Kesetaraan Gender dalam Islam

Rabu, Maret 21, 2012


KESETARAAN GENDER
Prolog
Hukum-hukum tentang wanita sudah ada sejak datangnya Islam itu sendiri, jadi hukum-hukum ini bukan produk dari suatu dinamika peradaban manusia pada periode tertentu atau revolusi kemanusiaan dan atau peradaban manusia terkini. Kendati demikian tidak pernah terdengar kritik terhadap hukum-hukum ini dengan kedok mengangkat dan membela martabat dan hak-hak wanita kecuali pada masa-masa ini. Apa sebab?.
Apakah generasi-generasi terdahulu sedikit sekali perhatiannya terhadap wanita dan kemaslahatannya?, ataukah pembahasan beliau-beliau kurang mendetail seperti para pemikir dan penulis sekarang bahwa Islam sangat deskriminatif terhadap hak-hak dan kewajiban wanita?.
Yang pasti bukan ini dan itu. Penyebab utama adalah “Barat”, dahulu mereka tidak sempat membuat strategi tipu daya terhadap Islam, karena sibuk membenahi peradaban dan segudang problem mereka serta berupaya merapatkan barisan yang kocar kacir, baru ketika mereka mampu bangkit dari keterpurukan dan sadar dari tidur panjangnya mereka melihat bahwa Islam adalah ancaman serius dari eksistensi peradaban baru mereka. Kemudian dengan segenap potensi yang dimiliki, mereka berupaya membakar dan menghancurkan benteng pertahanan terkokoh yang melindungi umat Islam dari serangan musuh yang mengepungnya atau menyusup ke dalam. Benteng itu adalah Islam dengan segenap idiologi-idiologi praktis yang tertancap kuat mencakup alam, manusia dan kehidupan serta doktrin-doktrin hukum terapan yang relevan dan kondisioner dengan peradaban manusia.
Tokoh-tokoh Barat melihat bahwa media edukasi adalah gelanggang paling ideal untuk menindaklanjuti strategi busuk ini dan misi yang telah tertata rapi juga akan menuai hasil yang memuaskan. Kemudian mereka berpikir kembali dan akhirnya berkonklusi bahwa wanita adalah senjata paling ampuh untuk urusan edukasi dan melepaskan peran edukasi Islam yang biasa dinikmati generasi muslim.
Tapi, bagaimana metode penggunaan amunisi ini?, metodenya adalah mereka (Barat) memprovokasi pemahaman wanita tentang Islam dan norma-norma luhurnya dengan argumen bahwa Islam telah mendiskriminasikan kaum wanita dan tidak menghormati hak-hak kemanusiaannya, kemudian mereka menancapkan ide-ide busuk dalam hati kaum wanita dan bermimpi bahwa ide-ide busuk ini adalah undang-undang paling ideal yang mampu mengangkat hak dan martabat kaum wanita serta mengukuhkan emansipasi wanita dengan kaum laki-laki dalam berbagai urusan kehidupan.
Dengan begitu wanita akan berubah menjadi monster-monster pengganyang Islam dan berhayal suatu saat wanita-wanita ini menjadi robot permainan tangan-tangan Barat dan menjadi misionaris ulung yang merusak asas-asas serta pemikiran orisinil Islam.
Fenomena seperti ini patut membuat umat Islam bersedih, tapi kesedihan tersebut sebenarnya bukan terkait dengan adanya usaha subversif terhadap Islam juga bukan karena membanjirnya ungkapan bela sungkawa gadungan Barat terhadap nasib muslimah dalam komunitas Islam, tetapi sikap sebagian umat Islamlah yang perlu ditangisi dalam menghadapi serangan Barat ini.
Umat Islam إلا من رحم ربك menghadapi kemunafikan yang subversif ini, terperosok dalam dua jurang ketololan.
Pertama     : Adalah kelompok yang punya afiliasi dengan Islam walau hanya simbolis. Tetapi pembelaan total untuk bangsa, undang-undang serta peradaban Barat, mereka ini selalu menjadi suporter, penggembira dari berbagai ofensif Barat.
Kedua       : Identitas keIslamannya tidak diragukan, yakin bahwa norma-norma dan hukum-hukum Islam sangat demokratis, tapi sayang seribu sayang, mereka ini kecanduan inex (interpretasi nekat tanpa dalil transparan yang mengakibatkan keraguan konsumen) yang diimpor dari orientalis Barat.
Kesedihan ini bertambah pahit ketika ada anggapan bahwa kaum wanita dalam komunitas Barat yang katanya berbela sungkawa melihat nasib para muslimah, mereka menjalani hidupnya dengan penuh kebahagian, menikmati hak-haknya secara penuh sebagai manusia, tapi realitanya hak-hak dan martabat mereka dirampas, ditipu dengan berbagai argumen irrasional. Sadar atau tidak, mereka hanya menjadi boneka-boneka kesenangan dan pelampiasan seksual kaum lelaki. Orang-orang yang berpura-pura menangisi nasib para muslimah inilah yang membelenggu wanita-wanita Barat dalam lautan kenistaan dan penganiayaan.
Pil pahit ini terasa lebih pahit lagi tatkala membaca tulisan-tulisan tentang pembelaan terhadap kaum wanita dari Islam dan hukum-hukumnya yang katanya sangat diskriminatif dan cenderung memarginalkan kaum Hawa, padahal para penulis ini kalau dihadap-kan pada forum diskusi interaktif mereka tidak mampu membebaskan dirinya sendiri dari pengaruh kecanduan inex ketika berbicara membela argumennya.
Ini adalah musibah besar yakni seorang maling teriak maling, berlagak seorang revolusioner emansipasi hak-hak dan martabat kaum wanita. Akan tetapi bencana ini terasa lebih membahana ketika kita temui orang-orang yang membenarkan teriakan dan hanyut dalam buaian omongan-omongan gombal maling-maling umat ini.


1. Leadership.
Firman Allah;
الرجال قوّامون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض وبما أنفقوا من أموالهم (النساء: 33).
“kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.”
Sebagian orang ada yang berasumsi bahwa leadership yang diberikan Allah secara spesifik kepada kaum laki-laki ini dipahami secara eksplisit adanya praktek marginalisasi hak kaum wanita.
Sebenarnya tidak semudah itu pemahamannya, karena;
Pertama    : al-Qowwamah, kalimat inilah yang menjadi blundernya pemahaman. Yang dikehendaki dari al-Qowwamah adalah al-Imaroh wa al-Idaroh (kepemimpinan dan manajemen) biasa diucapkan;
فلان قائم أو قوّام على أمر هذه الدار أي إليه الإمارة فيها والإدارة في شئونها.
Yakni Fulan yang memimpin sekaligus yang mengatur manajemen uruasan rumah itu. Jadi, kepemimpinan al-Imaroh selalu identik dengan manajemen al-Idaroh.
Sekarang pertanyaannya; apakah yang melatarbelakangi Allah mewujudkan tugas kepemimpinan baik di rumah, yayasan, kantor-kantor dan kelompok-kelompok yang lain?, apakah itu merupakan status luhur dan kemuliaan yang diberikan syara’ sebagai anugrah bagi mereka yang punya kelebihan dan kedudukan tinggi di sisi Allah dan ternyata kelebihan itu menurut Allah untuk kaum laki-laki. Karenanya beruntunglah kaum lelaki menerima anugrah ini dan kaum wanita tidak dapat bagian sama sekali?.
Secara sekilas bukan begitu nalarnya, yang pasti ini adalah anjuran syara’ agar jiwa koordinasi selalu menjadi motor dari setiap komunitas dalam situasi dan kondisi apapun. Koordinasi dalam suatu komunitas menjadi sangat urgen eksistensinya karena di sana ada tanggung jawab dan tanggung jawab secara praktek tidak mungkin terealisasi-kan kecuali ada seorang pemimpin yang menjadi rujukan tanggung jawab koordinasi dan manajemen tersebut.
Anjuran syara’ terhadap sistem koordinasi ini tidak terlepas dari komunitas dalam bentuk dan kondisi apapun. Nampak jelas dalam hadits Nabi;
إذا كان ثلاثة في سفر فليؤمروا أحدهم (رواه البيهقي)
“Ketika tiga orang dalam perjalanan, maka salah satu mereka menjadi pemimpin.”
Sudah maklum bahwa komunitas masyarakat tersusun dari berbagai keluarga, maka hendaknya sumber koordinasi secara kolektif adalah sistem koordinasi yang berlaku dalam suatu keluarga. Dari sanalah nanti terwujud komunitas masyarakat yang terkoodinir.
Dalam hadits tadi menunjukkan bahwa yang menjadi pemimpin perjalanan bukanlah harus orang yang paling mulia dan luhur derajatnya di sisi Allah, yang penting dia bisa memikul tanggung jawab dan punya kecakapan untuk memeneg urusan-urusan kelompoknya dengan metode yang benar.
Berarti pemimpin keluarga dalam prespektif Islam adalah pemimpin yang mengayomi sekaligus mengkoordinasi , bukan pemimpin yang absolut dan diktator, kemudian ini bukanlah pertanda kedekatannya di sisi Allah, tapi semata-mata pertanda atas kecakapan pemegang tanggung jawab ini.
Kedua       : Kalau begitu nalarnya, mengapa syara’ sejak zaman dahulu memerintahkan al-Qowwamah yakni tugas mengkoordinasi urusan-urusan keluarga kepada kaum laki-laki, mengapa tidak diserahkan saja pada anggota keluarga untuk memilih siapa saja yang mereka kehendaki?, lantas mengapa syara’ memberi alasan pemilihan laki-laki ini dengan بما فضل الله بعضهم على بعض , ini kan malah mengukuhkan persepsi gender laki-laki punya nilai lebih dibanding wanita tanpa memandang kendala-kendala lain?.
Pemahaman gen laki-laki punya nilai lebih dibanding wanita sangat paradoks dengan ketransparanan al-Qur’an dalam ayat-ayat yang tidak sedikit jumlahnya. Allah mengukuhkan bahwa gen laki-laki dan wanita statusnya sama sederajat dalam ukuran kedekatannya pada Allah, yang membedakan adalah derajat seberapa amal sholeh-nya yang disertai ikhlas karena Allah.
فاستجاب لهم ربهم أني لا أضيع عمل عامل منكم من ذكر أو أنثى بعضكم من بعض (آل عمران: 195).
“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya dengan berfirman; Sesungguhnya aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal diantara kamu baik laki-laki atau perempuan karena sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain.”
من عمل صالحا من ذكر أو أنثى وهو مؤمن فلنحيينه حياة طيبة ولنجزينه أجرهم بأحسن ما كانوا يعملون (النحل: 97).
“Barang siapa yang mengerjakan amal sholeh baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan iman maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”
ومن يعمل من الصالحات من ذكر أو أنثى وهو مؤمن فأولئك يدخلون الجنة ولا يظلمون نقيرا (النساء: 124).
“Dan barang siapa yang mengerjakan amal-amal sholeh baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya sedikitpun.”
Lebih rinci dan transparan lagi yang tidak mungkin terbantah adalah ayat-ayat;
إن المسلمين والمسلمات والمؤمنين والمؤمنات والقانتين والقانتات والصادقين والصادقات والصابرين والصابرات والخاشعين والخاشعات والمتصدقين والمتصدقات والصائمين والصائمات والحافظين فروجهم والحافظات والذاكرين الله كثيرا والذاكرات أعد الله لهم مغفرة وأجرا عظيما (الأحزاب:35).
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusu’, laki-laki dan perempuan yang besedekah, laki-laki dan perempuan yang berkuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut nama Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.”
Kemudian kembali Allah memperjelas hakikat kesetaraan gender ini;
يا أيها الناس إنا خلقناكم من ذكر وأنثى وجعلناكم شعوبا وقبائلا لتعارفوا إن أكرمكم عند الله أتقاكم إن الله عليم خبير (الحجرات: 13).
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha mengenal.”
Dalam ayat ini Allah mengubur dalam-dalam perbedaan gen laki-laki dan wanita, suku dan bangsa sebagai tolok ukur dekat atau jauh-nya derajat seseorang di sisi Allah.
Lantas apakah mungkin al-Afdholiyyah dalam ayat; بما فضل الله بعضهم على بعض ditafsiri; keutamaan gen laki-laki dibanding gen wanita?, kalau begitu apa yang dikehendaki dengan بما فضل الله بعضهم على بعض ?. Sederhana saja, sebetulnya cara memahaminya yaitu keutamaan selaras dengan kemaslahatan tugas yang dibebankan.
Menjalankan urusan-urusan keluarga, menjaga dari kemungkinan-kemungkinan bahaya yang mengintai yang keseluruhannya tentu membutuhkan nafkah dan pengorbanan hidup adalah tugas-tugas social kemasyarakatan yang paling urgen dan suci. Ini tidak jauh berbeda dengan kewajiban yang tidak kalah urgennya yaitu membina, menyusui dan menjaga anak serta memenuhi nilai-nilai kebahagiaan pasangan suami istri.
Sekarang lihatlah, siapa diantara dua pasangan ini yang paling mampu melaksanakan tugas pertama diberbagai kondisi dan situasi?, kita semua pasti tidak ragu bila dalam satu keluarga pada tengah malam yang gelap gulita mereka merasa ada pencuri yang menerobos masuk ke dalam rumah atau mendobrak pintu suami atau bapaklah yang langsung loncat berdiri menghadang bahaya ketakutan. Sedang-kan istri atau sang ibu bersembunyi di pojok rumah yang gelap dan melindungi anak-anaknya. Memang terkadang ada yang prakteknya tidak lumrah seperti contoh di atas tapi tidak lumrah (syadd) tidak punya status hukum.
Semuapun tahu bahwa pemudalah yang bertanggung jawab membangun keluarga, menanggung nafkah kelangsungan dan kemajuan sebuah keluarga meliputi mahar dan apa-apa yang dibutuh-kan ketika pelaksanaan akad nikah, juga rumah tempat bernaung serta nafkah rutin untuk istri dan anak-anaknya.
Itulah realita yang berlaku dalam komunitas masyarakat kita, sejak dulu dan di manapun walaupun pendapat, madzhab serta pemikiran mereka semua berbeda-beda. Jadi, ini semacam aklamasi universal umat manusia yang dilandasi kemauan dan ridlo manusia itu sendiri dalam artian sebelum ayat ini turun, realita itulah yang berbicara dalam peradaban manusia. Lalu ayat ini turun bukannya sebagai perintah, ketetapan hukum yang sebelumnya belum dijalankan umat manusia, tapi tidak lebih sebagai kabar dan sekaligus legalisasi realita yang sebelumnya manusia telah aklamasi secara total.
Sekarang yang jadi persoalan adalah, apakah yang menghalangi seandainya realita ini kita tranformasikan?, gampang juga jawabannya; adapun bagian pertama dari realita ini masalahnya bukan berada pada wewenang kita dan siapapun, yang punya wewengan adalah yang menjadikan seorang laki-laki dengan segenap karakter kelaki-lakian-nya beserta keistimewaan yang dimilikinya. Juga seorang wanita dengan segenap karakter kewanitaannya beserta kelebihan-kelebihan yang dimilikinya, banyak sekali hikmah menakjubkan yang tidak mungkin tersembunyi dari penglihatan orang-orang yang bernalar waras dari berbagai latar belakang agama atau madzhab pemikiran yang berbeda-beda, mengapa Allah menciptakan seperti apa yang kita lihat?.
Adapun bagian kedua dari realita ini, yaitu suamilah yang bertanggung jawab membangun keluarga dan kelanjutan hidup mereka, bukannya sang istri. Sumber dari realita ini adalah apa yang telah disyari’atkan oleh Allah mengenai bagaimana seorang wanita itu bisa terjaga sifat-sifat kewanitaannya juga kehormatannya seandainya wanita yang memberi mahar pada seorang laki-laki, maka wanitalah yang melamarnya, kalau ini yang terjadi, maka tidak hanya rasa terhina, tapi bahaya lain akan menodai feminisme serta harkat martabat kaum hawa yang mustahil diingkari kecuali oleh orang-orang kurang waras atau keras kepala.
Kalau kaum Hawa yang bertanggung jawab mencari nafkah untuk keluarga, seperti yang terjadi dalam komunitas Barat, maka mereka akan terpaksa menggeluti pekerjaan apapun yang penting dapat uang tanpa punya hak untuk memilih mana yang pantas dan cocok untuk mereka. Dan kalau itu yang terjadi, maka hilanglah sifat-sifat kewanitaannya yang asalnya lembut mengurusi dan membina anak-anaknya menjadi seperti batang pohon kering di tengah tanah lapang yang tandus.
Adapun ada sebagian kecil dari kaum Hawa yang kebetulan punya skill professional sehingga bisa mengantarkannya bidang-bidang pekerjaan yang pantas dan cocok dengan sifat-sifat kewanitaannya. Kejadian seperti ini tidak bisa dijadikan standar hukum, sebab kalau dibanding berapa persenkah wanita yang punya skill professional?, yang jadi standar hukum adalah mayoritas yang tidak punya skill, sehingga terpaksa menggeluti pekerjaan-pekerjaan berat yang melelah-kan. Sungguh tiada guna mengorbankan mayoritas yang terjadi demi segelintir wanita yang kebetulan punya skill professional.
Karena itulah Islam membebaskan wanita dari tanggung jawab bekerja mencari nafkah supaya tidak terjebak dalam keharusan bekerja yang memperbudaknya, juga tidak melarang menggeluti profesi tertentu agar memiliki jalan menuju kehidupan yang lebih sejahtera serta mampu memilih profesi yang layak baginya, juga memiliki standar stimulansi prioritas sebagai konsekuensinya dengan mendahulukan yang lebih urgen yaitu mengurusi rumah tangga dibanding keinginan berkarir, mengejar rizqi di luar rumah. Begitulah ayat الرجال قوّامون على النساء adalah kabar dari realita itu sendiri, bukan merupakan ketetapan hukum yang belum terealisasikan.
Coba lihat dalam komunitas Barat kaum Hawa bertanggung jawab mencari nafkah keluarga, dia diperbudak pekerjaannya yang melelah-kan kemudian setelah tunduk melaksanakan undang-undang ilusi ini, mereka tidak mendapatkan al-Qowwamah, leadership yang selalu dan terus berada di gengaman kaum Adam.
Memang, semua berjalan sukses yaitu bangunan rumah tangga ambruk dan berubah menuju kehancuran dalam medan kompetisi suami istri banting tulang mencari rizqi dan tetaplah suami yang menjadi supervisor dan pelaksanan tugas-tugas keluarga.
Jadi, karakteristik pria menjadi al-Qowwamah tidak akan pernah berubah seperti yang dibayangkan para pemimpi penyembah peradaban Barat walaupun sang istri punya triliyunan Dolar dan suami melarat sekarat.
2.      Waris
Kritik abadi dalam topik kesetaraan gender adalah menyikapi firman Allah
يوصيكم الله في أولادكم للذكر مثل حظ الأنثيين (النساء: 11)
“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk ) anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.”
Para pecundang kritik ini memahaminya sebagai undang-undang universal yang berlaku dalam hukum waris, bahkan kalimat; للذكر مثل حظ الأنثيين dalam prespektif agen-agen komersial kritik ini merupakan undang-undang komunitas masyarakat yang mutlak diwajibkan agama dalam setiap masalah dan dalam kondisi apapun, padahal ayat ini hanya mengatur hukum waris anak, bukan yang lainnya, sebab ahli waris laki-laki dan wanita juga merupakan salah satu hukum tersendiri. Coba lihat contoh-contoh ini;
-        Ketika mayit meninggalkan anak, bapak serta ibu maka kedua orang tua sama-sama mendapat bagian seperenam tanpa dibedakan antara gender bapak dan ibu, juga tidak ada kekuatan undang-undang ilusi absolut berupa للذكر مثل حظ الأنثيين , sebab ada hukum tersendiri berdasarkan ayat;
ولأبويه لكل واحد منهما السدس (النساء: 11)
“Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan.”
-        Ketika mayit meninggalkan saudara laki-laki seibu juga saudara perempuan seibu dan tidak ada ahli waris lain yang meng-halanginya, maka kedua saudara ini sama-sama mendapatkan bagian seperenam.
وله أخ أو أخت فلكل واحد منهما السدس (النساء: 12).
“Tetapi menpunyai seorang saudara laki-laki seibu saja atau saudara perempuan seibu saja, maka masing-masing dari jenis saudara itu seper-enam harta.”
tanpa dibedakan gendernya, juga tidak melihat للذكر مثل حظ الأنثيين .
-        Ketika mayit meninggalkan saudara laki-laki seibu, dua dan selebihnya, juga saudara perempuan seibu dua dan selebihnya, maka saudara laki-lakinya mendapat bagian sepertiga dan saudari perempuannya juga mendapat sepertiga.
فإن كانوا أكثر من ذلك فهم شركاء في الثلث (النساء: 12)
“Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu.”
-        Bila mayit seorang istri meninggalkan seorang suami dan anak perempuan, maka anak perempuannya mendapat bagian setengah dan bapaknya (suami mayit) mendapat seperempat. Di sini malah seorang yang ber-gen perempuan mendapat bagian dua kali lipat dari bagian orang yang ber-gen laki-laki.
-        Bila mayit meninggalkan istri dan dua anak perempuan serta saudara laki-laki, maka istri mendapat seperdelapan, dua anak perempuan mendapat dua pertiga, sedang sisanya untuk pamannya (saudara laki-laki mayit). Berarti bagian dua anak perempuan ini lebih banyak dari pamannya, sebab bagian kedua anak perempuan ini sama dengan 8/24 sedang bagian pamannya 5/24.
Inilah putusan hukum Rasulullah ketika datang pada beliau istri Sa’ad bin Robi’ dengan membawa anak perempuannya dan berkata;
يارسول الله، هاتان ابنتا سعد بن الربيع قتل أبوهما يوم أحد شهيدا وإن عمهما أخذ مالهما فلم يدع لهما مالا ولا تنكحان إلا بمال قال يقضى الله في ذلك ، فنزلت آية الميراث فبعث رسول الله e إلى عمهما فقال: اعط ابنتي سعد الثلثين واعط أمهما الثمن وما بقي فهو لك.
“Ya Rasulullah, ini adalah dua anak perempuan Sa’ad bin Robi’, bapak-nya telah syahid dalam perang Uhud dan pamannya telah mengambil hartanya, tidak meninggalkan kepada mereka berdua sama sekali dan tidak mungkin keduanya dinikahkan kecuali dengan harta. Rasulullah berkata; Allah akan memutuskan masalah ini, maka turunlah ayat warits, lalu Rasulullah mengutus utusan kepada paman mereka berdua dan berkata: berilah kedua anak perempuan Sa’ad bagian sepertiga dan ibu mereka seperdelapan sedangkan sisanya untuk kamu.”
Jelaslah bahwa للذكر مثل حظ الأنثيين bukanlah kaidah abadi yang selaku diterapkan ketika berkumpul ahli waris laki-laki dan perempuan, tapi ini adalah aturan dalam kondisi yang disebutkan Allah, yaitu salah satu dari kedua orang tua meninggal dan ahli warinya anak-anak (laki-laki atau dan perempuan). Karena ayat sebelumnya; يوصيكم الله في أولادكم ... ketika berkumpul ahli waris anak-anak laki-laki dan perempuan, maka anak laki-laki sebagai konsekuensi kapasitasnya sebagai Ashobah, yang mengAshobahi saudara-saudara perempuannya, maka mereka mengambil sisa bagian-bagian ahli waris yang lain dengan rumus للذكر مثل حظ الأنثيين .
Mengapa syara’ menetapkan demikian?, karena anak laki-laki menghadapi kondisi dewasa dan bekerja, bertanggung jawab terhadap nafkah kedua orang tuanya juga harus memberi mahar serta nafkah istrinya. Kondisi ini berbeda dengan saudara perempuan yang tidak punya tanggung jawab seperti saudara laki-laki, maka logis sekali bila orang tuanya wafat saudara laki-laki terlebih dahulu mengashobahi saudara perempuan dengan gambaran saudara perempuan dan laki-laki mengambil sisa dari ahli waris (Ashhabul Furudl) sebagai ganti dari bagian saudara perempuan yang asli yaitu setengan, lalu saudara perempuan dan laki-laki bersama-sama mengambil sisanya dengan ketentuan saudara laki-laki mendapat dua kali lipat bagian saudara perempuan.
Ketika peristiwanya terbalik yaitu anak yang wafat meninggalkan kedua orang tua, maka kedua orang tua sama-sama satu tingkat dalam menerima nafkah dari anaknya (ketika dia hidup), bila anaknya kaya dan biasanya orang tua (Bapaknya) sudah tidak kuat bekerja, karena sangat adil bila bagian kedua orang tuanya sama.
Begitu pula jika mayit meninggalkan saudara laki-laki dan perempuan seibu dan tidak ada ahli waris yang lebih dekat dengan mayit seperti anak atau saudara kandung (saqiq), mereka mendapatkan bagian yang sama. Mengapa?, Karena sewaktu mayit masih hidup mereka Akhun wa Ukhtun Li Um sama-sama tidak bertanggung jawab terhadap saudaranya yang wafat.
Coba fahami dengan baik, ternyata gender laki-laki dan perempuan tidak pernah punya urusan dengan ketetapan hukum ini dan yang menjadi sumber dari hukum ini adalah sebatas mana kebutuhan ahli waris dan punya hubungan apa ahli waris dengan mayit.
Bila wanita bisa mencukupi kebutuhannya sendiri dengan bekerja atau yang lain apakah hukumnya berubah?.
Ada perbedaan yang mendasar antara motivasi moral (seperti yang ditanyakan) dengan kewajiban syara’, kalau melihat motivasi moral Islam membukan pintu lebar-lebar dan menyambut hangat kontribusi wanita (anak perempuan, istri, saudara perempuan) bersama-sama dengan saudara laki-laki, suami atau semua kerabatnya yang laki-laki dalam memenuhi nafkah, wanita diundang sebagai konsekuensi dari motivasi moral untuk meringankan beban suaminya dalam memberi nafkah istri atau anaknya.
Imam Bukhori dan Muslim meriwayatkan hadits, Zainab as-Tsaqofiyyah, istri Abdullah bin Mus’ud bahwa dia mendengar Rasulullah berkata pada para wanita; تصدقنا يا معشر النساء ولو من حليكنّ...(Wahai para wanita, bersedekahlah kalian semua walaupun dari perhiasan kalian sendiri), lalu Zainab berkata;
قالت: فرجعت إلى عبد الله بن مسعود، فقلت له: إنك رجل خفيف ذات اليد وإن رسول الله قد أمرنا بالصدقة فأته فاسأله فإن كان ذلك يجزئ عني، وإلا صرفتها إلى غيركم، فقال عبد الله: بل ائتيه أنتِ فانطلقت فإذن امرأة من الأنصار بباب رسول الله e ، حاجتي حاجتها وكان رسول الله e قد ألقيت عليه المهابة فخرج علينا بلال فقالت: ائت رسول الله e فأخبره أن امرأتين بالباب تسألانك أتجزئ الصدقة عنهما على أزواجهما وعلى أيتام في حجورهما؟، ولا تخبره من نحن فدخل بلال على رسول الله e فسأله ...فقال له رسول الله: من هما؟، قال: امرأة من أنصار وزينب، فقال رسول الله e: أي الزيانيب هي؟، قال: امرأة عبد الله ، فقال رسول الله e: لهما أجران، أجر القرابة وأجر الصدقة.

“Kemudian aku kembali pada Abdullah bin Mus’ud dan berkata padanya; ‘engkau adalah orang yang miskin dan Rasulullah telah memerintah kita untuk bersedekah, datang dan tanyalah pada beliau kalau aku bersedekah kepadamu mencukupi atau tidak?, kalau tidak maka aku akan berikan pada orang lain’, Abdullah menjawab; “Kamu saja yang datang pada Rasulullah”, kemudian aku pergi dan ternyata didepan pintu Rasulullah ada seorang wanita Anshor, hajatku adalah hajatnya juga dan Rasulullah telah dilingkupi kewibawaan, maka Bilal keluar dan Zainab berkata; “Datanglah kepada Rasulullah dan berilah kabar bahwa ada dua wanita di depan pintu yang bertanya, apakah cukup mereka bersedekah kepada suaminya, juga kepada anak-anak yatim yang menjadi tanggungannya? Dan jangan kau katakan siapa kami”, maka Bilal masuk pada Rasulullah dan menanyakannya; …Rasulullah berkata; “Siapa mereka berdua?”, Bilal menjawab; “seorang dari wanita Anshor dan Zainab”, Rasulullah bertanya; “Zainab yang mana?”, Bilal menjawab; ”istri Abdullah bin Mas’ud”, maka Rasulullah menjawab; “mereka berdua mendapatkan dua pahala, pahala kerabat dan pahala shodaqoh.”
Hanya saja, motivasi moral ini nampak sangat bernilai bila berlatar belakang kebebasan (keinginan sendiri), bukan suatu keharusan dari ketetapan hukum karena kewajiban nafkah yang dibebankan pada suami atau bapak dan sesamanya menurut sang istri bukanlah berlatar belakang moralitas dermawan. Karenanya motivasi moral ini tidak patut dijadikan sebagai ganti dari kewajiban suami, bapak atau anak untuk mencukupi nafkah, karena sang istri tidak pernah merasakan motivasi moral ini.
Adapun dari segi kewajiban syara’ bila syara’ mewajibkan mencari nafkah kepada istri atau ibu atau juga anak perempuan, maka konsekuensinya wanita akan keluar rumah mencari di mana gerangan sang rizqi dan akan terjadi problem serius yang tak terpecahkan seperti wanita-wanita barat.
Untuk menghindari agar tidak terjebak dalam problem serius ini, sebenarnya kaum wanita selama masih dalam naungan orang tuanya hendaknya merasa tenang dari nafkah sang bapak. Kemudian bila sudah bersuami menjadi tanggung jawab penuh suami, kalau dia ingin bekerja mencari uang atau menyalurkan bakat tertentu dipersilahkan oleh syara’ tapi tentu yang layak dan cocok bagi kaum wanita dan jangan sampai rumah dan anak-anak serta suami dibiarkan begitu saja seperti kondisi komunitas Barat.

3. Nusyusy (istri ngambek)
Ilustrasi masalah istri mebangkang tidak patuh pada kemauan suami tanpa ada udhur syar’I .
Problemnya; syari’at islam memberi hak suami memperbaiki istri yang nusyuz tanpa sebab,sedangkan sang istri tidak di beri hak ini,jika suaminya nusyuz tanpa ada alasan syar’i.
Hak yang di berikan pada suami ini berupa tiga solusi yang harus di laksanakan secara bertahap;
Pertama; Nasehat dan mauidhoh secara halus dan penuh kasih. Kedua;membiarkan tidur sendiri. Ketiga; Memukulnya tanpa rasa menyakiti.
Sudah maklum, nusyuz mungkin juga di lakukan oleh suami, tapi istri hanya di beri hak melaksanakan solusi pertama, yaitu menasehati secara halus,dan kalau solusi pertama ini tidak berguna maka istri tidak diperbolehkan melaksanakan solusi kedua atau ketiga, tapi ada sebagian pendapat ulama’ bila suami melakukan maksiat di tempat tidur itu sendiri seperti misalnya mengumpuli istrinya disa’at haid atau lewat jalan dubur, sang istri di perbolehkan melaksanakan solusi kedua, tapi kalau istri masih mampu mencegah suaminya agar tidak melaksanakan maksiat ini maka sang istri tidak diperbolehkan melakukan solusi kedua ini.
Problem yang muncul adalah; sekilas kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan yang ndi dengung-dengungkan syari’at islam dalam masalah nusyuz ini terkubur, kalau tidak mestinya sang istri juga punya hak untuk melaksanakan solusi ketiga yaitu memukul yang tidak menyakitkan.
Apa yang terjadi jika kesetaraan dalam masalah ini tidak terwujud?
Perlu di pertanyakan; apa kira-kira yang terjadi jika syara’ mengizinkan kaum wanita memukul suaminya yang nusyuz, ketika memberi nasehat dan dan memisahkan diri dari tempat tidur tidak membuatnya jeradari perbuatannya?
Kita semua manusia saja tahu! Apalagi Allah yang menciptakan manusia dan melengkapi sifat-sifat kelaki-lakian pada kaum pria juga sifat-sifat kewanitaan pada kaum wanita, bahwa: jika kaum wanita memukul suaminya yang nusyuz, maka sifat kelaki-lakianya seketika menjadi liar tak terkendali seperti hewan yang mencari mangsa, akal sehatnya menjadi buta dan akibatnya hanya ada dua kemungkinan yaitu mendapatkan mangsa atau mati terbunuh.
Jadi seorang wanita akan mangorbankan hidupnya demi kesetaraan, yang kesetaraan ini telah diberikan Allah pada masing-masing gen laki-laki dan perempuan berupa “kemulyaan”, dan bukanya untuk menjaga kemulyaan itu harus dengan methode yang sama, sebab akibatnya justru kaum wanita sendirilah yang menjadi korban, dan otomatis kesetaraan yang diimpikantidak akan pernah tercapai.
Sekarang coba lihat, apasolusi yang ditawarkan syara’ untuk menjaga kemulyaan laki-laki atau perempuan, bahwa suami ketika nusyuz memang harus ada sanksinya, tapi tidak harus yang melakukan sanksi ini istrinya sendiri, sebab ada lembaga hakim atau qodhi yang akan mengurusi dan membela hak-hak istri, sekaligus memberi sanksi pada suami, bahkan mungkin sanksi yang diberikan tidak sebatas memukul, tapi lebih dari itu , mungkin dipenjara atau yang lainnya.
Inilah methode syari’at dalam memberikan sanksi-sanksi pada pelanggar-pelanggar hukum, yaitu menfungsikan lembaga qodhi atau kehakiman ketika kira-kira pihak yang didholimi tidak mampu membela diri, atau mampu secara teoritis, tapi kalau dipraktekkan sendiri malah mengakibatkan fitnah yang justru penyulut fitnah ini adalah pihak yang teraniaya itu sendiri.
Tapi apakah dalam syari’at “memukul” ada problem? Sebagian orang menganggap sanksi memukul yang di berikan hanya pada suami merupakan praktek diskriminasi hukum terhadap kaum wanita.
Sebelumnya perlu diketahui bahwa: syari’at islam telah menetapkan sanksi hukum yang sama kepada suami juga istri bila terbukti melanggar(nusyuz), dan sanksi ini bukan untuk istri saja hanya pelaksanaannya dibedakan oleh syara’, suami dipandang syara’mungkin untuk melakukan sanksi memukul sendiri dengan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuannya, berbeda dengan istri yang peranya dalam melaksanakan sanksi ini diwakilkan qodhi karena alasan yang telah tersebut diatas. Jadi antara laki-laki dan perempuan ada kesetaraan hak memberi sanksi hukuman, hanya methodenya yang berbeda.
Lantas adakah kejanggalan dalam sanksi-sanksi yang telah ditetapkan undang-undang untuk semua kaum laki-laki dan perempuan, memandang keduanya dimungkinkan melanggar dalam bentuk pidana atau kriminal-kriminal yang lain? Apakah diseluruh dunia tidak ada karantina khusus kaum wanita juga khusus kaum lelaki? Bahkan apakah diseluruh duniatidak ada negara atau kota yang punya undang-undangyang sanksi-sanksi pelanggarannya untuk kaum laki-laki, padahal laki-laki atau perempuan sama-sama berpotensi melanggar undang-undang itu?
Kemudian perlu juga di ketahui sanksi ”pukulan” baik untuk laki-laki atau perempuan bukanlah tindakan jelek yang menodai kemanusiaan tapi sasarannya penyelewengan lain lain yang menyebabkan citra buruk dan menodai kemanusiaan suami atau istri yang nusyuz.
Lihat bagaimana syara’ memerintah suami berdialog dengan sifat naluri kemanusiaan istri dengan menasehati dan mauidhoh, ini adalah methode ideal yang sangat manusiawi untuk memecahkan problem-problem rutin antara kedua pihak, kemudian lihatlah ketika langkah pertama ini gagal, syara’ menyuruh sang suami menyapa kembali naluri kemanusiaan sang istri dengan meninggalkan tempat tidur, tapi komunikasi tetap jalan antara keduanya, ini bukanya reaksi yang berbentuk sifat kasar, tapi lebih mirip dengan permainan cinta, baru setelah semua tidak mampu membuat sang istri jera dan bertaubat, syara’ mengizinkan sang suami untuk memukul yang tidak menyakitkan, untuk menghentikan penyelewengan ini dan mengembalikan naluri kemanusiaanya yang lari dari dirinya.
Tetapi apa bukan problem serius pemukulan wanita dibarat?disana penyelewengan moral malah terjadi pada pihak yang memukul(suami atau teman kumpul kebo), kaum wanita menjadi obyek penganiayaan dan tak pernah menikmati hak-haknya sebagai istri atau kekasih kebo, seperti hasil penelitihan Richard F. Jones januari 1993 M, bahwa di Amerika setiap 12 perempuan 2 diantaqranya dipukuli mati atau luka parah oleh suami atau kekasih kebonya.
1.      Poligami
Ini adalah salah satu tema kesukaan gerakan subversi terhadap islam dan pecundang-pecundang hak dan martabat kaum wanita, bahwa menurut mereka: kaum wanita dalam komunitas muslim teraniaya hak-haknyakarena hukum islam yang diskriminatif terhadap kaum wanita khususnya masalah poligami.
Lantas apa dan bagaimana poligami itu sebenarnya? Apakah akan memperkeruh atau justru solusi terbaik dari problematika social kemasyarakatan?
Kemaslahatan dan undang-undang stimulasi prioritas.
Sudah sangat popular bahwa hukum-hukum syari’at berdasarkan kemaslahatan umat manusia, seperti kaidah;
أين وجدت المصلحة فتم شرع الله.
“Dimana ada maslahat disitulah syari’at Allah”.
dan memang selamanya antara maslahat dan mafsadah saling berkaitan atau mengisi ruang suatu problematika hukum, hanya saja ada pertautan tingkat urgensi serta emergensi diantara keduanya.
Lihatlah bagaimana Allah mensifati khomr dan perjudian;
قل فيهما إثم كبير ومنافع للناس (البقرة: 219)
“Katakanlah bahwa keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia.”
Juga kemaslahatan hidup jauh lebih besar urgensinya dibanding keturunan dan harta, dan primer (dhoruri) yang merupakan salah satu klasifikasi kemaslahatan hidup, akal atau harta lebih berharga dibanding sekunder (haaji) atau suplemen (Tahsini).
Begitulah kiranya Allah telah menghendaki manusia tidak akan memperoleh berbagai kenikmatan-kenikmatan duniawi kecuali ada unsur kotoran dalam takaran besar atau kecil, juga pertautan berbagai kemaslahatan dalam tingkat urgensi serta kebutuhan manusia.
Lantas bagaimana solusi dalam kondisi agar kemaslahatan manusia selalu menjadi titik dialogis berlakunya syari’at dan undang-undang?. Solusinya adalah menata dan menyusun berbagai maslahat dan mafsadah sesuai tingkat kepentingan dan kebutuhan serta seberapa kental campuran yang meresap dari salah satu unsur ini pada yang lainnya dan inilah yang disebut dengan syri’at Islam dengan kaidah stimulansi prioritas Sullamul Aulawiyyat.
Ini adalah kaidah terapan yang praktis dari mayoritas hukum syari’at atau bahkan semuanya. Ketika terjadi pertentangan antara maslahat syar’i pada tingkat sekunder dan primer, maka harus mengorbankan sekunder dan membiarkan primer. Begitu pula bila seorang muslim dihadapkan pada dua pilihan terperosok kepada mafsadah yang berakibat atau punya efek particular serta mengancam eksistensi maslahat sekelas suplemen dan terjerumus dalam mafsadah yang punya efek universal serta mengancam eksistensi maslahat sekelas sekunder atau primer, maka harus menjauhi mafsadah universal yang mengancam eksistensi maslahat yang sekelas primer walaupun konsekuensinya harus menyerah pada mafsadah sekelas di bawah primer.
Telah kita ketahui bersama bahwa Allah mensyari’atkan nikah untuk kemaslahatan primer manusia berupa melestarikan jenis makhluk manusia dan menanggung beban tanggung jawab, membangun keluarga serta mendidik keturunan atau singkatnya program regenerasi manusia.
Tapi syari’at Islam juga respek terhadap munculnya situasi, kondisi serta sebab-sebab yang menjadikan seorang suami tidak merasa cukup dengan satu istri, problem realistis seperti ini tidak bisa dibantah oleh siapapun, bahkan di Barat problem seperti ini lebih lantang dan bergelora dibanding dalam komunitas muslim.
Allah yang mewajibkan syari’at ini pun tahu bahwa manusia tetaplah manusia yang sangat potensial melakukan kesalahan dan terjerumus dalam lubang dosa dan selamanya tidak akan berubah wujud menjadi sekawanan malaikat terjaga (ma’shum) dari salah dan dosa, karenanya melihat sebab-sebab realistis antara lain;
-                 Istri mandul
-                 Jatuh cinta pada wanita lain
-                 Saudara laki-laki wafat dan meninggalkan anak-anak kecil dan istri.
Dan yang paling popular adalah sebab kedua, yaitu jatuh cinta pada wanita lain. Maka seorang suami dihadapkan pada dua alternatif, pertama; sabar menahan diri cukup dengan satu istri. Kedua; terperosok dalam jurang perzinaan.
Dan ternyata realita lapangan berkata, sang suami cenderung memilih alternatif kedua. Disinilah kontribusi teori stimulansi prioritas dibutuhkan untuk memelihara kemaslahatan dan menjauhi mafsadah.
Syari’at Islam telah menetapkan bahwa kalau sang suami terpaksa menjalin hubungan dengan wanita lain, hendaknya melalui prosedur akad nikah serta memikul tanggung jawab yang sama seperti istri pertamanya. Mulai mahar, nafkah dan rumah, juga harus berlaku adil, mengapa?, karena kalau tidak dibatasi prosedur-prosedur nikah, konsekuensinya terjadi perzinaan yang menimbulkan mafsadah pada wanita kedua itu sendiri.
Bangsa Barat cenderung memilih membuka pintu poligami lebar-lebar dihadapan para suami, tapi tanpa ada batas (lebih dari empat wanita) juga tidak melalui prosedur seperti nikah serta tidak ada aturan memperlakukan gundik-gundiknya secara adil dan peradaban seperti ini sangat tidak menusiawi, wanita ini hanya menjadi pelampiasan nafsu hewannya saja tanpa bisa menikmati hak-haknya secara adil. Nafkah sebagai jaminan hidup serta anak-anaknya semuanya terlantar dibiarkan tanpa ada tanggung jawab.
Sekarang mana peradaban yang mampu menjawab tantangan zaman berupa problem social? Bangsa Baratkah yang menjadi kiblat sains dan teknologi punya fasilitas canggih serta perekonomian maju tapi menghadapi problem social seperti ini mereka tuli, bisu, nalarnya tak berfungsi dan yang berperan adalah naluri hewan.
Cepat atau lambat kalau bangsa Barat benar-benar ingin menjadi manusia mereka akan menengok peradaban yang dibawa Rasulullah, peradaban yang bermoral, menjunjung tinggi harkat dan martabat kaum wanita sebagai sesama manusia bukan dianggap seperti hewan peliharaan. Inilah peradaban yang paling modern sekaligus satu-satunya solusi alternatif dari problem social seperti ini.
Kapan poligami dianjurkan?
Anjuran syara’ berpoligami disertai syarat-syarat yang terbilang berat, antara lain: istri kedua disendirikan dalam tempat tinggal yang layak, harus sama dalam nafkah, menginap dan interaksi-interaksi yang lain.
Hikmah dari syarat-syarat ini:
Pertama    : Iklim keadilan lebih menghegemoni dalam hubungan suami istri dari pada kecemburuan yang menjadi problem rutinitas pasangan suami istri, dan sekaligus mengarahkanya dalam kompetisi positif untuk mendapatkan cinta kasih lebih dari suami, agar terwujud keharmonisan dalam rumah tangga.
Kedua       : Agar tidak melakukan poligami kecuali bagi suami-suami yang terjebak dalam posisi kebutuhan sangat primer(dhoruri) yaitu takut melakukan zina atau mentholaq istri pertama tanpa dosa sekaligus merobohkan bangunan rumah tangga bersama istri pertamanya, sebab bila poligami hanya didasari bersenang-senang, akan mengakibatkan beban yang berupa syarat-syarat diatas terasa sangat berat, faktor kesenangan akan cepat hilang berganti belenggu yang mencekik impian-impian panjangnya.
Adapun yang didasari kebutuhan sangat primer takut melakukan dosa besar(zina), situasi seperti ini (poligami) justru beban terasa ringan dibanding terperosok dalam lembah kemaksiatan.
 Lantas mengapa tidak di syari’atkan poligami?Apakah wanita juga tidak seperti laki-laki yang merasa cukup dengan satu suami? Mungkin juga terjadi, tapi yang pasti apakah kesenangan (mut’ah) harus di kedepankan dengan mengorbankan mashlahat? Ataukah sebaliknya kita mempertahankan mashlahat, walaupun kesenangan tidak tercapai?
 Kita semua tahu bahwa Allah telah menganugrahi kenikmatan dan kesenangan pada manusia sebagai sarana untuk mencapai kemaslahatanya, bukan sebaliknya kenikmatan hidup suami istri sebagai sarana untuk membangun keluarga, kenikmatan makan minum untuk menjaga kesehatan jasmani, kenikmatan tidur untuk mengembalikan stamina dan kebugaran tubuh, kalau Allah tidak meletakkan enaknya nikah, makan minum dan tidur, maka manusia akan sangat berat memikul tugas-tugasnya, bosan serta akan lari dari kehidupan.
Ini semua karena kesenangan (mut’ah) dalam syari’at Allah bersumber pada konsekwensi maslahat manusia, bukan sebaliknya. Dari sinilah, landasan kita berfikir bahwa yang dibutuhkan laki-laki berupa poligami dengan syarat-syarat dan aturanya tidak mengurangi sedikitpun kemaslahatan keluarga, nasab keturunan juga terjaga, adapun poliandri akan merusak keharmonisan rumah tangga, dan yang lebih ngeri akan menimbulkan penyakit-penyakit kronis yang menular pada anak-anaknya dan otomatis akan merusak hubungan diantara mereka sendiri, juga akan menimbulkan problem serius sosial masyarakat dikala anak-anak tidak tahu akan memanggil bapaknya, dan jangan lupa ini terjadi karena wanita-wanita mengedepankan kesenenganya dengan poliandri atau gonta ganti pasangan.
Syari’at Islam mustahil menerima metode konyol dan terjungkir seperti ini, dan tidak mungkin sebuah logika yang berakar dari metode seperti mampu menciptakan kemaslahatan suatu komunitas masyarakat yang dikorbankan untuk kesenangan individual, mau atau tidak mau, cepat atau lambat akan bergabung dengan logika kesenangan pribadi harus dikorbankan untuk mencapai kemaslahatan manusia secara universal.
Walaupun demikian, syari’at Islam juga punya solusi alternatif yang tidak mengakibatkan stabilitas masyarakat dan kemaslahatannya terganggu ketika istri dalam kondisi kritis tidak terpenuhi kebutuhan biologisnya dari sang suami dipersilahkan minta cerai dan kawin dengan laki-laki lain dan akan dibela lembaga hakim. Jadi, dengan begitu hak-haknya terjaga penuh.

5. Thalak (cerai)
Perdebatan antara Thalak dan Mahar
Sebagian orang ada yang mempertanyakan di mana ada kesetaraan gender laki-laki dan perempuan dalam sebuah rumah tangga yang kelestarian keberadaan atau tidaknya seorang wanita berada di tangan seorang laki-laki?, kalau sang istri bahagia dan ingin melestarikan bahtera rumah tangganya bersama sang suami, mengapa tiba-tiba sang suami mentalaknya hanya karena faktor kesenangan atau emosional tanpa punya hak membantah atau menggagalkan keputusan talak ini?, dan kalau istri tidak bahagia karena ingin pindah ke lain hati, sang istri tidak punya hak kecuali sabar menahan diri.
Begitulah persoalannya, tapi sebenarnya kalau kedua mata mereka dibuka lebar-lebar, maka akan nampak perbandingan yang sangat adil, mereka hanya melihat pembelaan syara’ kepada kaum laki-laki dalam masalah talak, mengapa tidak menengok mahar dan nafkah?, sebab talak erat hubungannya dengan nafkah dan mahar. Di sinilah letak kesetaraan suami istri, dengan mahar dan nafkah istri diuntungkan, sedangkan suamilah yang rugi, tapi suami juga punya keuntungan berupa hak mentalak istri dan istri dirugikan karena tidak punya hak mentalak.
Sekarang lihat apa syara’ berat sebelah menganiaya hak sang istri?, sebetulnya yang berhak menyandang predikat menganiaya atau berbuat dholim adalah cara pandang mereka yang buta.

Aturan talak
Talak ada yang dikehendaki kedua belah pihak, ini tidak ada problem. Ada juga yang hanya dikehendaki satu pihak. Di sinilah keharusan hukum adil diantara kedua pihak.
Talak yang dikehendaki suami saja istri tidak menyetujui dihukumi sah oleh syara’, tapi resikonya mahar sepenuhnya milik istri dan suami harus memberi tambahan (mut’ah) besarnya menurut ketentuan Qodli juga nafkah tetap wajib sampai habis masa ‘Iddah. Hukum seperti ini akan berubah bila kebetulan istri nusyuz sebab ada ketetapan hukum sendiri.
Tapi, bila atas kehendak istri, maka hakim atau qodli harus melihat penyebabnya. Kalau biang keladinya suami dengan menganiaya atau nusyus pada istri dan tidak mungkin di rukunkan kembali, maka qodli harus mengabulkan talak sang istri tanpa mengurangi mahar dan hak-hak istri. Tapi bila penyebabnya perkara sepele, emosional atau jatuh hati pada laki-laki lain, maka qodli juga harus mengabulkan permintaannya dengan catatan suami menyetujuinya, tapi resikonya suami berhak meminta kembali sebagian mahar atau seluruhnya dan ini di sebut Khulu’.

Peradaban Barat dan Talak
Aturan mahar dan nafkah untuk istri tidak ada di sana. Konsekuensinya talak yang terjadi di Barat hanya bila dikehendaki suami tanpa ada ganti rugi (mut’ah) dan lain-lain. Memang di Amerika ada undang-undang bila suami mencerai istrinya maka istri berhak mendapatkan harta suami (gono gini), tapi realitanya berkata lain, istri yang dicerai tidak mendapatkan hak ini sama sekali. Mengapa?, karena perceraian di sana tidak resmi, tidak melalui lembaga hukum. Inilah yang menyebabkan proses perceraian di sana sangat gampang tanpa ada resiko-resiko yang merugikan pihak suami. Dan akibatnya istri-istri di sana teraniaya hak-haknya dan logis kalau grafik angka perceraian di Amerika terus naik. Catatan tahun 1994 saja perceraian menunjuk angka 70% dan sisanya, 30% hanya tinggal pasangan-pasangan jompo yang mustahil punya keinginan cerai untuk kawin lagi.
Lihatlah, apakah ini aturan talak paling ideal? Dan apakah itu solusi mereka untuk menjaga hak-hak wanita, menjamin kesetaraan hak dengan kaum laki-laki?, apa penyebab utama perceraian di sana?, ternyata hanya faktor bosannya seorang laki-laki dengan pasangannya dan ingin mencari pengganti yang lebih seksi. Sang wanita yang malang ini hanya bisa menangis menuntut haknya sebagai istri, tapi yang diterimanya malah pukulan dan penganiayaan suami, sungguh malang nasib wanita-wanita Barat.
Itulah realita peradaban Barat menyikapi dan memperlakukan kaum wanita. Sangat paradoks dengan apa yang diomongkan penyembah-penyembah peradaban Barat.

6. Persaksian (Syahadah)
Persaksian wanita tidak luput dari sasaran kritik mereka, kesetaraan gender wanita dan laki-laki dalam masalah saksi dikubur oleh hukum Islam dengan menggunakan dalil;
واستشهدوا شهيدين من رجالكم فإن لم يكونا رجلين فرجل وامرأتان (البقرة: 282)
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu. Jika tidak ada dua orang lelaki maka boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan.”
Sumber gambaran pemahaman seperti ini adalah kebodohan kuadrat terhadap hukum-hukum syari’at Islam. Ini kalau kita berbaik sangka pada mereka yang mengadopsi dan membela mati-matian pemikiran seperti ini. Jenis kebodohan seperti inilah yang kita temui dalam masalah waris, yaitu memahami ayat;
يوصيكم الله في أولادكم للذكر مثل حظ الأنثيين (النساء: 11)
Ringkas saja, bahwa syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam persaksian tidaklah karena pertimbangan gen laki-laki atau perempuan dalam diri saksi. Tapi;
Pertama    : Keadilan dan kecakapan saksi. Antara saksi dan terdakwa tidak terjadi konflik dan juga tidak ada ikatan kerabat.
Kedua       : Antara saksi dan kejadian ada kaitan erat yang menyebabkan dia paham betul kronologinya.
Jadi, persaksian orang yang cacat dalam sifat adil dan kecakapan daya ingatnya tidak diterima, tidak memandang gen laki-laki atau perempuan. Juga persaksian orang yang terlibat konflik dengan terdakwa, Karena dimungkinkan ada intrik jahat dan persaksian yang rentan nepotisme yang ditengarai kekerabatan.
Untuk masalah Jinayat dan kronologinya wanita tidak boleh menjadi saksi dikarenakan keterlibatan wanita dalam tindak kriminal dan jinayat pembunuhan sangatlah langka dan biasanya bila ketepatan dia menjumpai aksi pembunuhan tindakan yang diambil adalah lari sejauh-jauhnya dan kalau tidak kuasa untuk lari dia langsung pingsan.
Tapi syara’ juga memberi nilai lebih pada wanita dalam persaksian masalah-masalah menyusui, hadhonah, nasab dll. karena wanitalah yang paling banyak berhubungan dengan masalah seperti ini. Bahkan diriwayatkan dari Imam as-Sya’bi bahwa beliau berkata; “termasuk yang tidak diterima kecuali dari orang-orang wanita”.
Adapun masalah Mu’amalah dan urusan perniagaan serta dakwaan-dakwaan dan persengketaan yang mungkin terjadi antara wanita dan laki-laki punya nilai persaksian yang sama, hanya saja ketelibatan kaum laki-laki dalam masalah seperti ini lebih menghegemoni diberbagai komunitas dan dekade zaman. Kalau terlihat kaum wanita biasanya tugasnya hanya mengurusi administrasi pembukuan seperti sekretaris.
Realita yang berbicara seperti inilah gambaran abstrak dari hukum syara’ yang memberi nilai lebih pada kaum laki-laki dengan perbandingan persaksian dua orang wanita sama dengan keabsahan saksi satu orang laki-laki.
Sekarang apakah aturan secermat ini diklaim sebagai kesenjangan gender oleh para penyembah peradaban Barat?, kalau benar kata mereka mestinya syara’ tidak memprioritaskan wanita dalam masalah nasab, menyusui dan hadhonah, juga persaksian seorang laki-laki akan diterima oleh syara’ dalam masalah jinayat walaupun penakut dan idiot. Sebab, kalau terbukti saksinya penakut dan idiot, maka hakim pasti menolaknya. Jadi, yang menjadi sentral dalam hukum persaksian adalah antara saksi dengan obyek persaksian (keterlibatan atau keterkaitan serius), bukan masalah gender.
Adapun tentang kwantitas wanita yang harus terpenuhi dalam suatu persaksian, ini karena pertimbangan jenis persengketaan yang terjadi dan ini masuk kategori ijtihad. Ada riwayat dari Imam as-Tsaury, Abu Hanifah dan murid-muridnya juga dari Ibnu Abbas ra., Utsman ra, Ibnu Umar, Hasan Basri serta az-Zuhri bahwa dalam masalah yang biasanya hanya diketahui wanita, satu wanita diperbolehkan menjadi saksi.
Ada pertanyaan menarik, apakah peradaban masyarakat yang cenderung dinamis dari satu kondisi pada kondisi yang lain bisa merubah keputusan hukum ini, semisal persaksian wanita lebih bernilai dan berbobot di banding laki-laki dalam sebagian kondisi masyarakat peran wanita sangat dominan di bidang perdagangan seperti pakaian-pakaian khusus wanita atau sebagian profesi seperti pabrik farmasi. Di sisi lain peran laki-laki dalam bidang-bidang seperti ini kurang semarak atau misalnya peran laki-laki sangat dominan dalam bidang kedokteran specialis kandungan setelah sebelumnya biasanya dimonopoli penuh kaum wanita?.
Jawabannya, melihat konsekuensi illat hukum diterima atau tidak-nya suatu persaksian (setelah mengecualikan syarat adil dan kecakapan daya ingat) mestinya hukum berputar seiring berputarnya peradaban masyarakat sepanjang oleh syara’ dikategorikan mubah.
Jadi mestinya kaum laki-laki diprioritaskan sebagai saksi dalam masalah kelahiran (nasab) dan apa-apa yang berkaitan dengan nasab bila profesi dokter specialis kandungan di dominasi kaum laki-laki, karena sedikitnya atau tidak adanya dokter-dokter specialis kandungan dari kaum wanita. Juga prioritas persaksian dalam masalah farmasi, apoteker dan yang kaitannya diberikan kepada kaum wanita bila profesi seperti ini dimonopoli kaum wanita.
Tapi perlu diketahui bahwa peradaban masyarakat yang baru bila bertentangan dengan hukum syari’at itu sendiri, maka hukum asal tidak berubah sebab peradaban seperti ini tidak berguna dan batil. Seperti ada kecenderungan peradaban baru sebagian komunitas masyarakat kaum wanita menjadi anggota polisi, berarti kalau mengikuti konsekuensi illat hukum persaksian wanita boleh menjadi saksi dalam delik kriminal dan jinayat. Tapi gambaran seperti ini tidak diterima oleh syara’, sebab syara’ tidak pernah mengakui dan mengesahkan peradaban seperti ini, karena kalau profesi-profesi seperti polisi dilakoni oleh kaum wanita mereka akan kehilangan karakter kewanitaannya dan ini penyelewengan besar-besaran terhadap Allah yang menciptakannya, akibatnya mereka mensabotase hak-hak kaum lelaki karena kaum laki-laki kehilangan aura kewanitaan kaum wanita. Dan kalau peradaban seperti ini dilegalkan oleh syara’ tidak bisa dibayangkan apa yang terjadi pada umat manusia secara universal.
Argumen-argumen transparan tentang hal ini adalah tidak pernah dijumpai wanita normal karakter dan psikisnya memasuki profesi seperti ini kecuali situasi dan kondisi yang tidak bersahabat dan kalau demikian maka kasusnyan seperti wanita-wanita yang kita lihat menjalani pekerjaan-pekerjaan kasar, sibuk di siang hari menjadi kuli-kuli bongkar muat atau sopir-sopir taksi.
Terakhir argumen yang mustahil terbantah adalah kalau unsur gender lelaki atau perempuan yang bermain di balik keputusan hukum persaksian mestinya dalam masalah persaksian sumpah li’an, sumpah wanita (istri) sebanyak empat kali senilai dengan sumpah laki-laki (suami) sebanyak dua kali. Tapi al-Qur’an berkata;
والذين يرمون أزواجهم ولم يكن له شهداء إلا أنفسهم فشهادة أحدهم أربع شهادات بالله،إنه لمن الصادقين والخامسة أن لعنة الله عليه إن كان من الكاذبين ويدرأ عنها العذاب أن تشهد أربع شهادات بالله إنه لمن الكاذبين والخامسة أن غضب الله عليها إن كان من الصادقين. (النور: 6-9).
“Dan orang-orang yang menuduh istrinya berzina padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar dan sumpah yang kelima bahwa laknat Allah atasnya jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta dan sumpah yang kelima bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.”

7. H I J A B
Sebagian orang berpandangan bahwa syari’at hijab adalah bukti paling besar dari kesenjangan gender laki-laki dan perempuan, bahkan ada yang menganggap kaum wanita dihina dan dikebiri hak-hak kebebasannya dengan syari’at hijab.
Kalau mereka mau berfikir jernih, apa motif syari’at hijab ini akan terpampang jelas bahwa sebenarnya ini adalah solusi alternatif agar kaum wanita bisa bergabung total dengan kaum laki-laki membangun komunitas masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan.

Motif disyari’atkan Hijab
Kaum wanita dan lelaki sama-sama punya hak untuk berpartisipasi dalam berbagai nilai-nilai luhur kemanusiaan beraneka profesi baik jasa atau materi serta beragam kegiatan social kemasyarakatan juga dibidang intelektual.
Tapi wanita lain dengan pria, aura kewanitaan yang tersembunyi dalam setiap penampilannya yang menawan dan seksi merupakan karakter spesifik kaum wanita. Aura yang laksana besi magnet inilah yang mempertemukan lelaki dan wanita untuk memenuhi kebutuhan masing-masing berupa hubungan biologis.
Jadi kaum laki-laki akan berhadapan dengan kaum wanita dalam suasana yang menuntut keseriusan total dalam bekerja atau berkarya, saling tukar pemikiran serta gerakan-gerakan lain untuk membangun peradaban masyarakat, tapi dalam nuansa lain mereka akan berhadapan dalam suasana romantis memenuhi kebutuhan biologis.
Sekarang mari kita berpikir sejenak!, bagaimana solusinya agar kedua nuansa ini (serius dan romantis) terlaksana seperti apa adanya dalam artian nuansa serius tidak diracuni nuansa romantis atau sebaliknya?.
Akhirnya sangat logis kalau muncul suatu teori harus ada syarat agar nuansa serius steril dari berbagai bau romantisme. Sekarang apa syarat itu?, tentu tidak perlu berpikir panjang, semuapun tahu bahwa harus ada benteng pemisah dari kedua karakter nuansa kebersamaan itu agar tidak berakibat fatal pada mereka sendiri.
Di sinilah Islam tampil lantang memberi kontribusi besar pada peradaban manusia secara universal agar tercapai kemaslahatan yang mereka cita-citakan serta terselamatkan dari kehancuran moral di saat berbagai idiologi dan ajaran agama bungkam tak bersuara menghadapi problem krusial publik seperti ini. Islam sejak munculnya dulu sudah punya peradaban modern yang merupakan solusi dini dari problem seperti ini, yaitu syari’at hijab.
Sekarang kita lihat contoh praktek di sekitar kita ketika wanita dan laki-laki bertemu dalam forum ilmiah untuk memperbaiki peradaban masyarakat atau problem ilmiah lainnya, situasi seperti ini bagi mereka (kaum laki-laki) yang anti terhadap syari’at hijab dan batas-batas flexibilitasnya merupakan even menarik dan menguntungkan sebab akan terpampang di hadapan mereka penampilan cewek-cewek cakep, dandanannya pun seksi, nampak bagian-bagian tubuh sensitive yang tidak ditutupi sehingga mengundang birahi pandangan mata-mata nakal tanpa permisi.
Lihatlah apa kira-kira yang terjadi ketika sang wanita berpenampil-an seenaknya seperti ini untuk mendiskusikan masalah ilmiah atau problem masyarakat atau terapi moral?. Yang mesti terjadi adalah mereka kaum lelaki yang melihat dan mendengar tema ilmiah yang disampaikan sang wanita tergetar perasaan laki-lakinya sekaligus mengalahkan keseriusan mentelaah argumen-argumen sang wanita.
Ini contoh kecil, masih banyak kejadian-kejadian serupa bahkan juga yang lebih konyol dari itu. Apakah problem seperti ini tidak pernah dipikirkan?, pola hidup model peradaban Barat inilah yang menghancurkan moral manusia dan berakibat pada eksistensi makhluk itu sendiri, sebab akan menambah problem social lebih serius berupa pelecehan seksual, pemerkosaan, gonta ganti pasangan dan akhirnya digerogoti virus HIV yang mengancam populasi hidup manusia.
Syari’at Islam yang punya terapi sejak dini menjawab semua konsekuensi yang mungkin terjadi dari pola peradaban seperti ini sebagai bukti dari kecemburuan serius terhadap martabat kaum wanita serta memasang metodologi praktis yang menyelamatkan kaum wanita dari perasaan terhina serta menjaga dengan setia harkat kemanusiaannya yang menjadi modal tunggal untuk bergabung dengan kaum lelaki dalam berbagai segmen kehidupan dan tentu melawan apa dan siapa saja yang mencoba mengintimidasi atau memprovokasi kaum wanita.
Teraphy ini disuguhkan dalam bentuk berpenampilan anggun dan berwibawa sehingga yang nampak terlihat adalah kemanusiaannya saja yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kaum lelaki dalam suasana yang menuntut keseriusan serta menyembunyikan dan menutupi rapat-rapat bagian tubuh yang bermasalah dengan pandangan mata. Tapi penampilan seperti ini juga harus ditinggalkan ketika bergabung dengan pria dalam nuansa harmonis di bawah naungan sacral akan nikah, saling berbagi kebahagiaan dengan segala konsekuensi tanggung jawab.
Ada yang mencoba membantah teori ini dengan argumen, demikian tadi terjadi kalau wanitanya cantik mempesona seperti yang dicontohkan, tapi kalau sudah tua atau tidak menarik untuk dipandang walaupun cara berpakaiannya tidak sesuai dengan kode etik syari’at hijab apakah mungkin terjadi fitnah bagi kaum lelaki?.
Apa yang masuk dalam kategori memamerkan anggota tubuh yang bermasalah (mafaatin) adalah perkara yang berstatus relatif dan memang ada pertautan tingkat pamerannya, dimulai dari pamer rambut, lalu mungkin memanjang dan melebar sampai sasaran, dan dalam hukum syara’ tidak ada standar untuk membedakan antara tingkat yang dipamerkan sepanjang semuanya masuk dalam kategori memamerkan anggota tubuh yang bermasalah.
Dan anggota tubuh yang bermasalah juga berstatus relatif, terkadang sedikit yang dipamerkan tidak mampu menggetarkan perasaan kita tapi orang laki-laki yang duduk disebelah kita terhipnotis dan melayang bersama angan-angan nakalnya. Ada pepatah Arab kuno;
لكل ساقطة في الحيّ لاقطة
“setiap ada perkara yang jatuh dalam hidup pasti ada orang yang menemukan”.
Melihat realita yang tidak mungkin diingkari seperti ini syari’at Islam memberi terapi universal terhadap berbagai peristiwa dan kejadian tanpa memandang secara particular terhadap perbedaan-perbedaan yang relatif, dan itulah karakter semua undang-undang yaitu beridentitas universal sehingga dalam praktek penerapannya juga harus universal, kalau tidak maka tidak disebut undang-undang.
Karenanya ada kaidah تنزل المظنة منزلة المئنة yaitu dalam tataran penerapan hukum, apa-apa yang bersifat dzon (mungkin terjadi) dikategorikan benar-benar terjadi (mi’innah) untuk menutup pintu-pintu kemungkaran dan sebagai langkah antisipasi dini.
Bisa ambil analog hukum keharaman homer kalau kita membedakan hukum antara peminum yang bertujuan mabuk dan bertujuan selain mabuk lalu kita bedakan lagi antara satu atau dua gelas belum mabuk dan hanya satu tenggak sudah mabuk kemudian dalam penerapan hukum kita klasifikasikan, maka hilanglah karakter undang-undang dan wibawa hukum syara’ dari hati manusia.

Motif hijab dan pemahaman error
Ada sebagian asumsi bahwa hijab adalah sarana untuk mendidik anak-anak perempuan dan sebagai jalur alternatif menuju stabilitas moral ideal dan jauh dari moral-moral rendah serta penyelewengan-penyelewengan. Kemudian asumsi seperti ini dikukuhkan sebagai motif (hikmah) disyari’atkannya hijab, setelah itu mereka ramai-ramai mengkritik habis motif seperti ini, tema pembahasan mereka gelar panjang lebar untuk mengukuhkan bahwa tidak ada hubungan sama sekali antara pendidikan jiwa (moral) yang berakar pada pribadi-pribadi manusia dengan mode pakaian yang disandang mereka. Ada lagi yang meneruskan argumen konyol ini bahwa anak-anak perempuan yang terdidik dan berkembang dalam lingkungan moral yang ideal tidak akan berubah seketika menjadi nakal hanya karena mode pakaian yang disandangnya. Begitu pula anak-anak yang terbiasa menyeleweng dibiarkan tidak terdidik dengan moral-moral ideal, tidak akan seketika menjadi bermoral luhur hanya karena jilbab yang panjang dan lebar atau kerudung yang menutupi sisi-sisi wajahnya atau bahkan cadar yang menutupi total wajahnya, sebab banyak juga wanita-wanita nakal tapi memakai hijab.
Memang betul kata mereka, bahwa pendidikan yang bersumber pada rohani tidak ada sangkut-pautnya sama sekali dengan mode pakaian, dan sampai kapan dan dimanapun mode pakaian tidak akan mampu mengganti posisi moral dan metodologinya.
Tapi ulama atau dalil mana yang mengatakan bahwa motif syari’at hijab adalah standar moral serta sarana pendidikan kelakuan baik untuk anak-anak perempuan?
Motif syari’at hijab dalam logika al-Qur’an adalah
ياأيها النبي قل لأزواجك وبناتك ونساء المؤمنين يدنين عليهن من جلابيبهن ذلك أدنى أن يعرفن فلا يؤذين (الأحزاب 59 )
“hai Nabi katakanlah pada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal. Karena itu mereka tidak diganggu”.
"ذلك أدنى أن يعرفن فلا يؤذين" inilah hikmah hijab, bukan seperti yang dikatakan para penyebah peradaban barat itu, yaitu agar tersembunyi ” أدنى أن يعرفن” organ-organ sensualnya yang menimbulkan rangsangan seksual kaum lelaki yang melihatnya dan yang nampak hanya kemanusiaanya saja seperti yang telah mereka kenal, maka “فلا يؤذين “ tidak terjadi pelecehan seksual yang menghina dan menyakiti kaum wanita, ahirnya yang dilihat kaum lelaki hanya kemanusiaannya sebagai partner tugas-tugas yang menjadi tanggung jawab mereka, partner kerja, studi atau tugas-tugas sosial lainnya.
Jadi motif sentral hijab bukanlah menjembatani kaum wanita menuju beretika luhur tapi justru sangat membantu kaum lelaki untuk bermoral luhur ketika melihat kaum wanita, sehingga nuansa serius yang mereka gagas bersama steril dari berbagai bau romantisme.
Sekarang seandainya diantara wanita-wanita nakal itu ada yang mode pakaiannya sesuai kode etik hijab, tapi apakah logikanya berkonsekuensi terhadap pendeskreditan dan penghinaan syari’at hijab yang memberi karakter wibawa pada pemakainya?
Kalau dijawab ya, maka pameran tubuh seksi atau semi pameran lebih berhak untuk ditentang dan dihina. Sebab wanita-wanita nakal yang kecanduan pamer atau semi pamer lebih banyak jumlahnya dibanding dengan yang berpenampilan anggun, berwibawa karena memakai hijab.
Walaupun realita berbicara seperti itu, sungguh sangat aneh para penyembah peradaban barat ini tidak bosan-bosan mencurigai dan me-musuhi hijab. Tapi mengapa wanita-wanita yang doyanannya pamer, penampilannya membangkitkan birahi dibiarkan lalu-lalang begitu saja menghabisi moral kaum laki-laki? Mengapa bukan mode pakaian semacam ini yang dicurigai sebagai momok utama hancurnya moral manusia?.

Apakah hijab merintangi kemajuan kaum wanita?
Apakah benar asumsi bahwa hijab menghalangi kemajuan pemberdayaan wanita serta mengurungnya dalam penjara kebodohan dan keterbelakangan?, apa hubungannya antara dua topik ini bila jawabannya ‘ya’? .
Jawaban pemikiran obyektif independen mengatakan, tidak ada sangkut paut antara hijab sebagai salah satu mode pakaian manusia yang disyari’atkan Allah dengan kemajuan atau keterbelakangan suatu peradaban. Tidak akan pernah terjadi kapanpun dan dimanapun mode pakaian yang dikenakan wanita, panjang pendeknya atau lebar sempitnya punya pengaruh terhadap cara berpikir atau peradaban manusia.
Lantas dari mana dan kapan munculnya pemikiran yang tidak pernah diketahui dunia dan sejarah seperti ini?, ya memang mereka yang mengidentikkan hijab dengan keterbelakangan bermaksud bahwa hijab yang mengurung dan mempersempit kaum wanita yang dikenal dengan sebutan ‘dipingit’ serta terlalu berlebihan cara memakai hijab sampai melebihi batas kewajaran yang diwajibkan sampai akhirnya benar-benar terpasung dari komunitas masyarakat dan hak-hak berpikir, berkarya dan belajar dan memang di antara masyarakat ada yang bermadzhab ekstrim dalam memahami perintah menutup aurat wanita, tapi pada masa sekarang sangat sedikit kelompok ini. Karakter pemahaman ekstrim inilah yang menyeret pada keterbelakangan secara riil dan sangatlah dholim kalau Islam harus menanggung akibat dari pemahaman berlebihan terhadap hukum syara’.
Batas aurat wanita yang harus ditutupi sangat jelas dalam al-Qur’an.
ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها (النور: 31)
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak daripadanya.”
lafadz; ما ظهر منها seperti kata Jumhurul Ulama’ adalah wajah dan kedua dan telapak tangan dan batas seperti ini tidak menghalangi wanita dalam berbagai kegiatan ilmiah atau sosial kemasyarakatan. Adapun melebihi dari batas itu dengan alasan wira’I atau lainnya Islam tidak bertanggung jawab terhadap pemahaman seperti itu.
Dan sudah maklum bahwa ketika seorang wanita mengetahui diantara kelompok lelaki ada yang melihat wajahnya dengan pandangan nakal (tidak memalingkan pandangan seperti perintah Islam), maka bagi sang wanita berkewajiban dari terus-terusan memandang yang berhukum haram ini. Kalau tidak mungkin, maka seperti kata mayoritas fuqaha’ wanita harus menutupi wajahnya dengan jalan apapun.
Tapi teori seperti ini sangat sulit dan langka, secara umum biasanya wanita tidak bisa mengetahui dengan transparan apa motif kaum lelaki melihatnya?, dan yang harus dilakukan wanita adalah tidak boleh meneliti pandangan mata kaum lelaki, kemudian dasar-dasar agama memerintahkan kita untuk selalu berbaik sangka pada semua manusia dan menta’wili tingkah laku serta aksi-aksi mereka pada tujuan-tujuan normal dan wajar.
Kalau begitu, dari mana dia sekarang bisa tahu bahwa diantara kaum lelaki ada yang melihatnya dengan pandangan nakal?.

Egoisme kaum laki-laki motif mereka menentang menjaga kehormatan wanita (hijab)
Apa motif sebagian kaum lelaki yang mempropagandakan pembebasan kaum wanita dari batas-batas kehormatan (hijab) sesuai dengan kode etik syara’?, apakah kecemburuan hak terhadap kemaslahatan masyarakat dan upaya membebaskan diri dari ketertinggalan serta bangkit menuju kemajuan dan peradaban luhur?.
Kalau seandainya motif mereka itu kecemburuan terhadap peradaban masyarakat atau kaum wanita dapat diyakini argumen seperti ini sangatlah ekstrim dan bagi yang berpendapat dan memperjuangkan bahwa inilah pemikiran yang benar akan menarik perhatian banyak orang untuk ditertawakan karena sangat lucu.
Coba kita angan-angan, orang yang menghadiri acara pertunjukan kesenian yang inti acaranya adalah tampilan-tampilan atraktif yang mengundang fitnah, apakah diantara kita ada yang ragu bahwa mereka yang datang hanya ingin memuaskan nafsu nakal mereka. Realita seperti inilah yang dipertontonkan egoistic mereka, apakah diantara mereka yang berakal ketika melihat acara seperti ini dan bersorak kagum di hati dan akalnya terpendam rasa mengasihani mereka (penari atau penyanyi wanita) sera cemburu terhadap kemaslahatan-kemaslahatan mereka dan rela mengorbankan diri demi mereka?. Seperti yang kita lihat realitanya tidak lebih dari mementingkan diri sendiri dengan cara memperbudak orang lain.
Sekedara contoh, orang yang terpana kagum dengan sebuah bangunan rumah akan berusaha dengan sekuat tenaga untuk memilikinya serta perabot-perabot lux sebagai penyempurna. Begitu pula orang yang kagum pada seorang wanita berusaha menyambung hubungan kasih dengan sang wanita dan berusaha agar sang wanita selalu tampil di hadapannya dengan dandanan yang paling seksi. Ini semua adalah aksi-aksi yang dilandasi egoisme, memuaskan kesenang-an pribadi. Apakah demikian ini bisa dikategorikan sifat luhur manusiawi dan cinta sejati?, omong kosong dan sangat lucu. Cinta sejati adalah memperlakukan mereka yang dicintai seperti dia memperlakukan dirinya sendiri. Adapun mereka dijadikan alat pemuas nafsu dan kesenangan pribadi, ini bukan cinta tapi egois dan lagi-lagi kaum wanita yang menjadi korban pelecehan seksual atau pemerkosaan atau terbius dengan rayuan gombal laki-laki buaya.
Dan dalam masalah ini antara lelaki dan perempuan sama-sama egois demi kepentingan mereka sendiri-sendiri. Tetapi lelaki dengan kekuatan tipu daya dan rayuan-rayuan gombalnya mampu mengalahkan dan memperoleh apa yang diinginkan. Adapun wanita karena keberanian yang dilandasi sifat lemah dibuat mabuk dengan setumpuk impian-impian palsu dan setelah sadar baru dia tahu kenyataan pahit yaitu mereka, kaum lelaki, telah memperoleh apa-apa yang mereka inginkan sedangkan dia tidak mendapat apa yang dia inginkan dari mereka.
Jadi jelaslah bahwa apa yang disyari’atkan Allah berupa hijab sebagai identitas kehormatan kaum wanita bukan untuk menurunkan derajat wanita, tapi malah sebaliknya, karena aturan hijab inilah yang menjaga dan membantu terselenggaranya kebersamaan lelaki dan wanita sebagai partner kerja di berbagai bidang, sedangkan penampilan tanpa hijab justru yang menurunkan derajatnya dan hanya menjadi perempuan-perempuan penghibur dan media rekreasi para lelaki.

Nash-nash hadits yang potensial untuk disalah pahami
1. Riwayat Bukhori dan Muslim dari Abu Sa’id al-Khudzri bahwa Rasulullah berkata pada sekelompok wanita dalam hadits yang panjang;
...ما رأيت من ناقصات عقل ودين أذهب للب الرجل الحازم من إحداكن.
“Aku tidak melihat orang-orang perempuan yang kurang akal dan agamanya yang mampu mengalahkan hati lelaki yang kuat dari salah satu dari kalian.”
Dalam hadits ini Rasulullah memberikan orientasi sederhana sesuai dengan situasi dan kondisi tidak bisa dipahami bahwa sifat kurang akal kaum wanita menjadi inti dalam hadits ini, sebab sangat kontradiksi dengan kemampuan yang dimiliki wanita yaitu mengalahkan akal kaum lelaki dan sekaligus menjatuhkan hati lelaki yang kokoh dan yang punya pengaruh luas. Orientasi ini seperti perkataan seseorang pada temannya, ‘kecil’ atau ‘gampang’ sebagai ungkapan mudahnya suatu perkara atau urusan yang orang-orang lain tidak ada yang mampu menanganinya.
Berarti hadits ini tidak bermaksud mendiskriminasikan kaum Hawa, sebab dalam hadis juga disebut kekaguman Rosulullahterhadap kekuatanya menaklukkan kaum Adam, kita semua tahu dalam materi dasar atau ilmu psikologi bahwa wanita lebih kuat perasaanya dan lebih lemah daya pikirnya dibanding laki-laki dan lelaki lebih kuat daya pikirnya serta lebih lemah perasaannya dibanding wanita dan semuapun tahu bahwa inilah rahasia kebahagiaan yang didamba-dambakan laki-laki dan perempuan.
Seandainya wanita itu seperti laki-laki dalam kesabaran menghadapi masalah-masalah yang membutuhkan pemikiran-pemikiran yang dalam,miskin perasaan, maka celakalah kaum lelaki yang selalu di buat gersah dan bosan hidup bersamanya, dan ahirnya kebahagiaan malah di dapat ketika menjahui wanita.
Begitu pula bila lelaki seperti wanita dalam kehalusan perasaan dan kelemahan berfikir, maka celakalah kaum wanita karena perlindungan dan pembinaan yang dia dambakan tidak didapatkannya dan tentu wanita tak betah hidup bersama lelaki.
Itulah hikmah Robbaniyyah,agar masing-masinh lelali dan wanita menjadi penyempurna dari kekurangannya yang ada, dan disilah logika kesetaraan gender hakiki antara keduanya.
Terkadang ada kelainan dalam sunnah robbaniyah ini, ada sebagian lelaki yang punya sifat sangat berperasaan dan sering mengeluh menghadapi masalah-masalah yang sulit, demikian ini menurut ulama’ dikategorikan ”kelainan”.
Demikian juga kelainan seperti ini terkadang nampak pada sebagian wanita,ada gadis yang selalu tak puas kecuali menangani masalah-masalah falsafah dan pemikiran-pemikiran rumit lainnya, dan perasaan kewanitaannyapun hilang entah kemana. Dan kelainan-kelainan seperti itu tak mungkin dijadikan standar hukum.
Kemudian bila kita renungkan sabda Rasulullah tadi nampak ada dua perkara yang saling berhubungan dalam pribadi dan kehidupan wanita terjadi dialog interaktif yang merupakan titik kebahagiaan wanita dan lelaki. Rasulullah memberi karakter wanita lemah daya fikirnya, kemudian dalam waktu yang bersamaan beliau mengaguminya karena punya karakter super power yang dengan mudah mampu menundukkan lelaki sekuat dan sebesar apapun pengaruhnya.
Wanita selalu berharap kehadiran seorang lelaki sebagai partner hubungan biologis juga pelindungan dan pembinaan. Berarti logis kalau wanita lebih lemah dari lelaki. Tidaklah berlebihan kalau dipaham bahwa senjata ampuh wanita tersimpan dalam karakter kelemahannya dan kekuasaannya terhadap lelaki tersembunyi dalam perlindungan lelaki dan butuhnya wanita terhadap kehadiran lelaki. Konsekuensinya lelaki harus lebih kuat secara fisik dan lebih luas daya berfikirnya dibanding wanita.
Mungkin terkesan subyektif kalau yang berbicara seperti ini seorang lelaki, lebih obyektif kalau kita simak uraian penulis wanita Jerman, Ester Vieler dalam bukunya Hak Lelaki Berpoligami; ”kalau kekuatan fisik patut digunakan sebagai alat untuk menekan dan menguasai strata komunitas masyarakat tertentu, maka kekuatan ini tak berfungsi untuk menunjukkan lawan jenis. Seseorang yang mampu menjatuhkan dan menundukkan orang lain sebenarnya adalah orang yang lemah yang membutuhkan bantuan, bukan profil yang kuat fisiknya sebab selamanya orang yang jatuh cinta tidak pernah berkuasa tapi yang punya kekuasaan adalah orang yang digandrungi.”
Dalam bukunya dia banyak berkomentar bahwa wanita tidak jatuh hatinya kecuali pada lelaki yang lebih tajam kecerdasannya dan di sisi sang lelaki dia nampak tolol dan tulus hati, sebab inilah modal utama-nya untuk mendapatkan perlindungan dari lelaki. Dia menuntut perlindungan dan pembinaan terlebih dahulu setelah itu baru tuntutan hubungan biologis.
Penulis ini menguatkan argumennya dengan menyertakan polling beberapa kaum wanita dan yang popular di kalangan kaum wanita adalah komentar mereka bahwa lelaki yang kudamba adalah yang mampu melindungiku. Lelaki tidak bisa menjadi pelindung kecuali berpostur lebih tinggi dan lebih kuat fisiknya serta lebih cerdas. Ada komentar lain bahwa lelaki yang ku idamkan adalah lelaki yang bisa kujadikan bernaung postur tubuhnya serta kuangkat kedua mataku untuk menyaksikan wajahnya.
Sekarang apakah yang dikatakan Rasulullah kepada wanita dalam hadits tadi tidak lebih dari komentar wanita-wanita dalam buku Ester Vieler?. Sungguh aneh para penyembah peradaban Barat ini, mereka menyabotase hadits Rasulullah yang rasional ini dengan memotong sebagian hadits, lalu ramai-ramai mengkritik Islam habis-habisan sampai akhirnya mereka tahu apa yang dikatakan penulis-penulis ilmu psikologi dan melihat tulisan seperti tulisan wanita Jerman ini mereka bungkam seribu bahasa dan menyimaknya dengan penuh hormat dan setuju atau bahkan mungkin mensakralkannya.
Sekarang mengapa wanita dalam terusan hadits juga dikatakan kurang agamanya?, istilah kurang agamanya terkadang dikehendaki sedikitnya beban kewajiban karena sebab-sebab tertentu dan memang beban wanita tidak seperti lelaki yang mukallaf, juga terkadang diartikan meremehkan atau tindakan semaunya sendiri terhadap kewajiban-kewajiban agama.
Anak yang belum baligh diberi predikat ‘kurang agamanya’, tapi bukannya dia menanggung dosa-dosa keteledoran terhadap kewajiban agamanya, bahkan terkadang dia lebih banyak menunaikan kewajiban dan kesunahan dibanding orang dewasa hanya karena melihat dia belum terbebani melakukan perintah-perintah agama, maka sang anak ini disebut kurang agamanya dengan menggunakan arti yang pertama.
Orang yang meremehkan perintah dan hukum Allah, menerjang larangannya juga disebut kurang agamanya, tapi di sini dikehendaki dia sengaja teledor dalam menjalankan ajaran agamanya, maka dia menanggung dosa atas kecerobohannya. Ini yang dikehendaki dengan arti yang kedua.
Berarti yang dikatakan Rasulullah dalam hadits Naqishotu Dinin adalah makna yang pertama, bahwa kaum wanita diberi dispensasi terhadap sebagian kewajiban agama, wanita tidak diperintah sholat ketika haidl dan nifas sekaligus tidak wajib menqodloi, tapi tidak mengurangi sedikitpun pahalanya. Masalahnya bukan karena keteledorannya, tapi merupakan dispensasi Allah.
Wanita dalam kondisi seperti ini disifati kurang agamanya yaitu berkurang beban kewajibannya, bukan karena keteledorannya karena dia tidak punya pilihan lain terhadap apa yang telah ditakdirkan Allah.
Dalil paling transparan bahwa pahala lelaki dan perempuan yang selalu taat dengan ajaran agama sama antara lain;
فاستجاب لهم ربهم أني لا أضيع عمل عامل منكم من ذكر أو أنثى بعضكم من بعض (آل عمران: 195).
“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya dengan berfirman; Sesungguhnya aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal diantara kamu baik laki-laki atau perempuan karena sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain.”
ومن يعمل من الصالحات من ذكر أو أنثى وهو مؤمن فأولئك يدخلون الجنة ولا يظلمون نقيرا (النساء: 124).
“Dan barang siapa yang mengerjakan amal-amal sholeh baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya sedikitpun.”
Firman Allah tadi disyaratkan amal sholeh, sedangkan wanita dalam kondisi nifas dan haidl terhalang melakukan amal sholeh paling penting yaitu sholat. Konsekuensinya dia tidak mendapatkan pahala seperti kaum laki-laki.
Jawabannya, patuh terhadap perintah-perintah Allah untuk mendapatkan ridlo-Nya adalah sumber memperoleh pahala. Patuh bisa direalisasikan dengan perbuatan positif juga mungkin berupa aksi negatif. Wanita yang telah diperintahkan meninggalkan sholat dalam kondisi haidl tetap mendapatkan pahala karena menunaikan perintah ini selama niatnya patuh kepada perintah Allah.
Banyak diantara kaum wanita yang kepingin hadir melakukan sholat Tarawih, tapi karena dalam kondisi haidl, maka dengan berat hati tidak bisa menghadirinya karena menjauhi kemurkaan Allah dan patuh pada perintah-Nya serta ingin mendapatkan ridlo-Nya. Tidak diragukan bahwa sikap wanita seperti ini adalah ibadah bahkan ubudiyah haqiqiyah karenanya dia mendapatkan pahala dan hanya Allah yang tahu besarnya, kalau tidak demikian, lantas apa artinya sabda Rasulullah SAW.;
 إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ ما نوى
“Semua amal dianggap sah sebab ada niat, dan siapa saja akan mendapatkan apa yang diniatinya.”
إن الله لا ينظر إلى صوركم ولا إلى أعمالكم ولكن ينظر إلى قلوبكم.
“Sesungguhnya Allah tidak melihat rupamu dan amalmu, tapi hatimu.”
Jelaslah bahwa Rasulullah realistis sekali menyikapi kaum wanita tidak diskriminatif seperti kata para penyembah peradaban Barat.

2. Riwayat Ahmad dan Nasa’i dari Anas bin Malik.
لو كنت آمرا بشرا يسجد لبشر لأمرت المرأة أن تسجد لزوجها لعظم حقه عليها.
“Seandainya aku memerintah manusia bersujud kepada manusia maka aku akan memerintah wanita sujud pada suaminya karena besarnya hak suami terhadapnya.”
Hadits ini dipahami bahwa wanita (istri) tidak lebih dari seorang budak yang harus tunduk pada lelaki (suami), berarti kesetaraan gender antara lelaki dan perempuan dihapus oleh hadits semacam ini. Karena keluarga menurut konsep hadits ini berdiri di atas dua pondasi utama yaitu tuan dan budak.
Mestinya sebelum mereka mengkritik harus respek dengan apa substansi, tema hadits tadi. Rasulullah dalam hadits ini mengingatkan para istri terhadap hak-hak suami, berarti agar tidak terjadi pemahaman berat sebelah mereka harus juga melihat nash-nash hadits yang mengingatkan para suami terhadap hak-hak istri seperti;
إنما النساء شقائق الرجال ما أكرمهن إلا كريم وما أهانهن إلا لئيم (رواه أحمد).
“Wanita adalah saudara kandung para lelaki, tidak akan memuliakannya kecuali lelaki yang mulia dan tidak akan menghinakannya kecuali lelaki yang hina.”
خيركم خيركم لأهله وأنا خيركم لأهلي (رواه ابن ماجه والحاكم)
“Sebaik-baik kamu adalah mereka yang paling baik kepada istrinya, dan aku adalah orang yang paling baik kepada istriku.”
أكمل المؤمنين إيمانا وأقربهم مني مجالس ألطفهم بأهله (رواه الترمذي والحاكم)
“Mu’min paling sempurna imannya dan lebih dekat denganku kedudukannya adalah mereka yang paling lembut dengan istrinya.”
ألا استوصوا بالنساء خيرا فإنما هن عوان عندكم أخذتموهن بأمان الله واستحللتم فروجهن بكلمة الله إن لكم عليهن حقا ولهن عليكم حقا (رواه ابن ماجه والترمذي)
“Ingatlah, agar kalian berwasiat baik terhadap para wanita karena mereka adalah tawanan di sisi kalian. Kalian mengambilnya dengan amanat dari Allah dan menghalalkan farjinya dengan kalimat Allah. Sesungguhnya kamu punya hak terhadap mereka dan mereka juga punya hak dari kalian.”
Sekarang lihatlah apa hasil pendidikan dari wasiat-wasiat Rasulullah terhadap wanita dalam menjaga dan melayani suaminya juga wasiat Beliau pada kaum lelaki agar memperhatikan hak-hak isterinya.
Yang terjadi adalah masing-masing suami dan isteri saling berkompetisi dengan tugas-tugasnya untuk menarik hati pasangannya. Kedua pasangan ini memulai benih cinta kasihnya sejak mereka hidup sebagai suami isteri, tapi tidak lama kemudian benih ini membesar berkembang dan berbuah secara sempurna layaknya sebuah pohon yang selalu dirawat dan disirami.
Berbeda dengan kehidupan pasangan yang lari dari tuntunan Rasulullah, tidak taat pada ajaran-ajaran Islam, cinta kasih sudah dimulai sejak mereka pacaran dan ketika nikah benih ini sudah membesar, tapi tidak lama kemudian mengecil dan terus mengecil hingga ahirnya api cinta redup dan mati, sehingga hubungan mereka menjadi biasa-biasa saja tanpa kasih sayang, ini kalau tidak terjadi pertrikaian dan problem lain yang merobohkan bangunan rumah tangga.
3.      Riwayat an-Nasa’i dan Ahmad.
 حبب إلي من دنياكم الطيب والنساء وجعلت قرة عيني في الصلاة
“Aku menyukai dari dunia kalian,wangi-wangian, wanita dan hatiku sangat tentram ketika melaksanakan sholat”.
Mereka yang kenyang dengan ilustrasi rendah terhadap makna cinta dan mereka yang menyembah peradaban barat pastilah mengukuhkan Rasulullah sebagai salah satu “Pangeran Cinta” yang melanglang buana mencari di mana para srikandi berada.
Sebaliknya diantara cendikiawan Islam yang ekstrim ada yang menutup mata dari hadits-hadits seperti ini atau pura-pura tidak tahu agar tidak terperosok dalam pemahaman yang berbahaya. Dan sikap pura-pura tidak tahu sebagai buah dari pemikiran ekstrim ini justru lebih berbahaya dibanding mereka yang merendahkan ilustrasi cinta.
Hanya saja sebenarnya kalau mau mentelaah biografi Rosul;ulloh mulai awal sampai ahir, mereka tidak akan lari dari pemahaman bahwa yang dikatakan Rasulullah ini membawa kita pada salah satu idealisme baru dari etika-etika luhur Beliau yang terkenal dan memalingkan pandangan kita pada fenomena tiada dua dari luhurnya sifat kemanusiaan dan fitroh Beliau, bahkan akan terpampang sisi paling urgent dari risalah kenabian yang diutus kepada ummat manusia sebagai guru dan pembimbing.
Kesimpulannya bahwa Rasulullah untuk menyempurnakan ahlak mulia seperti dikatakan oleh Beliau semdiri, dan sudah maklum bahwa manusia menjalani hidup atau interaksinya dengan sesama tidak lepas dari dua alternatif yaitu metode negatif yang merusak serta metode positif yang membangun. Sedangkan inti dari diutusnya Rasulullah adalah agar manusia melakoni hidup mereka dengan metodologi yang paling ideal yaitu metode positif yang membangun dengan berbagai sabda-sabda Beliau yang menasihati serta praktek-praktek amaliah sebagai penerjemah.
Bangsa Arab pada masa diutusnya Rasulullah sudah mengenal nilai luhur dan sifat ksatriaan, keberanian serta kemuliaan.akan tetapi mereka memperlakukan nilai-nilai ini dengan metode negatif yang merusak. Kemuliaan menurut mereka adalah nilai luhur yang sangat besar, tetapi mereka tidak faham cara menjaga kemuliaan kecuali dengan jalan merusak kemuliaan itu sendiri.
Mereka terkenal sebagai bangsa yang punya perasaan cinta berlebih terhadap wanita, dan mendemontrasikannya secara ramai-ramai dalam berbagai syair-syair mereka tentang cinta. Hanya saja lagi-lagi mereka salah jalan. Metode yang mereka tempuh kental dengan egoisme dan asusila.
Cinta seorang pria Arab terhadap wanita pada masa jahiliyah adalah terjemahan kebutuhan sang pria pada hubungan biologis hingga terpenuhi dan puas dengan apa yang diinginkan, sang wanita berubah seperti seongkok barang yang di buang di pojok-pojok rumah, di miliki tidak pernah memiliki, menurut tidak pernah diturut, melayani hak laki-laki tidak pernah diperdulikan hak-haknya, seperti kata mereka bangsa Arab;
إنما أنت لعبة في زاوية الدار يتمتع بك المحتاج
“kamu (wanita) hanyalah boneka yang berada di pojok rumah yang dinikmati siapa saja yang membutuhkan”
Diutusnya Rasulullah adalah untuk menata dan membenahi peradaban serta menampakkan sisi kemanusiaan yang benar dalam menyikapi hubungan dan pemahaman yang terjungkir seperti ini. Dan yang paling berbahaya dari peradaban Arab waktu itu serta yang menuntut secepatnya diberi terapi adalah hubungan antara lawan jenis serta azas cinta kasih yang terjalin antara mereka.
       Metode Rasulullah dalam membenahi peradaban ini tidak cukup hanya dengan wasiat-wasiat atau ajaran-ajaran teoritis, tapi yang paling dominan adalah suri tauladan, dan inilah rahasia mengapa Allah membentuk pribadi Rasulullah sebagai panutan paling ideal moral manusia serta dalam hubungan masyarakat dan menjaga hasrat manusia sesuai dengan jalaur yang wajar.
Sekarang pandangan kita tertuju pada Rasulullah bagaimana cara Beliau mencintai wanita dlam sabda Beliau : حبب إلي من دنياكم الطيب والنساء dan di sana kita lihat bagaimana Beliau meletakkan cinta pada tempat yang luhur, juga kita lihat bagaimana Beliau menerjemahkan cinta dalam hubungan kemasyarakatan yang sekaligus derajat kaum wanita, dan sebagai partner kaum laki-laki untuk selalu take and give secara adil, menerima waris dan diwarisi dan berhak menerima gaji atau upah atas hasil karyanya dan pekerjaannya seperti kaum laki-laki.
Begitulah Beliau memperlihatkan rasa cinta pada wanita secara terang-terangan sebagai media transparansi praktis kepada ummat manusia bagaimana seharusnya hubungan lelaki dan wanita dalam naungan fitroh dan hasrat kemanusiaan. Dan sebagai panutan ummat manusia tidak mungkin terealisasi secara optimal hanya dengan metode nasehat dan teori-teori, tapi harus terwujud dan nampak dalam bentuk pola dan prilaku hidup.
Kemudian coba kita angan-angan dalam tafsir praktek cinta Rasulullah terhadap wanita disela-sela hubungan Beliau dengan isteri-isterinya, apakah ada cacat atau menurunkan derajat moral Beliau pada berbagai metode atau prilaku hidup yang dianggap rendah oleh berbagai dasar-dasar kemanusiaan atau nilai-nilai etika dan atau hukum-hukum Islam?.
Kalaulah cinta Beliau didasari kesenangan dan hawa nafsu pasti akan nampak jelas dalam segi ekonomi keluarga Nabi sehari-hari dan tidak akan pernah kita lihat cara Beliau bersama isteri-isterinya yang didasari zuhud, juga tidak pernah terjadi Beliau menyuruh isteri-isterinya memilih antara hidup bersama Rasulullah dengan ekonomi pas-pasan serta memilih kehidupan akherat yang abadi atau kemewahan hidup tapi konsekuensinya ditalak Rasulullah.
Kalau Islam berkomentar dengan logika yang dikenal manusia tentang pribadi dan berbagi keistimewaan menonjol Rasulullah pastilah akan berkata bahwa : anatomi jasmani dan rohani Rasulullah tersusun dari cinta. Dan kalau cinta ini berkomentar dangan logika manusia tentang kesenangan-kesenangan yang bersifat fitroh Beliau yang tidak dicampuri hawa nafsu pastilah akan berkata bahwa: Kesenangan Beliau yang paling ideal nampak jelas dalam cinta Beliau.


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 komentar:

 

Facebook Gue