Tanda Awal dan Akhir Bulan Hijriyyah

Rabu, Oktober 26, 2011


1. Tanda awal dan akhir semua bulan sama
Tanda awal masuk dan berakhirnya semua bulan dalam tahun hijriyyah atau qomariyyah ditandai dengan sesuatu yang sama. Hanya saja karena diantara bulan-bulan tersebut yang menjadi bulan ibadah khusus yang tidak terdapat pada bulan lainnya hanyalah tiga bulan, yaitu:
1. Romadhon
Karena dibulan tersebut dilaksanakan kewajiban puasa Romadhon. Juga dilaksanakan ibadah-ibadah lainnya yang tidak terdapat pada bulan-bulan lainnya semacam sholat tarowih, sahur dan bukan puasa serta banyak amal sunnah yang lain.
2. Syawal
Karena dengan datangnya bulan tersebut maka kaum muslimin sudah tidak wajib lagi berpuasa bahkan haram pada hari itu untuk berpuasa. Dan pada hari pertama bulan Syawal ini dilaksanakan sholat idul fithri. Serta pada malam hari sampai sebelum sholat idul fithri dilaksanakan kewajiban membayar zakat fithri.
3. Dzulhijjah
Karena pada bulan ini kaum muslimin yang di berada tanah suci Mekkah melaksanakan ibadah manasik haji, sedangkan yang diluar tanah haram melaksanakan puasa Arofah dan sholat hari raya serta ibadah menyembelih binatang kurban pada hari raya tersebut serta 3 hari setelahnya.
Oleh karena itulah, maka awal masuknya bulan-bulan hijriyyah selain ketiga bulan tersebut tidak pernah dijadikan bahan pembicaraan. Pembahasan selalu berkisar pada ketiga bulan tersebut. oleh karena itu maka pembahasan akan kita khususkan pada memasuki awal bulan-bulan tersebut, adapun bulan-bulan lainnya, maka hukumnya sama dengan bulan-bulan ini.

2. Tanda awal dan akhir bulan
Setelah itu ketahuilah- semoga Alloh melimpahkan rohmatnya kepada kita semua- bahwa awal masuknya bulan hijriyyah ditandai dengan beberapa hal:
A. Rukyatul hilal
Maknanya apabila pada sore hari tanggal 29 kelihatan hilal, tepatnya saat matahari tenggelam maka berarti besoknya adalah awal bulan baru.
Hal ini disepakati oleh para ulama’. Berdasarkan sabda Rosululloh:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: إِذَا رَأَيْتُمْ الْهِلاَلَ فَصُوْمُوْا وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوْا, فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَصُوْمُوْهُ ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا
Dari Abu Huroiroh berkata:”Rasulullah Shollallohu 'alaihi wasallam bersabda:”Apabila kalian melihat hilal maka berpuasalah, dan apabila melihat hilal lagi maka berbukalah, Lalu jika ditutupi atas kalian maka berpuasalah tiga puluh hari.”(HR. Bukhari 4/106, Muslim 1081).
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم ذَكَرَ رَمَضَانَ, فَقَالَ: لاَ تَصُوْمُوْا حَتَّى تَرَوْا الْهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوْا حَتَّى تَرَوْهُ, فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا الْعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ
Dari Abdullah bin Abbas bahwasannya Rasulullah Shollallohu 'alaihi wasallam menyebut Romadhon, lalu beliau bersabda:”Janganlah kalian berpuasa sampai kalian melihat hilal, dan janganlah kalian berbuka sampai kalian melihat hilal lagi, Lalu jika ditutupi atas kalian maka sempurnakanlah hitungan (bulan) tiga puluh.”(HR. Nasai 1/301, Darimi 2/3, Ahmad 1/221 dengan sanad shahih).


B. Ikmal
Apabila pada sore hari tanggal 29 tidak kelihatan hilal, maka ada dua kemungkinan:
Pertama:
Apabila langit diufuk barat cerah tanpa awan atau penghalang hilal lainnya
Dalam kondisi ini, maka tidak ada khilaf dikalangan para ulama’ bahwa besoknya adalah penyempurna bulan tersebut. dalam artian besoknya adalah tanggal 30 dari bulan tersebut. Hal ini berdasarkan beberapa hadits diatas.
Orang yang paling mengetahui tentang kesepakatan dan perselisihan para ulama’ yaitu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menegaskan hal ini dalam keterangan beliau: ”Sesungguhnya kita mengetahui dalam syariat agama Islam bahwa menggunakan ilmu hisab dalam menentukan hilal untuk menentukan puasa Ramadhan, haji, iddah, ila’ atau hukum lain yang berhubungan dengan ada dan tidaknya hilal itu tidak diperbolehkan. Kaum muslimin telah menyepakati hukum ini, tidak pernah dikenal adanya khilaf baik oleh para ulama’ salaf maupun mutaakhirin, hanya saja sebagian fuqoha’ mutaakhirin yang hidup setelah abad ketiga menyangka bahwa kalau langit sedang mendung, maka boleh bagi ahli hisab untuk mengunakan ilmu hisab namun itu hanya bisa digunakan untuk dirinya saja dan bukan untuk lainnya. Kalau memang ilmu hisab menunjukkan bahwa sudah masuk Ramadhan maka dia puasa namun kalau tidak maka berarti ia tidak puasa. Pendapat ini walaupun dikhususkan hanya bagi ahli hisab saja dan itupun harus dalam keadaan langit mendung, namun ini tetap pendapat nyleneh yang sudah ada ijma’ sebelumnya. Adapun berpegang pada ilmu hisab saat langit cerah atau menggunakan ilmu ini untuk ummat Islam secara umum maka hal ini belum pernah ada seorang muslimpun yang mengatakannya.”(Lihat Majmu’ Fatawa 25/132, 179, 207).

Kedua:
Apabila langit di ufuk barat mendung atau ada penghalang lainnya.
Apabila kondisi demikian, dan itu sangat sering terjadi pada negara daerah tropis seperti Indonesia dan negara-negara yang berada dikawasan Asia Tenggara, maka secara umum kaum muslimin terpecah menjadi dua kelompok:
1. Wajib menggunakan pedoman rukyah. Yakni tatkala hilal tidak kelihatan karena tertutup mendung dan yang semisalnya maka wajib ikmal. Berarti besoknya adalah tanggal 30 bulan tersebut sebagai penyempurna bilangan bulan tersebut.
2. Menentukannya dengan patokan ilmu hisab.
Namun khusus untuk memasuki bulan Romadhon, ada perincian tersendiri yaitu:
Apabila sore hari tanggal 29 Sya’ban saat matahari tenggelam hilal tidak kelihatan karena tertutup mendung, maka kaum muslimin berselisih menjadi 3 pendapat:
1. Dilarang berpuasa pada besok harinya
Para ulama’ yang berpendapat dilarang berpuasa pada besok harinya pun masih berselisih. Diantara mereka ada yang mengatakan bahwa larangan ini bersifat haram, namun sebagian lainnya mengatakan bahwa larangan itu hanya bersifat makruh saja.
Dilarangnya puasa pada hari tersebut adalah pendapat ulama’ Malikiyyah 1 Syafi’iyyah 2, salah satu riwayat dari imam Ahmad 3 dan dipilih oleh sebagian ulama’ Hanabilah 4
Mereka berhujjah dengan beberapa dalil, diantaranya:
1. Hadits Abu Huroiroh dan Ibnu Abbas
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ - رضي الله عنه - عن النبي - صلى الله عليه وسلم - قال:”لَا يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدُكُمْ رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ إِلاَّ أَنْ يَكُوْنَ رَجُلٌ كَانَ يَصُوْمُ صَوْمَهُ فَلْيَصُمْ ذَلِكَ
Dari Abu Huroiroh dari Rosululloh bersabda:”Janganlah seseorang dari kalian mendahului bulan Romadhon dengan berpuasa satu atau dua hari sebelumnya, kecuali jika ada seseorang yang sudah biasa melakukan puasa, maka puasalah pada hari itu.”(HR. Bukhori 1893, Muslim 2471)
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: (لَا تُقَدِّمُوْا الشَّهْرَ بِصِيَامِ يَوْمٍ وَلَا يَوْمَيْنِ اِلَّا أَنْ يَكُوْنَ شَيْئٌ يَصُوْمُهُ أَحَدُكُمْ وَلَا تَصُوْمُوْا حَتَّى تَرَوْهُ ثُمَّ صُوْمُوْا حَتَّى تَرَوْهُ فَاِنْ حَالَ دُوْنَهُ غَمَامَةٌ فَاَتِمُّوْا الْعِدَّةَ ثَلَاثِيْنَ ثُمَّ أَفْطِرُوْا وَالشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُوْنَ
Dari Ibnu Abbas berkata: Rosululloh bersabda:”Janganlah kalian mendahului bulan Romadhon dengan puasa satu atau dua hari, kecuali kalau salah seorang biasa puasa pada hari tersebut. dan janganlah kalian puasa sehingga melihat hilal (Romadhon), kemudian puasalah sehingga kalian melihat hilal (syawal). Dan jika ada mendung yang menghalanginya maka sempurnakan hitungan bulan menjadi tiga puluh hari kemudian berbukalah. Dan satu bulan itu dua puluh sembilan hari.”(HR. Abu Dawud 2327, Nasa’I 1/302, Tirmidzi 1/133. beliau berkata: Hadits hasan shohih. Imam Hakim berkata sanadnya shohih dan disepakati oleh Dzahabi. Lihat Irwa’ Gholil 4/5)
Sisi pengambilan dalil dari hadits ini adalah orang yang tidak mempunyai kebiasaan untuk berpuasa pada hari tersebut, lalu dia berpuasa satu atau dua hari sebelum Romadhon, berarti dia telah mendahului Romadhon dengan puasa. Dan inilah yang dilarang dalam hadits ini.
Dan makna mempunyai kebiasaan puasa adalah: kalau seseorang sudah biasa puasa senin dan kamis, lalu kebetulan bahwa tangal 29 Sya’ban jatuh pada hari Ahad, lalu sore harinya tidak kelihatan hilal karena mendung, maka boleh bagi dia untuk puasa besok harinya yaitu pada hari Senin, karena memang sudah merupakan kebiasaan dia puasa pada hari tersebut.
2. Hadits Ammar bin Yasir
عَنْ عَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ - رضي الله عنهما - قَالَ:”مَنْ صَامَ يَوْمَ الشَّكِّ فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ - صلى الله عليه وسلم
Dari Ammar bin Yasir berkata: Barang siapa yang puasa pada yaum syak (hari yang meragukan) ini, maka dia telah bermaksiat pada Abul Qosim (yakni Rosululloh).”(HR. HR. Bukhori 2335, Tirmidzi 680, Nasa’i 2189, Ibnu Majah: 1695)
Hari yang meragukan adalah tanggal 30 Sya’ban apabila pada sore hari tangal 29 tidak terlihat hilal karena mendung. Dinamakan dengan hari yang meragukan, adalah karena hari itu diragukan apakah masih bulan Sya’ban ataukah sudah awal bulan Romadhon.
Dan sisi pengambilan hukum dari riwayat Ammar ini sangat jelas bahwa orang yang berpuasa pada hari itu, berarti dia telah bermaksiat pada Rosululloh.
3. Hadits Abdulloh bin Umar
 عَنْ عَبْدِ اللّهِ بْنِ عُمَرَ - رضيَ الله عنهما - أَنَّ رَسُوْلَ اللّهِ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ:”الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُوْنَ لَيْلَةً، فَلَا تَصُوْمُوْا حَتَّى تَرَوْهُ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا العِدَّةَ ثَلَاثِيْنَ
Dari Abdulloh bin Umar bahwasannya Rosululloh bersabda:”Satu bulan itu 29 hari, maka janganlah kalian berpuasa sehingga melihat hilal, dan apabila hilal tertutupi mendung maka sempurnakan hitungan bulan menjadi 30 hari.”(HR. Bukhori 1886, Muslim: 2455)
Sisi pengambilan dalilnya bahwa Rosululloh memerintahkan saat hilal tertutupi oleh mendung agar menyempurnakan hitungan bulan menjadi 30 hari, dengan ini maka wajib menyempurnakan hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari dan tidak boleh puasa pada hari tersebut.
4. Hadits Abdulloh bin Mas’ud
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ - رضي الله عنه - قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللّهِ - صلى الله عليه وسلم -:”هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُونَ
Dari Ibnu Mas’ud berkata: Rosululloh bersabda: ”Binasalah orang yang berlebih-lebihan.”(HR. Muslim: 6735)
Sisi pengambilan dalil dari hadits ini: orang yang berpuasa pada tanggal 30 Sya’ban tersebut ingin lebih hati-hati dalam beribadah, mereka mengatakan:”Daripada meninggalkan puasa satu hari di bulan Romadhon maka lebih baik menambah satu hari pada bulan Sya’ban.”Ini adalah sikap berlebih-lebihan dalam beragama. Karena kalau kemarin sore tidak kelihatan hilal maka berarti hari itu tanggal 30 Sya’ban dan bukan tanggal 1 Romadhon. Sikap hati-hati semacam ini adalah bukan pada tempatnya.

Pendapat kedua: Wajib untuk berpuasa pada besok harinya
Wajib untuk berpuasa pada hari tersebut adalah pendapat yang masyhur dalam madzhab ulama’ Hanabilah (Lihat Al Inshof oleh al Mardawi 3/191), juga merupakan pendapat sebagian sahabat dan tabi’in. Imam Ibnu Qudamah dalam Al Mughni 4/330 mengatakan bahwa ini adalah pendapat Umar, Ibnu Umar, Amr bin Ash, Abu Huroiroh, Anas, Mu’awiyyah, Aisyah, Asma’ binti Abu Bakr, Bakr bin Abdulloh, Abu Utsman An Nahdi, Ibnu Abi Maryam, Muthorrif, Maimun bin Mihron, Thowus dan Mujahid.”
Hanya saja Syaikhul islam Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa imam Ahmad hanya mensunnahkan dan tidak mewajibkan. Beliau berkata dalam Majmu’ Fatawa 25/99:”Pendapat yang mengatakan wajib adalah pendapat yang masyhur dari imam Ahmad, namun yang shohih bagi siapa saja yang mengetahui madzhab beliau dan mengetahui teks ucapan beliau bahwa beliau hanya mensunnahkan puasa kalau hilal tertutupi mendung. Adapun mewajibkan puasa, maka ini tidak pernah dikatakan oleh Imam Ahmad juga tidak pernah dikatakan oleh para sahabat beliau. Hanya saja para pengikut beliau menyakini bahwa pendapat beliau adalah mewajibkan puasa dan mereka pun membela madzhab tersebut.”
Dalil dari madzhab ini adalah:
1. Hadits Ibnu Umar
عَنْ نَافِعٍٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ - رضي الله عنهما - قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ - صلى الله عليه وسلم -:”إِنَّمَا الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ فَلاَ تَصُوْمُوْا حَتَّى تَرَوْهُ، وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ"
قَالَ نَافِعٍ: فَكَانَ ابْنُ عُمَرَ إذَا كَانَ شَعْبَانُ تِسْعاً وَعِشْرِينَ نُظِرَ لَهُ فَإن رُئِيَ فَذَاكَ وَإن يُرَ وَلَمْ يَحُلْ دُوْنَ مَنْظَرِهِ سَحَابٌ وَلاَ قَتَرَةٌ أصْبَحَ مُفْطِراً، فَإنْ حَالَ دُوْنَ مَنْظَرِهِ سَحَابٌ أوْ قَتَرَةٌ أصْبَحَ صَائِماً
Dari Nafi’ dari Ibnu Umar berkata:”Rosululloh bersabda:”Satu bulan itu 29 hari, maka janganlah kalian puasa sehingga melihat hilal, dan janganlah kalian berbuka sehingga melihat hilal. Dan jika teutupi mendung maka takdirkanlah.”(HR. Bukhori Muslim)
Nafi berkata: Adalah Ibnu Umar, apabila pada tanggal 29 Sya’ban, maka beliau melihat, jika tidak kelihatan hilal padahal tidak ada mendung yang menghalangi hilal, maka besok harinya beliau tidak puasa, namun jika ada mendung, maka besoknya beliau berpuasa. (HR. Abu Dawud: 2321, Ahmad: 4483 dan lainnya dengan sanad shohih. Lihat Irwa’ 4/9))
Sisi pengambilan dalil dari hadits ini dari dua sisi:
Pertama: Makna”faqduru lahu”adalah sempitkanlah
Hal ini sebagaimana firman Alloh:
ومن قدر عليه رزقه
”Dan orang yang disempitkan rezekinya ….”(QS. Ath Tholaq: 7)
Juga firman Nya:
الله يبسط الرزق لمن يشاء ويقدر
“Allah meluaskan rezeki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki…..”(QS. Ar Ro’d:26)
Dan makna menyempitkan hilal adalah menjadikan bulan Sya’ban hanya 29 hari.
Kedua: Abdulloh Ibnu Umar telah menerangkan makna hadits dengan perbuatan beliau. Sedangkan seorang perowi hadits itu lebih mengetahui makna hadits yang dia riwayatkan, maka wajib untuk mengambil keterangan beliau (Lihat Al Mughni 4/331-332)
2. Hadits Imron bin Hushoin
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ - رَضِيَ اللّهُ عَنْهُما - أَنَّ رَسُولَ اللّهِ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ لَهُ أَوْ لآِخَرَ:أَصُمْتَ مِنْ سُرَرِ شَعْبَانَ؟”، قَالَ: لاَ ، قَالَ:فَإِذَا أَفْطَرْتَ، فَصُمْ يَوْمَيْنِ
Dari Imron bin Hushoin bahwasannya Rosululloh berkata kepadanya atau kepada orang lain:”Apakah engkau puasa saat suror Sya’ban ? dia menjawab: Tidak.”Maka Rosululloh bersabda:”Kalau engkau tidak puasa, maka gantilah dengan puasa dua hari.”(HR. Bukhori: 1960, Muslim: 2704)
Sisi pengambilan dalil: makna suror dari sebuah bulan adalah akhirnya. Berarti dalam hadis ini Rosululloh memerintahkan untuk puasa pada akhir bulan Sya’ban.
3. Sikap hati-hati
Hal ini karena kalau sore hari tanggal 29 Sya’ban mendung sehingga tidak bisa melihat hilal, maka besok harinya adalah sebuah hari yang meragukan, apakah masih tangal 30 Sya’ban ataukah sudah tanggal 1 Romadhon. Dalam kondisi semacam itu maka wajib berpuasa demi sikap kehati-hatian. Aisyah berkata:”Saya menambah puasa satu hari pada bulan Sya’ban lebih saya senangi daripada tidak berpuasa satu hari pada bulan Romadhon.”(HR. Ahmad: 24552 dengan sanad shohih. Lihat Irwa’ 4/11)

Pendapat yang ketiga: Pada hari itu boleh untuk berpuasa dan boleh untuk berbuka. Ini adalah pendapat Ulama Hanafiyyah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad. Dan pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Bahkan beliau berkata: ”Ini adalah madzhab imam Ahmad yang ditegaskan oleh beliau. Dan ini pula madzhab kebanyakan sahabat dan tabi’in.”(Majmu’ Fatawa: 25/99-100)
Dalil pendapat ini:
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: ”Hal ini berdasarkan bahwa apabila seseorang itu tidak bisa melihat terbitnya fajar, boleh baginya untuk menahan diri dari makan (sahur) dan juga boleh baginya untuk terus makan sampai yakin bahwa fajar telah terbit. Demikian juga apabila seseorang itu ragu-ragu apakah dia telah batal wudhunya ataukah belum, jika dia mau maka boleh berwudlu dan jika mau maka boleh tidak berwudlu lagi. Demikian juga jika dia ragu apakah harta yang wajib dizakati sudah sampai satu haul (tahun) ataukah belum sampai, demikian juga bagi yang ragu apakah dia wajib membayar zakat seratus dirham ataukah seratus duapuluh, maka boleh baginya membayar lebih. Dengan ini maka dasar dalam syariat ini menetapkan bahwa sikap kehati-hatian itu bukanlah sebuah kewajiban bukan pula terlarang. (Lihat Majmu’ Fatawa 25/100)
Setelah memaparkan ketiga madzhab diatas, maka insya Alloh yang paling rojih dan paling kuat adalah madzhab pertama yang menyatakan keharaman puasa pada hari yang meragukan tersebut. karena beberapa hal:
1. Dalil-dalil yang melarang puasa pada hari itu sangat jelas terutama riwayat dari Ammar bin Yasir saat beliau berkata:”Barang siapa yang berpuasa pada yaum syak (hari yang meragukan), berarti dia telah bermaksiat pada Rosululloh.”
2. Adapun riwayat dari Ibnu Umar yang digunakan dalil oleh yang mengatakan wajib puasa pada hari tersebut, maka bisa dijawab dengan beberapa jawaban:
Pertama: Lafadz”Faqduru lahu”tidak boleh diartikan dengan menyempitkan. Karena hadits ini dalam berbagai riwayat lainya diriwayatkan dengan lafadz”menyempurnakan bilangan bulan menjadi tiga puluh”(Insya Alloh akan datang keterangan lebih lengkap pada bab–bab berikutnya), sedangkan sudah mapan dalam disiplin ilmu diroyah hadits bahwa apabila ada satu hadits diriwayatkan dengan berbagai riwayat dan redaksi, maka yang satu menafsirkan lainnya.
Kedua: anggaplah bahwa makna ‘faqduru lahu’ diartikan dengan menyempitkan itu benar, maka kenapa tidak kita katakan bahwa yang disempitkan itu adalah untuk bulan Romadhonnya, dalam artian hari itu masih Sya’ban dan belum Romadhon. Sedangkan Romadhon maka disempitkan sehingga hanya berjumlah 29 hari ?
Ketiga: Adapun perbuatan dari Ibnu Umar. Maka perbuatan beliau itu sama sekali tidak menunjukkan atas kewajiban, karena beliau hanya berpuasa karena sikap kehati-hatian dan itu berkisar pada hukum sunnah atau boleh. Karena seandainya beliau berpendapat wajib niscaya beliau akan memerintahkan hal itu pada orang lain, minimalnya keluarganya. Dan tidak pernah diriwayatkan dari beliau hal tersebut.
Keempat: Perbuatan Ibnu Umar ini jelas-jelas tidak sesuai dengan sabda Rosululloh dalam riwayat Ibnu Abbas diatas:”Janganlah kalian mendahului bulan Romadhon dengan puasa satu atau dua hari, kecuali kalau salah seorang biasa puasa pada hari tersebut. dan janganlah kalian puasa sehingga melihat hilal (Romadhon), kemudian puasalah sehingga kalian melihat hilal (syawal). Dan jika ada mendung yang menghalanginya maka sempurnakan hitungan bulan menjadi tiga puluh hari”
Kelima: perbuatan beliau inipun tidak sesuai dengan perbuatan Rosululloh
Aisyah berkata:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَتَحَفَّظُ مِنْ شَعْبَانَ مَا لَا يَتَحَفَّظُ مِنْ غَيْرِهِ ثُمَّ يَصُوْمُ لِرُؤْيَةِ رَمَضَانَ فَاِنْ غُمَّ عَلَيْهِ عَدَّ ثَلَاثِيْنَ يَوْمًا ثُمَّ صَامَ
“Rosululloh sangat memperhatikan bulan Sya’ban tidak seperti bulan-bulan lainnya. Kemudian beliau puasa kalai melihat hilal Romadhon, namun jika tertutupi mendung maka beliau menjadikan Sya’ban 30 hari kemudian baru beliau puasa.”(HR. Abu Dawud: 2325, Ibnu Hibban 869, Hakim 1/423 dan beliau berkata Shohih menurut syarat Bukhori Muslim dan disepakati oleh Adz Dzahabi. Lihat Irwa’ Gholil 4/8)
3. Adapun hadits Imron bin Hushoin. Maka makna hadits ini harus digabungkan dengan hadits lainnya semacam hadits Ammar bin Yasir. Dengan begitu maka larangan puasa pada hari itu adalah bagi yang tidak biasa berpuasa, namun bagi yang mempunyai kebiasaan puasa tertentu, maka diperintahkan untuk tetap berpuasa.
4. Adapun dalil kehati-hatian.
Maka kami katakan bahwa tidak diragukan lagi bahwa sikap kehati-hatian itu adalah boleh dilakukan bahkan terkadang adalah sikap yang paling tepat. Namun karena dalam masalah ini ada dalil yang lebih tegas seperti hadits Ammar, maka sikap kehati-hatian itu harus dihilangkan. Ditambah lagi bahwa sabda Rosululloh:”Apabila hilal tertutupi mendung, maka sempurnakan hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.”Sangat tegas menunjukkan bahwa hari tersebut masih pada bulan Sya’ban bukan awal Romadhon.
Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin berkata:”Sesuatu yang dikerjakan karena sikap hati-hati, maka hal itu disebutkan oleh Imam Ahmad dan lainnya bahwa itu bukanlah sebuah kewajiban, namun hanya dikerjakan karena sikap waro’ atau sunnah saja. Hal ini karena kita mengambil sikap hati-hati lalu kemudian diwajibkan, akhirnya kita akan terjerumus pada sikap ketidak hati-hatian, dari sisi kita menganggap orang yang tidak mengerjakannya berdosa.”(Lihat Syarah Mumti’ 6/304)
5. Adapun pendapat yang mengatakan boleh mengerjakan dan boleh meninggalkan puasa pada hari itu, meskipun ini lebih mending dibandingkan dengan pendapat kedua, namun juga masih menyisakan sesuatu yang mengganjal, dimana Ammar bin Yasir mengatakan bahwa puasa pada hari adalah perbuatan maksiat pada Rosululloh. Lalu bagaimana mungkin dikatakan boleh ?
6. Adapun perkataan Ummul mukminin Aisyah, maka dalam masalah ini bukan hujjah, karena bertentangan dengan pendapat sebagian sahabat lainnya. Seperti Ibnu Abbas. Beliau pernah berkata:”Saya heran terhadap orang yang mendahului puasa Romadhon. Padahal Rosululloh bersabda:”Apabila kalian melihat hilal maka berpuasalah, lalu apabila kalian melihatnya maka berbukalah, dan jika tertutupi mendung maka sempurnakan 30 hari.”(HR. Nasa’i 1/103, Darimi 2/3 dan lainnya dengan sanad shohih. Lihat Irwa’ 4/6)  sedangkan sudah mapan dalam kaedah ilmu ushul bahwa apabila ucapan seorang sahabat bertentangan dengan sahabat lainnya, maka masing-masing bukan hujjah.
Wallohu a’lam

3. Bolehkah berpedoman pada ilmu hisab ?
Setelah ini difahami, maka insya Alloh sebagaimana yang telah disinggung di atas, bahwa dalam kondisi yang seperti ini ada sebagian kaum muslimin yang berpedoman menggunakan ilmu hisab untuk menentukan apakah besok masih menyempurnakan tanggal 30 bulan tersebut ataukah besok sudah awal bulan baru ?
Masalah inilah yang menjadi inti permasalahan dalam risalah ini, yaitu apakah boleh menggunakan patokan ilmu hisab untuk menentukan awal masuknya bulan hijriyyah ataukah wajib berpegangan pada rukyatul hilal ? dalam artian kalau tidak bisa dirukyah maka harus dengan ikmal ?
Inilah yang akan menjadi pembahasannya adalah pada bab berikut ini:


1 Lihat Hasyiyah Al Khorsyi ala Mukhtashor Kholil 3/11
2 Lihat Al Hawi al Kabir oleh Al Mawardi 3/109
3 Lihat Al Inshof oleh Al Mardawi 3/192
4 Syakhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa 25/98-99 menukil pendapat ini dari Abul Khothob, Ibnu Aqil, Abul Qosim ibnu Mandah Al Ashfahani. Dan diantara para ulama Hanabilah pada zaman kita sekarang ini yang memilih pendapat ini adalah Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin sebagaimana dalam Syarh Mumti’ 6/307. 

Muhammad Said Aidi SH.I
Kepala Departemen Penelitian dan Pengembangan IPNU DKI Jakarta


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 komentar:

 

Facebook Gue