوا معسرين (رواه البخاري
والترمذي والنسائي)
“Kalian tidak diutus kecuali hanya memberi kemudahan, dan tidak
diutus untukmempersulit.”
أحب الدين إلى الله الحنيفية السمحاء
“Agama paling disukai Allah adalah agama yang lurus dan
toleran.”
Dalam
kitab-kitab fiqh juga akan kita temukan produk-produk fatwa seperti
diperbolehkannya persaksian orang fasiq ketika tidak dijumpai orang adil, qodli
muqollid ketika tidak ada mujtahid, juga kepala negara yang muqollid bahkan orang
bodohpun boleh memegang jabatan ini asal dibimbing orang-orang alim, jihad
bersama orang kuat, pintar berstrategi tapi durjana ketika tidak ada pemimpin
yang kuat dan sholeh, bahkan Imam Ahmad pernah ditanya tentang seorang komandan
yang kuat tapi brengsek dengan komandan sholeh tapi lemah, bersama siapa kita
mesti berperang?, beliau menjawab; bersama komandan brengsek tapi kuat,
mengapa?, kerena kebrengse-kan komandan berbahaya bagi dirinya sendiri, tapi
kekuatannya dipersembahkan kepada kaum muslimin. Sedangkan komandan yang lemah
tidak ada gunanya bagi umat Islam walaupun dia sholeh, karena kesholehannya
dinikmati sendiri.
Jawaban
ini sangat relevan dan konditioner, kemaslahatan umat menjadi target utama agar
urusan agama dan dunia mereka tidak digagahi musuh-musuh Islam, kalau kita
melihat keadaan umat sekarang ini ketertinggalan dan perpecahan tidak
henti-hentinya terjadi di mana-mana, sangat kontradiksi dengan musuh-musuh
Islam yang memiliki power dan fasilitas-fasilitas canggih. Logis kiranya kita
menerima konsep ini (kondisi lemah) yang mestinya kita buang saat kita punya
power cukup nantinya, juga menerima dengan lapang dada kondisi perpecahan
internal umat sambil berusaha semaksimal mungkin bagaimana nilai-nilai luhur
ini (doktrin-doktrin baku) dapat kita jalankan saat persatuan umat terwujud
nanti.
ألأن خفف الله عنكم وعلم أن فيكم ضعفا (الأنفال: 66)
“Sekarang Allah telah memberi keringanan pada kalian dan Allah
maha tahu bahwa kalian dalam keadaan lemah.”
Ayat
ini memberi indikasi bahwa kondisi terburuk atau lemah masuk dalam kategori
diperbolehkannya dispensasi hukum. Jadi, siapa saja yang tidak mampu menembus
lembaga eksekutif negara dan berperan aktif di sana (dari partai-partai Islam
tentunya), maka tidak ada larangan untuk berkoalisi dengan partai-partai lain
dengan catatan ada keuntungan konkrit yang bisa dinikmati umat.
4.
Doktrin stimulan.
Allah
punya hukum yang berlaku bagi semua makhluk, yaitu doktrin stimulan, segala
sesuatu bermula dari kecil kemudian membesar, lemah kemudian menjadi kuat,
tumbuhan, hewan juga manusia harus menjalani siklus alam ini. Demikian pula
syari’at Allah tak lepas dari proses ini. Secara stimulan, wahyu, al-Qur’an
atau hadits turun sesuai dengan kebutuhan dan tingkat kesiapan manusia
menerimanya, seperti larangan khomr, sampai tiga kali Allah menurunkan wahyu.
Manusia
sebesar apapun ambisinya terkadang terjebak dalam kesulitan untuk menggapai
ambisi-ambisi besarnya secara langsung, tapi tidak mustahil dapat dicapai
secara stimulan sesuai dengan kondisi dan tingkat jerih payahnya syara’, adat
dan akal, semua ACC dengan teori ini. Para pemikirpun aklamasi bahwa;
ما لا يدرك كله لا يترك جله
“Apa yang tidak bisa digapai semuanya tidak boleh ditinggal
inti-intinya.”
Pemerintahan
Islam adalah ambisi besar umat Islam untuk menggapainya tidak semudah
membalikkan telapak tangan. Langkah-langkah konkrit secara stimulan yang
mungkin kita lakukan agar menjadi tauladan baginya dengan jalan semisal
menegakkan kebenaran dan keadilan, maka pintu gerbang pemerintahan Islam sedikit
demi sedikit akan terbuka serta memberi motivasi pada umat agar mengikuti
langkah-langkah ini.
Dalam
sejarah Islam, ada exercise figure yang patut dijadikan uswah hasanah di sana
kita akan temukan Umar bin Abdul Aziz, Khalifah Rosyidin kelima dalam masa pemerintahan
beliau yang terbilang sebentar yang berkisar dua tahun. Beliau berusaha
mengembalikan tatanan umat sesuai dengan tuntunan Rasulullah dan
sahabat-sahabatnya setelah sebelumnya dicemari aksi-aksi Bani Umayyah secara
turun-temurun.
Beliau
menghidupkan sunnah-sunnah Rasulullah, menebar keadilan dan nilai-nilai
kebajikan dan hasilnya tidak akan pernah dilupakan oleh sejarah, siapapun akan
mengenang jasa-jasa beliau, tapi beliau tidak bisa mencapai target maksimal,
dari ambisi-ambisi positif ini, terbukti beliau tidak mampu mengembalikan
proses suksesi keKhalifahan pada system syuro dan mengeluarkannya dari
cengkeraman Bani Umayyah.
Pembenahan-pembenahan
ini beliau jalankan dengan bijaksana dan stimulan sampai-sampai anak beliau,
Abdul Malik bertanya;
يا أبت ما لي أراك متباطئا في إنفاض الأمور ؟،
فوالله لو غلت بي وبك القدور في سبيل الله
“Wahai bapakku, mengapa aku melihatmu tidak cekatan dalam
melaksanakan masalah-masalah penting?, demi Allah aku tidak perduli walaupun
engkau dan aku direbus dalam tungku api karena membela agama Allah.”
Sang
anak bermaksud mempercepat proses tatanan umat yang dilakukan ayahnya, tak
memperdulikan akibat-akibat yang mungkin terjadi nantinya sepanjang dalam jalan
Allah.
Sang
ayahpun menjawab;
لا تعجل يا
بني ! فإن الله تعالى ذم الخمر في القرآن في آيتين ، ثم حرمها في الثالثة ، وإني
أخشى أن أحمل الناس على الحق جملة فيدفعوه جملة فيكون من وراءه فتنة .
“Jangan tergesa-gesa wahai anakku ! karena Allah telah mencela
khomr dalam al-Qur’an dalam dua ayat, kemudian baru mengharamkannya pada ayat
ketiga dan aku khawatir membebani manusia kepada kebenaran secara total,
akibatnya mereka akan menolaknya secara total pula dan akhirnya dibelakang
mereka terjadi fitnah.”
Syarat-syarat diperbolehkannya koalisi;
Pertama : Harus ada koalisi riil, bukan sekedar jargon atau
pengakuan belaka menjadi alat kepentingan politik kelompok lain.
Kedua : Pemerintahannya tidak popular dengan kedholiman,
menganiaya hak-hak sesama, sebab muslim sejati justru diperintahkan melawan
pemerintahan seperti ini, bukan malah diperintah membentengi dan berkoalisi
dengan mereka.
Kalau
Nabi Yusuf as. diminta Fir’aun (diktator bumi dan penganiaya Bani Israel)
menjadi salah satu pejabat negara tentu beliau akan menolak dan tidak akan
pernah meminta pada Fir’aun untuk menjadi menteri urusan logistik negeri Mesir.
Kemungkinan seperti ini terjadi karena Fir’aun (raja Mesir) pada zaman Nabi
Yusuf as. bukanlah Fir’aun zaman Nabi Musa as. yang diktator, walaupun
sama-sama kafirnya.
ولقد جاءكم يوسف من قبل بالبينات فما زلتم في شك
مماجاءكم به (غافر: 34)
“Telah datang kepadamu Nabi Yusuf sebelum kamu dengan
keterangan-keterangan, maka kamu tidak henti-hentinya dalam keraguan dari apa
yang dibawa Yusuf kepadamu.”
Dari
sini, tidaklah diperbolehkan bagi muslim atau kelompok Islam yang konsekuen
dengan ajarannya berkoalisi dalam pemerintahan diktator yang membelenggu leher
rakyatnya. Toleransi diberikan bila pemerintahannya menganut system demokrasi
yang menjunjung tinggi-tinggi hak dan martabat manusia.
Ketiga : Punya hak menentang sesuatu yang bertentangan
dengan Islam atau minimal mempertahankan diri, seorang menteri misalnya,
mungkin bisa berbuat adil dalam tugas-tugas kementerian-nya, tapi dia juga
dituntut dalam kebinet kementerian sebab dia salah satu anggotanya untuk
mentaati undang-undang atau kesepakatan-kesepakatan yang bertentangan dengan
Islam. Di sanalah dia harus menentang atau setidak-tidaknya mempertahankan
diri, tapi kalau kesepakatan atau undang-undang tadi sangat membahayakan Islam
dan penganutnya, maka dua solusi di atas dirasa tidak cukup, dia harus all out
mengundurkan diri dari jabatan seperti kesepakatan membuka hubungan bilateral
dengan negara Israel dan mengakui secara de facto eksistensi negara
Israel yang telah merampas tanah air bangsa Palestina.
Keempat : Harus sering-sering membuat evaluasi kerja selama
berkoalisi dalam pemerintahan dan hasilnya dijadikan referensi, apakah keadilan
dan kemaslahatan telah terealisasikan? Dan sebatas mana?. Evaluasi inilah yang
menentukan langkah selanjutnya mengundurkan diri atau terus berkoalisi.
Caleg non Muslim
Ada
sebuah fatwa yang mengharamkan seorang non Muslim yang hidup dalam negara Islam
menjadi caleg, alasannya adalah :
1.
Memberi kekuasaan pada non muslim, padahal dalam al-Qur’an;
ولن يجعل الله للكافرين على المؤمنين سبيلا (النساء:
141)
“Dan Allah tidak akan menjadikan kekuasaan bagi orang-orang
kafir terhadap orang-orang mu’min.”
Tidaklah
aneh kalau ada fatwa seperti itu, sebab orang Islam sendiri bila mencalonkan
menjadi anggota dewan ada fatwa yang mengharamkan, apalagi non Muslim.
Alasannya, dia telah meminta jabatan, sedangkan orang yang meminta jabatan itu
tidak boleh diberi seperti dalam hadits shohih;
أنا لا نولّي هذا الأمر أحدا سأله أو حرص عليه.
“Aku tidak memberikan suatu jabatan kepada seseorang yang
meminta-nya atau berambisi menjabatnya.”
Nabi
juga pernah berkata pada Abdurrohman bin Samuroh;
لا تسأل الولاية أو الإمارة فإنك إن سألتها وكلت
إليها وإن لم تسألها أعنت عليها.
“Jangan kau meminta jabatan atau kepemimpinan, karena engkau
bila memintanya akan dipersulit olehmu dan bila kau tidak memintanya engkau
akan ditolong menjalaninya.”
Wakil
rakyat dari golongan atau daerah tertentu tidak bisa dikategorikan pemimpin
yang berkuasa yang barang siapa meminta atau berambisi mendapatkannya dilarang
oleh Nabi memberikan jabatan tersebut. Wakil bukanlah pemimpin negara, menteri
atau pejabat yang berkuasa, tapi dia adalah gambaran dari sebuah daerah atau
golongan yang diwakilinya yang bertugas menguasai dan mengevaluasi kerja para
eksekutif negara bukan dievaluasi, mengapa? Karena dia tidak mempunyai wewenang
kekuasaan sehingga harus dievaluasi.
Dan
lagi masalah perwakilan ini tidak ada nash trasnparan yang melarang, jadi
sepanjang mayoritas anggota Dewan itu muslim, boleh saja non muslim menjadi
salah satu anggotanya yang mewakili aspirasi daerah atau kelompoknya, tak beda
dengan masalah wanita menjadi anggota Dewan bila mayoritas anggotanya
laki-laki. Toleran hukum seperti ini terjadi bila non muslim sebagai minoritas
yang hidup dalam negara Islam. Sebagian ulama berpendapat bahwa hak dan
kewajiban non muslim sama dengan kaum muslimin.
لا ينهاكم
الله عن الذين لم يقاتلوكم فى الدين ولم يخرجوكم من دياركم أن تبروهم وتقسطوا
إليهم إن الله يحب المقسطين ( الممتحنة 8 ).
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil
terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak pula
mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berlaku adil”.
Termasuk
berbuat baik dan adil pada mereka adalah memberi wadah aspirasi mereka dalam
Dewan Perwakilan Rakyat, seperti kaum wanita juga hendaknya ada perwakilan dari
mereka dalam DPR untuk menampung dan menyampaikan aspirasi serta memperjuangkan
kepentingan-kepentingan kaum wanita, dan lagi ini merupakan solusi konkrit agar
mereka (minoritas non muslim) tidak merasa terkucilkan di negeri sendiri. Kalau
ini sampai terjadi maka musuh-musuh Islam akan mengail di air yang keruh,
mereka akan menyulut api permusuhan dan kebencian pada ummat Islam, dan ini adalah
bahaya besar bagi ummat Islam.
Ummat
Islam pada masa-masa lampau juga memanfaatkan kecakapan para ahli dzimmah (non
muslim) untuk memegang jabatan-jabatan tertentu, pada masa-masa Daulah
Abasyiyah misalnya. Para ulama juga tidak langsung mengingkarinya, baru ketika
mereka kedapatan berbuat diktator dan dzolim baru ada reaksi dari ulama. Jadi
walaupun non muslim memegang jabatan tertentu tetap saja di bawah kekuasaan
ummat Islam secara umum.
Seperti
halnya seorang muslim kawin dengan kafir kitabiyah maka wanita inilah yang
mengurusi rumah dan anak-anaknya, berarti wanita kitabi ini punya wewenang dan
tanggung jawab terhadap rumah dan anak-anaknya, seperti dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Umar RA :
كلكم راع
وكلكم مسؤول عن رعيته ...والمرأة راعية فى بيت زوجها وهي مسؤولة عن رعيتها (متفق
عليه )
“Kalian semua adalah pemimpin, dan setiap pemimpin harus
bertanggung jawab pada rakyatnya… dan seorang wanita adalah pemimpin di rumah
suaminya, dia harus bertanggung jawab atas kepemimpinannya”.
Walaupun
demikian wewnang dan kekuasaan isteri tetap dibawah suami sebagai pemimpin
keluarga.
2.
Menjalin hubungan pembelaan akrab dengan non muslim yang dalam Al-Qur’an
dilarang keras.
Argumen
kedua ini juga perlu diseleksi
Pertama
larangan menjalin hubungan dengan non muslim yang terkandung dalam ayat hanya
sebatas urusan ingroup dan out group yang kebetulan diantara grup-grup itu
terjadi kompetisi, dalam artian out group merupakan komunitas lain yang berbeda
agama, aqidah pemikiran-pemikiran serta syiar-syiarnya dengan ingroup, bisa
digambarkan outgroup adalah yahudi, nasroni, majusi dll tidak sampai menabrak
pada kapasitas out group sebagai tetangga, teman atau sama-sasma pribumi dengan
ingroup.
Jadi yang pasti pembelaan seorang muslim hanya
untuk ummat Islam, karenanya kalimat من دون
المؤمنين dalam
ayat-ayat yang menjelas-kan larangan ini selalu tercantum sebagai bukti tak
terbantah bahwa ini hanya urusan ingroup dan out group.
لا يتخذ
المؤمنون الكافرين أولياء من دون المؤمنين ومن يفعل ذلك فليس من الله فى شيء إلا
أن تتقوا منهم تقاه ( أل عمران 28 )
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir
menjadi wali dengan meninggalkan oran-orang mukmin. Barang siapa berbuat
demikian niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena siasat
memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka”.
يآأيها
الذين آمنوا لا تتخذوا الكافرين أوليآء من دون المؤمنين أتريدون أن تجعلوا لله
عليكم سلطانا مبينا (النساء 144 )
“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu mengambil
orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah
kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah untuk menyiksamu”.
بشر
المنافقين بأن لهم عذابا أليما الذين يتخذون الكافرين أوليآء من دون المؤمنين
أيبتغون عندهم العزة فإن الغزة لله جميعا ( النساء 138-139 )
“kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan
mendapatkan siksaan yang pedih yaitu orang-orang yang mengambil orang-orang
kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin.
Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua
kekuatan kepunyaan Allah”.
Ayat-ayat
di atas adalah larangan berbuat hianat pada agama atau grup sendiri dan ini
realistis, sebab tidak pernah terdengar ada ajaran agama atau undang-undang di
dunia ini yang memberi toleransi pada seorang pengikutnya yang tega menggunting
dalam lipatan.
Kedua
: Hubungan kasih sayang yang dilarang oleh ayat-ayat Al-Qur’an bukanlah kepada
sembarang non muslim, hanya mereka yang menyakiti, memusuhi dan terlibat
konflik dengan ummat Islam yang menjadi sasaran larangan ini. Jadi non muslim
yang mengikat perjanjian damai atau berstatus dzimmi tidak ada larangan. Mari
kita baca ayat ini :
لا تجد قوما يؤمنون بالله واليوم الآخر يوآدون من
حآد الله ورسوله ( المجادله 22 )
“kamu tidak akan mendaptai sesuatu kaum yang beriman kepada
Allah dan hari ahir saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang
Allah dan Rasul-Nya”.
Kalimat
حآد الله ورسوله
memusuhi
Allah dan Rasul-Nya tidak bisa difahami sekedar sikap pasif (kufur) dari da’wah
Rasulullah, tapi harus ada reaksi riil semisal memerangi, embargo, menentang,
menyakiti pada pengikut da’wah Rasulullah. Pada awal-awal surat Mumtahanah kita
jumpai ayat :
يآأيها
الذين آمنوا لا تتخذوا عدوى وعدوكم أوليآء تلقون إليهم بالمودة وقد كفروا بما
جآءكم من الحق يخرجون الرسول وإياكم أن تؤمنوا بالله ربكم (الممتحنه 1 )
“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu mengambil musuhku
dan musuhmu menjadi teman-teman yang setia yang kamu sampaikan pada mereka
(berita-berita Muhammad) karena rasa kasih sayang, padahal sesungguhnya mereka
telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu. Mereka mengusir rosul dan
mengusir kamu karena kamu beriman kepada Allah Tuhanmu”.
Dalam ayat ini disebut dua alasan tak terpisahkan
sebagai penyebab haramnya menjalin hubungan pembelaan terhadap non muslim yaitu
kekafiran mereka terhadap Islam dan mencoret kewarga negaraan (Mekkah) serta
mengusir Rasulullah dan para pengikutnya dari tanah air tercinta mereka. Jadi
hukum haram ini tidak cukup hanya dengan alasan pertama وقد كفروا
بما جآءكم من الحق .
Dipertengahan
surat ini ada ayat lebih transparan
لا ينهاكم
الله عن الذين لم يقاتلوكم فى الدين ولم يخرجوكم من دياركم أن تبروهم وتقسطوا إليهم
إن الله يحب المقسطين . إنما ينهاكم الله عن الذين قاتلوكم فى الدين وأخرجوكم من
دياركم وظاهروا على إخراجكم أن تولوهم ومن يتولهم فألئك هم الظالمون (الممتحنة 8-9
)
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan
berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak
pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berlaku adil. Sesungguhnya
Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagian kawanmu orang-orang yang
memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu orang
lain untuk mengusirmu dan barang siapa sebagai kawan maka mereka itulah sebagai
orang-orang yang dzolim”.
Ini
klasifikasi non muslim, ada yang menjunjung hak-hak azasi manusia berupa
kebebasan beragama. Kelompok seperti wajib untuk dihormati dan diperlakukan
secara adil. Sedangkan kelompok yang kedua yaitu mereka yang mengkebiri
kebebasan beragama seperti musyrikin Mekkah yang menyakiti dan memerangi
Rasulullah dan pengikutnya.
Ketiga
: Islam memperbolehkan seorang muslim mengawini wanita ahli kitab dan sudah
lazim dalam kehidupan rumah tangga harus didasari cinta dan kasih sayang
sehingga terwujud ketentraman hati “sakinah”.
ومن آياته أن خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنوا
إليها وجعل بينكم مودة ورحمة ( الروم 21 )
“dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa
tentram kepadanya dan dijadikannya diantaramu rasa kasih dan sayang”.
Ini
dalil tak terbantah bahwa hubungan kasih sayang muslim dengan non muslim tidak
dilarang. Bagaimana mungkin seorang suami tidak mencintai isterinya yang
merupakan teman hidupnya, bila sang isteri kebetulan kitabiyah? Bagaimana
mungkin suami tidak mencintai mertua dan kerabatnya? Padahal Allah telah
berfirman :
وهو الذى خلق من المآء بشرا فجعله نسبا وصهرا (
الفرقان 54 )
“Dan Dia pula yang menciptakan manusia dari air,
lalu Dia jadikan manusia itu punya keturunan dan mushoharoh”.
Keempat
: Islam menjunjung tinggi hubungan solidaritas antar pemeluknya dan merupakan
media pemersatu ummat dari keturunan siapapun, negara manapun, ras dan suku
apapun. Jadi seorang muslim dengan muslim yang lain hubungannya lebih dekat
daripada dengan non muslim walaupun bapaknya atau anaknya sendiri. Solidaritas
seperti ini bukan milik Islam saja, tapi ini merupakan karakter semua
agama atau ideologi.
Tapi perlu juga diketahui bahwa di sana ada
berbagai model solidaritas yang diakui oleh Islam selain solidaritas keagamaan,
ada solidaritas kebangsaan, kaum dan kemanusiaan, karenanya kita temui dalam
Al-Qur’an ayat-ayat seperti :
كذبت قوم نوح المرسلين . إذ قال لهم أخوهم نوح ألا
تتقون .(الشعراء 105 – 106 )
“Kaum
Nabi Nuh telah mendustakan para Rasul ketika saudara mereka, Nuh berkata kepada
mereka; mengapa kamu tidak bertaqwa?.”
كذبت قوم لوط المرسلين إذ قال لهم أخوهم لوط ألا
تتقون (الشعراء: 160-161)
“Kaum Nabi Luth telah mendustakan para Rasul ketika saudara
mereka, Luth berkata kepada mereka; mengapa kamu tidak bertaqwa?.”
Allah
melegalkan hubungan saudara, Rasul-rasul-Nya dengan kaumnya walaupun mereka
mengkufuri dakwah-dakwah beliau dan ini bukan solidaritas keagamaan tapi
sama-sama satu kaum.
Dalam hadits Nabi yang diriwayatkan Imam Ahmad
dari sahabat Zaid bin Arqom; أنا شهيد أن العباد كلهم إخوة (Aku bersaksi bahwa semua hamba adalah saudara). Ini
adalah solidaritas kemanusiaan dari agama dan bangsa apapun.
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer
0 komentar:
Posting Komentar