KESETARAAN
GENDER
Prolog
Hukum-hukum
tentang wanita sudah ada sejak datangnya Islam itu sendiri, jadi hukum-hukum
ini bukan produk dari suatu dinamika peradaban manusia pada periode tertentu
atau revolusi kemanusiaan dan atau peradaban manusia terkini. Kendati demikian
tidak pernah terdengar kritik terhadap hukum-hukum ini dengan kedok mengangkat
dan membela martabat dan hak-hak wanita kecuali pada masa-masa ini. Apa sebab?.
Apakah
generasi-generasi terdahulu sedikit sekali perhatiannya terhadap wanita dan
kemaslahatannya?, ataukah pembahasan beliau-beliau kurang mendetail seperti
para pemikir dan penulis sekarang bahwa Islam sangat deskriminatif terhadap
hak-hak dan kewajiban wanita?.
Yang
pasti bukan ini dan itu. Penyebab utama adalah “Barat”, dahulu mereka tidak
sempat membuat strategi tipu daya terhadap Islam, karena sibuk membenahi
peradaban dan segudang problem mereka serta berupaya merapatkan barisan yang
kocar kacir, baru ketika mereka mampu bangkit dari keterpurukan dan sadar dari
tidur panjangnya mereka melihat bahwa Islam adalah ancaman serius dari
eksistensi peradaban baru mereka. Kemudian dengan segenap potensi yang
dimiliki, mereka berupaya membakar dan menghancurkan benteng pertahanan
terkokoh yang melindungi umat Islam dari serangan musuh yang mengepungnya atau
menyusup ke dalam. Benteng itu adalah Islam dengan segenap idiologi-idiologi
praktis yang tertancap kuat mencakup alam, manusia dan kehidupan serta doktrin-doktrin
hukum terapan yang relevan dan kondisioner dengan peradaban manusia.
Tokoh-tokoh
Barat melihat bahwa media edukasi adalah gelanggang paling ideal untuk
menindaklanjuti strategi busuk ini dan misi yang telah tertata rapi juga akan
menuai hasil yang memuaskan. Kemudian mereka berpikir kembali dan akhirnya
berkonklusi bahwa wanita adalah senjata paling ampuh untuk urusan edukasi dan
melepaskan peran edukasi Islam yang biasa dinikmati generasi muslim.
Tapi,
bagaimana metode penggunaan amunisi ini?, metodenya adalah mereka (Barat)
memprovokasi pemahaman wanita tentang Islam dan norma-norma luhurnya dengan
argumen bahwa Islam telah mendiskriminasikan kaum wanita dan tidak menghormati
hak-hak kemanusiaannya, kemudian mereka menancapkan ide-ide busuk dalam hati
kaum wanita dan bermimpi bahwa ide-ide busuk ini adalah undang-undang paling
ideal yang mampu mengangkat hak dan martabat kaum wanita serta mengukuhkan
emansipasi wanita dengan kaum laki-laki dalam berbagai urusan kehidupan.
Dengan
begitu wanita akan berubah menjadi monster-monster pengganyang Islam dan
berhayal suatu saat wanita-wanita ini menjadi robot permainan tangan-tangan
Barat dan menjadi misionaris ulung yang merusak asas-asas serta pemikiran
orisinil Islam.
Fenomena
seperti ini patut membuat umat Islam bersedih, tapi kesedihan tersebut
sebenarnya bukan terkait dengan adanya usaha subversif terhadap Islam juga
bukan karena membanjirnya ungkapan bela sungkawa gadungan Barat terhadap nasib
muslimah dalam komunitas Islam, tetapi sikap sebagian umat Islamlah yang perlu
ditangisi dalam menghadapi serangan Barat ini.
Umat Islam إلا من رحم ربك menghadapi kemunafikan yang subversif ini,
terperosok dalam dua jurang ketololan.
Pertama : Adalah kelompok yang punya afiliasi
dengan Islam walau hanya simbolis. Tetapi pembelaan total untuk bangsa,
undang-undang serta peradaban Barat, mereka ini selalu menjadi suporter,
penggembira dari berbagai ofensif Barat.
Kedua : Identitas keIslamannya tidak diragukan,
yakin bahwa norma-norma dan hukum-hukum Islam sangat demokratis, tapi sayang
seribu sayang, mereka ini kecanduan inex (interpretasi nekat tanpa dalil
transparan yang mengakibatkan keraguan konsumen) yang diimpor dari orientalis
Barat.
Kesedihan
ini bertambah pahit ketika ada anggapan bahwa kaum wanita dalam komunitas Barat
yang katanya berbela sungkawa melihat nasib para muslimah, mereka menjalani
hidupnya dengan penuh kebahagian, menikmati hak-haknya secara penuh sebagai
manusia, tapi realitanya hak-hak dan martabat mereka dirampas, ditipu dengan
berbagai argumen irrasional. Sadar atau tidak, mereka hanya menjadi
boneka-boneka kesenangan dan pelampiasan seksual kaum lelaki. Orang-orang yang
berpura-pura menangisi nasib para muslimah inilah yang membelenggu
wanita-wanita Barat dalam lautan kenistaan dan penganiayaan.
Pil
pahit ini terasa lebih pahit lagi tatkala membaca tulisan-tulisan tentang
pembelaan terhadap kaum wanita dari Islam dan hukum-hukumnya yang katanya
sangat diskriminatif dan cenderung memarginalkan kaum Hawa, padahal para
penulis ini kalau dihadap-kan pada forum diskusi interaktif mereka tidak mampu
membebaskan dirinya sendiri dari pengaruh kecanduan inex ketika berbicara
membela argumennya.
Ini
adalah musibah besar yakni seorang maling teriak maling, berlagak seorang
revolusioner emansipasi hak-hak dan martabat kaum wanita. Akan tetapi bencana
ini terasa lebih membahana ketika kita temui orang-orang yang membenarkan
teriakan dan hanyut dalam buaian omongan-omongan gombal maling-maling umat ini.
1. Leadership.
Firman
Allah;
الرجال قوّامون على النساء بما فضل الله بعضهم على
بعض وبما أنفقوا من أموالهم (النساء: 33).
“kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena
Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain
(wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta
mereka.”
Sebagian
orang ada yang berasumsi bahwa leadership yang diberikan Allah secara spesifik
kepada kaum laki-laki ini dipahami secara eksplisit adanya praktek
marginalisasi hak kaum wanita.
Sebenarnya
tidak semudah itu pemahamannya, karena;
Pertama : al-Qowwamah, kalimat inilah yang menjadi blundernya
pemahaman. Yang dikehendaki dari al-Qowwamah adalah al-Imaroh wa al-Idaroh
(kepemimpinan dan manajemen) biasa diucapkan;
فلان قائم أو قوّام على أمر هذه الدار أي إليه
الإمارة فيها والإدارة في شئونها.
Yakni Fulan yang memimpin sekaligus yang mengatur
manajemen uruasan rumah itu. Jadi, kepemimpinan al-Imaroh selalu identik
dengan manajemen al-Idaroh.
Sekarang
pertanyaannya; apakah yang melatarbelakangi Allah mewujudkan tugas kepemimpinan
baik di rumah, yayasan, kantor-kantor dan kelompok-kelompok yang lain?, apakah
itu merupakan status luhur dan kemuliaan yang diberikan syara’ sebagai anugrah
bagi mereka yang punya kelebihan dan kedudukan tinggi di sisi Allah dan
ternyata kelebihan itu menurut Allah untuk kaum laki-laki. Karenanya
beruntunglah kaum lelaki menerima anugrah ini dan kaum wanita tidak dapat
bagian sama sekali?.
Secara
sekilas bukan begitu nalarnya, yang pasti ini adalah anjuran syara’ agar jiwa
koordinasi selalu menjadi motor dari setiap komunitas dalam situasi dan kondisi
apapun. Koordinasi dalam suatu komunitas menjadi sangat urgen eksistensinya
karena di sana ada tanggung jawab dan tanggung jawab secara praktek tidak
mungkin terealisasi-kan kecuali ada seorang pemimpin yang menjadi rujukan
tanggung jawab koordinasi dan manajemen tersebut.
Anjuran
syara’ terhadap sistem koordinasi ini tidak terlepas dari komunitas dalam
bentuk dan kondisi apapun. Nampak jelas dalam hadits Nabi;
إذا كان ثلاثة في سفر فليؤمروا أحدهم (رواه البيهقي)
“Ketika tiga orang dalam perjalanan, maka salah satu mereka
menjadi pemimpin.”
Sudah
maklum bahwa komunitas masyarakat tersusun dari berbagai keluarga, maka
hendaknya sumber koordinasi secara kolektif adalah sistem koordinasi yang
berlaku dalam suatu keluarga. Dari sanalah nanti terwujud komunitas masyarakat
yang terkoodinir.
Dalam
hadits tadi menunjukkan bahwa yang menjadi pemimpin perjalanan bukanlah harus
orang yang paling mulia dan luhur derajatnya di sisi Allah, yang penting dia
bisa memikul tanggung jawab dan punya kecakapan untuk memeneg urusan-urusan
kelompoknya dengan metode yang benar.
Berarti
pemimpin keluarga dalam prespektif Islam adalah pemimpin yang mengayomi
sekaligus mengkoordinasi , bukan pemimpin yang absolut dan diktator, kemudian
ini bukanlah pertanda kedekatannya di sisi Allah, tapi semata-mata pertanda
atas kecakapan pemegang tanggung jawab ini.
Kedua :
Kalau
begitu nalarnya, mengapa syara’ sejak zaman dahulu memerintahkan al-Qowwamah
yakni tugas mengkoordinasi urusan-urusan keluarga kepada kaum laki-laki,
mengapa tidak diserahkan saja pada anggota keluarga untuk memilih siapa saja
yang mereka kehendaki?, lantas mengapa syara’ memberi alasan pemilihan
laki-laki ini dengan بما فضل الله بعضهم على بعض , ini kan malah mengukuhkan persepsi gender laki-laki punya
nilai lebih dibanding wanita tanpa memandang kendala-kendala lain?.
Pemahaman
gen laki-laki punya nilai lebih dibanding wanita sangat paradoks dengan
ketransparanan al-Qur’an dalam ayat-ayat yang tidak sedikit jumlahnya. Allah
mengukuhkan bahwa gen laki-laki dan wanita statusnya sama sederajat dalam
ukuran kedekatannya pada Allah, yang membedakan adalah derajat seberapa amal
sholeh-nya yang disertai ikhlas karena Allah.
فاستجاب
لهم ربهم أني لا أضيع عمل عامل منكم من ذكر أو أنثى بعضكم من بعض (آل عمران: 195).
“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya dengan
berfirman; Sesungguhnya aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal
diantara kamu baik laki-laki atau perempuan karena sebagian kamu adalah turunan
dari sebagian yang lain.”
من عمل
صالحا من ذكر أو أنثى وهو مؤمن فلنحيينه حياة طيبة ولنجزينه أجرهم بأحسن ما كانوا
يعملون (النحل: 97).
“Barang siapa yang mengerjakan amal sholeh baik laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan iman maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya
kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka
dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”
ومن يعمل
من الصالحات من ذكر أو أنثى وهو مؤمن فأولئك يدخلون الجنة ولا يظلمون نقيرا
(النساء: 124).
“Dan barang siapa yang mengerjakan amal-amal sholeh baik
laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman maka mereka itu masuk ke
dalam surga dan mereka tidak dianiaya sedikitpun.”
Lebih
rinci dan transparan lagi yang tidak mungkin terbantah adalah ayat-ayat;
إن
المسلمين والمسلمات والمؤمنين والمؤمنات والقانتين والقانتات والصادقين والصادقات
والصابرين والصابرات والخاشعين والخاشعات والمتصدقين والمتصدقات والصائمين
والصائمات والحافظين فروجهم والحافظات والذاكرين الله كثيرا والذاكرات أعد الله
لهم مغفرة وأجرا عظيما (الأحزاب:35).
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan
perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya,
laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar,
laki-laki dan perempuan yang khusu’, laki-laki dan perempuan yang besedekah,
laki-laki dan perempuan yang berkuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara
kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut nama Allah, Allah
telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.”
Kemudian
kembali Allah memperjelas hakikat kesetaraan gender ini;
يا أيها
الناس إنا خلقناكم من ذكر وأنثى وجعلناكم شعوبا وقبائلا لتعارفوا إن أكرمكم عند
الله أتقاكم إن الله عليم خبير (الحجرات: 13).
“Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha mengenal.”
Dalam
ayat ini Allah mengubur dalam-dalam perbedaan gen laki-laki dan wanita, suku
dan bangsa sebagai tolok ukur dekat atau jauh-nya derajat seseorang di sisi
Allah.
Lantas apakah mungkin al-Afdholiyyah dalam ayat; بما فضل
الله بعضهم على بعض ditafsiri; keutamaan gen
laki-laki dibanding gen wanita?, kalau begitu apa yang dikehendaki dengan بما فضل
الله بعضهم على بعض ?. Sederhana saja, sebetulnya
cara memahaminya yaitu keutamaan selaras dengan kemaslahatan tugas yang dibebankan.
Menjalankan urusan-urusan keluarga, menjaga dari
kemungkinan-kemungkinan bahaya yang mengintai yang keseluruhannya tentu
membutuhkan nafkah dan pengorbanan hidup adalah tugas-tugas social
kemasyarakatan yang paling urgen dan suci. Ini tidak jauh berbeda dengan
kewajiban yang tidak kalah urgennya yaitu membina, menyusui dan menjaga anak
serta memenuhi nilai-nilai kebahagiaan pasangan suami istri.
Sekarang lihatlah, siapa diantara dua pasangan ini
yang paling mampu melaksanakan tugas pertama diberbagai kondisi dan situasi?,
kita semua pasti tidak ragu bila dalam satu keluarga pada tengah malam yang
gelap gulita mereka merasa ada pencuri yang menerobos masuk ke dalam rumah atau
mendobrak pintu suami atau bapaklah yang langsung loncat berdiri menghadang
bahaya ketakutan. Sedang-kan istri atau sang ibu bersembunyi di pojok rumah
yang gelap dan melindungi anak-anaknya. Memang terkadang ada yang prakteknya
tidak lumrah seperti contoh di atas tapi tidak lumrah (syadd) tidak punya
status hukum.
Semuapun tahu bahwa pemudalah yang bertanggung
jawab membangun keluarga, menanggung nafkah kelangsungan dan kemajuan sebuah
keluarga meliputi mahar dan apa-apa yang dibutuh-kan ketika pelaksanaan akad
nikah, juga rumah tempat bernaung serta nafkah rutin untuk istri dan
anak-anaknya.
Itulah realita yang berlaku dalam komunitas
masyarakat kita, sejak dulu dan di manapun walaupun pendapat, madzhab serta
pemikiran mereka semua berbeda-beda. Jadi, ini semacam aklamasi universal umat
manusia yang dilandasi kemauan dan ridlo manusia itu sendiri dalam artian
sebelum ayat ini turun, realita itulah yang berbicara dalam peradaban manusia.
Lalu ayat ini turun bukannya sebagai perintah, ketetapan hukum yang sebelumnya
belum dijalankan umat manusia, tapi tidak lebih sebagai kabar dan sekaligus
legalisasi realita yang sebelumnya manusia telah aklamasi secara total.
Sekarang yang jadi persoalan adalah, apakah yang
menghalangi seandainya realita ini kita tranformasikan?, gampang juga
jawabannya; adapun bagian pertama dari realita ini masalahnya bukan berada pada
wewenang kita dan siapapun, yang punya wewengan adalah yang menjadikan seorang
laki-laki dengan segenap karakter kelaki-lakian-nya beserta keistimewaan yang
dimilikinya. Juga seorang wanita dengan segenap karakter kewanitaannya beserta
kelebihan-kelebihan yang dimilikinya, banyak sekali hikmah menakjubkan yang
tidak mungkin tersembunyi dari penglihatan orang-orang yang bernalar waras dari
berbagai latar belakang agama atau madzhab pemikiran yang berbeda-beda, mengapa
Allah menciptakan seperti apa yang kita lihat?.
Adapun bagian kedua dari realita ini, yaitu
suamilah yang bertanggung jawab membangun keluarga dan kelanjutan hidup mereka,
bukannya sang istri. Sumber dari realita ini adalah apa yang telah
disyari’atkan oleh Allah mengenai bagaimana seorang wanita itu bisa terjaga
sifat-sifat kewanitaannya juga kehormatannya seandainya wanita yang memberi
mahar pada seorang laki-laki, maka wanitalah yang melamarnya, kalau ini yang
terjadi, maka tidak hanya rasa terhina, tapi bahaya lain akan menodai feminisme
serta harkat martabat kaum hawa yang mustahil diingkari kecuali oleh
orang-orang kurang waras atau keras kepala.
Kalau kaum Hawa yang bertanggung jawab mencari
nafkah untuk keluarga, seperti yang terjadi dalam komunitas Barat, maka mereka
akan terpaksa menggeluti pekerjaan apapun yang penting dapat uang tanpa punya
hak untuk memilih mana yang pantas dan cocok untuk mereka. Dan kalau itu yang
terjadi, maka hilanglah sifat-sifat kewanitaannya yang asalnya lembut mengurusi
dan membina anak-anaknya menjadi seperti batang pohon kering di tengah tanah
lapang yang tandus.
Adapun ada sebagian kecil dari kaum Hawa yang
kebetulan punya skill professional sehingga bisa mengantarkannya bidang-bidang
pekerjaan yang pantas dan cocok dengan sifat-sifat kewanitaannya. Kejadian
seperti ini tidak bisa dijadikan standar hukum, sebab kalau dibanding berapa
persenkah wanita yang punya skill professional?, yang jadi standar hukum adalah
mayoritas yang tidak punya skill, sehingga terpaksa menggeluti pekerjaan-pekerjaan
berat yang melelah-kan. Sungguh tiada guna mengorbankan mayoritas yang terjadi
demi segelintir wanita yang kebetulan punya skill professional.
Karena itulah Islam membebaskan wanita dari
tanggung jawab bekerja mencari nafkah supaya tidak terjebak dalam keharusan
bekerja yang memperbudaknya, juga tidak melarang menggeluti profesi tertentu
agar memiliki jalan menuju kehidupan yang lebih sejahtera serta mampu memilih
profesi yang layak baginya, juga memiliki standar stimulansi prioritas sebagai konsekuensinya
dengan mendahulukan yang lebih urgen yaitu mengurusi rumah tangga dibanding
keinginan berkarir, mengejar rizqi di luar rumah. Begitulah ayat الرجال
قوّامون على النساء adalah kabar dari realita
itu sendiri, bukan merupakan ketetapan hukum yang belum terealisasikan.
Coba lihat dalam komunitas Barat kaum Hawa
bertanggung jawab mencari nafkah keluarga, dia diperbudak pekerjaannya yang
melelah-kan kemudian setelah tunduk melaksanakan undang-undang ilusi ini,
mereka tidak mendapatkan al-Qowwamah, leadership yang selalu dan terus berada
di gengaman kaum Adam.
Memang, semua berjalan sukses yaitu bangunan rumah
tangga ambruk dan berubah menuju kehancuran dalam medan kompetisi suami istri
banting tulang mencari rizqi dan tetaplah suami yang menjadi supervisor dan
pelaksanan tugas-tugas keluarga.
Jadi, karakteristik pria menjadi al-Qowwamah tidak
akan pernah berubah seperti yang dibayangkan para pemimpi penyembah peradaban
Barat walaupun sang istri punya triliyunan Dolar dan suami melarat sekarat.
2. Waris
Kritik abadi dalam topik kesetaraan gender adalah
menyikapi firman Allah
يوصيكم الله في أولادكم للذكر مثل حظ الأنثيين (النساء: 11)
“Allah mensyari’atkan bagimu
tentang (pembagian pusaka untuk ) anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak
lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.”
Para pecundang kritik ini memahaminya sebagai
undang-undang universal yang berlaku dalam hukum waris, bahkan kalimat; للذكر مثل
حظ الأنثيين dalam
prespektif agen-agen komersial kritik ini merupakan undang-undang komunitas
masyarakat yang mutlak diwajibkan agama dalam setiap masalah dan dalam kondisi
apapun, padahal ayat ini hanya mengatur hukum waris anak, bukan yang lainnya,
sebab ahli waris laki-laki dan wanita juga merupakan salah satu hukum
tersendiri. Coba lihat contoh-contoh ini;
-
Ketika mayit meninggalkan anak, bapak serta ibu
maka kedua orang tua sama-sama mendapat bagian seperenam tanpa dibedakan antara
gender bapak dan ibu, juga tidak ada kekuatan undang-undang ilusi absolut
berupa للذكر مثل
حظ الأنثيين , sebab ada hukum tersendiri
berdasarkan ayat;
ولأبويه
لكل واحد منهما السدس (النساء: 11)
“Dan untuk dua orang ibu
bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan.”
-
Ketika mayit meninggalkan saudara laki-laki seibu
juga saudara perempuan seibu dan tidak ada ahli waris lain yang
meng-halanginya, maka kedua saudara ini sama-sama mendapatkan bagian seperenam.
وله أخ أو
أخت فلكل واحد منهما السدس (النساء: 12).
“Tetapi menpunyai seorang
saudara laki-laki seibu saja atau saudara perempuan seibu saja, maka
masing-masing dari jenis saudara itu seper-enam harta.”
tanpa
dibedakan gendernya, juga tidak melihat للذكر مثل
حظ الأنثيين .
-
Ketika mayit meninggalkan saudara laki-laki seibu,
dua dan selebihnya, juga saudara perempuan seibu dua dan selebihnya, maka
saudara laki-lakinya mendapat bagian sepertiga dan saudari perempuannya juga
mendapat sepertiga.
فإن كانوا أكثر من ذلك فهم شركاء في الثلث (النساء: 12)
“Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka
mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu.”
-
Bila mayit seorang istri meninggalkan seorang
suami dan anak perempuan, maka anak perempuannya mendapat bagian setengah dan
bapaknya (suami mayit) mendapat seperempat. Di sini malah seorang yang ber-gen
perempuan mendapat bagian dua kali lipat dari bagian orang yang ber-gen
laki-laki.
-
Bila mayit meninggalkan istri dan dua anak
perempuan serta saudara laki-laki, maka istri mendapat seperdelapan, dua anak
perempuan mendapat dua pertiga, sedang sisanya untuk pamannya (saudara laki-laki
mayit). Berarti bagian dua anak perempuan ini lebih banyak dari pamannya, sebab
bagian kedua anak perempuan ini sama dengan 8/24 sedang bagian pamannya 5/24.
Inilah putusan hukum Rasulullah ketika datang pada
beliau istri Sa’ad bin Robi’ dengan membawa anak perempuannya dan berkata;
يارسول
الله، هاتان ابنتا سعد بن الربيع قتل أبوهما يوم أحد شهيدا وإن عمهما أخذ مالهما
فلم يدع لهما مالا ولا تنكحان إلا بمال قال يقضى الله في ذلك ، فنزلت آية الميراث
فبعث رسول الله e إلى عمهما فقال: اعط ابنتي
سعد الثلثين واعط أمهما الثمن وما بقي فهو لك.
“Ya Rasulullah, ini adalah dua anak perempuan Sa’ad bin Robi’,
bapak-nya telah syahid dalam perang Uhud dan pamannya telah mengambil hartanya,
tidak meninggalkan kepada mereka berdua sama sekali dan tidak mungkin keduanya
dinikahkan kecuali dengan harta. Rasulullah berkata; Allah akan memutuskan
masalah ini, maka turunlah ayat warits, lalu Rasulullah mengutus utusan kepada
paman mereka berdua dan berkata: berilah kedua anak perempuan Sa’ad bagian
sepertiga dan ibu mereka seperdelapan sedangkan sisanya untuk kamu.”
Jelaslah bahwa للذكر مثل حظ الأنثيين bukanlah
kaidah abadi yang selaku diterapkan ketika berkumpul ahli waris laki-laki dan
perempuan, tapi ini adalah aturan dalam kondisi yang disebutkan Allah, yaitu
salah satu dari kedua orang tua meninggal dan ahli warinya anak-anak (laki-laki
atau dan perempuan). Karena ayat sebelumnya; يوصيكم الله في أولادكم ... ketika berkumpul ahli waris anak-anak laki-laki dan perempuan,
maka anak laki-laki sebagai konsekuensi kapasitasnya sebagai Ashobah, yang
mengAshobahi saudara-saudara perempuannya, maka mereka mengambil sisa
bagian-bagian ahli waris yang lain dengan rumus للذكر مثل حظ الأنثيين .
Mengapa
syara’ menetapkan demikian?, karena anak laki-laki menghadapi kondisi dewasa
dan bekerja, bertanggung jawab terhadap nafkah kedua orang tuanya juga harus
memberi mahar serta nafkah istrinya. Kondisi ini berbeda dengan saudara
perempuan yang tidak punya tanggung jawab seperti saudara laki-laki, maka logis
sekali bila orang tuanya wafat saudara laki-laki terlebih dahulu mengashobahi
saudara perempuan dengan gambaran saudara perempuan dan laki-laki mengambil
sisa dari ahli waris (Ashhabul Furudl) sebagai ganti dari bagian saudara
perempuan yang asli yaitu setengan, lalu saudara perempuan dan laki-laki
bersama-sama mengambil sisanya dengan ketentuan saudara laki-laki mendapat dua
kali lipat bagian saudara perempuan.
Ketika
peristiwanya terbalik yaitu anak yang wafat meninggalkan kedua orang tua, maka
kedua orang tua sama-sama satu tingkat dalam menerima nafkah dari anaknya
(ketika dia hidup), bila anaknya kaya dan biasanya orang tua (Bapaknya) sudah
tidak kuat bekerja, karena sangat adil bila bagian kedua orang tuanya sama.
Begitu
pula jika mayit meninggalkan saudara laki-laki dan perempuan seibu dan tidak
ada ahli waris yang lebih dekat dengan mayit seperti anak atau saudara kandung (saqiq),
mereka mendapatkan bagian yang sama. Mengapa?, Karena sewaktu mayit masih hidup
mereka Akhun wa Ukhtun Li Um sama-sama tidak bertanggung jawab terhadap
saudaranya yang wafat.
Coba
fahami dengan baik, ternyata gender laki-laki dan perempuan tidak pernah punya
urusan dengan ketetapan hukum ini dan yang menjadi sumber dari hukum ini adalah
sebatas mana kebutuhan ahli waris dan punya hubungan apa ahli waris dengan
mayit.
Bila
wanita bisa mencukupi kebutuhannya sendiri dengan bekerja atau yang lain apakah
hukumnya berubah?.
Ada
perbedaan yang mendasar antara motivasi moral (seperti yang ditanyakan) dengan
kewajiban syara’, kalau melihat motivasi moral Islam membukan pintu lebar-lebar
dan menyambut hangat kontribusi wanita (anak perempuan, istri, saudara
perempuan) bersama-sama dengan saudara laki-laki, suami atau semua kerabatnya
yang laki-laki dalam memenuhi nafkah, wanita diundang sebagai konsekuensi dari
motivasi moral untuk meringankan beban suaminya dalam memberi nafkah istri atau
anaknya.
Imam Bukhori dan Muslim meriwayatkan hadits,
Zainab as-Tsaqofiyyah, istri Abdullah bin Mus’ud bahwa dia mendengar Rasulullah
berkata pada para wanita; تصدقنا يا معشر النساء ولو من حليكنّ...(Wahai para wanita, bersedekahlah kalian semua walaupun dari
perhiasan kalian sendiri), lalu Zainab berkata;
قالت:
فرجعت إلى عبد الله بن مسعود، فقلت له: إنك رجل خفيف ذات اليد وإن رسول الله قد
أمرنا بالصدقة فأته فاسأله فإن كان ذلك يجزئ عني، وإلا صرفتها إلى غيركم، فقال عبد
الله: بل ائتيه أنتِ فانطلقت فإذن امرأة من الأنصار بباب رسول الله e ، حاجتي حاجتها وكان رسول الله e قد ألقيت عليه المهابة فخرج علينا بلال فقالت: ائت رسول الله e فأخبره أن امرأتين بالباب تسألانك أتجزئ الصدقة عنهما على
أزواجهما وعلى أيتام في حجورهما؟، ولا تخبره من نحن فدخل بلال على رسول الله e فسأله ...فقال له رسول الله: من هما؟، قال: امرأة من أنصار وزينب،
فقال رسول الله e: أي الزيانيب هي؟، قال: امرأة
عبد الله ، فقال رسول الله e: لهما أجران، أجر القرابة
وأجر الصدقة.
“Kemudian aku kembali pada Abdullah bin Mus’ud dan berkata
padanya; ‘engkau adalah orang yang miskin dan Rasulullah telah memerintah kita
untuk bersedekah, datang dan tanyalah pada beliau kalau aku bersedekah kepadamu
mencukupi atau tidak?, kalau tidak maka aku akan berikan pada orang lain’,
Abdullah menjawab; “Kamu saja yang datang pada Rasulullah”, kemudian aku pergi
dan ternyata didepan pintu Rasulullah ada seorang wanita Anshor, hajatku adalah
hajatnya juga dan Rasulullah telah dilingkupi kewibawaan, maka Bilal keluar dan
Zainab berkata; “Datanglah kepada Rasulullah dan berilah kabar bahwa ada dua
wanita di depan pintu yang bertanya, apakah cukup mereka bersedekah kepada
suaminya, juga kepada anak-anak yatim yang menjadi tanggungannya? Dan jangan
kau katakan siapa kami”, maka Bilal masuk pada Rasulullah dan menanyakannya;
…Rasulullah berkata; “Siapa mereka berdua?”, Bilal menjawab; “seorang
dari wanita Anshor dan Zainab”, Rasulullah bertanya; “Zainab yang mana?”, Bilal
menjawab; ”istri Abdullah bin Mas’ud”, maka Rasulullah menjawab; “mereka
berdua mendapatkan dua pahala, pahala kerabat dan pahala shodaqoh.”
Hanya
saja, motivasi moral ini nampak sangat bernilai bila berlatar belakang
kebebasan (keinginan sendiri), bukan suatu keharusan dari ketetapan hukum
karena kewajiban nafkah yang dibebankan pada suami atau bapak dan sesamanya
menurut sang istri bukanlah berlatar belakang moralitas dermawan. Karenanya
motivasi moral ini tidak patut dijadikan sebagai ganti dari kewajiban suami,
bapak atau anak untuk mencukupi nafkah, karena sang istri tidak pernah merasakan
motivasi moral ini.
Adapun
dari segi kewajiban syara’ bila syara’ mewajibkan mencari nafkah kepada istri
atau ibu atau juga anak perempuan, maka konsekuensinya wanita akan keluar rumah
mencari di mana gerangan sang rizqi dan akan terjadi problem serius yang tak
terpecahkan seperti wanita-wanita barat.
Untuk
menghindari agar tidak terjebak dalam problem serius ini, sebenarnya kaum
wanita selama masih dalam naungan orang tuanya hendaknya merasa tenang dari
nafkah sang bapak. Kemudian bila sudah bersuami menjadi tanggung jawab penuh
suami, kalau dia ingin bekerja mencari uang atau menyalurkan bakat tertentu
dipersilahkan oleh syara’ tapi tentu yang layak dan cocok bagi kaum wanita dan
jangan sampai rumah dan anak-anak serta suami dibiarkan begitu saja seperti
kondisi komunitas Barat.
3. Nusyusy (istri ngambek)
Ilustrasi
masalah istri mebangkang tidak patuh pada kemauan suami tanpa ada udhur syar’I
.
Problemnya;
syari’at islam memberi hak suami memperbaiki istri yang nusyuz tanpa
sebab,sedangkan sang istri tidak di beri hak ini,jika suaminya nusyuz tanpa ada
alasan syar’i.
Hak
yang di berikan pada suami ini berupa tiga solusi yang harus di laksanakan
secara bertahap;
Pertama;
Nasehat dan mauidhoh secara halus dan penuh kasih. Kedua;membiarkan tidur
sendiri. Ketiga; Memukulnya tanpa rasa menyakiti.
Sudah
maklum, nusyuz mungkin juga di lakukan oleh suami, tapi istri hanya di beri hak
melaksanakan solusi pertama, yaitu menasehati secara halus,dan kalau solusi
pertama ini tidak berguna maka istri tidak diperbolehkan melaksanakan solusi
kedua atau ketiga, tapi ada sebagian pendapat ulama’ bila suami melakukan
maksiat di tempat tidur itu sendiri seperti misalnya mengumpuli istrinya
disa’at haid atau lewat jalan dubur, sang istri di perbolehkan melaksanakan
solusi kedua, tapi kalau istri masih mampu mencegah suaminya agar tidak
melaksanakan maksiat ini maka sang istri tidak diperbolehkan melakukan solusi
kedua ini.
Problem
yang muncul adalah; sekilas kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan yang
ndi dengung-dengungkan syari’at islam dalam masalah nusyuz ini terkubur, kalau
tidak mestinya sang istri juga punya hak untuk melaksanakan solusi ketiga yaitu
memukul yang tidak menyakitkan.
Apa
yang terjadi jika kesetaraan dalam masalah ini tidak terwujud?
Perlu
di pertanyakan; apa kira-kira yang terjadi jika syara’ mengizinkan kaum wanita
memukul suaminya yang nusyuz, ketika memberi nasehat dan dan memisahkan diri
dari tempat tidur tidak membuatnya jeradari perbuatannya?
Kita
semua manusia saja tahu! Apalagi Allah yang menciptakan manusia dan melengkapi
sifat-sifat kelaki-lakian pada kaum pria juga sifat-sifat kewanitaan pada kaum
wanita, bahwa: jika kaum wanita memukul suaminya yang nusyuz, maka sifat
kelaki-lakianya seketika menjadi liar tak terkendali seperti hewan yang mencari
mangsa, akal sehatnya menjadi buta dan akibatnya hanya ada dua kemungkinan
yaitu mendapatkan mangsa atau mati terbunuh.
Jadi
seorang wanita akan mangorbankan hidupnya demi kesetaraan, yang kesetaraan ini
telah diberikan Allah pada masing-masing gen laki-laki dan perempuan berupa
“kemulyaan”, dan bukanya untuk menjaga kemulyaan itu harus dengan methode yang
sama, sebab akibatnya justru kaum wanita sendirilah yang menjadi korban, dan
otomatis kesetaraan yang diimpikantidak akan pernah tercapai.
Sekarang
coba lihat, apasolusi yang ditawarkan syara’ untuk menjaga kemulyaan laki-laki
atau perempuan, bahwa suami ketika nusyuz memang harus ada sanksinya, tapi
tidak harus yang melakukan sanksi ini istrinya sendiri, sebab ada lembaga hakim
atau qodhi yang akan mengurusi dan membela hak-hak istri, sekaligus memberi
sanksi pada suami, bahkan mungkin sanksi yang diberikan tidak sebatas memukul,
tapi lebih dari itu , mungkin dipenjara atau yang lainnya.
Inilah
methode syari’at dalam memberikan sanksi-sanksi pada pelanggar-pelanggar hukum,
yaitu menfungsikan lembaga qodhi atau kehakiman ketika kira-kira pihak yang
didholimi tidak mampu membela diri, atau mampu secara teoritis, tapi kalau
dipraktekkan sendiri malah mengakibatkan fitnah yang justru penyulut fitnah ini
adalah pihak yang teraniaya itu sendiri.
Tapi
apakah dalam syari’at “memukul” ada problem? Sebagian orang menganggap sanksi
memukul yang di berikan hanya pada suami merupakan praktek diskriminasi hukum
terhadap kaum wanita.
Sebelumnya
perlu diketahui bahwa: syari’at islam telah menetapkan sanksi hukum yang sama
kepada suami juga istri bila terbukti melanggar(nusyuz), dan sanksi ini bukan
untuk istri saja hanya pelaksanaannya dibedakan oleh syara’, suami dipandang
syara’mungkin untuk melakukan sanksi memukul sendiri dengan syarat-syarat dan
ketentuan-ketentuannya, berbeda dengan istri yang peranya dalam melaksanakan
sanksi ini diwakilkan qodhi karena alasan yang telah tersebut diatas. Jadi
antara laki-laki dan perempuan ada kesetaraan hak memberi sanksi hukuman, hanya
methodenya yang berbeda.
Lantas
adakah kejanggalan dalam sanksi-sanksi yang telah ditetapkan undang-undang
untuk semua kaum laki-laki dan perempuan, memandang keduanya dimungkinkan
melanggar dalam bentuk pidana atau kriminal-kriminal yang lain? Apakah
diseluruh dunia tidak ada karantina khusus kaum wanita juga khusus kaum lelaki?
Bahkan apakah diseluruh duniatidak ada negara atau kota yang punya
undang-undangyang sanksi-sanksi pelanggarannya untuk kaum laki-laki, padahal
laki-laki atau perempuan sama-sama berpotensi melanggar undang-undang itu?
Kemudian
perlu juga di ketahui sanksi ”pukulan” baik untuk laki-laki atau perempuan
bukanlah tindakan jelek yang menodai kemanusiaan tapi sasarannya penyelewengan
lain lain yang menyebabkan citra buruk dan menodai kemanusiaan suami atau istri
yang nusyuz.
Lihat
bagaimana syara’ memerintah suami berdialog dengan sifat naluri kemanusiaan
istri dengan menasehati dan mauidhoh, ini adalah methode ideal yang sangat
manusiawi untuk memecahkan problem-problem rutin antara kedua pihak, kemudian
lihatlah ketika langkah pertama ini gagal, syara’ menyuruh sang suami menyapa
kembali naluri kemanusiaan sang istri dengan meninggalkan tempat tidur, tapi
komunikasi tetap jalan antara keduanya, ini bukanya reaksi yang berbentuk sifat
kasar, tapi lebih mirip dengan permainan cinta, baru setelah semua tidak mampu
membuat sang istri jera dan bertaubat, syara’ mengizinkan sang suami untuk
memukul yang tidak menyakitkan, untuk menghentikan penyelewengan ini dan
mengembalikan naluri kemanusiaanya yang lari dari dirinya.
Tetapi
apa bukan problem serius pemukulan wanita dibarat?disana penyelewengan moral
malah terjadi pada pihak yang memukul(suami atau teman kumpul kebo), kaum
wanita menjadi obyek penganiayaan dan tak pernah menikmati hak-haknya sebagai
istri atau kekasih kebo, seperti hasil penelitihan Richard F. Jones januari
1993 M, bahwa di Amerika setiap 12 perempuan 2 diantaqranya dipukuli mati atau
luka parah oleh suami atau kekasih kebonya.
1. Poligami
Ini
adalah salah satu tema kesukaan gerakan subversi terhadap islam dan
pecundang-pecundang hak dan martabat kaum wanita, bahwa menurut mereka: kaum
wanita dalam komunitas muslim teraniaya hak-haknyakarena hukum islam yang
diskriminatif terhadap kaum wanita khususnya masalah poligami.
Lantas
apa dan bagaimana poligami itu sebenarnya? Apakah akan memperkeruh atau justru
solusi terbaik dari problematika social kemasyarakatan?
Kemaslahatan
dan undang-undang stimulasi prioritas.
Sudah
sangat popular bahwa hukum-hukum syari’at berdasarkan kemaslahatan umat
manusia, seperti kaidah;
أين وجدت المصلحة فتم شرع الله.
“Dimana ada maslahat disitulah syari’at Allah”.
dan memang selamanya antara maslahat dan mafsadah
saling berkaitan atau mengisi ruang suatu problematika hukum, hanya saja ada
pertautan tingkat urgensi serta emergensi diantara keduanya.
Lihatlah bagaimana Allah mensifati khomr dan
perjudian;
قل فيهما إثم كبير ومنافع للناس (البقرة: 219)
“Katakanlah bahwa keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa
manfaat bagi manusia.”
Juga kemaslahatan hidup jauh lebih besar
urgensinya dibanding keturunan dan harta, dan primer (dhoruri) yang merupakan
salah satu klasifikasi kemaslahatan hidup, akal atau harta lebih berharga
dibanding sekunder (haaji) atau suplemen (Tahsini).
Begitulah
kiranya Allah telah menghendaki manusia tidak akan memperoleh berbagai
kenikmatan-kenikmatan duniawi kecuali ada unsur kotoran dalam takaran besar
atau kecil, juga pertautan berbagai kemaslahatan dalam tingkat urgensi serta
kebutuhan manusia.
Lantas
bagaimana solusi dalam kondisi agar kemaslahatan manusia selalu menjadi titik
dialogis berlakunya syari’at dan undang-undang?. Solusinya adalah menata dan
menyusun berbagai maslahat dan mafsadah sesuai tingkat kepentingan dan
kebutuhan serta seberapa kental campuran yang meresap dari salah satu unsur ini
pada yang lainnya dan inilah yang disebut dengan syri’at Islam dengan kaidah
stimulansi prioritas Sullamul Aulawiyyat.
Ini
adalah kaidah terapan yang praktis dari mayoritas hukum syari’at atau bahkan
semuanya. Ketika terjadi pertentangan antara maslahat syar’i pada tingkat
sekunder dan primer, maka harus mengorbankan sekunder dan membiarkan primer.
Begitu pula bila seorang muslim dihadapkan pada dua pilihan terperosok kepada
mafsadah yang berakibat atau punya efek particular serta mengancam eksistensi
maslahat sekelas suplemen dan terjerumus dalam mafsadah yang punya efek
universal serta mengancam eksistensi maslahat sekelas sekunder atau primer,
maka harus menjauhi mafsadah universal yang mengancam eksistensi maslahat yang
sekelas primer walaupun konsekuensinya harus menyerah pada mafsadah sekelas di
bawah primer.
Telah
kita ketahui bersama bahwa Allah mensyari’atkan nikah untuk kemaslahatan primer
manusia berupa melestarikan jenis makhluk manusia dan menanggung beban tanggung
jawab, membangun keluarga serta mendidik keturunan atau singkatnya program
regenerasi manusia.
Tapi
syari’at Islam juga respek terhadap munculnya situasi, kondisi serta
sebab-sebab yang menjadikan seorang suami tidak merasa cukup dengan satu istri,
problem realistis seperti ini tidak bisa dibantah oleh siapapun, bahkan di
Barat problem seperti ini lebih lantang dan bergelora dibanding dalam komunitas
muslim.
Allah
yang mewajibkan syari’at ini pun tahu bahwa manusia tetaplah manusia yang
sangat potensial melakukan kesalahan dan terjerumus dalam lubang dosa dan
selamanya tidak akan berubah wujud menjadi sekawanan malaikat terjaga (ma’shum)
dari salah dan dosa, karenanya melihat sebab-sebab realistis antara lain;
-
Istri mandul
-
Jatuh cinta pada wanita lain
-
Saudara laki-laki wafat dan meninggalkan anak-anak
kecil dan istri.
Dan
yang paling popular adalah sebab kedua, yaitu jatuh cinta pada wanita lain.
Maka seorang suami dihadapkan pada dua alternatif, pertama; sabar menahan diri
cukup dengan satu istri. Kedua; terperosok dalam jurang perzinaan.
Dan
ternyata realita lapangan berkata, sang suami cenderung memilih alternatif
kedua. Disinilah kontribusi teori stimulansi prioritas dibutuhkan untuk
memelihara kemaslahatan dan menjauhi mafsadah.
Syari’at
Islam telah menetapkan bahwa kalau sang suami terpaksa menjalin hubungan dengan
wanita lain, hendaknya melalui prosedur akad nikah serta memikul tanggung jawab
yang sama seperti istri pertamanya. Mulai mahar, nafkah dan rumah, juga harus
berlaku adil, mengapa?, karena kalau tidak dibatasi prosedur-prosedur nikah,
konsekuensinya terjadi perzinaan yang menimbulkan mafsadah pada wanita kedua
itu sendiri.
Bangsa
Barat cenderung memilih membuka pintu poligami lebar-lebar dihadapan para
suami, tapi tanpa ada batas (lebih dari empat wanita) juga tidak melalui
prosedur seperti nikah serta tidak ada aturan memperlakukan gundik-gundiknya
secara adil dan peradaban seperti ini sangat tidak menusiawi, wanita ini hanya
menjadi pelampiasan nafsu hewannya saja tanpa bisa menikmati hak-haknya secara
adil. Nafkah sebagai jaminan hidup serta anak-anaknya semuanya terlantar
dibiarkan tanpa ada tanggung jawab.
Sekarang
mana peradaban yang mampu menjawab tantangan zaman berupa problem social?
Bangsa Baratkah yang menjadi kiblat sains dan teknologi punya fasilitas canggih
serta perekonomian maju tapi menghadapi problem social seperti ini mereka tuli,
bisu, nalarnya tak berfungsi dan yang berperan adalah naluri hewan.
Cepat
atau lambat kalau bangsa Barat benar-benar ingin menjadi manusia mereka akan
menengok peradaban yang dibawa Rasulullah, peradaban yang bermoral, menjunjung
tinggi harkat dan martabat kaum wanita sebagai sesama manusia bukan dianggap
seperti hewan peliharaan. Inilah peradaban yang paling modern sekaligus
satu-satunya solusi alternatif dari problem social seperti ini.
Kapan poligami dianjurkan?
Anjuran
syara’ berpoligami disertai syarat-syarat yang terbilang berat, antara lain:
istri kedua disendirikan dalam tempat tinggal yang layak, harus sama dalam
nafkah, menginap dan interaksi-interaksi yang lain.
Hikmah
dari syarat-syarat ini:
Pertama : Iklim keadilan lebih menghegemoni dalam hubungan
suami istri dari pada kecemburuan yang menjadi problem rutinitas pasangan suami
istri, dan sekaligus mengarahkanya dalam kompetisi positif untuk mendapatkan
cinta kasih lebih dari suami, agar terwujud keharmonisan dalam rumah tangga.
Kedua : Agar tidak melakukan poligami kecuali bagi
suami-suami yang terjebak dalam posisi kebutuhan sangat primer(dhoruri) yaitu
takut melakukan zina atau mentholaq istri pertama tanpa dosa sekaligus
merobohkan bangunan rumah tangga bersama istri pertamanya, sebab bila poligami
hanya didasari bersenang-senang, akan mengakibatkan beban yang berupa
syarat-syarat diatas terasa sangat berat, faktor kesenangan akan cepat hilang
berganti belenggu yang mencekik impian-impian panjangnya.
Adapun
yang didasari kebutuhan sangat primer takut melakukan dosa besar(zina), situasi
seperti ini (poligami) justru beban terasa ringan dibanding terperosok dalam
lembah kemaksiatan.
Lantas mengapa tidak di syari’atkan
poligami?Apakah wanita juga tidak seperti laki-laki yang merasa cukup dengan
satu suami? Mungkin juga terjadi, tapi yang pasti apakah kesenangan (mut’ah)
harus di kedepankan dengan mengorbankan mashlahat? Ataukah sebaliknya kita
mempertahankan mashlahat, walaupun kesenangan tidak tercapai?
Kita semua tahu bahwa Allah telah menganugrahi
kenikmatan dan kesenangan pada manusia sebagai sarana untuk mencapai
kemaslahatanya, bukan sebaliknya kenikmatan hidup suami istri sebagai sarana
untuk membangun keluarga, kenikmatan makan minum untuk menjaga kesehatan
jasmani, kenikmatan tidur untuk mengembalikan stamina dan kebugaran tubuh,
kalau Allah tidak meletakkan enaknya nikah, makan minum dan tidur, maka manusia
akan sangat berat memikul tugas-tugasnya, bosan serta akan lari dari kehidupan.
Ini
semua karena kesenangan (mut’ah) dalam syari’at Allah bersumber pada
konsekwensi maslahat manusia, bukan sebaliknya. Dari sinilah, landasan kita
berfikir bahwa yang dibutuhkan laki-laki berupa poligami dengan syarat-syarat
dan aturanya tidak mengurangi sedikitpun kemaslahatan keluarga, nasab keturunan
juga terjaga, adapun poliandri akan merusak keharmonisan rumah tangga, dan yang
lebih ngeri akan menimbulkan penyakit-penyakit kronis yang menular pada
anak-anaknya dan otomatis akan merusak hubungan diantara mereka sendiri, juga
akan menimbulkan problem serius sosial masyarakat dikala anak-anak tidak tahu
akan memanggil bapaknya, dan jangan lupa ini terjadi karena wanita-wanita
mengedepankan kesenenganya dengan poliandri atau gonta ganti pasangan.
Syari’at
Islam mustahil menerima metode konyol dan terjungkir seperti ini, dan tidak
mungkin sebuah logika yang berakar dari metode seperti mampu menciptakan
kemaslahatan suatu komunitas masyarakat yang dikorbankan untuk kesenangan
individual, mau atau tidak mau, cepat atau lambat akan bergabung dengan logika
kesenangan pribadi harus dikorbankan untuk mencapai kemaslahatan manusia secara
universal.
Walaupun
demikian, syari’at Islam juga punya solusi alternatif yang tidak mengakibatkan
stabilitas masyarakat dan kemaslahatannya terganggu ketika istri dalam kondisi
kritis tidak terpenuhi kebutuhan biologisnya dari sang suami dipersilahkan
minta cerai dan kawin dengan laki-laki lain dan akan dibela lembaga hakim.
Jadi, dengan begitu hak-haknya terjaga penuh.
5. Thalak (cerai)
Perdebatan
antara Thalak dan Mahar
Sebagian
orang ada yang mempertanyakan di mana ada kesetaraan gender laki-laki dan
perempuan dalam sebuah rumah tangga yang kelestarian keberadaan atau tidaknya
seorang wanita berada di tangan seorang laki-laki?, kalau sang istri bahagia
dan ingin melestarikan bahtera rumah tangganya bersama sang suami, mengapa
tiba-tiba sang suami mentalaknya hanya karena faktor kesenangan atau emosional
tanpa punya hak membantah atau menggagalkan keputusan talak ini?, dan kalau
istri tidak bahagia karena ingin pindah ke lain hati, sang istri tidak punya
hak kecuali sabar menahan diri.
Begitulah
persoalannya, tapi sebenarnya kalau kedua mata mereka dibuka lebar-lebar, maka
akan nampak perbandingan yang sangat adil, mereka hanya melihat pembelaan
syara’ kepada kaum laki-laki dalam masalah talak, mengapa tidak menengok mahar
dan nafkah?, sebab talak erat hubungannya dengan nafkah dan mahar. Di sinilah
letak kesetaraan suami istri, dengan mahar dan nafkah istri diuntungkan, sedangkan
suamilah yang rugi, tapi suami juga punya keuntungan berupa hak mentalak istri
dan istri dirugikan karena tidak punya hak mentalak.
Sekarang
lihat apa syara’ berat sebelah menganiaya hak sang istri?, sebetulnya yang
berhak menyandang predikat menganiaya atau berbuat dholim adalah cara pandang
mereka yang buta.
Aturan talak
Talak
ada yang dikehendaki kedua belah pihak, ini tidak ada problem. Ada juga yang
hanya dikehendaki satu pihak. Di sinilah keharusan hukum adil diantara kedua
pihak.
Talak
yang dikehendaki suami saja istri tidak menyetujui dihukumi sah oleh syara’,
tapi resikonya mahar sepenuhnya milik istri dan suami harus memberi tambahan
(mut’ah) besarnya menurut ketentuan Qodli juga nafkah tetap wajib sampai habis
masa ‘Iddah. Hukum seperti ini akan berubah bila kebetulan istri nusyuz
sebab ada ketetapan hukum sendiri.
Tapi,
bila atas kehendak istri, maka hakim atau qodli harus melihat penyebabnya.
Kalau biang keladinya suami dengan menganiaya atau nusyus pada istri dan tidak
mungkin di rukunkan kembali, maka qodli harus mengabulkan talak sang istri
tanpa mengurangi mahar dan hak-hak istri. Tapi bila penyebabnya perkara sepele,
emosional atau jatuh hati pada laki-laki lain, maka qodli juga harus
mengabulkan permintaannya dengan catatan suami menyetujuinya, tapi resikonya
suami berhak meminta kembali sebagian mahar atau seluruhnya dan ini di sebut Khulu’.
Peradaban Barat dan Talak
Aturan
mahar dan nafkah untuk istri tidak ada di sana. Konsekuensinya talak yang
terjadi di Barat hanya bila dikehendaki suami tanpa ada ganti rugi (mut’ah) dan
lain-lain. Memang di Amerika ada undang-undang bila suami mencerai istrinya
maka istri berhak mendapatkan harta suami (gono gini), tapi realitanya berkata
lain, istri yang dicerai tidak mendapatkan hak ini sama sekali. Mengapa?,
karena perceraian di sana tidak resmi, tidak melalui lembaga hukum. Inilah yang
menyebabkan proses perceraian di sana sangat gampang tanpa ada resiko-resiko
yang merugikan pihak suami. Dan akibatnya istri-istri di sana teraniaya hak-haknya
dan logis kalau grafik angka perceraian di Amerika terus naik. Catatan tahun
1994 saja perceraian menunjuk angka 70% dan sisanya, 30% hanya tinggal
pasangan-pasangan jompo yang mustahil punya keinginan cerai untuk kawin lagi.
Lihatlah,
apakah ini aturan talak paling ideal? Dan apakah itu solusi mereka untuk
menjaga hak-hak wanita, menjamin kesetaraan hak dengan kaum laki-laki?, apa
penyebab utama perceraian di sana?, ternyata hanya faktor bosannya seorang
laki-laki dengan pasangannya dan ingin mencari pengganti yang lebih seksi. Sang
wanita yang malang ini hanya bisa menangis menuntut haknya sebagai istri, tapi
yang diterimanya malah pukulan dan penganiayaan suami, sungguh malang nasib
wanita-wanita Barat.
Itulah
realita peradaban Barat menyikapi dan memperlakukan kaum wanita. Sangat
paradoks dengan apa yang diomongkan penyembah-penyembah peradaban Barat.
6. Persaksian (Syahadah)
Persaksian
wanita tidak luput dari sasaran kritik mereka, kesetaraan gender wanita dan
laki-laki dalam masalah saksi dikubur oleh hukum Islam dengan menggunakan
dalil;
واستشهدوا شهيدين من رجالكم فإن لم يكونا رجلين فرجل
وامرأتان (البقرة: 282)
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang
lelaki diantaramu. Jika tidak ada dua orang lelaki maka boleh seorang lelaki
dan dua orang perempuan.”
Sumber
gambaran pemahaman seperti ini adalah kebodohan kuadrat terhadap hukum-hukum
syari’at Islam. Ini kalau kita berbaik sangka pada mereka yang mengadopsi dan
membela mati-matian pemikiran seperti ini. Jenis kebodohan seperti inilah yang
kita temui dalam masalah waris, yaitu memahami ayat;
يوصيكم الله في أولادكم للذكر مثل حظ الأنثيين
(النساء: 11)
Ringkas
saja, bahwa syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam persaksian tidaklah karena
pertimbangan gen laki-laki atau perempuan dalam diri saksi. Tapi;
Pertama : Keadilan dan kecakapan saksi. Antara saksi dan
terdakwa tidak terjadi konflik dan juga tidak ada ikatan kerabat.
Kedua : Antara saksi dan kejadian ada kaitan erat yang
menyebabkan dia paham betul kronologinya.
Jadi,
persaksian orang yang cacat dalam sifat adil dan kecakapan daya ingatnya tidak
diterima, tidak memandang gen laki-laki atau perempuan. Juga persaksian orang
yang terlibat konflik dengan terdakwa, Karena dimungkinkan ada intrik jahat dan
persaksian yang rentan nepotisme yang ditengarai kekerabatan.
Untuk
masalah Jinayat dan kronologinya wanita tidak boleh menjadi saksi dikarenakan
keterlibatan wanita dalam tindak kriminal dan jinayat pembunuhan sangatlah
langka dan biasanya bila ketepatan dia menjumpai aksi pembunuhan tindakan yang
diambil adalah lari sejauh-jauhnya dan kalau tidak kuasa untuk lari dia
langsung pingsan.
Tapi
syara’ juga memberi nilai lebih pada wanita dalam persaksian masalah-masalah
menyusui, hadhonah, nasab dll. karena wanitalah yang paling banyak berhubungan
dengan masalah seperti ini. Bahkan diriwayatkan dari Imam as-Sya’bi bahwa
beliau berkata; “termasuk yang tidak diterima kecuali dari orang-orang wanita”.
Adapun
masalah Mu’amalah dan urusan perniagaan serta dakwaan-dakwaan dan persengketaan
yang mungkin terjadi antara wanita dan laki-laki punya nilai persaksian yang
sama, hanya saja ketelibatan kaum laki-laki dalam masalah seperti ini lebih
menghegemoni diberbagai komunitas dan dekade zaman. Kalau terlihat kaum wanita
biasanya tugasnya hanya mengurusi administrasi pembukuan seperti sekretaris.
Realita
yang berbicara seperti inilah gambaran abstrak dari hukum syara’ yang memberi
nilai lebih pada kaum laki-laki dengan perbandingan persaksian dua orang wanita
sama dengan keabsahan saksi satu orang laki-laki.
Sekarang
apakah aturan secermat ini diklaim sebagai kesenjangan gender oleh para
penyembah peradaban Barat?, kalau benar kata mereka mestinya syara’ tidak
memprioritaskan wanita dalam masalah nasab, menyusui dan hadhonah, juga
persaksian seorang laki-laki akan diterima oleh syara’ dalam masalah jinayat
walaupun penakut dan idiot. Sebab, kalau terbukti saksinya penakut dan idiot,
maka hakim pasti menolaknya. Jadi, yang menjadi sentral dalam hukum persaksian
adalah antara saksi dengan obyek persaksian (keterlibatan atau keterkaitan
serius), bukan masalah gender.
Adapun
tentang kwantitas wanita yang harus terpenuhi dalam suatu persaksian, ini
karena pertimbangan jenis persengketaan yang terjadi dan ini masuk kategori
ijtihad. Ada riwayat dari Imam as-Tsaury, Abu Hanifah dan murid-muridnya juga
dari Ibnu Abbas ra., Utsman ra, Ibnu Umar, Hasan Basri serta az-Zuhri bahwa
dalam masalah yang biasanya hanya diketahui wanita, satu wanita diperbolehkan
menjadi saksi.
Ada
pertanyaan menarik, apakah peradaban masyarakat yang cenderung dinamis dari
satu kondisi pada kondisi yang lain bisa merubah keputusan hukum ini, semisal
persaksian wanita lebih bernilai dan berbobot di banding laki-laki dalam
sebagian kondisi masyarakat peran wanita sangat dominan di bidang perdagangan
seperti pakaian-pakaian khusus wanita atau sebagian profesi seperti pabrik
farmasi. Di sisi lain peran laki-laki dalam bidang-bidang seperti ini kurang
semarak atau misalnya peran laki-laki sangat dominan dalam bidang kedokteran
specialis kandungan setelah sebelumnya biasanya dimonopoli penuh kaum wanita?.
Jawabannya,
melihat konsekuensi illat hukum diterima atau tidak-nya suatu persaksian
(setelah mengecualikan syarat adil dan kecakapan daya ingat) mestinya hukum
berputar seiring berputarnya peradaban masyarakat sepanjang oleh syara’
dikategorikan mubah.
Jadi
mestinya kaum laki-laki diprioritaskan sebagai saksi dalam masalah kelahiran
(nasab) dan apa-apa yang berkaitan dengan nasab bila profesi dokter specialis
kandungan di dominasi kaum laki-laki, karena sedikitnya atau tidak adanya
dokter-dokter specialis kandungan dari kaum wanita. Juga prioritas persaksian
dalam masalah farmasi, apoteker dan yang kaitannya diberikan kepada kaum wanita
bila profesi seperti ini dimonopoli kaum wanita.
Tapi
perlu diketahui bahwa peradaban masyarakat yang baru bila bertentangan dengan
hukum syari’at itu sendiri, maka hukum asal tidak berubah sebab peradaban
seperti ini tidak berguna dan batil. Seperti ada kecenderungan peradaban baru
sebagian komunitas masyarakat kaum wanita menjadi anggota polisi, berarti kalau
mengikuti konsekuensi illat hukum persaksian wanita boleh menjadi saksi dalam
delik kriminal dan jinayat. Tapi gambaran seperti ini tidak diterima oleh
syara’, sebab syara’ tidak pernah mengakui dan mengesahkan peradaban seperti
ini, karena kalau profesi-profesi seperti polisi dilakoni oleh kaum wanita
mereka akan kehilangan karakter kewanitaannya dan ini penyelewengan
besar-besaran terhadap Allah yang menciptakannya, akibatnya mereka mensabotase
hak-hak kaum lelaki karena kaum laki-laki kehilangan aura kewanitaan kaum wanita.
Dan kalau peradaban seperti ini dilegalkan oleh syara’ tidak bisa dibayangkan
apa yang terjadi pada umat manusia secara universal.
Argumen-argumen
transparan tentang hal ini adalah tidak pernah dijumpai wanita normal karakter
dan psikisnya memasuki profesi seperti ini kecuali situasi dan kondisi yang
tidak bersahabat dan kalau demikian maka kasusnyan seperti wanita-wanita yang
kita lihat menjalani pekerjaan-pekerjaan kasar, sibuk di siang hari menjadi
kuli-kuli bongkar muat atau sopir-sopir taksi.
Terakhir
argumen yang mustahil terbantah adalah kalau unsur gender lelaki atau perempuan
yang bermain di balik keputusan hukum persaksian mestinya dalam masalah
persaksian sumpah li’an, sumpah wanita (istri) sebanyak empat kali senilai
dengan sumpah laki-laki (suami) sebanyak dua kali. Tapi al-Qur’an berkata;
والذين
يرمون أزواجهم ولم يكن له شهداء إلا أنفسهم فشهادة أحدهم أربع شهادات بالله،إنه
لمن الصادقين والخامسة أن لعنة الله عليه إن كان من الكاذبين ويدرأ عنها العذاب أن
تشهد أربع شهادات بالله إنه لمن الكاذبين والخامسة أن غضب الله عليها إن كان من الصادقين. (النور: 6-9).
“Dan orang-orang yang menuduh istrinya berzina padahal mereka
tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian
orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah sesungguhnya dia adalah
termasuk orang-orang yang benar dan sumpah yang kelima bahwa laknat Allah
atasnya jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan
dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya
itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta dan sumpah yang kelima bahwa
laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.”
7. H I J A B
Sebagian
orang berpandangan bahwa syari’at hijab adalah bukti paling besar dari
kesenjangan gender laki-laki dan perempuan, bahkan ada yang menganggap kaum
wanita dihina dan dikebiri hak-hak kebebasannya dengan syari’at hijab.
Kalau
mereka mau berfikir jernih, apa motif syari’at hijab ini akan terpampang jelas
bahwa sebenarnya ini adalah solusi alternatif agar kaum wanita bisa bergabung
total dengan kaum laki-laki membangun komunitas masyarakat dalam berbagai aspek
kehidupan.
Motif disyari’atkan Hijab
Kaum
wanita dan lelaki sama-sama punya hak untuk berpartisipasi dalam berbagai
nilai-nilai luhur kemanusiaan beraneka profesi baik jasa atau materi serta
beragam kegiatan social kemasyarakatan juga dibidang intelektual.
Tapi
wanita lain dengan pria, aura kewanitaan yang tersembunyi dalam setiap
penampilannya yang menawan dan seksi merupakan karakter spesifik kaum wanita.
Aura yang laksana besi magnet inilah yang mempertemukan lelaki dan wanita untuk
memenuhi kebutuhan masing-masing berupa hubungan biologis.
Jadi
kaum laki-laki akan berhadapan dengan kaum wanita dalam suasana yang menuntut
keseriusan total dalam bekerja atau berkarya, saling tukar pemikiran serta
gerakan-gerakan lain untuk membangun peradaban masyarakat, tapi dalam nuansa
lain mereka akan berhadapan dalam suasana romantis memenuhi kebutuhan biologis.
Sekarang
mari kita berpikir sejenak!, bagaimana solusinya agar kedua nuansa ini (serius
dan romantis) terlaksana seperti apa adanya dalam artian nuansa serius tidak
diracuni nuansa romantis atau sebaliknya?.
Akhirnya
sangat logis kalau muncul suatu teori harus ada syarat agar nuansa serius steril
dari berbagai bau romantisme. Sekarang apa syarat itu?, tentu tidak perlu
berpikir panjang, semuapun tahu bahwa harus ada benteng pemisah dari kedua
karakter nuansa kebersamaan itu agar tidak berakibat fatal pada mereka sendiri.
Di
sinilah Islam tampil lantang memberi kontribusi besar pada peradaban manusia
secara universal agar tercapai kemaslahatan yang mereka cita-citakan serta
terselamatkan dari kehancuran moral di saat berbagai idiologi dan ajaran agama
bungkam tak bersuara menghadapi problem krusial publik seperti ini. Islam sejak
munculnya dulu sudah punya peradaban modern yang merupakan solusi dini dari
problem seperti ini, yaitu syari’at hijab.
Sekarang
kita lihat contoh praktek di sekitar kita ketika wanita dan laki-laki bertemu
dalam forum ilmiah untuk memperbaiki peradaban masyarakat atau problem ilmiah
lainnya, situasi seperti ini bagi mereka (kaum laki-laki) yang anti terhadap
syari’at hijab dan batas-batas flexibilitasnya merupakan even menarik dan
menguntungkan sebab akan terpampang di hadapan mereka penampilan cewek-cewek
cakep, dandanannya pun seksi, nampak bagian-bagian tubuh sensitive yang tidak
ditutupi sehingga mengundang birahi pandangan mata-mata nakal tanpa permisi.
Lihatlah
apa kira-kira yang terjadi ketika sang wanita berpenampil-an seenaknya seperti
ini untuk mendiskusikan masalah ilmiah atau problem masyarakat atau terapi
moral?. Yang mesti terjadi adalah mereka kaum lelaki yang melihat dan mendengar
tema ilmiah yang disampaikan sang wanita tergetar perasaan laki-lakinya sekaligus
mengalahkan keseriusan mentelaah argumen-argumen sang wanita.
Ini
contoh kecil, masih banyak kejadian-kejadian serupa bahkan juga yang lebih
konyol dari itu. Apakah problem seperti ini tidak pernah dipikirkan?, pola
hidup model peradaban Barat inilah yang menghancurkan moral manusia dan
berakibat pada eksistensi makhluk itu sendiri, sebab akan menambah problem
social lebih serius berupa pelecehan seksual, pemerkosaan, gonta ganti pasangan
dan akhirnya digerogoti virus HIV yang mengancam populasi hidup manusia.
Syari’at
Islam yang punya terapi sejak dini menjawab semua konsekuensi yang mungkin
terjadi dari pola peradaban seperti ini sebagai bukti dari kecemburuan serius
terhadap martabat kaum wanita serta memasang metodologi praktis yang
menyelamatkan kaum wanita dari perasaan terhina serta menjaga dengan setia
harkat kemanusiaannya yang menjadi modal tunggal untuk bergabung dengan kaum
lelaki dalam berbagai segmen kehidupan dan tentu melawan apa dan siapa saja
yang mencoba mengintimidasi atau memprovokasi kaum wanita.
Teraphy
ini disuguhkan dalam bentuk berpenampilan anggun dan berwibawa sehingga yang
nampak terlihat adalah kemanusiaannya saja yang menjadi bagian tak terpisahkan
dari kaum lelaki dalam suasana yang menuntut keseriusan serta menyembunyikan
dan menutupi rapat-rapat bagian tubuh yang bermasalah dengan pandangan mata.
Tapi penampilan seperti ini juga harus ditinggalkan ketika bergabung dengan
pria dalam nuansa harmonis di bawah naungan sacral akan nikah, saling berbagi
kebahagiaan dengan segala konsekuensi tanggung jawab.
Ada
yang mencoba membantah teori ini dengan argumen, demikian tadi terjadi kalau
wanitanya cantik mempesona seperti yang dicontohkan, tapi kalau sudah tua atau
tidak menarik untuk dipandang walaupun cara berpakaiannya tidak sesuai dengan
kode etik syari’at hijab apakah mungkin terjadi fitnah bagi kaum lelaki?.
Apa
yang masuk dalam kategori memamerkan anggota tubuh yang bermasalah (mafaatin)
adalah perkara yang berstatus relatif dan memang ada pertautan tingkat
pamerannya, dimulai dari pamer rambut, lalu mungkin memanjang dan melebar
sampai sasaran, dan dalam hukum syara’ tidak ada standar untuk membedakan
antara tingkat yang dipamerkan sepanjang semuanya masuk dalam kategori
memamerkan anggota tubuh yang bermasalah.
Dan
anggota tubuh yang bermasalah juga berstatus relatif, terkadang sedikit yang
dipamerkan tidak mampu menggetarkan perasaan kita tapi orang laki-laki yang
duduk disebelah kita terhipnotis dan melayang bersama angan-angan nakalnya. Ada
pepatah Arab kuno;
لكل ساقطة في الحيّ لاقطة
“setiap ada perkara yang jatuh dalam hidup pasti ada orang yang
menemukan”.
Melihat
realita yang tidak mungkin diingkari seperti ini syari’at Islam memberi terapi
universal terhadap berbagai peristiwa dan kejadian tanpa memandang secara
particular terhadap perbedaan-perbedaan yang relatif, dan itulah karakter semua
undang-undang yaitu beridentitas universal sehingga dalam praktek penerapannya
juga harus universal, kalau tidak maka tidak disebut undang-undang.
Karenanya ada kaidah تنزل المظنة منزلة المئنة yaitu dalam tataran penerapan hukum, apa-apa yang bersifat dzon
(mungkin terjadi) dikategorikan benar-benar terjadi (mi’innah) untuk menutup
pintu-pintu kemungkaran dan sebagai langkah antisipasi dini.
Bisa
ambil analog hukum keharaman homer kalau kita membedakan hukum antara peminum
yang bertujuan mabuk dan bertujuan selain mabuk lalu kita bedakan lagi antara
satu atau dua gelas belum mabuk dan hanya satu tenggak sudah mabuk kemudian
dalam penerapan hukum kita klasifikasikan, maka hilanglah karakter
undang-undang dan wibawa hukum syara’ dari hati manusia.
Motif hijab dan pemahaman error
Ada
sebagian asumsi bahwa hijab adalah sarana untuk mendidik anak-anak perempuan
dan sebagai jalur alternatif menuju stabilitas moral ideal dan jauh dari
moral-moral rendah serta penyelewengan-penyelewengan. Kemudian asumsi seperti
ini dikukuhkan sebagai motif (hikmah) disyari’atkannya hijab, setelah itu
mereka ramai-ramai mengkritik habis motif seperti ini, tema pembahasan mereka
gelar panjang lebar untuk mengukuhkan bahwa tidak ada hubungan sama sekali
antara pendidikan jiwa (moral) yang berakar pada pribadi-pribadi manusia dengan
mode pakaian yang disandang mereka. Ada lagi yang meneruskan argumen konyol ini
bahwa anak-anak perempuan yang terdidik dan berkembang dalam lingkungan moral
yang ideal tidak akan berubah seketika menjadi nakal hanya karena mode pakaian
yang disandangnya. Begitu pula anak-anak yang terbiasa menyeleweng dibiarkan
tidak terdidik dengan moral-moral ideal, tidak akan seketika menjadi bermoral
luhur hanya karena jilbab yang panjang dan lebar atau kerudung yang menutupi
sisi-sisi wajahnya atau bahkan cadar yang menutupi total wajahnya, sebab banyak
juga wanita-wanita nakal tapi memakai hijab.
Memang
betul kata mereka, bahwa pendidikan yang bersumber pada rohani tidak ada
sangkut-pautnya sama sekali dengan mode pakaian, dan sampai kapan dan dimanapun
mode pakaian tidak akan mampu mengganti posisi moral dan metodologinya.
Tapi
ulama atau dalil mana yang mengatakan bahwa motif syari’at hijab adalah standar
moral serta sarana pendidikan kelakuan baik untuk anak-anak perempuan?
Motif
syari’at hijab dalam logika al-Qur’an adalah
ياأيها
النبي قل لأزواجك وبناتك ونساء المؤمنين يدنين عليهن من جلابيبهن ذلك أدنى أن
يعرفن فلا يؤذين (الأحزاب 59 )
“hai Nabi katakanlah pada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu
dan isteri-isteri orang mukmin hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh
tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal. Karena
itu mereka tidak diganggu”.
"ذلك أدنى أن يعرفن فلا
يؤذين" inilah hikmah hijab, bukan
seperti yang dikatakan para penyebah peradaban barat itu, yaitu agar
tersembunyi ” أدنى أن يعرفن” organ-organ sensualnya yang menimbulkan rangsangan seksual
kaum lelaki yang melihatnya dan yang nampak hanya kemanusiaanya saja seperti
yang telah mereka kenal, maka “فلا يؤذين “ tidak terjadi pelecehan seksual yang menghina dan menyakiti
kaum wanita, ahirnya yang dilihat kaum lelaki hanya kemanusiaannya sebagai
partner tugas-tugas yang menjadi tanggung jawab mereka, partner kerja, studi
atau tugas-tugas sosial lainnya.
Jadi
motif sentral hijab bukanlah menjembatani kaum wanita menuju beretika luhur
tapi justru sangat membantu kaum lelaki untuk bermoral luhur ketika melihat
kaum wanita, sehingga nuansa serius yang mereka gagas bersama steril dari
berbagai bau romantisme.
Sekarang
seandainya diantara wanita-wanita nakal itu ada yang mode pakaiannya sesuai
kode etik hijab, tapi apakah logikanya berkonsekuensi terhadap pendeskreditan
dan penghinaan syari’at hijab yang memberi karakter wibawa pada pemakainya?
Kalau
dijawab ya, maka pameran tubuh seksi atau semi pameran lebih berhak untuk
ditentang dan dihina. Sebab wanita-wanita nakal yang kecanduan pamer atau semi
pamer lebih banyak jumlahnya dibanding dengan yang berpenampilan anggun,
berwibawa karena memakai hijab.
Walaupun
realita berbicara seperti itu, sungguh sangat aneh para penyembah peradaban
barat ini tidak bosan-bosan mencurigai dan me-musuhi hijab. Tapi mengapa
wanita-wanita yang doyanannya pamer, penampilannya membangkitkan birahi
dibiarkan lalu-lalang begitu saja menghabisi moral kaum laki-laki? Mengapa
bukan mode pakaian semacam ini yang dicurigai sebagai momok utama hancurnya
moral manusia?.
Apakah hijab merintangi kemajuan kaum wanita?
Apakah
benar asumsi bahwa hijab menghalangi kemajuan pemberdayaan wanita serta
mengurungnya dalam penjara kebodohan dan keterbelakangan?, apa hubungannya antara
dua topik ini bila jawabannya ‘ya’? .
Jawaban
pemikiran obyektif independen mengatakan, tidak ada sangkut paut antara hijab
sebagai salah satu mode pakaian manusia yang disyari’atkan Allah dengan
kemajuan atau keterbelakangan suatu peradaban. Tidak akan pernah terjadi
kapanpun dan dimanapun mode pakaian yang dikenakan wanita, panjang pendeknya
atau lebar sempitnya punya pengaruh terhadap cara berpikir atau peradaban
manusia.
Lantas
dari mana dan kapan munculnya pemikiran yang tidak pernah diketahui dunia dan
sejarah seperti ini?, ya memang mereka yang mengidentikkan hijab dengan
keterbelakangan bermaksud bahwa hijab yang mengurung dan mempersempit kaum
wanita yang dikenal dengan sebutan ‘dipingit’ serta terlalu berlebihan cara
memakai hijab sampai melebihi batas kewajaran yang diwajibkan sampai akhirnya
benar-benar terpasung dari komunitas masyarakat dan hak-hak berpikir, berkarya
dan belajar dan memang di antara masyarakat ada yang bermadzhab ekstrim dalam
memahami perintah menutup aurat wanita, tapi pada masa sekarang sangat sedikit
kelompok ini. Karakter pemahaman ekstrim inilah yang menyeret pada
keterbelakangan secara riil dan sangatlah dholim kalau Islam harus menanggung
akibat dari pemahaman berlebihan terhadap hukum syara’.
Batas
aurat wanita yang harus ditutupi sangat jelas dalam al-Qur’an.
ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها (النور: 31)
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang
biasa nampak daripadanya.”
lafadz;
ما ظهر
منها seperti kata Jumhurul Ulama’
adalah wajah dan kedua dan telapak tangan dan batas seperti ini tidak menghalangi
wanita dalam berbagai kegiatan ilmiah atau sosial kemasyarakatan. Adapun
melebihi dari batas itu dengan alasan wira’I atau lainnya Islam tidak
bertanggung jawab terhadap pemahaman seperti itu.
Dan
sudah maklum bahwa ketika seorang wanita mengetahui diantara kelompok lelaki
ada yang melihat wajahnya dengan pandangan nakal (tidak memalingkan pandangan
seperti perintah Islam), maka bagi sang wanita berkewajiban dari terus-terusan
memandang yang berhukum haram ini. Kalau tidak mungkin, maka seperti kata mayoritas
fuqaha’ wanita harus menutupi wajahnya dengan jalan apapun.
Tapi
teori seperti ini sangat sulit dan langka, secara umum biasanya wanita tidak
bisa mengetahui dengan transparan apa motif kaum lelaki melihatnya?, dan yang
harus dilakukan wanita adalah tidak boleh meneliti pandangan mata kaum lelaki,
kemudian dasar-dasar agama memerintahkan kita untuk selalu berbaik sangka pada
semua manusia dan menta’wili tingkah laku serta aksi-aksi mereka pada
tujuan-tujuan normal dan wajar.
Kalau
begitu, dari mana dia sekarang bisa tahu bahwa diantara kaum lelaki ada yang
melihatnya dengan pandangan nakal?.
Egoisme kaum laki-laki motif mereka menentang
menjaga kehormatan wanita (hijab)
Apa
motif sebagian kaum lelaki yang mempropagandakan pembebasan kaum wanita dari
batas-batas kehormatan (hijab) sesuai dengan kode etik syara’?, apakah
kecemburuan hak terhadap kemaslahatan masyarakat dan upaya membebaskan diri
dari ketertinggalan serta bangkit menuju kemajuan dan peradaban luhur?.
Kalau
seandainya motif mereka itu kecemburuan terhadap peradaban masyarakat atau kaum
wanita dapat diyakini argumen seperti ini sangatlah ekstrim dan bagi yang
berpendapat dan memperjuangkan bahwa inilah pemikiran yang benar akan menarik
perhatian banyak orang untuk ditertawakan karena sangat lucu.
Coba
kita angan-angan, orang yang menghadiri acara pertunjukan kesenian yang inti
acaranya adalah tampilan-tampilan atraktif yang mengundang fitnah, apakah
diantara kita ada yang ragu bahwa mereka yang datang hanya ingin memuaskan
nafsu nakal mereka. Realita seperti inilah yang dipertontonkan egoistic mereka,
apakah diantara mereka yang berakal ketika melihat acara seperti ini dan
bersorak kagum di hati dan akalnya terpendam rasa mengasihani mereka (penari
atau penyanyi wanita) sera cemburu terhadap kemaslahatan-kemaslahatan mereka
dan rela mengorbankan diri demi mereka?. Seperti yang kita lihat realitanya
tidak lebih dari mementingkan diri sendiri dengan cara memperbudak orang lain.
Sekedara
contoh, orang yang terpana kagum dengan sebuah bangunan rumah akan berusaha
dengan sekuat tenaga untuk memilikinya serta perabot-perabot lux sebagai
penyempurna. Begitu pula orang yang kagum pada seorang wanita berusaha
menyambung hubungan kasih dengan sang wanita dan berusaha agar sang wanita
selalu tampil di hadapannya dengan dandanan yang paling seksi. Ini semua adalah
aksi-aksi yang dilandasi egoisme, memuaskan kesenang-an pribadi. Apakah
demikian ini bisa dikategorikan sifat luhur manusiawi dan cinta sejati?, omong
kosong dan sangat lucu. Cinta sejati adalah memperlakukan mereka yang dicintai
seperti dia memperlakukan dirinya sendiri. Adapun mereka dijadikan alat pemuas
nafsu dan kesenangan pribadi, ini bukan cinta tapi egois dan lagi-lagi kaum
wanita yang menjadi korban pelecehan seksual atau pemerkosaan atau terbius
dengan rayuan gombal laki-laki buaya.
Dan
dalam masalah ini antara lelaki dan perempuan sama-sama egois demi kepentingan
mereka sendiri-sendiri. Tetapi lelaki dengan kekuatan tipu daya dan
rayuan-rayuan gombalnya mampu mengalahkan dan memperoleh apa yang diinginkan.
Adapun wanita karena keberanian yang dilandasi sifat lemah dibuat mabuk dengan
setumpuk impian-impian palsu dan setelah sadar baru dia tahu kenyataan pahit
yaitu mereka, kaum lelaki, telah memperoleh apa-apa yang mereka inginkan sedangkan
dia tidak mendapat apa yang dia inginkan dari mereka.
Jadi
jelaslah bahwa apa yang disyari’atkan Allah berupa hijab sebagai identitas
kehormatan kaum wanita bukan untuk menurunkan derajat wanita, tapi malah
sebaliknya, karena aturan hijab inilah yang menjaga dan membantu
terselenggaranya kebersamaan lelaki dan wanita sebagai partner kerja di
berbagai bidang, sedangkan penampilan tanpa hijab justru yang menurunkan
derajatnya dan hanya menjadi perempuan-perempuan penghibur dan media rekreasi
para lelaki.
Nash-nash hadits yang potensial untuk disalah
pahami
1.
Riwayat Bukhori dan Muslim dari Abu Sa’id al-Khudzri bahwa Rasulullah berkata
pada sekelompok wanita dalam hadits yang panjang;
...ما رأيت من ناقصات عقل ودين
أذهب للب الرجل الحازم من إحداكن.
“Aku tidak melihat orang-orang perempuan yang kurang akal dan
agamanya yang mampu mengalahkan hati lelaki yang kuat dari salah satu dari
kalian.”
Dalam
hadits ini Rasulullah memberikan orientasi sederhana sesuai dengan situasi dan
kondisi tidak bisa dipahami bahwa sifat kurang akal kaum wanita menjadi inti
dalam hadits ini, sebab sangat kontradiksi dengan kemampuan yang dimiliki
wanita yaitu mengalahkan akal kaum lelaki dan sekaligus menjatuhkan hati lelaki
yang kokoh dan yang punya pengaruh luas. Orientasi ini seperti perkataan
seseorang pada temannya, ‘kecil’ atau ‘gampang’ sebagai ungkapan mudahnya suatu
perkara atau urusan yang orang-orang lain tidak ada yang mampu menanganinya.
Berarti
hadits ini tidak bermaksud mendiskriminasikan kaum Hawa, sebab dalam hadis juga
disebut kekaguman Rosulullahterhadap kekuatanya menaklukkan kaum Adam, kita
semua tahu dalam materi dasar atau ilmu psikologi bahwa wanita lebih kuat
perasaanya dan lebih lemah daya pikirnya dibanding laki-laki dan lelaki lebih
kuat daya pikirnya serta lebih lemah perasaannya dibanding wanita dan semuapun
tahu bahwa inilah rahasia kebahagiaan yang didamba-dambakan laki-laki dan
perempuan.
Seandainya
wanita itu seperti laki-laki dalam kesabaran menghadapi masalah-masalah yang
membutuhkan pemikiran-pemikiran yang dalam,miskin perasaan, maka celakalah kaum
lelaki yang selalu di buat gersah dan bosan hidup bersamanya, dan ahirnya
kebahagiaan malah di dapat ketika menjahui wanita.
Begitu
pula bila lelaki seperti wanita dalam kehalusan perasaan dan kelemahan
berfikir, maka celakalah kaum wanita karena perlindungan dan pembinaan yang dia
dambakan tidak didapatkannya dan tentu wanita tak betah hidup bersama lelaki.
Itulah
hikmah Robbaniyyah,agar masing-masinh lelali dan wanita menjadi penyempurna
dari kekurangannya yang ada, dan disilah logika kesetaraan gender hakiki antara
keduanya.
Terkadang
ada kelainan dalam sunnah robbaniyah ini, ada sebagian lelaki yang punya sifat
sangat berperasaan dan sering mengeluh menghadapi masalah-masalah yang sulit,
demikian ini menurut ulama’ dikategorikan ”kelainan”.
Demikian
juga kelainan seperti ini terkadang nampak pada sebagian wanita,ada gadis yang
selalu tak puas kecuali menangani masalah-masalah falsafah dan
pemikiran-pemikiran rumit lainnya, dan perasaan kewanitaannyapun hilang entah
kemana. Dan kelainan-kelainan seperti itu tak mungkin dijadikan standar hukum.
Kemudian
bila kita renungkan sabda Rasulullah tadi nampak ada dua perkara yang saling
berhubungan dalam pribadi dan kehidupan wanita terjadi dialog interaktif yang
merupakan titik kebahagiaan wanita dan lelaki. Rasulullah memberi karakter
wanita lemah daya fikirnya, kemudian dalam waktu yang bersamaan beliau
mengaguminya karena punya karakter super power yang dengan mudah mampu
menundukkan lelaki sekuat dan sebesar apapun pengaruhnya.
Wanita
selalu berharap kehadiran seorang lelaki sebagai partner hubungan biologis juga
pelindungan dan pembinaan. Berarti logis kalau wanita lebih lemah dari lelaki.
Tidaklah berlebihan kalau dipaham bahwa senjata ampuh wanita tersimpan dalam
karakter kelemahannya dan kekuasaannya terhadap lelaki tersembunyi dalam
perlindungan lelaki dan butuhnya wanita terhadap kehadiran lelaki.
Konsekuensinya lelaki harus lebih kuat secara fisik dan lebih luas daya
berfikirnya dibanding wanita.
Mungkin
terkesan subyektif kalau yang berbicara seperti ini seorang lelaki, lebih
obyektif kalau kita simak uraian penulis wanita Jerman, Ester Vieler dalam
bukunya Hak Lelaki Berpoligami; ”kalau kekuatan fisik patut digunakan
sebagai alat untuk menekan dan menguasai strata komunitas masyarakat tertentu,
maka kekuatan ini tak berfungsi untuk menunjukkan lawan jenis. Seseorang yang
mampu menjatuhkan dan menundukkan orang lain sebenarnya adalah orang yang lemah
yang membutuhkan bantuan, bukan profil yang kuat fisiknya sebab selamanya orang
yang jatuh cinta tidak pernah berkuasa tapi yang punya kekuasaan adalah orang
yang digandrungi.”
Dalam
bukunya dia banyak berkomentar bahwa wanita tidak jatuh hatinya kecuali pada
lelaki yang lebih tajam kecerdasannya dan di sisi sang lelaki dia nampak tolol
dan tulus hati, sebab inilah modal utama-nya untuk mendapatkan perlindungan
dari lelaki. Dia menuntut perlindungan dan pembinaan terlebih dahulu setelah
itu baru tuntutan hubungan biologis.
Penulis
ini menguatkan argumennya dengan menyertakan polling beberapa kaum wanita dan
yang popular di kalangan kaum wanita adalah komentar mereka bahwa lelaki yang
kudamba adalah yang mampu melindungiku. Lelaki tidak bisa menjadi pelindung
kecuali berpostur lebih tinggi dan lebih kuat fisiknya serta lebih cerdas. Ada
komentar lain bahwa lelaki yang ku idamkan adalah lelaki yang bisa kujadikan
bernaung postur tubuhnya serta kuangkat kedua mataku untuk menyaksikan
wajahnya.
Sekarang
apakah yang dikatakan Rasulullah kepada wanita dalam hadits tadi tidak lebih
dari komentar wanita-wanita dalam buku Ester Vieler?. Sungguh aneh para
penyembah peradaban Barat ini, mereka menyabotase hadits Rasulullah yang
rasional ini dengan memotong sebagian hadits, lalu ramai-ramai mengkritik Islam
habis-habisan sampai akhirnya mereka tahu apa yang dikatakan penulis-penulis
ilmu psikologi dan melihat tulisan seperti tulisan wanita Jerman ini mereka
bungkam seribu bahasa dan menyimaknya dengan penuh hormat dan setuju atau
bahkan mungkin mensakralkannya.
Sekarang
mengapa wanita dalam terusan hadits juga dikatakan kurang agamanya?, istilah
kurang agamanya terkadang dikehendaki sedikitnya beban kewajiban karena
sebab-sebab tertentu dan memang beban wanita tidak seperti lelaki yang
mukallaf, juga terkadang diartikan meremehkan atau tindakan semaunya sendiri
terhadap kewajiban-kewajiban agama.
Anak
yang belum baligh diberi predikat ‘kurang agamanya’, tapi bukannya dia
menanggung dosa-dosa keteledoran terhadap kewajiban agamanya, bahkan terkadang
dia lebih banyak menunaikan kewajiban dan kesunahan dibanding orang dewasa
hanya karena melihat dia belum terbebani melakukan perintah-perintah agama,
maka sang anak ini disebut kurang agamanya dengan menggunakan arti yang
pertama.
Orang
yang meremehkan perintah dan hukum Allah, menerjang larangannya juga disebut
kurang agamanya, tapi di sini dikehendaki dia sengaja teledor dalam menjalankan
ajaran agamanya, maka dia menanggung dosa atas kecerobohannya. Ini yang dikehendaki
dengan arti yang kedua.
Berarti
yang dikatakan Rasulullah dalam hadits Naqishotu Dinin adalah makna yang
pertama, bahwa kaum wanita diberi dispensasi terhadap sebagian kewajiban agama,
wanita tidak diperintah sholat ketika haidl dan nifas sekaligus tidak wajib
menqodloi, tapi tidak mengurangi sedikitpun pahalanya. Masalahnya bukan karena
keteledorannya, tapi merupakan dispensasi Allah.
Wanita
dalam kondisi seperti ini disifati kurang agamanya yaitu berkurang beban
kewajibannya, bukan karena keteledorannya karena dia tidak punya pilihan lain
terhadap apa yang telah ditakdirkan Allah.
Dalil
paling transparan bahwa pahala lelaki dan perempuan yang selalu taat dengan
ajaran agama sama antara lain;
فاستجاب
لهم ربهم أني لا أضيع عمل عامل منكم من ذكر أو أنثى بعضكم من بعض (آل عمران: 195).
“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya dengan
berfirman; Sesungguhnya aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal
diantara kamu baik laki-laki atau perempuan karena sebagian kamu adalah turunan
dari sebagian yang lain.”
ومن يعمل
من الصالحات من ذكر أو أنثى وهو مؤمن فأولئك يدخلون الجنة ولا يظلمون نقيرا
(النساء: 124).
“Dan barang siapa yang mengerjakan amal-amal sholeh baik
laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman maka mereka itu masuk ke
dalam surga dan mereka tidak dianiaya sedikitpun.”
Firman
Allah tadi disyaratkan amal sholeh, sedangkan wanita dalam kondisi nifas dan
haidl terhalang melakukan amal sholeh paling penting yaitu sholat.
Konsekuensinya dia tidak mendapatkan pahala seperti kaum laki-laki.
Jawabannya,
patuh terhadap perintah-perintah Allah untuk mendapatkan ridlo-Nya adalah
sumber memperoleh pahala. Patuh bisa direalisasikan dengan perbuatan positif
juga mungkin berupa aksi negatif. Wanita yang telah diperintahkan meninggalkan
sholat dalam kondisi haidl tetap mendapatkan pahala karena menunaikan perintah
ini selama niatnya patuh kepada perintah Allah.
Banyak
diantara kaum wanita yang kepingin hadir melakukan sholat Tarawih, tapi karena
dalam kondisi haidl, maka dengan berat hati tidak bisa menghadirinya karena
menjauhi kemurkaan Allah dan patuh pada perintah-Nya serta ingin mendapatkan
ridlo-Nya. Tidak diragukan bahwa sikap wanita seperti ini adalah ibadah bahkan
ubudiyah haqiqiyah karenanya dia mendapatkan pahala dan hanya Allah yang tahu
besarnya, kalau tidak demikian, lantas apa artinya sabda Rasulullah SAW.;
إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ ما نوى
“Semua amal dianggap sah sebab ada niat, dan siapa
saja akan mendapatkan apa yang diniatinya.”
إن الله لا ينظر إلى صوركم ولا إلى أعمالكم ولكن
ينظر إلى قلوبكم.
“Sesungguhnya Allah tidak melihat rupamu dan amalmu, tapi
hatimu.”
Jelaslah
bahwa Rasulullah realistis sekali menyikapi kaum wanita tidak diskriminatif
seperti kata para penyembah peradaban Barat.
2.
Riwayat Ahmad dan Nasa’i dari Anas bin Malik.
لو كنت آمرا بشرا يسجد لبشر لأمرت المرأة أن تسجد
لزوجها لعظم حقه عليها.
“Seandainya aku memerintah manusia bersujud kepada manusia maka
aku akan memerintah wanita sujud pada suaminya karena besarnya hak suami
terhadapnya.”
Hadits
ini dipahami bahwa wanita (istri) tidak lebih dari seorang budak yang harus
tunduk pada lelaki (suami), berarti kesetaraan gender antara lelaki dan
perempuan dihapus oleh hadits semacam ini. Karena keluarga menurut konsep
hadits ini berdiri di atas dua pondasi utama yaitu tuan dan budak.
Mestinya
sebelum mereka mengkritik harus respek dengan apa substansi, tema hadits tadi.
Rasulullah dalam hadits ini mengingatkan para istri terhadap hak-hak suami,
berarti agar tidak terjadi pemahaman berat sebelah mereka harus juga melihat
nash-nash hadits yang mengingatkan para suami terhadap hak-hak istri seperti;
إنما النساء شقائق الرجال ما أكرمهن إلا كريم وما
أهانهن إلا لئيم (رواه أحمد).
“Wanita adalah saudara kandung para lelaki, tidak akan
memuliakannya kecuali lelaki yang mulia dan tidak akan menghinakannya kecuali
lelaki yang hina.”
خيركم خيركم لأهله وأنا خيركم لأهلي (رواه ابن ماجه
والحاكم)
“Sebaik-baik kamu adalah mereka yang paling baik kepada
istrinya, dan aku adalah orang yang paling baik kepada istriku.”
أكمل المؤمنين إيمانا وأقربهم مني مجالس ألطفهم
بأهله (رواه الترمذي والحاكم)
“Mu’min paling sempurna imannya dan lebih dekat denganku
kedudukannya adalah mereka yang paling lembut dengan istrinya.”
ألا
استوصوا بالنساء خيرا فإنما هن عوان عندكم أخذتموهن بأمان الله واستحللتم فروجهن
بكلمة الله إن لكم عليهن حقا ولهن عليكم حقا (رواه ابن ماجه والترمذي)
“Ingatlah, agar kalian berwasiat baik terhadap para wanita
karena mereka adalah tawanan di sisi kalian. Kalian mengambilnya dengan amanat
dari Allah dan menghalalkan farjinya dengan kalimat Allah. Sesungguhnya kamu
punya hak terhadap mereka dan mereka juga punya hak dari kalian.”
Sekarang
lihatlah apa hasil pendidikan dari wasiat-wasiat Rasulullah terhadap wanita
dalam menjaga dan melayani suaminya juga wasiat Beliau pada kaum lelaki agar
memperhatikan hak-hak isterinya.
Yang
terjadi adalah masing-masing suami dan isteri saling berkompetisi dengan
tugas-tugasnya untuk menarik hati pasangannya. Kedua pasangan ini memulai benih
cinta kasihnya sejak mereka hidup sebagai suami isteri, tapi tidak lama
kemudian benih ini membesar berkembang dan berbuah secara sempurna layaknya
sebuah pohon yang selalu dirawat dan disirami.
Berbeda
dengan kehidupan pasangan yang lari dari tuntunan Rasulullah, tidak taat pada
ajaran-ajaran Islam, cinta kasih sudah dimulai sejak mereka pacaran dan ketika
nikah benih ini sudah membesar, tapi tidak lama kemudian mengecil dan terus
mengecil hingga ahirnya api cinta redup dan mati, sehingga hubungan mereka
menjadi biasa-biasa saja tanpa kasih sayang, ini kalau tidak terjadi
pertrikaian dan problem lain yang merobohkan bangunan rumah tangga.
3. Riwayat
an-Nasa’i dan Ahmad.
حبب إلي من دنياكم الطيب والنساء وجعلت قرة عيني في
الصلاة
“Aku menyukai dari dunia kalian,wangi-wangian, wanita dan hatiku
sangat tentram ketika melaksanakan sholat”.
Mereka
yang kenyang dengan ilustrasi rendah terhadap makna cinta dan mereka yang
menyembah peradaban barat pastilah mengukuhkan Rasulullah sebagai salah satu
“Pangeran Cinta” yang melanglang buana mencari di mana para srikandi berada.
Sebaliknya
diantara cendikiawan Islam yang ekstrim ada yang menutup mata dari
hadits-hadits seperti ini atau pura-pura tidak tahu agar tidak terperosok dalam
pemahaman yang berbahaya. Dan sikap pura-pura tidak tahu sebagai buah dari
pemikiran ekstrim ini justru lebih berbahaya dibanding mereka yang merendahkan
ilustrasi cinta.
Hanya
saja sebenarnya kalau mau mentelaah biografi Rosul;ulloh mulai awal sampai
ahir, mereka tidak akan lari dari pemahaman bahwa yang dikatakan Rasulullah ini
membawa kita pada salah satu idealisme baru dari etika-etika luhur Beliau yang
terkenal dan memalingkan pandangan kita pada fenomena tiada dua dari luhurnya
sifat kemanusiaan dan fitroh Beliau, bahkan akan terpampang sisi paling urgent
dari risalah kenabian yang diutus kepada ummat manusia sebagai guru dan
pembimbing.
Kesimpulannya
bahwa Rasulullah untuk menyempurnakan ahlak mulia seperti dikatakan oleh Beliau
semdiri, dan sudah maklum bahwa manusia menjalani hidup atau interaksinya
dengan sesama tidak lepas dari dua alternatif yaitu metode negatif yang merusak
serta metode positif yang membangun. Sedangkan inti dari diutusnya Rasulullah
adalah agar manusia melakoni hidup mereka dengan metodologi yang paling ideal
yaitu metode positif yang membangun dengan berbagai sabda-sabda Beliau yang
menasihati serta praktek-praktek amaliah sebagai penerjemah.
Bangsa
Arab pada masa diutusnya Rasulullah sudah mengenal nilai luhur dan sifat
ksatriaan, keberanian serta kemuliaan.akan tetapi mereka memperlakukan
nilai-nilai ini dengan metode negatif yang merusak. Kemuliaan menurut mereka
adalah nilai luhur yang sangat besar, tetapi mereka tidak faham cara menjaga
kemuliaan kecuali dengan jalan merusak kemuliaan itu sendiri.
Mereka
terkenal sebagai bangsa yang punya perasaan cinta berlebih terhadap wanita, dan
mendemontrasikannya secara ramai-ramai dalam berbagai syair-syair mereka
tentang cinta. Hanya saja lagi-lagi mereka salah jalan. Metode yang mereka
tempuh kental dengan egoisme dan asusila.
Cinta
seorang pria Arab terhadap wanita pada masa jahiliyah adalah terjemahan
kebutuhan sang pria pada hubungan biologis hingga terpenuhi dan puas dengan apa
yang diinginkan, sang wanita berubah seperti seongkok barang yang di buang di
pojok-pojok rumah, di miliki tidak pernah memiliki, menurut tidak pernah diturut,
melayani hak laki-laki tidak pernah diperdulikan hak-haknya, seperti kata
mereka bangsa Arab;
إنما أنت لعبة في زاوية الدار يتمتع بك المحتاج
“kamu (wanita) hanyalah boneka yang berada di pojok rumah yang
dinikmati siapa saja yang membutuhkan”
Diutusnya
Rasulullah adalah untuk menata dan membenahi peradaban serta menampakkan sisi
kemanusiaan yang benar dalam menyikapi hubungan dan pemahaman yang terjungkir
seperti ini. Dan yang paling berbahaya dari peradaban Arab waktu itu serta yang
menuntut secepatnya diberi terapi adalah hubungan antara lawan jenis serta azas
cinta kasih yang terjalin antara mereka.
Metode Rasulullah dalam membenahi
peradaban ini tidak cukup hanya dengan wasiat-wasiat atau ajaran-ajaran
teoritis, tapi yang paling dominan adalah suri tauladan, dan inilah rahasia
mengapa Allah membentuk pribadi Rasulullah sebagai panutan paling ideal moral
manusia serta dalam hubungan masyarakat dan menjaga hasrat manusia sesuai
dengan jalaur yang wajar.
Sekarang
pandangan kita tertuju pada Rasulullah bagaimana cara Beliau mencintai wanita
dlam sabda Beliau : حبب إلي من دنياكم الطيب
والنساء dan
di sana kita lihat bagaimana Beliau meletakkan cinta pada tempat yang luhur,
juga kita lihat bagaimana Beliau menerjemahkan cinta dalam hubungan
kemasyarakatan yang sekaligus derajat kaum wanita, dan sebagai partner kaum
laki-laki untuk selalu take and give secara adil, menerima waris dan diwarisi
dan berhak menerima gaji atau upah atas hasil karyanya dan pekerjaannya seperti
kaum laki-laki.
Begitulah
Beliau memperlihatkan rasa cinta pada wanita secara terang-terangan sebagai
media transparansi praktis kepada ummat manusia bagaimana seharusnya hubungan
lelaki dan wanita dalam naungan fitroh dan hasrat kemanusiaan. Dan sebagai
panutan ummat manusia tidak mungkin terealisasi secara optimal hanya dengan
metode nasehat dan teori-teori, tapi harus terwujud dan nampak dalam bentuk
pola dan prilaku hidup.
Kemudian
coba kita angan-angan dalam tafsir praktek cinta Rasulullah terhadap wanita
disela-sela hubungan Beliau dengan isteri-isterinya, apakah ada cacat atau
menurunkan derajat moral Beliau pada berbagai metode atau prilaku hidup yang
dianggap rendah oleh berbagai dasar-dasar kemanusiaan atau nilai-nilai etika
dan atau hukum-hukum Islam?.
Kalaulah
cinta Beliau didasari kesenangan dan hawa nafsu pasti akan nampak jelas dalam
segi ekonomi keluarga Nabi sehari-hari dan tidak akan pernah kita lihat cara
Beliau bersama isteri-isterinya yang didasari zuhud, juga tidak pernah terjadi
Beliau menyuruh isteri-isterinya memilih antara hidup bersama Rasulullah dengan
ekonomi pas-pasan serta memilih kehidupan akherat yang abadi atau kemewahan
hidup tapi konsekuensinya ditalak Rasulullah.
Kalau Islam berkomentar dengan logika yang dikenal manusia tentang
pribadi dan berbagi keistimewaan menonjol Rasulullah pastilah akan berkata
bahwa : anatomi jasmani dan rohani Rasulullah tersusun dari cinta. Dan kalau
cinta ini berkomentar dangan logika manusia tentang kesenangan-kesenangan yang
bersifat fitroh Beliau yang tidak dicampuri hawa nafsu pastilah akan berkata
bahwa: Kesenangan Beliau yang paling ideal nampak jelas dalam cinta Beliau.
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer
0 komentar:
Posting Komentar