Bersama para penganut madzhab hisab

Rabu, Oktober 26, 2011


A. Madzhab Ahli Hisab
Secara umum, para ulama’ belakangan yang berpegangan dengan ilmu hisab untuk penetapan bulan hijriyyah terbagi menjadi dua kelompok.
Pertama : Sebagian diantara mereka hanya menggunakan ilmu hisab untuk penafian saja dan bukan untuk penetapan.
Maksud dari madzhab ini adalah kalau secara perhitungan ilmu hisab pada sore hari tanggal 29 bulan hijriyyah posisi hilal masih berada dibawah ufuk barat atau berada di tempat yang tidak mungkin bisa terlihat oleh mata telanjang atau belum lahir sama sekali, maka keberadaan hilal secara hisab ini harus dijadikan patokan untuk menolak semua persaksian para saksi yang bersaksi bahwa pada saat matahari terbenam sore itu dia melihat hilal, karena mereka telah bersaksi dengan sesuatu yang mustahil, dimana dia bersaksi melihat hilal padahal pada saat matahari terbenam hilal sudah tenggelam mendahului matahari dan sudah berada dibawah garis ufuk barat sehingga mustahil bisa terlihat. Dan persaksian tersebut harus difahami bahwa dia salah lihat, atau bisa jadi yang dia lihat adalah awan putih yang membentuk mirip bulan sabit, atau pesawat terbang yang sedang melintas atau bintang  yang disangka hilal atau lainnya, atau mungkin membayangkan melihat hilal padahal tidak ada. (keton-ketonen dalam istilah jawa)
Namun pendapat ini mengatakan bahwa jika secara ilmu hisab hilal sudah berada di atas ufuk dan mungkin bisa terlihat oleh mata seandainya tidak ada yang menghalangi pandangan, baik itu berupa mendung, kabut atau lainnya, namun ternyata benar-benar tidak ada yang melihat, maka besok harinya masih dianggap sebagai tanggal 30 untuk menyempurnakan hitungan bulan tersebut. Hal ini karena bagi mereka ilmu hisab hanya untuk menafikan bukan menetapkan.
Diantara yang berpendapat dengan madzhab ini adalah Imam Tajuddin As Subki, dan pada zaman sekarang Syaikhul Azhar Muhamad Mushthofa Al Maroghi, Syaikh Ali Thonthowi dan Syaikh Abdulloh bin Sulaiman ibnu Mani’
Syaikh Ibnu Mani’ berkata : “Adapun apabila matahari telah terbenam sebelum lahirnya bulan baru, lalu ada seseorang yang bersaksi bahwa dia melihat hilal  setelah tenggelamnya matahari, maka wajib menolak rukyah ini, karena saat itu rukyatul hilal tidak mungkin sama sekali, kesimpulannya ilmu hisab wajib digunakan untuk menafikan bukan menetapkan.” (Lihat makalah beliau At Tahdid Al Falaki li Awaili Syuhur Qomariyyah ‘am 1425 )
Kedua : Sebagian lagi berpendapat bahwa ilmu hisab bisa digunakan untuk penafian dan penetapan bulan hijriyyah.
Maksud dari madzhab ini adalah sama dengan madzhab pertama dalam masalah penafian, hanya saja dalam masalah penetapan, mereka mengatakan bahwa apabila secara perhitungan ilmu hisab bahwa saat matahari terbenam tanggal 29, hilal berada dia atas garis ufuk dan atau sudah memungkinkan untuk dilihat, maka hal ini bisa digunakan untuk menetapkan bahwa besok harinya adalah tanggal satu bulan baru. Baik ada yang bersaksi bahwa dia melihat hilal atau sama sekali tidak ada yang bersaksi bahwa dia melihat hilal, karena tidak terlihatnya hilal oleh pandangan mata bisa disebabkan banyak factor, dan yang paling dominan adalah cuaca mendung atau yang semisal, padahal sebenarnya hilal sudah berada diatas garis ufuk barat yang menjadi pertanda bahwa besok adalah tanggal satu bulan baru.

Diantara yang berpendapat dengan madzhab ini adalah Syaikh Mushthofa Az Zarqo dan Syaikh DR. Yusuf Al Qorodhowi serta beberapa lainnya. Bahkan penganut madzhab ini merasa heran kenapa kok masih ada pada zaman sekarang ini yang menolak menggunakan hisab dalam masalah ini.
Perhatikanlah ucapan Syaikh Az Zarqo : “Saya tidak mendapatkan perbedaan para ulama’ yang mengundang keherananku dibandingkan dengan keherananku dengan perselisihan hebat mereka tentang sesuatu yang sebenarnya tidak boleh sampai ada perselsiihan padanya yaitu perselisihan mereka seputar penggunaan ilmu hisab pada zaman kita sekarang ini untuk menentukan datangnya bulan baru yang dengannya berlaku hukum-hukum syar’i yang berhubungan dengannya. Saya tekankan disini bahwa maksudku adalah untuk pada zaman kita sekarang ini, karena saya tidaklah mengherankan sikap para ulama’ salaf yang tidak menggubris ilmu hisab, bahkan saya tegaskan bahwa seandainya saya hidup pada zaman mereka niscaya sayapun akan berpendapat sebagaimana pendapat mereka, namun yang sangat saya herankan adalah sikap pada ulama’ pada zaman ini, yang mana kita sekarang berada pada zaman yang mana para ilmuwan telah bisa mengarungi ruang angkasa, yang mana keberhasilan mereka yang terendah adalah bisa mendarat di bulan, ……….” (Lihat makalah beliau Limadzal ikhtilaf haula hisab falaki ?)
Disisi lainnya, masih ada perselisihan juga diantara mereka untuk menetapkan awal bulan. Apakah dengan sekedar wujudul hilal (adanya hilal diatas ufuk) meskipun belum memungkinkan dirukyah. Inilah yang dipegang oleh majlis tarjih pusat Muhammadiyyah, ataukah hilal secara hisab harus sudah berada pada derajat yang memungkinkan untuk dirukyat. Dan inilah ilmu hisab yang dipegang oleh lajnah falakiyah PBNU dan beberapa lembaga falak lainnya. Meskipun yang berpendapat demikian pun masih berselisih tentang berapa derajatkah untuk patokan imkanur rukyah (memungkinkan untuk dirukyah). Sebagian mengatakan dua  derajat, sebagian lagi mengatakan lima derajat diatas ufuk dan sebagian lainnya punya pendapat yang lain.     
Dari sini, muncul sebuah pertanyaan, kira-kira apakah dalil yang mereka gunakan ? adakah dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah yang mendukung pendapat ahli hisab ini baik untuk yang mengatakan untuk penafian saja atau penafian beserta penetapan ?
Kalau kita lihat, maka dalil keduanya sebenanya sama, oleh karena itu bisa kita satukan pada sub bahasan berikut ini :

B. Dalil madzhab hisab dan diskusi ilmiyah terhadapnya
Sebelum kita memasuki diskusi ilmiyah tentang masalah penting ini, maka ada dua hal yang perlu saya sampaikan :
Pertama : adanya dalil untuk memperkuat sebuah pendapat tidak mesti bahwa pendapat itu benar, karena tidak ada satupun pendapat baik yang benar maupun yang salah melainkan mempunyai dalil untuk memperkuat pendapatnya.
Lihalah mu’tazilah dalam pendapat kufur mereka bahwa alqur’an adalah makhluk dan bukan kalamulloh. Apakah anda menyangka bahwa mereka tidak mempunyai dalil ? tidak dan sekali lagi tidak wahai saudaraku. Tapi mereka punya banyak dalil, hanya saja dalil itu diletakkan bukan pada tempatnya dan telah dikupas tuntas oleh para ulama’. Saya tidak akan menyebutkannya disini karena hanya akan memperpanjang lembaran risalah ini.
Bahkan orang kafir sekalipun saat mereka mengingkari hari kebangkitan mereka punya dalil, sebagaimana yang digambarkan oleh Alloh dalam firman NYa :
أَوَلَمْ يَرَ الْإِنْسَانُ أَنَّا خَلَقْنَاهُ مِنْ نُطْفَةٍ فَإِذَا هُوَ خَصِيمٌ مُبِينٌ (77) وَضَرَبَ لَنَا مَثَلًا وَنَسِيَ خَلْقَهُ قَالَ مَنْ يُحْيِي الْعِظَامَ وَهِيَ رَمِيمٌ (78) قُلْ يُحْيِيهَا الَّذِي أَنْشَأَهَا أَوَّلَ مَرَّةٍ وَهُوَ بِكُلِّ خَلْقٍ عَلِيمٌ
Dan apakah manusia tidak memperhatikan bahwa Kami menciptakannya dari setitik air (mani), maka tiba-tiba ia menjadi penantang yang nyata! Dan ia membuat perumpamaan bagi Kami; dan dia lupa kepada kejadiannya; ia berkata: "Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh?" Katakanlah: "Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk.” (QS. Yasin : 77-79)
Dalil mereka adalah kenyataan bahwa orang yang telah dikubur sudah berubah menjadi tulang belulang yang sudah hancur luluh, bagaimana mungkin ini bisa dibangkitkan lagi ?
Bahkan yang lebih dasyat dari itu semua, adalah apa yang dilakukan oleh Iblis, saat dia membangkang pada apa yang Alloh perintahkan untuk sujud penghormatan kepada Nabi Adam. Dia mempunyai sebuah hujjah untuk melegalisasi pendapatnya, yaitu dia lebih baik dari Adam, karena dia tercipta dari api sedangkan Adam dari tanah dan dalam pandangan dia, api lebih baik daripada tanah. sebagaimana yang diceritakan oleh Alloh :
وَلَقَدْ خَلَقْنَاكُمْ ثُمَّ صَوَّرْنَاكُمْ ثُمَّ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ لَمْ يَكُنْ مِنَ السَّاجِدِينَ  قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ
Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (Adam), lalu Kami bentuk tubuhmu, kemudian Kami katakan kepada para malaikat: "Bersujudlah kamu kepada Adam", maka merekapun bersujud kecuali iblis. Dia tidak termasuk mereka yang bersujud. Allah berfirman: "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?" Menjawab iblis "Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah". (QS. Al A’rof : 12)
Kedua : sebuah dalil dianggap benar apabila memenuhi dua syarat yaitu :
1. Dalil tersebut datang dari sumber yang shohih, yang dalam masalah syar’I adalah dalil yang bersumber dari ayat al QUr’an dan sunnah Rosululloh yang shohih dan yang terambil dari keduanya.
2. Cara pemahaman terhadap dalil tersebut harus benar sesuai dengan kaedah-kaedah ilmiyyah dalam pengambilan sebuah hukum.
Karena betapa banyak dijumpai seseorang membawakan sebuah dalil, tapi ternyata dalil tersebut adalah hadits lemah sehingga tidak bisa digunakan sebagai sebuah dalil yang shohih, dan kalaupun membawakan  ayat al Qur’an atau hadits yang shohih namun ternyata dibawa pada pemahaman yang sangat jauh dari kebenaran. Alangkah bagusnya apa yang disitir oleh seorang pujangga arab :
وََ كَمْ مِنْ عَائِبٍ قَوْلًا صَحِيْحًا            وَ آفَتُهُ مِنَ الْفَهْمِ السَّقِيْمِ
Betapa banyak pencela ucapan yang benar
Sisi cacatnya adalah pamahaman yang salah
Tidak jauh-jauh saya mengambil contoh tahukah anda pada sekelompok orang yang menisbahkan dirinya kepada islam. mereka mengakui bahwa kalau seseorang sudah mencapai derajat makrifat kepada Alloh Ta’ala dengan yakin, maka sudah gugurlah kewajiban darinya, karena Alloh hanya memerintahkan ibadah sampai pada batasan ini.  Oleh karena itu kita lihat mereka yang mengaku sudah mencapai derajat ini tidak sholat, tidak puasa, melakukan perbuatan yang jelas haram dan lainya, namun kalau ada yang menyalahkan mereka maka dengan  serentak dan semangat empat lima para pengikutnya segera bangkit membela dengan mengatakan : “Jangan salahkan dia, karena dia itu adalah seorang “Wali” dia sudah mencapai tingkat hakekat, sedangkan kamu  baru di kelas syari’at !!! ???.
Tahukah engkau wahai saudaraku, dengan apakah gerangan mereka berdalil ? jangan kaget kalau saya katakan bahwa mereka berdalil dengan firman Alloh :
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
“Dan sembahlah Tuhan mu sampai datang kepadamu “al yaqin.” (QS. Al Hijr [15] : 99)
Mereka katakan bahwa lafadl اليقين diayat ini berarti keyakinan, yang mana hasilnya bahwa Alloh memerintahkan ibadah kepada seorang hamba sampai derajat yakin, maka kalau sudah bisa mencapainya berarti gugurlah perintah tersebut.
Ini adalah cara berhujjahnya iblis dan bala tentaranya, tidak tahukah mereka bahwa orang yang paling yakin dengan Alloh Ta’ala adalah Rosululloh ? lalu apakah Rosululloh meninggalkan sholat, puasa, haji dan lainnya dengan dalil tersebut ? Wallohi tidak, bahkan yang kita jumpai beliau itu sangat rajin beribadah, sampai bengkak kakinya, dan tatkala di tegur oleh Aisyah maka beliau bersabda : “Tidakkah saya kepingin untuk sebagai seorang hamba yang bersyukur ?.”
Adapun pemahaman yang shohih atas ayat diatas adalah sebagaimana yang dikatakan oleh para ulama’ tafsir bahwa arti al yaqin adalah kematian. Inilah yang dikatakan oleh Mujahid, Hasan al Bashri, Qotadah, Salim bin Abdullah bin Umar dan lainnya. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 2/682)
Setelah ini, marilah kita tengok beberapa dalil yang digunakan oleh orang-orang yang bermadzhab hisab untuk menetapkan awal dan akhir puasa Romadhon dan hari raya. Apakah sudah benar ataukah sebaliknya malah ternyata membawa dalil dan menyeretnya bukan pada tempatnya ?
Semoga Alloh mencurahkan kepada saya dan anda sikap inshof dan adil dalam masalah ini maupun lainnya, jangan sampai ketidak cocokan serta kebencian kita pada suatu kaum menjadikan kita tidak bisa berbuat adil. Alloh berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Ma’idah : 8)
Dalil-dalil yang sering mereka gunakan adalah :
Dalil hisab pertama :
Pergerakan matahari dan bulan yang eksak dan tidak berubah
Telah kita singgung sebelumnya bahwa Alloh menjadikan alam semesta ini dengan sebuah sunnatulloh yang tidak pernah ganti dan bergeser. Alloh Ta’ala mengisyaratkan hal ini dalam banyak firman Nya. Diantaranya:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ مَا خَلَقَ اللَّهُ ذَلِكَ إِلَّا بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ الْآَيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui. (QS. Yunus: 5)
Juga firman Nya :
وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ آَيَتَيْنِ فَمَحَوْنَا آَيَةَ اللَّيْلِ وَجَعَلْنَا آَيَةَ النَّهَارِ مُبْصِرَةً لِتَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ وَلِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ وَكُلَّ شَيْءٍ فَصَّلْنَاهُ تَفْصِيلًا
Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang, agar kamu mencari karunia dari Tuhanmu, dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungan. Dan segala sesuatu telah Kami terangkan dengan jelas. (QS. Al Isro’: 12)
Manusia dengan kemampuan akal dan daya fikir yang dianugerahkan Alloh kepadanya akhirnya mengetahui hal tersebut setelah pengamatan yang terus menerus terhadap peredaran benda-benda langit, seperti bulan, matahari dan bintang gemintang. Dan hasil pengamatan itulah yang kemudian hari dinamakan dengan ilmu hisab atau ilmu falak atau astronomi.
Dan dengan semakin berkembangnya ilmu astronomi ini maka hitungan yang didapatkan sudah sedemikian akurat sehingga tidak mungkin salah. Yang dengannya bisa diketahui kapan waktu lahirnya bulan baru, kapan masuknya bulan baru serta lainnya dan ini adalah pengejawentahan terhadap firman Alloh : “dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungan”
Jawab :
Kalau difahami dari ayat tersebut dan yang semisalnya bahwa Alloh menjadikan peredaran matahari dan bulan serta manzilah-manzilahnya untuk mengetahui waktu dan tahun, maka itu sesuatu yang tidak dingkari. Karena memang Alloh menjadikan dalam satu tahun ada 12 bulan sejak penciptaan  alam semesta.
Juga kalau hanya difahami dari ayat semacam tersebut sebagai motifator untk mempelajari ilmu hisab astronomi untuk kepentingan umat manusia, maka sama sekali tidak terlarang, sebagaimana yang insya Alloh akan datang keterangan akan bolehnya menggunakan ilmu hisab untuk membuat kalender juga untuk menetapkan waktu sholat.
Namun dimanakah dari ayat tersebut yang mengisyarakan bahwa untuk memasuki bulan-bulan hijriyyah terutama yang berhubungan dengan bulan ibadah bisa menggunakan pedoman ilmu hisab. bukankah Alloh yang menjadikan hilal sebagai tanda bagi manusia, bukan lainnya. Alloh berfirman :
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji.” (QS. Al Baqoroh : 189)
Dan Rosululloh sama sekali tidak menjadikan masuknya bulan hijriyyah denga cara apapun kecuali dua, yaitu rukyah dan ikmal sebagaimana yang sudah lewat pembahsannya.
Syaikhul islam Ibnu Taimiyyah saat menafsirkan ayat ini (Yunus : 5) berkata : “Firman Alloh “  لتعلموا“ (supaya kamu mengetahui…) berkaitan dengan firman Nya : “ وقدره منازل  “ (dan Dia menetapkan perjalanan bulan..) bukan pada “وجعل” (dia menjadikan…). Hal ini karena sifat matahari yang bersinar dan buan yang bercahaya tidak berpengaruh dalam mengetahui hitungan tahun dan hisab. Akan tetapi yang memberikan pengaruh dalam hal itu adalah  perpindahan keduanya dari satu tempat ke tempat lainnya. Selain itu, syariat islam kita ini tidak dikaitkan dengan matahari dalam penentuan bulan dan tahunnya, tetapi dikaitkan berdasarkan hilal (bulan), sebagaimana yang ditunjukkan dalam konteks ayat tersebut juga dalam firman Alloh :
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ
Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram.” (QS. At Taubah : 36)
Alloh memberitakan bahwa jumlah bulan itu ada dua belas, dan pasti bahwa maksudnya adalah bulan qomariyyah, sehingga diketahui masing-masing bulan tersebut dengan hilal.” (Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah 25/134-135)
Kesimpulannya bahwa ayat  ini dan yang semisalnya hanya menunjukan fungsi peredaran matahari dan bulan. Adapun tentang tanda masuknya setiap bulan terutama bulan ibadah sama sekali tidak ditunjukkan oleh ayat ini, karenanya harus dikembalikan pada hadits Rosululloh yang secara tegas menunjukkan bahwa masuknya bulan hijriyyah adalah dengan cara rukyatul hilal atau ikmal. Wallohu a’lam
Dalil hisab kedua :
Yang penting mengetahui awal masuk Romadhon
Alloh Ta’ala berfirman :
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْءَانُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Bulan Ramadhan, bulan yang didalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang bathil). Karena itu, barang siapa diantara kamu yang menyaksikannya maka hendaklah ia berpuasa. (QS. Al-Baqarah[2] : 185).
Rosululloh bersabda :
عَنِ ابْنِ عُمَرَ - رضى الله عنهما - قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - « بُنِىَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ ، وَالْحَجِّ ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ
Dari Ibnu Umar berkata : Rosululloh bersabda : “Islam dibangun diatas lima perkara : Bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak disembah melainkan Alloh dan Muhammad adalah utusan Nya, mendirikan sholat, menunaikan zakat, haji dan berpuasa Romadhon.” (HR. Bukhori Muslim)
Sisi pengambilan dalil dari ayat dan hadits ini adalah : Alloh dan Rosul Nya mensyariatkan untuk berpuasa apabila telah datang bulan Romadhon. Maka dengan cara apapun yang penting bisa diketahui awal masuknya bulan Romadhon, yang dengannya kaum muslimin wajib berpuasa. Kalau pada zaman dahulu cara tersebut hanya dua yaitu rukyah atau ikmal, namun pada zaman kita sekarang ini ada cara yang lebih simpel dan akurat yaitu menggunakan ilmu hisab astronomi yang sudah sangat tepat dan tidak mungkin salah. Oleh karena itu menggunakan ilmu hisab ini bisa jadi lebih baik dan lebih utama dibandingkan dengan rukyah dan ikmal.
Jawab :
Masalah ini hampir mirip dengan sebelumnya. Ayat dan hadits tersebut hanya menunjukkan bahwa syariat puasa dilakukan pada bulan Romadhon. Tapi keduanya sama sekali tidak menyebutkan bahkan isyaratpun tidak, tentang bagaimana cara mengetahui masuknya bulan Romadon tersebut.
Dan anggaplah bahwa dengan tidak menyebutkan caranya tersebut, berarti bersifat umum yakni cara apapun boleh yang penting sampai pada tujuan yaitu bisa mengetahui awal bulan Romadhon. Maka anggapan ini salah. Adapun sisi kesalahannya adalah karena keumuman ini telah dikhususkan oleh banyak dalil yang telah berlalu bahwa untuk mengetahui masuknya bulan hijriyyah adalah dengan rukyah dan ikmal. Dan sudah mapan dalam dalam kaedah ilmu ushul fiqh bahwa apabila berbenturan dalil umum dan dalil khusus, maka yang umum dibawa pada dalil khusus. (Lihat Syarah Ushul min ilmil ushul Syaikh Utsaimin hlm : 468)
Yang berarti kesimpulanya, Alloh dan Rosul Nya menetapkan bahwa puasa dilakukan pada bulan Romadhon yang untuk mengetahui awal masuk dan keluarnya harus menggunakan rukyatul hilal atau ikmal dan tidak boleh menggunakan cara lainnya. Wallohu a’lam
Dalil hisab ketiga :
Kaum muslimin pada zaman Rosululloh tidak kenal ilmu hisab
Rosululloh bersabda :
عن ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ وَمَرَّةً ثَلَاثِينَ
Dari Ibnu Umar dari Rosululloh bahwasannya beliau bersabda : Sesungguhnya kami adalah ummat yang ummi tidak menulis dan menghitung, satu bulan itu demikian dan demikian.” Maksud beliau adalah terkadang dua puluh sembilan hari dan terkadang tiga puluh hari.” (HR. Bukhori Muslim)
Sisi pengambilan dalil dari hadits ini : Hadits ini sangat jelas menunjukkan bahwa perintah Rosululloh untuk menentukan awal bulan hijriyyah dengan rukyah dan ikmal adalah karena keberadaan umat islam pada saat itu yang ummi tidak dapat menulis dan menghitung. Sebab inilah yang menjadikan mereka tidak mengetahui ilmu peredaran matahari, bulan serta benda –benda langit lainnya yang mendasari ilmu hisab. Padahal pada zaman kita sekarang ini sebab ini telah hilang dengan adanya banyak dikalangan kaum muslimin yang mengetahui ilmu hisab, bahkan ilmu ini bisa dipelajari oleh siapa saja dengan adanya beberapa fakultas yang secara khusus membuka kuliah astronomi. Maka keberadaan umat islam sebagai umat yang ummi sudah hilang. Oleh karena itu hilang pulalah hukum yang dibangun diatasnya. Sebagaimana kaedah ushul yang masyhur :
الحُكْمُ يَدُوْرُ مَعَ الْعِلَّةِ وُجُوْدًا وَعَدَمًا
Hukum itu tergantung pada illat (sebab) nya , baik ada maupun tidak adanya.
Bahkan bisa jadi hadits ini adalah isyarat kuat bahwa pada dasarnya menetukan awal bulan hijriyyah itu menggunakan ilmu hisab, namun karena hukum dasar ini tidak mungkin dilakukan pada zaman beliau karena umat saat itu yang ummi, maka Rosululloh menggunakan gantinya yaitu rukyah, kalau bukan karena hal ini kenapa Rosululloh harus menyebutkan bahwa umat beliau ummi tidak menulis dan menghitung terlebih dahulu sebelum beliau menyebutkan hitungan bulan yang terkadang 29  hari dan terkadang 30 hari ?
Yang dengan ini maka makna hadits ini adalah : karena kita adalah umat yang ummi tidak menulis dan menghitung, sedangkan bulan itu terkadang 29 atau 30 hari, maka berpuasalah kalau melihat hilal dan berbukalah kalau melihat hilal, namun kalau tertutupi mendung atau lainnya maka sempurnakan menjadi 30 hari.”
Adapun pada zaman kiwari ini, dimana keummian umat ini sudah hilang dan ilmu hisab sudah dengan mudah didapat dan dipelajari, maka kenapakah kita masih berpegang kepada rukyah dan ikmal ? (Lihat Tsubut Syahril Qomari bainal hadits An Nabawi wal Ilmil Hadits oleh Prof DR. Syarof Mahmud Al Qudhot)
Salah satu organisasi besar islam Indonesia dalam salah satu ketetapannya tentang tanggal 1 Syawal 1428 menegaskan hal ini dengan mengatakan : “Bahwa rukyat bukanlah kriteria yang mutlak untuk menentukan awal bulan, karena perintah rukyat  itu disertai dengan illat yang disebutkan oleh pembawa syariat sendiri. Illatnya adalah keadaan umat waktu itu yang masih ummi, dalam artian belum banyak mengenal baca tulis dan perhitungan (hisab) astronomi. Oleh karena itu mereka menggunakan sarana yang tersedia bagi mereka pada zamannya untuk menentukan permulan bulan baru, yaitu melihat anak bulan secara visual yang dapat memastikan bagi mereka masuknya bulan baru. Dalam suatu peradaban yang telah mencapai kemajuan tinggi dalam astronomi dan perkembangan ilmu pengetahuan telah dapat memberikan akurasi perhitungan yang amat meyakinkan seperti sekarang ini, maka illat keadaan umat yang masih ummi itu tidak ada lagi, dan karenanya rukyat visual tidak berlaku lagi dan yang digunakan adalah hisab karena dapat memberikan kepastian lebih tinggi. Dan sesuai dengan kaedah fiqh :
الحُكْمُ يَدُوْرُ مَعَ الْعِلَّةِ وُجُوْدًا وَعَدَمًا
Hukum itu tergantung pada illat (sebab) nya , baik ada maupun tidak adanya.
Atas dasar itu pula, seperti yang ditegaskan Muhammad Rosyid Ridho dan Mushthofa Ahmad Az Zarqo, rukyat bukan bagian dari ibadah puasa, melainkan hanya suatu cara teknis untuk menentukan awal bulan qomariyah, dimana bila ditemukan cara yang lebih akurat dan meyakinkan rukyat tidak diperlukan. Semangat hadits hadits rukyat secara keseluruhan sesungguhnya adalah memastikan bulan baru telah masuk dan bukan soal rukyatnya sendiri, karena bila cuaca mendung rukyat tidak mungkin dilakukan. Bila cara lain seperti hisab dapat memberikan kepastian, maka cara itu lebih utama sebagaimana ditegaskan oleh Syaikh Yusuf Al Qorodhowi.”
Jawab :
Hadits ini bagi saya adalah inti dari semua polemic ini. Karena bagi yang berpedoman pada hisab maka hadits ini adalah illat hukum, yaitu keberadaan umat islam saat zaman Roslulloh masih ummi yang berarti tidak menulis dan menghitung, sehingga kalau illat itu sudah tidak ada, maka tidak ada pulalah hukum tersebut.
Dan sebagian diantara mereka beristidlal dengan mafkhum mukholafah (pemahaman kebalikan), yakni kalau umat pada zaman Rosululloh ummi, maka menetapkan hilalnya dengan rukyah atau ikmal, namun saat zaman berbeda, maka berbeda pula hukumnya, oleh karena itu menggunakan hisab.
Tapi, benarkah demikian ?
Marilah masalah ini kita telusuri dari tiga sisi : pemahaman ulama’ tentang makna hadits, fakta sejarah, Benarkah bisa diambil darinya hukum illat dan mafhum mukholafah ?
Pertama :  Pemahaman ulama’ tentang makna hadits : “Sesungguhnya kami adalah ummat yang ummi tidak menulis dan menghitung.”
Untuk masalah ini saya tidak ingin menyuguhkan sesuatu dari kantong sendiri, karena para ulama’ telah menjabarkannya. Karenanya saya cukupkan dengan menukil ucapan sebagian mereka. 
Al Hafizh Ibnu Hajar saat menerangkan hadits ini berkata : “Sabda Rosullulloh : “sesungguhnya kami.” Maksudnya adalah bangsa arab, dan ada yang berpendapat dirinya sendiri. Sabda Rosululloh : Umat yang ummi.” Rosululloh menggunakan lafazh yang dinisbahkan kepada umm (ibu), dikatakan bahwa maksudnya adalah bangsa arab karena mereka tidak bisa menulis, atau dinisbahkan kepada ibu, maknanya mereka masih seperti saat dilahirkan ibu mereka, atau dinisbahkan kepada wanita, karena biasanya wanita seperti itu, dan ada yang berpendapat kata ini dinisbahkan kepada ummu quro (kota mekkah). Sabda Rosululloh : “Tidak menulis dan menghitung.” Adalah penafsiran bahwa keberadaan mereka seperti itu, ada yang mengatakan  bahwa orang arab itu ummi karena tulisan itu sangat jarang pada mereka. Alloh berfirman :
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ
Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka (QS. Al Jumu’ah : 2)
Dan ini tidak bisa dibantah bahwa diantara mereka ada yang bisa membaca dan menghitung, karena tulisan saat itu sangat sedikit. Dan yang dimaksud dengan menghitung disini adalah menghitung ilmu hisab, mereka tidak mengetahui itu melainkan sedikit sekali, oleh karena Rosululloh mengkaitkan hukum puasa dan lainnya dengan rukyah hilal agar tidak memberatkan umat dari sulitnya ilmu hisab, kemudian hukum inipun tetap berlanjut meskipun setelah zaman beliau tersebut ada orang-orang yang mengetahui ilmu hisab ini. Bahkan sabda Rosululloh ini menunjukkan bahwa beliau benar-benar menafikan mengkaitkan hukum ini dengan ilmu hisab. hal ini disebutkan dalam sabda beliau : “Jika tertutupi atas kalian maka sempurnakanlah hitungan bulan menjadi tiga puluh hari.” Dan beliau tidak berkata : “Maka bertanyalah kepada ahli hisab. Apa hikmahnya, kenapa kok demikian ? karena saat terjadi mendung, maka hitungan bulan itu sama-sama diketahui oleh semua mukallaf, yang dengannya tidak akan ada perbedaan dan perselisihan. Sedangkan yang berpendapat dengan menggunakan ilmu hisab adalah orang syi’ah rofidhoh, dan dinukil bahwa ada sebagian ulama’ yang sependapat dengan rofidhoh, namun hal ini dibantah oleh imam Al Baji bahwa kesepakatan para ulama’ cukup sebagai bantahan terhadap mereka. Ibnu Bazizah berkata : “Ini adalah madzhab yang bathil, syariat islam telah melarang ilmu perbintangan, karena hanya berdasar pada prediksi, tidak bisa dipastikan, bahkan prediksi kuatpun tidak, juga seandainya masalah ini dikaitkan dengan ilmu perbintangan niscaya hanya diketahui oleh sebagian kecil orang saja.” (Fathul Bari 4/163)
Syaikh Syamsul Haq Azhim Abadi dalam Aunul Ma’bud 5/310 pun menyatakan hal yang mirip dengan apa yang dikatakan Al Hafizh Ibnu Hajar.
Al Qodli ‘Iyadh  saat menerangkan hadits ini berkata : “Rosululloh mensifati umatnya dengan sifat ini (ummi tidak menulis dan menghitung)  untuk menolak penggunakan ilmu hisab yang digunakan oleh orang-orang ‘ajam dalam puasa, berhari raya dan musim-musim mereka.” (Ikmalul mu’lim 4/15, lihat pula Al I’lam oleh Ibnul Mulaqqin 5/179)
Al Munawi dalam Faidhul Qodir Syarah Jami Shoghir saat menerangkan hadits : “Kami umat yang ummi.” beliau berkata : “Mengamalkan ucapannya para ahli perbintangan bukan termasuk petunjuk kami, namun ibadah kami dikaitkan dengan sesuatu yang jelas yaitu rukyatul hilal, karena hal itu bisa kita lihat terkadang tanggal 29 dan terkadang 30. dengan berpedoman dengan rukyah maka akan menghilangkan kesulitan melakukan sesuatu yang tidak ada yang mengetahuinya kecuali hanya sedikit orang. Kemudian hukum inipun tetap berlaku meskipun kemudian hari banyak yang mengetahui ilmu hisab.”
Syaikh Al Albani  berkata : “Saya yakin sepenuhnya bahwa Alloh mensyariatkan syariat Nya kepada umat islam ini, pertama : pasti terdapat petunjuk dan cahaya, kedua : terdapat padanya kemudahan dan menghilangkan kesulitan. Maka tatkala Rosululloh bersabda : “Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya.” Ini adalah sabda beliau untuk seluruh kaum muslimin yang masih dalam fithroh asli mereka, meskipun mereka itu orang ummi (tidak bisa baca tulis) ataukah orang terpelajar. Ini  semakian menguatkan bahwa islam itu adalah yang universal dan cocok untuk segala waktu dan tempat. Perintah Rosululloh : Berpuasalah karena melihat hilal…” bisa dipraktekkan oleh bangsa manapun, sampaipun dia itu orang  yang ummi, karena beliau mengkaitkannya dengan rukyah bashoriyyah (pandangan mata biasa). Adapun jika hal ini dikaitkan dengan rukyah ilmiyyah (pandangan dengan ilmu) niscaya hanya akan diketahui oleh segelintir orang.
Setelah itu, segelintir ahli hisab tadi, apakah juga disyaratkan apa yang dikatakan oleh para ulama’  tentang orang yang menyaksikan hilal bahwa dia harus orang yang adil terpercaya ? maknanya jika dia mengetahui ilmu hisab, lalu siapakah yang akan menghukumi bahwa dia diterima persaksian hisabnya ataukah tidak diterima? terlebih lagi bahwa persaksian hisab dia dibangun diatas  dasar ilmu yang dia klaim melilikinya, yang mana tidak diketahui oleh mayoritas kaum muslimin.
Saya (al Albani) juga memahami bahwa saat nabi bersabda : “Kita adalah umat yang ummi tidak menulis dan menghitung….” Bukanlah maksudnya  bahwa rosululloh mewajibkan umat islam untuk tetap tidak mengerti menulis dan membaca, namun maknanya bahwa umat islam ini tetap seperti aslinya yang ummi dalam masalah hukum yang berkaitan dengan rukyah bashoriyyah, karenanya beliau bersabda : “Kita adalah umat yang ummi tidak menulis dan tidak menghitung, satu bulan itu demikian dan demikian.” Maksudnya terkadang 30 hari dan terkadang 29 hari.
Dan disini ada sebuah pelajaran dari fakta yang ada. Apa yang diinginkan oleh para ahli falak saat mereka mendongakkan kepala  sambil mengatakan bahwa wajib untuk berpedoman dengan ilmu falak, karena rukyah dengan pandangan mata bisa bisa saja salah ? apa sebenarnya tujuan mereka ? mereka menyangka  bahwa tujuannya adalah menghilangkan perbedaan yang ada diantara negara-negara islam.
Namun yang saya yakini, bahwa sampaipun kita mengunakan ilmu hisab,  masih akan terjadi perbedaan, minimalnya akan tetap dikatakan hilal nampak di negeri ini dan tidak Nampak dinegeri itu, dan mereka sekapat akan adanya hal ini . kalau begitu apa jalan keluarnya ? tidak ada jalan keluar melainkan kembali kepada hukum syar’i.
Selanjutnya. Sebenarnya ini adalah tindakan kekurang ajaran kepada Rosululloh, beliau mengatakan bahwa kita adalah umat yang ummi tidak menulis dan menghitung, lalu engkau berani mengatakan : tidak, lha wong saya bisa menuilis, menghitung dan mengetahui ilmu falak, oleh karena itu seharsnya menetapkan  awal dan akhirnya bulan dengan ilmu falak.
Kesimpulannya kalau kita memasukkan ilmu falak dalam hukum-hukum syar’I niscaya kita akan tertimpa apa yang menimpa orang-orang yahudi dan nashroni sebelum kita. Karenanya yang sesuai dengan petunjuk Rosul dan lebih mudah adalah mengikuti hukum syar’i.”
Disadur dengan sedikit penyesuaian dari keterangan syaikh al Albani yang dinukil oleh Abu Mu’adz Al Atsari dalam : http://www.sahab.net/forums/showthread.php?t=313536
Syaikh Bakr Abu Zaid berkata  : “Telah diketahui bahwa penjabaran dengan ucapan itu seperti penjabaran dengan situasi dan kondisi, keduanya mempunyai pengaruh hukum, sebagaimana hal ini diketahui dalam masalah sumpah, nadzar, cerai dan lainnya. Maka sabda Rosululloh disini : Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi tidak menulis dan menghitung.” Sabda Rosululloh ini dikaitkan dengan sabda beliau : “Bulan itu demikian …”  maksudnya terkadang  29 dan terkadang 30 hari. Ini adalah murni sebuah berita dari Rosulullo h kepada umat beliau bahwa dalam urusan hilal tidak butuh menulis dan menghitung, karena satu bulan itu mungkin 30 hari atau 29 hari, yang itu bisa diketahui dengan rukyatul hilal atau ikmal, sebagaimana dalam hadits-hadits yang telah lewat yang membatasi cara mengetahuinya hanya dengan dua cara ini, bukan dengan menulis dan menghitung.
Ini adalah sebuah berita dari Rosululloh yang mengandung makna larangan bersandar pada tulisan dan menghitung dalam urusan hilal, karena cukup bagi mereka untuk mengetahui awal bulan dengan rukyah atau ikmal. Hal semacam ini terdapat contoh semisalnya dalam nash syar’I, seperti sabda Rosulloh :
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Seorang muslim itu adalah yang apabila kaum muslimin lainnya selamat dari lisan dan tangannya.” (HR. Bukhori  Muslim)
Ini adalah sebuah berita yang memberikan sebuah faedah tentang sifat seorang muslim, yaitu seorang  muslim lainnya selamat dari gangguan lisan maupun tangannya.
Yang nampak dari pemahaman hadits ini yaitu hanya untuk penghabaran semata adalah yang sesuai dengan apa yang ditunjukkan oleh nash-nash yang telah lewat, kalau begitu maka wajib menjadikan nash ini hanya sebagai berita semata, dan tidak boleh menjadikannya sebagai illat (sebab ) hukum  kecuali dengan dalil. Ditambah lagi kalau kita palingkan hadits ini (ke makna illat hukum ) niscaya akan menimbulkan kontradiksinya nash-ash dalam masalah ini.
Makna inilah yang tetapkan oleh para ulama;  saat membahas hadits ini. Hal ini ditetapkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (majmu’ fatawa 25/174-176, Ibnul Arobi dalam Aridhotul Ahwadzi, Ibnu Hajar dalam Fathul Bari. Juga Ibnu Bathol dalam Irsyad Ahlil Millah. Beliau berkata tentang makna hadits ini  : “sesungguhnya kita tidak dibebani untuk mengetahui waktu puasa dan ibadah kita pada ilmu hisab dan tulisan. Ibadah kita dikaitkan dengan tanda-tanda yang sangat jelas yang sama-sama diketahui baik oleh ahli hisab maupun lainnya.”
Imam Adz Dzahabi saat membahas tentang tulisan Rosululloh, beliau berkata : “Kemudian beliaulah yang bersabda : Kita ini umat yang ummi, tidak menulis dn menghitung.” Berita Rosululloh ini benar, karena memang saat itu jarang yang menulis dan menghitung. Meskipun pada za,an itu sudah ada para penulis wahyu, juga ada yang menghitung, sebagaimana firman Alloh : agar kalian mengetahui hitungan tahun dan hisab.”
Diantara ilmu mereka adalah ilmu faroidh yang butuh hitungan. Maka saat Rosululloh menafikan ilmu hitung dari umatnya, dapat kita ketahui bahwa yang beliau nafikan adalah perhitungan yang sangat jeli sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang terdahulu, karena itu tidak dibutuhkan dalam agama islam. Oleh karena itu tatkala Rosululloh menyebutkan bulan dan cara mengetahuinya, beliau menjelaskan bahwa cara mengetahuinya bukan dengan cara yang diketahui oleh ahli hisab dan para pembuat kalender, itu semua tidak dibutuhan dalam agama kita. Kemudian Rosululoh menjelaskan bahwa kalau hilal terlihat berarti bulan itu 29 hari atau dengan menyempurnakan hitungan menjadi 30 hari. (Fiqh Nawazil 2/  212-214)
Dari sini benarlah apa yang dikatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah bahwa sifat ‘ummi’ pada hadits ini adalah sifat pujian dan kesempurnaan. Beliau juga mempunyai penjabaran yang sangat bagus tentang hadits ini. Bagi yang ingin keterangan tambahan silahkan dilihat pada risalatul hilal dalam Majmu’ Fatawa beliau 25/164-176.
Kedua :Fakta sejarah
Klaim bahwa hadits ini bermakna illat (sebab hukum) karena pada zaman Rosululloh tidak mengenal ilmu hisab astronomi dan perbintangan, sangat perlu untuk ditinjau ulang. Karena kalau kita tengok sejarah pada zaman itu niscaya akan kia temukan bahwa bangsa arab saat itu sudah mengenal ilmu hisab.
Hal ini berdasarkan temuan arkeologi yang menunjukkan bahwa mereka memiliki ilmu ini. Salah satu contohnya : Imam Suyuthi menyebutkan bahwa Ibnu Abbas telah mengetahui 20 manzilah (posisi) yang berkaitan dengan ilmu hisab bulan.
Bahkan kalau kita semakin menarik tali sejarah kebelakang, akan kita temukan bahwa ilmu ini adalah ilmu yang sudah sangat kuno sekali. Pengamatan benda-benda langit sudah sejak dulu dikakukan  oleh orang-orang Cina, Mesopotamia, dan Mesir. meskipun astronomi sebagai ilmu, baru berkembang di Yunani pada abad ke-6 SM.
Di zaman Yunani kuno, banyak muncul para pemikir yang dianggap sebagai tonggak sejarah tentang ilmu astronomi dan alam semesta.
(Lihat kembali tentang sejarah dan perkembangan ilmu hisab pada hlm : …)
Kemudian ilmu inipun berkembang dengan segala cabangnya yan diantaranya adalah ilmu hisab astronomi, dan akhirnya pun masuk ke bangsa Arab setelah kitab-kitab mereka diterjemahkan ke bahasa arab.
Bahkan sebelum penerjemahan kitab-kitab Yunani itu, dikalangan bangsa Arab kuno pun sudah demikian. Zubair bin Bakkar berkata : Ali bin Muhammad telah menceritakan kepadaku, ia berkata : Abdulloh bin Muhammad bin Hafsh telah menceritakan kepadaku bahwa ia berkata : “Orang-orang Arab  memiliki beberapa ketrampilan khusus, yatu perdukunan, ahli mengetahui garis keturunan, meramal nasib, perbintangan dan hisab.” (Lihat Fathul Hamid fi Syarah Tauhid oleh Syaikh Utsman Abdul Aziz, dengan perantara ‘Pilih Hisab atau Rukyah’ oleh al Ustadz Abu Yusuf Al Atsari hlm : 90)
Juga perhatikan ucapan al Hafizh Ibnu hajar dalam fathul bari 4/163 saat menerangkan hadits : “kami adalah umat yang ummi…” beliau berkata :
وَالْمُرَاد بِالْحِسَابِ هُنَا حِسَاب النُّجُومِ وَتَسْيِيرهَا ، وَلَمْ يَكُونُوا يُعْرَفُونَ مِنْ ذَلِكَ أَيْضًا إِلَّا النَّزْر الْيَسِير
“dan yang dimaksud dengan menghitung disini adalah menghitung hisab perbintangan dan peredarannya. Mereka (bangsa arab pada zaman Rosululloh-pent) tidaklah mengetahui ilmu itu kecuali hanya sedikit sekali.”
Keterangan beliau ini mengisyaratkan bahwa saat itu ilmu hisab astronomi sudah ada meskipun hanya sedikit yang mengetahuinya.
Setelah ini semua masihkah kita katakan bahwa pada zaman itu tidak mengenal ilmu hisab ? sehingga Rosululloh menggunakan rukyah dan ikmal karena hal tersebut ? tidak dan sekali lagi tidak. La haula wala quwwata illa bilah.
Selanjutnya, bukankah kita semua sepakat bahwa Alloh mengetahui semua yang telah, sedang dan akan terjadi ? Alloh sangat mengetahui bahwa suatu ketika nanti ilmu hisab astronomi akan mengalami perkembangan pesat, lalu mengapa tidak ada satupun isyarat yang menunjukkan penggunaaan ilmu hisab ? jawablah dengan kejujuran hati. Barokallohu fikum.
Ketiga : Benarkah bisa diambil darinya hukum illat dan mafhum mukholafah ?
Dengan penjabaran kedua sisi ini, insya Alloh bisa difahami bahwa hadits ini sama sekali bukan bermakna illat hukum maupun mafhum mukholafah. Hadits ini murni penghabaran bahwa untuk urusan hilal itu hanya dengan rukyat atau ikmal bukan hisab.
Dan perlu saya tambahkan satu lagi, bahwa mafhum mukholafah bisa digunakan sebagai hukum, bila tidak bertentang dengan dalil lainnya, padahal dalam masalah ini sangat jelas pertentangannya. Demikian juga illat hukum yang nantinya akan menghasilkan hukum qiyas. Inipun boleh dipakai kalau tidak bertentangan dengan nash, padahal dalam masalah inipun nash sangat jelas dan tegas. Wallohu a’lam
Dalil hisab keempat :
Rosululloh perintahkan untuk memperkirakan dengan hisab
Dalam sebuah hadits disebutkan :
عَنِ ابْنِ عُمَرَ - رضى الله عنهما - قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَقُولُ « إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا ، وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
Dari Ibnu Umar berkata : “Saya mendengar Rosululloh bersabda : “Jika kalian melihat hilal maka berpuasalah, dan jika kalian melihatnya (lagi) maka berbukalah. Namun jika tertutupi atas kalian maka ‘takdirkanlah’ (HR. Bukhori Muslim)
Sisi  pengambilan dalil : Para ulama’ berselisih pendapat mengenai makna “maka takdirkanlah” menjadi tiga pendapat : jumhur ulama’ mengatakan maknanya adalah “maka sempurnakan hitungan bulan menjadi tiga puluh hari. Sebagian lainnya mengatakan maknanya adalah sempitkanlah dan pendapat ketiga sebagian para ulama’ mengatakan maknanya adalah perkirakanlah dengan ilmu hisab, sebagaimana ini dinukil dari Muthorrif ibnu Syikhir, Ibnu Suroij dan Ibnu Qutabiah serta lainnya. (insya Alloh adalah datang nukilan lebih lengkap dari mereka tentang masalah ini)
Dan yang lebih kuat adalah pendapat yang ketiga  karena beberapa hal :
a. Hadits ini semakna dengan sabda Rosululloh yang panjang tentang Dajjal. Yang diantaranya disebutkan bahwa para sahabat berkata : Wahai Rosululloh, berapa lama dia tinggal di muka bumi ? maka Rosululloh menjawab : 
أَرْبَعُونَ يَوْمًا يَوْمٌ كَسَنَةٍ وَيَوْمٌ كَشَهْرٍ وَيَوْمٌ كَجُمُعَةٍ وَسَائِرُ أَيَّامِهِ كَأَيَّامِكُمْ ». قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ فَذَلِكَ الْيَوْمُ الَّذِى كَسَنَةٍ أَتَكْفِينَا فِيهِ صَلاَةُ يَوْمٍ قَالَ « لاَ ,اقْدُرُوا لَهُ قَدْرَهُ
“Empat puluh hari, satu hari seperti satu tahun, hari berikutnya seperti satu bulan, hari berikutnya seperti satu pekan dan lainnya seperti hari-hari biasa.” Para sahabat bertanya : Wahai Rosululloh, satu hari yang seperti satu tahun, apakah boleh kita sholat seperti satu hari saja ? maka Rosululloh benjawab : “Tidak, namun perkirakanlah ukurannya.” (HR. Muslim)
Makna takdir dalam hadits ini ini adalah memperkirakan dengan ilmu hisab. Oleh karena itu hadits ini digunakan dasar oleh para ulama’ untuk menjawab problem sholat kaum muslimin yang tinggal didaerah kutub. Yang mana disana kalau matahari sudah terbit maka dia tidak akan tenggelam sampai 4-6 bulan, begitu pula jika sudah tenggelam, maka tidak akan terbit sampai 4-6 bulan.
Kalau memang makna اقْدُرُوا (takdirkanlah) dalam hadits ini adalah memperkirakan dengan ilmu hisab, maka kenapakah harus ditolak makna “takdirkanlah” yang terdapat dalam hadits awal puasa dengan makna memperkirakan dengan ilmu hisab juga ?
b. Perintah untuk memperkirakan ini tidaklah bertentangan dengan riwayat lainnya, karena bisa digabungkan dengan cara kita katakan : bahwa perintah rukyah dan ikmal itu bagi kaum muslimin secara umum,  sedangkan perintah memperkirakan itu untuk sebagian kaum muslimin yang diberi kemampuan oleh Alloh untuk mengetahui ilmu astronomi. Dan inilah yang pernah dikatakan oleh imam Ibnu Suroij tatkala menerangkan hadits ini : “Ini adalah untuk orang yang diberi kekhususan oleh Alloh untuk mengetahui ilmu ini.”
Jawab :
Kami tidak menolak adanya khilaf para ulama’ tentang masalah makna hadits ini sebagaimana telah kami paparkan sebelumnya. Namun yang kuat adalah madzhab pertama yang merupakan madzhab jumhur para ulama’ bukan madzhab ketiga. Dan itu bisa ditinjau dari beberapa sisi :
Pertama : sisi bahasa
قدر yang merupakan akar kata dari lafazh : ‘فَاقْدُرُوا لَهُ ‘ dalam bahasa arab tidak selamanya berarti memperkirakan. Namun mempunyai banyak arti lain, diantaranya :
-          Menyempitkan.
Misalnya firman Alloh :
وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ
Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu menyempitkan rizkinya maka dia berkata: "Tuhanku menghinakanku.” (QS. Al Fajr : 16)
Juga firman Alloh  :
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ
Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.” (QS. Ath Tholaq : 7)
-          Menentukan
Misalnya firman Alloh :
فَقَدَرْنَا فَنِعْمَ الْقَادِرُونَ
“Lalu Kami tentukan (bentuknya), maka Kami-lah sebaik-baik yang menentukan.” (QS. Al Mursalat : 23)
-          Menyempurnakan
Misalnya adalah firman Alloh Ta’ala:
-       إِنَّ اللهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللهُ لِكُلِّ شَىْءٍ قَدْرًا
“Sesungguhnya Alloh melaksanakan urusan yang dikehendaki Nya, Sesungguhnya Alloh telah mengadakan bagi segala sesuatu ketetapan yang sempurna.” (QS. Ath-Thalaq: 3)
Setelah diketahui hal ini, maka bagaimana bisa diklaim bahwa makna taqdir dalam hadits tersebut maknanya adalah memperkirakan ?
Jika anda mengatakan : hadits tersebut bermakna memperkirakan karena riwayat hadits dajjal yang diatas, maka inipun salah bila ditinjau dari sisi penafsiran Rosululloh sendiri. Dan inilah penjabaranya :
Kedua : sisi penafsiran Rosululloh dari riwayat lainnya
Sudah merupakan sesuatu yan mapan dalam ilmu mushtholah hadits dan ushul fiqh bahwa apabila sebuah hadits diriwayatkan dengan beberapa riwayat, maka wajib menggabungkan semua riwayat tersebut apabila menuju pada satu makna yang sama. Apabila tidak demikian, maka akan terjerumus dalam kesalahan memahami makna sebuah hadits. Saya sebutkan satu saja contoh untuk mewakili yang lain.
Orang-orang yang benci terhadap dakwah tauhid yang dibawa oleh Imam Muhammad bin Abdul Wahhab sering menyeret hadits berikut untuk menjatuhkan beliau. Yaitu hadits Ibnu Umar bahwa Rosululloh berdo’a:
اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِى شَامِنَا وَفِى يَمَنِنَا . قَالَ قَالُوا وَفِى نَجْدِنَا قَالَ قَالَ اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِى شَامِنَا وَفِى يَمَنِنَا . قَالَ قَالُوا وَفِى نَجْدِنَا قَالَ قَالَ هُنَاكَ الزَّلاَزِلُ وَالْفِتَنُ ، وَبِهَا يَطْلُعُ قَرْنُ الشَّيْطَانِ
“Ya Alloh, berkahilah negeri Syam dan Yaman kami. Para sahabat berkata : “juga negeri nejed kami.” Beliau bersabda : “Ya Alloh, berkahilah negeri Syam dan Yaman kami.” Para sahabatpun berkata lagi : “juga negeri nejed kami.” Beliau bersabda : “dari sana akan muncul keguncangan dan fitnah, dan dari sana jugalah akan muncul dua tanduk setan.” (HR. Bukhori)
Mereka mengatakan bahwa yang dimaksud dengan dua tanduk setan adalah syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab karena beliau berasal dai daerah nejed dir’iyyah. (Riyadh KSA sekarang)
Ketahuilah, bahwa klaim ini adalah sebuah kebatilan nyata, banyak hal yang menunjukkan kebatilannya, namun disini saya cukupkan satu segi saja, yaitu penafsiran hadits ini dari riwayat lainnya.
Bagi orang yang mau meneliti jalur-jalur hadits ini dan membandingkan lafazh-lafazhnya, niscaya tidak samar lagi baginya penafsiran makna Nejed yang benar dalam hadits ini. Dalam lafazh yang dikeluarkan Imam Thabrani dalam Mu’jam al-Kabir 12/384 no.13422 dari jalur Ismail bin Mas’ud: Menceritakan kami Ubaidullah bin Abdullah bin Aun dari ayahnya dari Nafi’ dari Ibnu Umar – dengan lafazh:
اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ شَامِنَا, اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ يَمَنِنَا. فَقَالَهَا مِرَارًا, فَلَمَّا كَانَ فِيْ الثَّالِثَةِ أَوْ الرَّابِعَةِ, قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ! وَفِيْ عِرَاقِنَا؟ قَالَ: إِنَّ بِهَا الزَّلاَزِلَ وَالْفِتَنَ وَبِهَا يَطْلَعُ قَرْنُ الشَّيْطَانِ
Wahai Alloh berkahilah kami dalam Syam kami, wahai Alloh berkahi kami dalam Yaman kami. Beliau mengulanginya beberapa kali, pada ketiga atau keempat kalinya, para sahabat berkata, ”Wahai Rasulullah! Dalam Iraq kami?” Beliau menjawab, ”Sesungguhnya di sana terdapat kegoncangan dan fitnah dan di sana pula muncul tanduk setan.”
Sanad hadits ini bagus. Ubaidullah seorang yang dikenal haditsnya, sebagaimana kata Imam Bukhari dalam Tarikh al-Kabir 5/388/1247. Ibnu Abi Hatim berkata dalam al-Jarh wat Ta’dil 5/322 dari ayahnya, ”Shalih (bagus) haditsnya.”
Dan dikuatkan dalam riwayat Ya’qub al-Fasawi dalam al-Ma’rifah 2/746-748, al-Mukhallish dalam al-Fawa’id al-Muntaqah 7/2-3, al-Jurjani dalam al-Fawa’id 2/164, Abu Nu’aim dalam al-Hilyah 6/133, dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimsyaq 1/120 dari jalur Taubah al-‘Anbari dari Salim bin Abdullah bin Umar dari ayahnya dengan lafazh:
اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ مَكَّتِنَا, اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ مَدِيْنَتِنَا, اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ شَامِنَا, اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ صَاعِنَا وَبَارِكْ لَنَا فِيْ مُدِّنَا. فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُوْلَ اللهِ! وَفِيْ عِرَاقِنَا, فَأَعْرَضَ عَنْهُ, فَرَدَّدَهَا ثَلاَثًا, كُلُّ ذَلِكَ يَقُوْلُ الرَّجُلُ: وَفِيْ عِرَاقِنَا, فَيُعْرِضُ عَنْهُ, فَقَالَ: بِهَا الزَّلاَزِلُ وَالْفِتَنُ وَبِهَا يَطْلُعُ قَرْنُ الشَّيْطَانِ
Wahai Alloh berkahilah kami dalam Makkah kami, wahai Alloh berkahilah kami dalam Madinah kami, wahai Alloh berkahilah kami dalam Syam kami. Wahai Alloh, berkahilah kami dalam sha’ kami dan berkahilah kami dalam mudd kami. Seorang bertanya, ”Wahai Rasulullah! Dalam Iraq kami.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpaling darinya dan mengulangi tiga kali. Namun tetap saja orang tersebut mengatakan, ”Dalam Iraq kami.” Nabi pun berpaling darinya seraya bersabda, ”Di sanalah kegoncangan dan fitnah dan di sana pula muncul tanduk setan.” (Sanad hadits ini shahih, sesuai syarat Bukhari-Muslim)
Imam Muslim dalam Shahihnya 2905 meriwayatkan dari Ibnu Fudhail dari ayahnya, dia berkata, ”Saya mendengar ayahku Salim bin Abdullah bin Umar berkata:
يَا أَهْلَ الْعِرَاقِ! مَا أَسْأَلَكُمْ عَنِ الصَّغِيْرَةِ وَأَرْكَبَكُمْ عَنِ الْكَبِيْرَةِ, سَمِعْتُ أَبِيْ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ يَقُوْلُ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ يَقُوْلُ : إِنَّ الْفِتْنَةَ تَجِيْئُ مِنْ هَا هُنَا وَأَوْمَأَ بِيَدِهِ نَحْوَ الْمَشْرِقِ, مِنْ حَيْثُ يَطْلُعُ قَرْنُ الشَّيْطَانِ
Wahai penduduk Iraq! Alangkah seringnya kalian bertanya tentang masalah-masalah sepele dan alangkah beraninya kalian menerjang dosa besar! Saya mendengar ayahku Abdullah bin Umar mengatakan, ”Saya mendengar Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, ’Sesungguhnya fitnah datangnya dari arah sini –beliau sambil mengarahkan tangannya ke arah timur–, dari situlah muncul tanduk setan….’”
Riwayat ini sangat jelas menunjukkan bahwa maksud ”arah timur” adalah Iraq sebagaimana dipahami oleh Salim bin Abdullah bin Umar.
Al-Khaththabi berkata dalam I’lam Sunan 2/1274, ”Nejed: arah timur. Bagi penduduk kota Madinah, nejednya adalah Iraq dan sekitarnya. Asli makna ’Nejed’ adalah setiap tanah yang tinggi, lawan kata dari ’Ghaur’ yaitu setiap tanah yang rendah seperti Tihamah (sebuah kota di Makkah–pen) dan Makkah. Fitnah itu muncul dari arah timur dan dari arah itu pula keluar Ya’juj dan Ma’juj serta Dajjal sebagaimana diriwayatkan dalam banyak hadits.” (Lihat meluruskan sejarah wahabi oleh Akhuna Al Ustadz Abu Ubaidah hlm : 164-168)
Setelah itu, kembali pada inti permasalahan. Kalau kita mau menelaah riwayat-riwayat hadits tentang hilal ini niscaya akan kita temukan banyak riwayat. Yaitu :
فَأَتِمُّوْا الْعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ
Maka sempurnakan hitungan tiga puluh hari
 فَأَتِمُّوْا شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ
Maka sempurnakan bulan Sya’ban tiga puluh hari
 فَأَكْمِلُوْا ثَلاَثِيْنَ
Maka sempurnakan tiga puluh
 حَتَّى تَرَوْا الْهِلاَلَ أَوْ تُكْمِلُوْا الْعِدَّةَ
Sehingga kalian melihat hilal atau kalian sempurnakan hitungan
 فَصُوْمُوْا ثَلاَثِيْنَ
Maka berpuasalah tiga puluh
 أُحْصُوْا عِدَّةَ شَعْبَانَ لِرَمَضَان
َhitunglah bilangan Sya’ban untuk masuk Romadhon
فَأَكْمِلُوْا الْعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ
Maka sempurnakan bilangan tiga puluh
 فَأَكْمِلُوْا الْعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ فَإِنَّهَا لَيْسَتْ تُغْمَى عَلَيْكُم
Maka sempurnakan hitungan tiga puluh, karena hitungan tersebut tidak tertutupi atas kalian
 فَعُدُّوْا ثَلاَثِيْنَ, فَأَكْمِلُوْا الْعِدَّةَ
Maka hitunglah tiga puluh, maka sempurnakan hitungan
 فَأَكْمِلُوْا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا
Maka sempurnakan hitungan Sya’ban tiga puluh hari
 فَصُوْمُوْا ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا
Maka berpuasalah tiga puluh hari
 فَعُدُّوْا لَهُ ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا
Maka hitunglah untuk bulan itu tiga puluh hari
 فَاقْدُرُوْا لَهُ ثَلاَثِيْنَ
Sempurnakan baginya tiga puluh hari
 فَاقْدُرُوْا لَهُ
Maka “taqdirkanlah.”
Dari semua riwayat ini hanya riwayat terakhirlah yaitu (فَاقْدُرُوْا لَهُ) yang bisa dibawa pada arti perkirakanlah. Namun membawa lafadz ini pada arti perkirakanlah sangat jauh kerena riwayat-riwayat lainnya sangat tegas bahwa makna taqdir disitu berarti menyempurnakan hitungan menjadi tiga puluh hari.
Ditambah lagi bahwa hal ini dikuatkan dengan riwayat sebelumnya yaitu,  فَاقْدُرُوْا لَهُ ثَلاَثِيْنَyang tidak mungkin diartikan kecuali dengan: sempurnakanlah bilangan itu menjadi tiga puluh hari. Dan inilah yang difahami oleh para ulama yang meriwayatkan hadits ini dengan menjadikan semua riwayat ini saling menafsirkan satu sama lainnya. Sebagaimana yang dijelaskan oleh imam Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 4/10 dan Imam Ibnu Abdil Bar dalam At Tamhid 2/4039.
Dan telah datang penggabungan riwayat فَاقْدُرُوْا dengan riwayat أَتِمُّوْا dalam Mustadrok Imam Al-Hakim 1/423 dan Sunan Al-Kubro Al-Baihaqi 4/204 dengan sanad shahih dari Abduloh bin Umar bahwasannya Rasulullah Shollallohu 'alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Alloh Ta’ala telah menjadikan hilal sebagai tanda waktu, maka apabila kalian melihat hilal maka berpuasalah dan apabila kalian melihatnya lagi maka berbukalah. Lalu beliau melanjutkan:
فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوْا لَهُ, أَتِمُّوْهُ ثَلاَثِيْنَ
“Lalu jika tertutupi atas kalian maka takdirkanlah (maknanya) sempurnakanlah hitungan menjadi tiga puluh.”
Di hadits ini sangat jelas bahwa Rasulullah Shollallohu 'alaihi wasallam menafsirkan lafadl فَاقْدُرُوْا dengan أَتِمُّوْا (sempurnakanlah). Lalu masih adakah tempat bagi sebuah penafsiran lain setelah penafsiran Rasulullah ?
Dalil hisab kelima :
Rukyat ilmiyyah
Para ulama’ madzhab hisab mengatakan bahwa perintah Rosululloh dalam banyak hadits diatas untuk berpuasa dan berbuka dengan rukyah, maknanya adalah rukyah ilmiyyah yaitu melihat dengan ilmu pengetahuan dan bukan melihat dengan mata telanjang.
Maka orang yang menggunakan dasar ilmu hisab untuk menetukan bulan hijriyyah sebenarnya dia juga telah mengamalkan hadits tersebut karena dia juga rukyah, namun rukyah ilmiyah.
Hal ini dikarenakan penggunaan kata rukyah untuk makna rukyah ilmiyyah itu benar baik secara bahasa  maupun makna syar’i. (lebih lengkapnya lihat kembali bab pertama , hlm : …)
Jawab :
Memang benar bahwa kata rukyah bisa bermakna rukyah ilmiyyah sebagaimana yang sudah kita jabarkan sebelumnya. Namun permasalahannya benarkah makna rukyah pada masalah penentuan awal bulan hijriyyah ini bisa menggunakan rukyah ilmiyyah. Jawabnya : tidak dan sama sekali tidak.
Kalau kita tinjau dengan seksama hadits berikut ini :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قال :" صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ ، وَ أَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ ، فَإِنْ حَالَ بَيْنَكُمْ وَ بَيْنَهُ سَحَابٌ أَوْ ظُلْمَةٌ أَوْ هَبْوَةٌ ، فَأَكْمِلُوْا اْلعِدَّةَ ، لَاتَسْتَقْبِلُوْا الشَّهْرَ اِسْتِقْبَالًا ، وَ لَا تَصِلُوْا رَمَضَانَ بِيَوْمٍ مِنْ شَعْبَانَ ".
Dari Ibnu Abbas dari Rosululloh beliau bersabda : “Berpuasalah karena melihat hilal, dan berbukalah karena melihatnya. Lalu jika terhalangi antara kalian dengan hilal tersebut oleh mendung atau kegelapan atau debu, maka sempurnakanlah hitungan bulan. Dan janganlah kalian mendahuluinya dan jangan kalian sambung Romadhon dengan satu hari dibulan Sya’ban.” (HR. Abu Dawud dan Baihaqi. Lihat Ash Shohihah : 1917)
Dan hadits hadits yang semisalnya, niscaya akan kita dapatkan bahwa makna rukyah disini sama sekali tidak bisa dibawa pada makna rukyah ilmiyyah, tapi harus dibawa pada rukyah bashoriyyah. Dan ini bila ditinjau dari tiga sisi :
Pertama : sisi bahasa
Kata رأى dalam hadits ini adalah fiil muta’adi (fiil yang butuh obyek) dengan satu maf’ul bihi (obyek),  dan apabila kata رأى hanya mempunyai maf’ul bihi satu, maka artinya adalah rukyah bashoriyyah. Sedangkan yang bermakna rukyah ilmiyyah itu apabila mempunyai dua maf’ul bihi. (Lihat Mukhtarush shihah, majmu’ fatawa ibnu baz 15/111, http://www.drmosad.com/index154.htm)
Bagi yang memahami bahasa arab dengan bagus akan memahami masalah ini, karena perbedaan arti suatu kata dengan perbedaan apakah fiil itu lazim (Fiil yang tidak butuh obyek) ataukah mutaadi, dan jika lazim bersambungnya dengan huruf jer apa ? dan jika mutaadi apakah dia muta’adi dengan satu maf’ul ataukah dua maf’ul itu sangat berpegaruh dengan makna suatu kata. Kita ambil contoh mudah :
Lafazh دعا. kalau mutaadi maka artinya memanggil, kalau lazim dan bersambung dengan huruf jer ‘ل’, maka artinya mendoakan kebaikan, sedangkan kalau bersambung dengan huruf jer ‘على’ maka artinya adalah mendoakan kejelekan.
Kata رغب, jika bersambung dengan huruf في maka artinya adalah cinta dan senang, namun kalau bersambung dengan عن maka artinya adalah benci.
Kedua : sisi qorinah dari hadits ini sendiri
Kalau kita cermati akhir dari hadits tersebut, akan kita dapatkan bahwa hadits itu sendiri membantah pemahaman rukyah ilmiyyah disini. Karena diakhir hadits itu Rosululloh bersabda : “Lalu jika terhalangi antara kalian dengan hilal tersebut oleh mendung atau kegelapan atau debu, maka sempurnakanlah hitungan bulan.”
Menunjukkan bahwa jika hilal tertutupi awam, mendung atau selainnya maka hendaknya menyempurnakan hitungan bulan menjadi 30 hari. Oleh karena itu jika cara hisab hilal sudah berada diatas ufuk (menurut para ulama’ yang menggunakan patokan hisab wujudul hilal) atau sudah mungkin terlihat oleh pandangan mata seandainya tidak ada mendung (menurut para ulama’ yang menggunakan patokan hisab imkanur rukyah), namun hilal tersebut tidak terlihat karena tertutupi oleh awan, manakah yang mencocoki terhadap apa yang diperintahkan oleh Rosululloh ? apakah besok tanggal satu bulan baru ataukah masih tanggal 30 bulan tersebut ? tidak ragu lagi bahwa hadits tersebut sangat tegas menunjuukkan bahwa besoknya adalah tanggal 30 bulan tersebut. Lalu apakah setelah in masih ada yang ngotot bahwa hadits tersebut bermakna rukyah ilmiyyah ? wallohul must’an.
Dengan cara seperti inilah para ulama’ ahlus sunnah membantah mu’tazilah tatkala mereka menafsirkan kata نَاظِرَةٌ dalah firman Alloh :
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ (22) إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
“Wajah-wajah pada hari itu berseri-seri, dia nazhiroh kepada robb (tuhan) mereka.” (QS. Al Qiyamah : 22-23)
Menurut mu’tazilah ayat itu bermakna : dia menunggu Rob mereka. Yang dengan cara ini mereka mencoba untuk menafikan salah satu aqidah yang disepakati ulama’ ahlus sunah yaitu melihat wajah Alloh pada hari kiamat.
Padahal menurut para ulama’ ahlus sunnah, makna نَاظِرَةٌ pada ayat tersebut adalah melihat, yang berarti makna ayat tersebut adalah  : “Wajah-wajah pada hari itu berseri-seri, dia melihat kepada Robb Nya.”
Yang dengan ini maka ayat ini adalah salah satu dalil bahwa Alloh bisa dilihat oleh kaum mu’minin besok diakhirat.
Dan kesalahan mu’tazilah dalam masalah ini sangat jelas , ditinjau dari dua sisi :
Pertama  : sisi bahasa
Dalam bahasa arab, kata نظر jika muta’adi memang berarti menunggu. Seperti firman Alloh Ta’ala :
هَلْ يَنْظُرُونَ إِلَّا أَنْ تَأْتِيَهُمُ الْمَلَائِكَةُ أَوْ يَأْتِيَ رَبُّكَ أَوْ يَأْتِيَ بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ يَوْمَ يَأْتِي بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ لَا يَنْفَعُ نَفْسًا إِيمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِنْ قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ فِي إِيمَانِهَا خَيْرًا قُلِ انْتَظِرُوا إِنَّا مُنْتَظِرُونَ
Yang mereka nanti-nanti tidak lain hanyalah kedatangan malaikat kepada mereka (untuk mencabut nyawa mereka) atau kedatangan (siksa) Tuhanmu atau kedatangan beberapa ayat Tuhanmu[524]. Pada hari datangnya ayat dari Tuhanmu, tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang kepada dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya. Katakanlah: "Tunggulah olehmu sesungguhnya Kamipun menunggu (pula)". (QS. Al An’am : 158)
Adapun kalau kata نظر itu lazim dan bersambung dengna hurif jer إلى , maka artinya adalah melihat. Dan dalam ayat ini sangat jelas menggunakan huruf إلى dan jika lazim lalu bersambung dengan huruf في maka maknanya adalah memikirkan. (Lihat Tahdzibul Lughoh oleh al Azhari 14/371, Ar Rod al Qowim syaikh Ali bin nashir al Faqihi)
Kedua : Qorinah dari ayat ini  sendiri
Dalam ayat ini Alloh menyandarkan kata نظر pada kata وجوه yang berarti wajah. Sedangkan pada wajahlah letak kedua mata. Dan mata digunakan untuk melihat bukan untuk menunggu. (Lihat syarah Aqidah Wasithiyyah syaikh Utsaimin 1/448) Wallohu a’lam
Ketiga : Sisi praktek Rosululloh dan para sahabtanya serta para ulama’ salaf
Rosululloh adalah orang yang paling mengetahui apa maksud dari apa yang beliau sabdakan, dan setelah beliau adalah para sahabat beliau serta para ulama’ setelahnya. Dan sudah sering kita ulang-ulang bahwa Rosululloh dan para sahabat menggunakan rukyah bashoriyyah dan bukan rukyah ilmiyyah. Perhatikanlah untuk yang kesekian kalinya dua hadits ini :
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَتَحَفَّظُ مِنْ شَعْبَانَ مَا لاَ يَتَحَفَّظُ لِغَيْرِهِ, ثُمَّ يَصُوْمُ لِرُؤْيَةِ رَمَضَانَ, فَإِنْ غُمَّ عَلَيْهِ عَدَّ ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا ثُمَّ صَامَ
Dari Aisyah berkata: “Rasulullah benar-benar memperhatikan bulan Sya’ban tidak sebagaimana bulan-bulan lainnya, kemudian jika beliau berpuasa apabila melihat hilal Ramadhan, namun jika tertutupi, maka beliau menghitung bulan sya’ban tiga puluh hari lalu beliaupun berpuasa.” (HR. Abu Dawud 2325, Ibnu Hibban 869, hakim 1/423, beliau berkata: “Shahih menurut syarat Bukhari Muslim.” Dan disepakati oleh Imam Adz Dzahabi)
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ تَرَاءَى النَّاسُ الْهِلاَلَ فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنِّى رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ
“Dari Ibnu Umar berkata : “Orang-orang berusaha melihat hilal, saya pun khabarkan kepada Rosululloh bahwa saya melihatnya. Maka beliau berpuasa dan beliau memerintakan manusia untuk berpuasa.” (HR. Abu Dawud 2324, Darimi 2/4, Ibnu Hibban 871 dan lainnya serta dishohihkan oleh Hakim, Adz Dzahabi, Ibnu Hajar dan Al Albani dalam Irwa’ : 908).
Dalil hisab kelima :
Ilmu hisab qoth’i dan tidak akan salah
Kalau para ulama’ pada zaman dahulu menolak ilmu hisab untuk menentukan awal masuknya hulan hijriyyah, maka ini adalah sebuah kewajaran dan memang seharusnya begitu. Karena dua hal :
a. Ilmu hisab pada saat itu bersifat praduga dan sangat sering salah.
b. Orang-orang yang memperlajari ilmu hisab saat itu seringnya juga mempelajari ilmu perbintangan yang bersifat ilmu ta’tsir
oleh karena sebab ini dan yang lainnya maka para ulama’ pada zaman tersebut bersikap keras pada adanya ilmu hisab ini dan menolaknya sama sekali untuk menentukan awal dan akhir bulan hijriyyah.
Namun untuk zaman sekarang ini dengan perkembangan ilmu astronomi dan ilmu penjelajahan luar angkasa yang demikian pesatnya, maka keadaan itu telah berubah sama sekali. Ilmu hisab sekarang telah mencapai tingkat qoth’i dalam artian tidak mungkin salah. Dan anggaplah ada kemungkinan salah maka itu hanyalah sekitar 0,00001 % dan kemungkinan kesalahan seperti ini lebih kecil dibandingkan dengan kemungkinan salah dalam rukyah dengan mata telanjang.
Dan kekhawatiran akan bercampurnya antara ilmu hisab ini dengan ilmu perbintangan yang berbau syirik yang sering digunakan oleh para dukun dan para normal sekarang ini telah hilang, karena kedua ilmu ini pada zaman sekarang telah benar-benar terpisah. Maka dengan kenyataan yang seperti ini, akankah kita tetap berkutat pada rukyah saja dan menolak hisab?
Dan ini bisa dibuktikan oleh siapa saja. Yaitu dengan hasil ilmu hisab mengenai masalah gerhana matahari dan bulan yang itu jauh lebih sulit dibandingkan dengan menetukan awal masuknya bulan hijriyyah. Semua orang mengetahui dan mendengar dari badan-badan resmi astronomi akan pengumuman akan terjadinya gerhana matahari atau bulan secara total atau sebagian dari jam sekian, menit dan detik sekian pada tempat demikian. Dan itu terbukti pada hari yang telah ditentukan dan tempat yang telah disebutkan tanpa bergeser sedikitpun juga. Setelah ini semua masihkah kita menutup mata dengan mengatakan bahwa ilmu hisab bersifat dhonni pada zaman sekarang ini ?
Dasar ke qoth’iyyan ilmu hisab inilah yang menjadikan beberapa ulama’ membolehkan menggunakan ilmu hisab, bahkan sebagian mereka heran terhadap jumhur ulama’ zaman sekarang yang tidak membolehkan menggunakan hisab padahal kemajuan ilmu astronomi pada zaman ini sudah sedemikian pesatnya, sebagaimana yang dari pendukung hisab mengatakan bahwa menggunakan imu hisab untuk menetapkan datangnya bulan baru itu lebih baik daripada rukyah.
DR. Yusuf Al Qorodhowi berkata : “Pada saat ini, menggunakan ilmu hisab untuk menetapkan datangnya bulan hijriyyah wajib untuk lebih diterima (dibandingkan rukyah-pent) maksudnya Sunnah Rosululloh yang mensyariatkan pada kita untuk menggunakan wasilah (perantara) yang rendah padahal terdapat sisi keraguan dan banyak kemungkinan, dan ini adalah wasilah rukyah, maka tidak akan menolak sebuah wasilah yang lebih sempurna yang lebih bisa mencapai maksud dan tujuannya, serta bisa menjadikan ummat ini keluar dari perselisihan tajam mereka sehubungan dengan menetukan awal bulan puasa, hari raya idul fithri dan idul adhha kepada sebuah persatuan yang diharapkan dalam semua syiar dan ibadah kaum muslimin yang sangat erat berhubungan dengan urusan agama dan kehidupan mereka. Dan wasilah ini adalah ilmu hisab yang sudah mencapai derajat qoth’i.” (Lihat Makalah beliau Al Hisab al Falaki wa Itsbat awa’il syuhur)
Jawab :
Insya Alloh tidak ada seorangpun yang mengingkari perkembangan pesat yag dicapai oleh ilmu astronomi secara umum dan ilmu hisab falaki secara khsusus.  Banyak hal yang telah dicapai dan bermanfaat bagi kaum muslimin dengan disiplin ilmu ini.
Namun sesuatu yang perlu untuk kita beri tanda tanya besar, apakah klaim  bahwa ilmu hisab telah mencapai tingkat qoth’I sehingga tidak mungkin salah dan harus dikedepankan daripada dalil yang masih bersifat dhonni bila terjadi kontradiksi ? marilah kita tinjau hal ini dari dua sisi :
Pertama : Fakta yang ada sekarang.
Insya Alloh apa yang sudah saya paparkan sebelum ini sudah mencukupi bahwa ilmu hisab dan falak sampai sekarang masih bersifat dhonni.  Hal ini bisa dibuktikan dengan beberapa point yang sudah dijelaskan sebelumnya , yang globalnya adalah :
-          Ketetapan ilmu hisab terkadang bahkan banyak bertentangan dengan kenyataan yang ada
-          Persaksian dari sebagian ahli falak sendiri bahwa ilmu ini masih bersifat dhonni
-          Perselisihan madzhab ilmu hisab dan para ahli hisab sendiri
-          Adanya perbedaan hasil hisab meskipun didasarkan pada madzhab hisab yang sama.
(Lihat kembali bab tiga, hlm : …)
Dan kalau menginginkan penjabaran selengkapnya tentang ke tidak qoth’iyahan ilmu hisab yang berhubungan dengan awal dan akhir bulan hijriyyah, lihatlah pada makalah Al Hisab Al Falaki baina qoth’iyyah wal idhthirob oleh DR. Muhammad bin Shibyan al Juhani di :
 http://www.fiqhforum.com/articles.aspx?cid=2&acid=290&aid=10443
Kedua : fakta sejarah
Sebagaimana yang barusan kita ketahui bahwa ilmu hisab astronomi ini telah melewati sejarah yang sangat panjang. Dan dalam perjalanan panjang ini sudah sejak lama sekali pula diklaim bahwa ilmu ini bersifat qoth’i. sebelum zaman ini dalam rentang waktu yang tidak terlalu lama, hal ini disampaikan oleh Syaih Muhammad Rosyid Ridho, bahkan jauh sebelum beliau Imam Tajuddin As Subki pun telah mengklaim hal ini, juga beberapa orang yang sebelum mereka seperti al Qorrofi, Ibnu Rusyd dan lainnya.
Berarti klaim ini bukan hanya pada zaman perkembangan pesat ilmu ini, namun perjalanan sejarah pula yan membuktikan bahwa ilmu ini masih bersifat dhonni sampaipun pada zaman ini, sebagaimana yang sudah sering kita ulang-ulang.   
Dan sekarang anggaplah bahwa ilmu ini dengan perkembangan teknologi sudah bersifat qoth’I, maka tetap saja tidak bisa digunakan untuk menetapkan awal dan akhir bulan-bulan ibadah, karena Alloh dan RosulNya tdak mengaitkan hal ini pada ilmu hisab, padahal sudah menjadi keyakinan seluruh kaum muslimin bahwa Alloh mengetahui apa yang telah terjadi, sedang dan akan terjadi. Alloh mengetahui bahwa suatu ketika nanti ilmu astronomi dan hisab akan mencapai kemajuan pesat, namun kenapa tidak ada satupun isyarat untuk menetapkan hilal dengan ilmu hisab ? bahkan yang kita temukan Alloh dan Rosul Nya menafikan ilmu ini sehubungan dengan penetapan awal dan akhir bulan. (LIhat Majmu’ Fatawa lajnah Daimah no : 2036)
Dalil hisab ketujuh :
Tidak ada ijma’ ulama dalam masalah ini
Mereka mengatakan bahwa masalah apakah boleh menggunakan ilmu hisab untuk masalah ini bukan masalah yang disepakati oleh para ulama’, namun masalah ini adalah masalah yang sejak zaman dahulu kala sudah diperselisihkan oleh para ulama’
Memang sejak dahulu mayoritas para ulama selalu berpendapat tidak bolehnya menggunakan ilmu hisab untuk menentukan awal bulan hijriyyah, namun selalu ditemukan ada yang berpendapat bolehnya mengggunakan ilmu hisab. Mereka pada waktu awal hanya sedikit namun jumlah mereka semakin banyak pada zaman belakangan ini.
Mereka adalah :
a. Imam Asy Syafi’i
b. Muthorrif Ibnu Sikhir
Beliau adalah ulama’ besar zaman tabi’in, wafat tahun 87 H.
dalam Bidayatul Mujtahid 1/374, Imam Ibnu Rusyd berkata : “Diriwayatkan dari sebagian ulama’ salaf bahwa apabila hilal tertutupi mendung, maka dikembalikan pada ilmu hisab peredaran matahari dan bulan. Ini adalah madzhab Muthorrif ibnu Syikhir, dan beliau adalah salah satu pembesar ulama’ tabi’in. dan Ibnu Suroij meriwayatkan dari Imam Asy Syafi’i bahwa beliau pernah berkata : “ Barang siapa yang mengetahui peredaran  bintang dan bulan, kemudian nampak baginya bahwa sebenarnya hilal sudah bisa dilihat namu tertutupi mendung, maka boleh baginya untuk berpuasa dan puasanya sah.”
c. Ibnu Suroij
Beliau adalah Imam Ahmad bin Suraij Abul Abbas wafat tahun 306 H, beliau adalah imam madzhab Syafi’iyah pada masanya.
d. Ibnu Qutaibah
Beliau adalah Imam Abdullah bin Muslim Bin Qutaibah Ad-Dainuri, wafat tahun 376 H, dari kalangan ahli bahasa.
Al Hafidz Ibnu Hajar saat menyebutkan pendapat mengenai makna sabda Rosululloh : فَاقْدُرُوا لَهُ” Beliau berkata : “Sebagian lainnya punya pendapat ketiga, mereka katakan : “Maknanya adalah perkirakanlah dengan ilmu hisab perbintangan. Ini dikatakan oleh Abul Abbas ibnu Suroij dari kalangan ulama’ syafiiyyah dan Muthorrif bin Abdulloh dari kalangan ulama’ Tabi’in serta Ibnu Qutaibah dari kalangan ahli hadits.” (Fathul Bari 4/157)
Hal senada juga disampaikan oleh guru beliau, imam Ibnul Mulaqqin. Saat membahas makna sabda Rosululloh : فَاقْدُرُوا لَهُ ” beliau juga berkata : “Muthorrif bin Abdulloh, Ibnu Suroij, Ibnu Qutaibah serta lainnya dari kalangan ulama’ Malikiyyah maupun lainnya mengatakan maknanya adalah perkirakanlah dengan ilmu hisab yang diketahhui oleh ahli Astronomi.” (Al I’lam bi fawa’idi Umdatil Ahkam 5 /175)
e. Muhammad bin Muqotil Ar Rozi
Sebagaimana yang dinukil oleh Syaikh Bakr Abu Zaid dalam fiqhun Nawazil 2/205
f. Ibnu Daqiq Al ‘Id
Beliau berkata : “Adapun jika ilmu hisab menunjukkan bahwa hilal sudah mungkin bisa terlihat di ufuk (barat) seandainya tidak ada yang menghalanginya semacam mendung atau lainnya , maka ini berkonsekwensi wajibnya (puasa atau ibadah lainnya –pent) karena adanya sebab syar’i, tidak disyaratkan harus dengan ru’yah. Hal ini karena sudah merupakan sesuatu yang disepakati  (oleh para ulama’) bahwa seseorang yang tertahan di ruangan bawah tanah, apabila dia bisa mengetahui  bahwa hari itu adalah Romadhon dengan cara menyempurnakan hitungan atau berijtihad dengan tanda-tanda lain maka wajib baginya untuk berpuasa , meskipun tidak melihat hilal  serta tidak ada seorangpun yang memberitahkuan kepadanya.” (Ihkamul Ahkam Syarah Umdatul Ahkam oleh Ibnu Daqiq al Id tahqiq Ahmad Syakir hlm : 404)
g. Tajuddin As Subki
Dalam Fatawanya beliau berkata  : “Apabila secara hisab menunjukkan bahwa tidak mungkin terlihat hilal, dan hal ini diketahui dengan perhitungan yang pasti  seperti kalau posisi hilal sangat dekat dengan matahari. Maka dalam kondisi seperti ini benar-benar tidak akan mungkin bisa terlihat. Oleh karena itu kalau ada satu orang atau lebih yang mungkin saja persaksiannya bisa benar atau salah, maka kita terima persaksian mereka namun harus kita bawa bahwa dia berdusta atau salah lihat. Oleh karena itu kalau dalam kondisi ini ada dua orang saksi yang menyaksikan hilal, maka persaksian keduanya kita tolak, karena hisab adalah qoth’i sedangkan persaksian dan sebuah berita hanyalah dhonni (persangkaan), sedangkan sesuatu yang dhonni tidak bisa menentang sesuatu yang qoth’I, apatah lagi sampai didahulukan daripada sesuatu yang qoth’i.”
h. Muhammad Rosyid Ridho
Beliau berkata : “Kesimpulannya adalah kita berada diantara dua perkara :  (yaitu) kita mengamalkan ru’yah dalam semua waktu ibadah karena berpegang dengan zhahirnya nushush dan hitungannya pun adalah ta’abbud (ibadah yang diperintah), maka pada waktu itu wajib bagi setiap muadzin untuk tidak adzan sampai ia melihat sendiri cahaya fajar shodiq yang memanjang di ufuk, bukan cahaya yang menyebar, juga sampai melihat sendiri zawal (tergelincirnya matahari) dan terbenamnya, dan seterusnya. Atau kita mengamalkan hisab yang qoth’I (pasti) karena dia lebih dekat dengan maksud  syar’I  yaitu ilmu pasti tentang waktu dan tidak ada khilaf padanya. Maka pada waktu itu memungkinkan  untuk dibuat taqwim (kalender) umum yang menjelaskan waktu-waktu disetiap awal bulan dimasing-masing wilayah yang mungkin bagi hilal untuk dilihat jika tidak ada penghalang, lalu disebar didunia, jika selain taqwin itu ada jamaah yang melihat hilal, maka itu adalah cahaya diatas cahaya
Adapun perbedaan yang ada ini dan meninggalkan nushush disemua waktu karena melaksanakan hisab kecuali dalam masalah hilal, maka ini tidak logis, tidak ada dalilnya dan tidak ada seorang imam mujtahidpun yang mengatakannya bahkan ini termasuk dalam firman Alloh :
أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ
“Maka apakah kamu mengimani sebagian al Kitab dan mengingkari sebagian yang lain.” (QS. Al Baqoroh : 85)  (Dinukil dari majalah Qiblati vol.2/ no.1/tahun 2006/1427 hlm : 29)
i. Ahmad Muhammad Syakir
dalam risalah Awa’ilusy Syuhur Al Arobiyah, beliau berkata : “Sejak sepuluh tahun yang lalu Syaikh Al Maroghi yang pada saat itu menjabat sebagai ketua mahkamah agung syar’i  berpendapat untuk menolak persaksian para saksi  jika secara hisab dipastikan bahwa hilal tidak mungkin terlihat. Pendapat beliau ini seperti pendapat Taqiyudiin as Subki. Pendapat beliau  ini menimbulkan perdebatan panjang. Dulunya bapakku dan sayapun termasuk yang menolak pendapat beliau, namun sekarang saya tegaskan bahwa pendapat beliau itulah yang benar, bahkan saya tambahkan  akan wajibnya menetapkan hilal dengan ilmu hisab dalam semua kondisi, kecuali dalam kondisi yang sangat sulit diketahui.” 
j. Beberapa ulama kontemporer
semisal Syaikh Muhammad Bukhoit Al Muthi’I, Syaikh Thonthowi Jauhari, Syaikh Mushthofa Az Zarqo, Syaikh Mushthofa Al Maroghi, Syaikh Al Qorodlowi dan lainnya sebagaimana yang telah kita nukil sebagian ucapan mereka
jawab :
Jawaban atas penyataan ini saya jawab dalam tiga point berikut ini :
Pertama : ijma’ telah shohih
Telah berlalu keterangan bahwa dalam masalah ini para ulama’ sepakat atas tidak bolehnya menggunakan ilmu hisab. dan yang menukil adanya ijma’ ini bukan hanya satu ulama’ tapi banyak sekali.
Syaikh Bakr Abu Zaid berkata: “Yang menyampaikan bahwa hal ini merupakan kesepakatan ulama’ adalah para ulama’ dari zaman dahulu sampai sekarang, diantaranya adalah: Imam Ibnul Mundzir dalam Al-isyrof, Al-Baji, Ibnu Rusyd, Ibnu Taimiyah, Al-Hafizh Ibnu Hajar, As-Subki, Al-Aini, Ibnu Abidin, Asy Syaukani, Shiddiq Hasan khon, Mulla Ali Al-Qori dan Ahmad Syakir.” (Fiqhun Nawazil 1/200).
Bahkan orang yang paling mengetahui kesepakatan dan perselisihan para ulama’ yaitu syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah pun menegaskan akan hal ini. Beliau berkata : “Sesungguhnya kita mengetahui dalam syariat agama Islam bahwa menggunakan ilmu hisab dalam menentukan hilal untuk menentukan puasa Ramadhan, haji, iddah, ila’ atau hukum lain yang berhubungan dengan ada dan tidaknya hilal itu tidak diperbolehkan. Kaum muslimin telah menyepakati hukum ini, tidak pernah dikenal adanya khilaf baik oleh para ulama’ salaf maupun mutaakhirin, hanya saja sebagian fuqoha’ mutaakhirin yang hidup setelah abad ketiga menyangka bahwa kalau langit sedang mendung, maka boleh bagi ahli hisab untuk mengunakan ilmu hisab namun itu hanya bisa digunakan untuk dirinya saja dan bukan untuk lainnya. Kalau memang ilmu hisab menunjukkan bahwa sudah masuk ramadhan maka dia puasa namun kalau tidak maka berarti ia tidak puasa. Pendapat ini walaupun dikhususkan hanya bagi ahli hisab saja dan itupun harus dalam keadaan langit mendung, namun ini tetap pendapau nyleneh yang sudah ada ijma’ sebelumnya. Adapun berpegang pada ilmu hisab saat langit cerah atau menggunakan ilmu ini untuk ummat Islam secara umum maka hal ini belum pernah ada seorang muslimpun yang mengatakannya.” (Lihat Majmu’ Fatawa 25/132).
Dan sudah mapan dalam disiplin ilmu syar’I bahwa apabila telah terjadi ijma’ maka itu adalah sebuah kebenaran dan tidak boleh menyelisihinya, sebagaimana yang telah kita jelaskan sebelumnya.
Kedua : jangan berhujjah dengan khilaf ulama’
Dan anggaplah bahwa dalam masalah ini tidak terjadi ijma’, maka adanya khilaf ulama’ dalam satu masalah sama sekali bukan dalih atas bolehnya perbuatan tersebut, jika memang khilaf itu sangat jelas pertentangannya dengan dalil dari al Qur’an dan as sunnah, sebagaimana dalam masalah kita ini.
Hal ini karena perselisihan mereka disebabkan oleh banyak hal, ringkasnya adalah sebagai berkikut :
1.Karena dalil belum sampai kepadanya.
Hal ini tidak hanya terjadi setelah zaman para sahabat. Bahkan di zaman mereka pun pernah terjadi. Seperti tersebut dalam Shahih Al-Bukhari bahwa Amirul Mukminin ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu melakukan safar menuju Syam. Di tengah perjalanan dikabarkan kepadanya bahwa di Syam tengah terjadi wabah tha’un. ‘Umar menghentikan perjalanannya dan bermusyawarah dengan para sahabat. Mereka berselisih pendapat. Ada yang mengusulkan untuk pulang dan ada yang berpendapat terus melanjutkan. Ketika mereka tengah bermusyawarah, datang Abdurrahman bin ‘Auf yang tadinya tidak ikut musyawarah karena ada suatu keperluan. Abdurrahman mengatakan: “Saya memiliki ilmu tentang ini. Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ فِي أَرْضٍ فَلاَ تَقْدُمُوا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ وَأَنْتُمْ فِيْهَا فَلاَ تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ
“Jika kalian mendengar di suatu negeri ada tha’un maka janganlah kalian memasukinya. Dan jika terjadi di tempat yang kalian ada di sana maka janganlah keluar (dari daerah tersebut, red.) untuk lari darinya.” (Lihat Shahih Al-Bukhari no. 5729)
2. Adakalanya hadits telah sampai kepada seorang alim namun dia belum percaya (penuh) kepada yang membawa beritanya. Dia memandang bahwa hadits itu bertentangan dengan yang lebih kuat darinya. Sehingga dia mengambil dalil yang menurutnya lebih kuat.
3. Hadits telah sampai kepada seorang alim namun dia lupa.
4. Dalil telah sampai kepadanya namun ia memahaminya tidak sesuai dengan yang diinginkan. Misalnya kalimat “
أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاء" artinya: Atau kalian menyentuh perempuan, dalam surat Al-Ma`idah ayat 6. Sebagian ulama mengatakan bahwa sekadar seorang lelaki menyentuh perempuan batal wudhunya. Sebagian lainnya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan menyentuh di sini adalah jima’ (bersetubuh) sebagaimana pendapat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Pendapat inilah yang benar, dengan landasan adanya riwayat bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium sebagian istrinya lalu berangkat menuju shalat dan tidak berwudhu.
5. Telah sampai dalil kepadanya dan dia sudah memahaminya, namun hukum yang ada padanya telah mansukh (dihapus) dengan dalil lain yang menghapusnya. Sementara dia belum tahu adanya dalil yang menghapusnya.
6. Telah datang kepadanya dalil namun ia meyakini bahwa dalil itu ditentang oleh dalil yang lebih kuat darinya, dari nash Al-Qur`an, hadits, atau ijma’ (kesepakatan ulama).
7. Terkadang sebabnya karena seorang alim mengambil hadits yang dhaif (lemah) atau mengambil suatu pendalilan yang tidak kuat dari suatu dalil.
(Diringkas dari risalah Al-Khilaf Bainal Ulama, Asbabuhu wa Mauqifuna minhu bersama Kitabul Ilmi karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu dan untuk memperluas maslaah ini lihatlah risalah syaikhu Islam Rof’ul malam anil a’immatil a’lam)
Karenanya kita wajib untuk mengikuti kebenaran yang nampak dari al Qur’an dan as sunnah, dan jangan berdalih dengan adanya khilaf ulama’ jika telah jelas kelemahan pendapatnya.
Ketiga : Benarkah khilaf itu ada ?
Setela dua hal diatas, masih menyisakan satu pertanyaan besar. Yaitu benarkah khlaf ini benar-benar ada, ataukah sebenarnya tidak ada sama sekali kecuali dikalangan para ulama’ muta’akhirin.
Syaikh Bakr Abu Zaid berkata: “Betapa banyak dalam sebuah masalah fiqhiyah yang dikatakan bahwa ada khilaf diantara para ulama, namun ternyata setelah diteliti lebih lanjut bahwa hal itu tidaklah benar. Misalnya dalam masalah puasa pada Yaumusy Syak (hari yang diragukan apakah dia awal Romadon atau akhir sya’ban) Imam Ibnu Qudamah meriwayatkan dari sepuluh sahabat dan beberapa tabi’in bahwa mereka membolehkannya, namun ternyata semua riwayat itu dlo’if sebagaimana dikatakan oleh imam Al-Iroqi.” (Fiqhun nawazil 2/201)
Dan kalau kita telaah mendalam, akan kita temukan bahwa sebenarrnya tidak ada khilaf dalam maslaah ini dikalangan ulama’ salaf mutaqoddimin, karena semuanya dinukil dengan riwayat yang lemah, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Bakr Abu Zaid dalam Fiqh Nawazil beliau 2/201-206. Sedangkan keberadaan khilaf ini dikalangan mutakhirin tidaklah berpengaruh karena mereka hanya mengikuti ulama’ sebelumnya. Padahal ternyata itu tidak benar, maka kalau tongkatnya bengkok lalu bagaimana bayangannya akan menjadi lurus ?
Dan inilah perinciannya :
1.Imam Syafi’i
Nukilan dari imam Syafi’i ini tidak benar, bahkan banyak para ulama’ yang mengingkarinya semisal Imam Ibnu Abdil Bar, Abu Bakr ibnul Arabi, Al-Iroqi, As-Subki, Ibnu Hajar, Al-Muthi’i dan lainnya.
Imam Ibnu Abdil Barr berkata : “Yang kami jumpai dalam kitab-kitab imam Syafi’I. Beliau menyebutkan bahwa tidak boleh meyakini datangnya bulan Romadhon melainkan dengan rukyah yang diumumkan dan persaksian yang adil, atau menggenapkan bulan sya’ban tiga puluh hari.” (Lihat Al Istidzkar 10/18)
Bahkan nash ucapan Imam Syafi’iI malah mendukung madzhab salaf yaitu mengunakan ru’yah dan ikmal dalam masalah ini sebagaimana yang terdapat dalam kitab Ahkamul Qur’an karya beliau yang dikumpulkan oleh Imam Baihaqi.
Dalam al Umm 2/124, imam Syafi’I meriwayatkan hadits dari Ibnu Umar bahwasannya Rosullloh bersabda : “Bulan itu 29 hari, maka janganlah kalian berpuasa sehingga meliha hilal dan janganlah kalian berhariraya sehingga melihat hilal, dan jika tertutupi atas kalian, maka sempurnakan hitungan menjadi 30 hari.” Setelah itu Imam Syafi’I berkata : dan inilah yang kami katakan.”
Al Muzani dalam mukhtashor al Umm, meriwayatkan dari Imam Syafi’I beliau berkata : “tidak wajib berpuasa romadhon sehingga yakin bahwa  hilal telah ada (terlihat) atau menyempurnakan bulan sya’ban menjadi 30 hari, yang dengannya diketahui bahwa hari ke tihapuluh satu adalah bulan romadhon. Hal ini berdasarkan sabda Rosululloh : “Janganlah kalian berpuasa , maka sempurnakan hitungan 30 hari.” (Al Umm 9/64)
2. Muthorrif bin Abdillah bin Asy Syikhir
Riwayat dari imam Ibnu Syikhir ini dilemahkan oleh Imam Ibnu Abdil Bar. Beliau berkata: “Diriwayatkan dari Muthorrif bin Syikhir, namun riwayat ini tidak shahih, dan kalaupun shahih tidak wajib diikuti karena sangat nyleneh dan bertentangan dengan dalil yang ada.” (Lihat At Tamhid , dan Fathul Bari Ibnu Hajar 4/122)
Imam Ibnu Taimiyah berkata: “Riwayat ini kalaupun shahih dianggap sebagai kesalahan ulama’.” (Lihat Majmu’ Fatawa 25/182).

3. Riwayat Ibnu Suraij
Yang nampak bahwa pendapat beliau ini didasarkan pada dua hal, pertama: pada riwayat hadits (فاقدروا له ) yang beliau fahami dengan kira-kirakanlah dengan ilmu hisab dan ini di khususkan bagi ahlinya, kedua: nukilan beliau yang salah dari imam Syafi’i. Yang mana para ulama’ Syafi’iyah selanjutnya banyak menukil dari beliau.
Syaikh Bakr Abu Zaid berkata : “Beliau mengatakan itu karena taqlid pada imam Syaf’i, dan kalau memang sudah jelas bahwa nisbah ucapan itu pada imam Syafi’i tidak benar, maka dasar yang digunakan imam Ibnu Suraij pun tidak ada. Dan para ulama’ baik dari kalangan Syafi’iyah maupun lainnya mengingkari madzhab Ibnu Suraij tersebut.”
Dan inipun harus difahami bahwa yang dibolehkan oleh beliau adalah bagi ahli hisab saja dan kalau langit mendung, bukan bagi lainnya dan bukan saat langit cerah sebagaimana yang ditegaskan oleh imam Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarah Muhadzab.
4. Imam Ibnu Qutaibah
Imam Ibnu Abdil Bar berkata : “Masalah ini bukan bidangnya Imam Ibnu Qutabah, dan pendapat beliau tidak dianggap dalam masalah ini.”
5. Muhammad bin Muqotil Ar-Rozi
Beliau adalah sahabat Imam Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani sahabat Imam Abu Hanifah. Beliau dilemahkan oleh para ulama. Berkata Imam Adz Dzahabi dalam Al-Mughni Fidl Dlu’afa’: “Muhammad bin Muqotil Ar-Rozi bukan Al-Marwazi, beliau meriwayatkan dari Waki’. Namun beliau itu orang yang lemah.”
Adapun para ulama mutaakhirin yang membolehkannya, maka yang dhohir mereka menukil dari para imam tersebut. Dan kalau sudah jelas kelemahan nukilan dari mereka, maka bagaimana bisa dikatakan benar sesuatu yang asal penukilannya saja sudah salah ? Wallohu A’lam.
Oleh karena itu saya tidak akan mengomentari pernyataan dari para ulama’ mutaakhirin secara masing-masing, karena sudah terwakili dengan bantahan terhadap dalil-dalil mereka. Dalam masalah ini saya hanya ingin menyatakan bahwa klaim bahwa masalah ini ada khilaf ulama’ tidaklah benar. Dan yang benar bahwa masalah ini telah disepakati oleh para ulama’ sebagaimana keterangan yang terdahulu.
Namun sebelum kita akhiri point ini ada sesuatu yang perlu disampaikan yaitu apa yang disampaikan oleh Imam Ibnu Taimiyah bahwa para ulama’ yang diriwayatkan bahwa mereka membolehkan penggunaan hisab, itu disyaratkan dua hal:
1. Saat langit mendung bukan cerah
2. Hanya berlaku bagi ahli hisab saja bukan untuk seluruh ummat.
Lalu yang jadi pertanyaan besar. Apakah orang-orang yang berpedoman pada hisab pada zaman ini memperhatikan kedua syarat ini ? ataukah mereka tidak perduli, apakah saat tanggal 29 bulan sya’ban, romadhon dan dzul qo’dah itu langit cerah ataukah mendung ? juga apakah mereka hanya menggunakannya seorang diri ataukah diumumkan keseluruh khalayak umum ? bahkan memerintahkan anggota kelompok, organisasi dan partainya untuk mengikuti keputusan ini ? jawablah dengan kejujuran hati, semoga Alloh menunjukkan kita semua pada kebenran syariat Nya yang mulia.
Dalil hisab kedelapan :
Maslahah mursalah
Para ulama’ ushul mengatakan bahwa sesuatu yang dipandang sebagai sebuah kemaslahatan itu ada tiga macam :  pertama : kemaslahatan yang dianggap oleh syar’i (mashlahah mu’tabaroh) dan ini jelas boleh digunakan untuk menetapkan sebuah kemaslahatan. Seperti zakat membawa maslahat bagi umat dan memang Alloh dan Rosul Nya mensyariatkan hal tersebut. Kedua  : Yang dianggap sebuah kemaslahatan namun ditolak oleh syar’i (maslahah mulghoh) , dan yang ini harus ditolak dan tidak boleh dianggap sebagai sebuah kemaslahatan. Seperti maslahat yang diklaim sebagian orang terdapat dalam khomer, namun ternyata Alloh menolak dan mengharamkannya.  Ketiga : Sesuatu yang dianggap sebagai sebuah maslahah, namun tidak ada dalil khusus yang menetapkannya juga yang menolaknya. Inilah yang disebut dengan maslahah mursalah. (lihat Ushul fiqh islami DR. Wahbah Zuhaili 2/752, Nadhoriyyah Al Mashlalah fil Fiqh al Islami oleh Husain Hamid Hasan hlm: 18, Maalim ushul fiqh al Jizani hlm : 242)
Berangkat dari sini, maka menggunakan ilmu hisab untuk menetapkan awal masuk hijriyyah adalah merupakan sebuah kemaslahatan karena banyak manfaat yang didapatkan serta tidak bertentangan dengan syar’i. diantara maslahat yang didapatkan adalah :
a.       Mempermudah menetapkan hari-hari penting dalam islam, karena sudah tidak perlu untuk melakukan rukyah ke pesisir pantai atau puncak-punak gunung.
b.      Bisa lebih dini mempersiapkan kedatangan hari-hari besar tersebut, karena bisa ditetapkan jauh-jauh sebelumnya
c.       Lebih akurat dan lebih tidak banyak menimbulkan kesalahan.
d.      Bisa menyatukan umat islam dunia dalam satu kalender hijriyyah internasional
e.      Dan masih banyak maslahat lainnya
Jawab :
Maslahah mursalah memang salah satu dalil syar’I, karena agama islam memang dibangun diatas asas mendatangkan kemaslahatan dan menolak mafsadah (kerusakan). Namun dalil ini tidaklah berlaku umum,tapi harus memenuhi beberapa criteria berikut ini :
  1. Yang dianggap sebagai maslahat tersebut tidak bertentangan dengan nash syar’I atau ijma’
  2. Maslahat tersebut bisa menjaga dan memelihara maksud-maksud syariat
  3. Maslahat itu bukan untuk hukum-hukum yang tidak berubah dengan perubahan waktu dan tempat.
  4. Maslahat itu tidak bertentangan dengan sesuatu yang lebih maslahat lagi atau minimalnya sama
  5. Serta tidak menimbulkan mafsadah yang lebih besar atau minimalnya sama.
(LIhat Al Masholih al Mursalah  oleh Syinqithi hlm : 21, Majmu’ fatawa Ibnu taimiyyah 11/343, Ighotsatul laghfan 1/330)
Sekarang marilah kita timbang masalah ilmu hisab ini dengan syarat-syarat tersebut.
Syarat pertama : Tidak bertentangan dengan nash atau ijma’
Kenyataan yang ada penggunaan ilmu hisab untuk urusan awal dan akhir bulan hijriyyah untuk ibadah sangat jelas pertentangannya dengan nash dan ijma’ ulama’. Karena syariat islam hanya mengaitkan semua itu dengan rukyatul hilal atau ikmal dan ini disepakati oleh para ulama’ sebagaimana telah lewat pembahasannya.
Syarat keempat dan kelima : kalau kita timbang, manakah yang lebih maslahat, apakah menetapkan awal bulan hijriyyah yang berhubungan dengan ibadah ini dengan rukyah dan ikmal ataukah dengan ilmu hisab ? tidak diragukan lagi  bahwa yang mencermati apa yang sudah dijelaskan sebelum ini tentang bahaya ilmu hisab akan mengatakan bahwa  penggunaan lmu hisab tidaklah lebih membawa maslahat. Bahkan banyak menimbulkan mafsadah. Wallohu a’lam
Dalil hisab kesembilan :
Kias dengan waktu sholat
Mereka mengatakan : “Bahwa Alloh dan Rosul Nya telah menetapkan waktu-waktu sholat secara terperinci dengan tanda-tanda alam seperti terbitnya fajar shodiq, tergelincirnya matahari, sama antara bayang-bayang dengan bendanya, terbenam mahtahari dan hilangnya mega merah. Namun para fuqoha sepakat bahwa tidak merupakan sebuah keharusan untuk melihat langsung kepada tanda-tanda tersebut kalau mau mengumandangkan adzan, namun dengan cara apapun yang penting bisa mengetahui masuknya waktu sholat dengan benar, maka hal ini diperbolehkan. Karenanya boleh mengunakan pedoman ilmu hisab yang dibangun diatas dasar perhitungan peredaran matahari untuk menetapkan jadwal waktu sholat dan cukup dengan hitungan hisab tersebut meskipun tanpa melihat pada tanda-tanda alam tentang masuknya waktu sholat tersebut.
Jika hal ini diperbolehkan dalam sholat, lalu apa bedanya antara hal ini dengan masalah awal masuk puasa dan hari raya ?  bukankah ilmu hisab pun telah bisa menentukan apakah hilal bisa terlihat ataukah tidak di ufuk barat meskipun tanpa melihat secara langsung ? kalau memang ini dilarang berarti harus harus dilarang pula berpedoman pada ilmu hisab untuk waktu sholat, namun jika dalam sholat diperbolehkan maka harus diperbolehkan pula dalam masalah puasa. Karena keduanya didasari dengan satu hal yang sama, oleh karenanya jangan dibedakan.
Jawab :
Tidak diragukan lagi bahwa menggunakan perhitungan ilmu hisab untuk menetapkan waktu sholat diperbolehkan. Bahkan ini adalah kesepakatan para ulama’ kotemporer, sebagaimana yang dinyatakan oleh Syaikh Kholid al Musyaiqih dalam fiqhun Nawazil fil ibadat dan Syaikh Nayif bin Juroidan dalam masa’il muashiroh mimma ta’ummu bihil balwa hlm : 216. Namun harus tetap dalam sebuah catatan bahwa kalau ternyata hisab yang ada itu bertentangan dengan kenyataan yang ada saat itu, maka hisab itupun gugur dan harus kembali berpegangan pada keberadaan matahari.
Namun untuk mengkiaskan hal ini dengan masalah puasa adalah sebuah kesalahan, penjelasannya adalah sebagai berikut :
a. Para ulama’ kita menegaskan bahwa tidak ada qiyas dalam masalah ibadah. Padahal puasa dan shalat adalah ibadah mahdhoh yang tidak bisa dimasuki dalil qiyas.
b. Syarat sah qiyas adalah diketahui illah hukum asal dan sesuatu yang akan dikiaskan. Lalu apa ‘illah dari ketetapan Alloh dalam waktu shalat dan puasa?
c. Dalam shalat sekalipun, bahwa waktu shalat ditetapkan dengan matahari bukan dengan kalender. Yang mana kalau kalender bertentangan dengan perjalanan peredaran matahari maka yang digunakan adalah matahari dan bukan kelender. Misalnya: tertulis dikalender bahwa maghrib di daerah Gresik Jawa Timur jatuh pukul 18.00 WIB, namun ternyata pada jam itu matahari belum terbenam, maka tidak boleh shalat maghrib. Lalu apakah begini praktek yang dilakukan oleh orang yang berpedoman dengan hisab saat menentukan awal puasa? Ataukah ngotot akan memeprtahankan hasil hisab, meskipun secara nyata bertentangan  dengan hasil rukyah ?
d. Alloh Ta’ala dan RosulNya telah membedakan antara keduanya. Perhatikanlah nash berikut:
Firman Alloh Ta’ala:
أَقِمِ الصَّلاَةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ الَّيْلِ وَقُرْءَانَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْءَانَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan dirikanlah pula shalat shubuh saat terbit fajar Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (QS. Al-Isra’: 78).
Rasulullah Shollallohu 'alaihi wasallam bersabda:
“Waktu shalat shubuh dari terbit fajar sampai selagi belum terbit matahari.” (HR. Abu Dawud 392, Nasa’I 1/260 dengan sanad hasan, Lihat Irwa’ 1/268).
Lalu bandingkanlah dengan sabda beliau mengenai waktu puasa:
صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ ، وَ أَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ
“Berpuaslah kalau melihat hilal dan berbukalah jika melihat hilal.”
Saat menyebut waktu shalat, Alloh dan Rosul Nya cuma menjelaskan dari saat ini sampai saat ini. Adapun waktu puasa Rasulullah menyebutkan harus dengan melihat.
Oleh karena itu Imam Al-Qorrofi dalam kitab Al-Furuq 2/322 mengatakan: “Perbedaan yang ke 102: perbedaan antara kaedah tentang waktu-waktu sholat  yang boleh ditetapkan menggunakan ilmu hisab dan alat lainnya serta apa saja yang menunjukkan padanya dengan kaedah hilal untuk bulan romadhon yang tidak boleh ditetapkan dengan ilmu hisab.
Perbedaanya adalah bahwasannya Alloh menjadikan tergelincirnya matahari sebab masuknya waktu sholat zhuhur, demikian juga sholat-sholat lainnya. Alloh berfirman :
أَقِمِ الصَّلاَةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ
“Dirikanlah shalat karena matahari tergelincir.” (QS. Al-Isra’: 78).
Demikian juga firman Nya :
فَسُبْحَانَ اللَّهِ حِينَ تُمْسُونَ وَحِينَ تُصْبِحُونَ (17) وَلَهُ الْحَمْدُ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَعَشِيًّا وَحِينَ تُظْهِرُونَ
Maka bertasbihlah kepada Allah di waktu kamu berada di petang hari dan waktu kamu berada di waktu subuh, dan bagi-Nyalah segala puji di langit dan di bumi dan di waktu kamu berada pada petang hari dan di waktu kamu berada di waktu Zuhur.” (QS. Ar Rum : 17,18)
Para ulama’ tafsir menyatakan : “ini adalah sebuah berita yang bermakna perintah melaksanakan sholat pada waku-waktu ini. Dan masih banyak lagi ayat maupun hadits yang menunjukkan bahwa dengan sekedar masuknya waktu maka itu adalah sebab adanya. Maka barang siapa yang mengetahui sebab tersebut dengan cara apapun maka dia wajib melaksanakannya, oleh karena itu, maka ilmu hisab yang mempunyai hasil yang pasti boleh digunakan untuk menetukan waktu-waktu sholat.
Adapun tentang masalah hilal, maka Alloh dan Rosul Nya tidaklah menjadikan wujudnya hilal itu sebagai sebab  puasa, akan tetapi sebabnya adalah melihat hilal. Oleh karena itu jika tidak terjadi rukyah, maka tidak terjadi pula sebab syar’I tersebut, yang dengannya tidak berlaku pula hukumnya. Yang menunjukkan akan hal ini adalah sabda Rosululloh :
“Berpuasalah kalian jika melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya.”
Rosululloh tidak mengatakan : berpuaslah karena adanya hilal setelah terbenam matahari, sebagaimana yang Alloh firmankan dalam masalah sholat. Kemudian Rosululloh bersabda : “Lalu jika tertutupi atas kalian maka sempurnakan hitungan menjadi tiga puluh hari.”
Disini Rosululloh menjadikan rukyatul hilal dan menyempurnakan hitungan menjadi tiga puluh hari menjadi sebab, dan sama sekali tidak menjadikannya pada ilmu hisab. (Al Furuq 2/324 dengan sedikit perubahan)
Dan ini adalah keberadaan semua hukum yang Alloh maupun Rosul NYa mengkaitkannya dengan rukyah (melihat secara visual). Contoh yang paling mudah adalah sholat gerhana.
Rosululloh bersabda :
عَنْ أَبِى مَسْعُودٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيْسَ يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ مِنَ النَّاسِ وَلَكِنَّهُمَا آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَقُومُوا فَصَلُّوا ».
Dari Abu Mas’ud bahwa Rosululloh bersabda : “Sesungguhnya matahari dan bulan tidaklah terjadi gerhana disebabkan oleh kematian seseorang, namun keduanya adalah diantara tanda-tanda kekuasaan Alloh, oleh karena itu jika kalian melihatnya maka berdiri dan sholatlah.” (HR. Bukhori)
Sholat gerhanapun dikaitkan oleh Rosululloh dengan rukyah (melihat langsung) oleh karena itu tidak boleh hanya bersandar menggunakan ilmu hisab.
Berangkat dari sini, jika ilmu hisab menetapkan bahwa pada hari ini jam anu ditempat ini akan terjadi gerhana matahari total, ternyata pada hari tersebut  langit tertutupi mendung pekat seharian sehingga gerhana yang diprediksi secara hisab tersebut tidak bisa dilihat dengan mata telanjang, maka tidak ada syariatnya untuk melaksanakan sholat khouf. Fahamilah masalah ini, semoga Alloh mencurahkan nikmat Nya kepada kita semua
Dalil hisab kesepuluh :
Kias dengan kondisi orang yang tertahan di penjara bawah tanah
Seseorang yang dipenjara di ruangan bawah tanah, sehingga tidak mungkin langsung melihat hilal dan tidak ada seorangpun yang menghabarinya bahwa waktu Romadhon telah tiba, maka apabila dia mengetahui dari tanda-tanda lain apapun dia yang bisa untuk mengetahui bahwa saat itu sudah masuk Romadhon maka wajib berpuasa menurut kesepakatan para ulama’
Karenanya, kalau ini dperbolehkan, berarti rukyah hilal secara langsung itu bukan merupakan sebuah keharusan, namun yang menjadi patokan adalah mengetahui masuknya bulan dengan cara apapun. Sedangkan ilmu hisab adalah salah satu cara yang kuat untuk bisa mengetahui awal masuknya bulan.
Jawab :
Kias ini aneh bin ajaib. Dan hal ini bisa kita tinjau dari 3 sisi :
Pertama : diantara syarat qiyas adalah bahwa hukum asal yang dijadikan dasar qiyas harus berdasarkan nash atau ijma’ ulama’. Sedangkan dalam masalah ini tidak dua-duanya
Kedua : Diantara syarat qiyas adalah bahwa hasil qiyas tidak boleh bertentangan dengan nash, padahal dalam masalah ini  bertentangan dengan banyak nash, sebagaimana yang telah lewat.
Ketiga : Bagaimana dikatakan bahwa kaum muslimin yang berada di alam  bebas terbuka akan disamakan dengan seseorang yang kondisinya berada dalam penjara bawah tanah ? memang orang yang berada dibawah tanah berada dalam kondisi tidak normal sehinga boleh baginya untuk berijtihad dengan cara apapun untuk mengetahui bulan Romadhon. Namun apakah kondisi kaum muslimin sekarang ini seperti begitu ? tidak dan sekali lagi tidak. wallohu a’lam.  (Lihat Fiqh Nawazil Syaikh Bakr Abu Zaid 214)
Dalil hisab ke sebelas :
Rukyah hanyalah wasilah saja
Rukyah itu hanyalah salah stu wasilah (cara)untuk mengetahui  masuknya bulan hijriyyah. Padahal dalam sebu kaedah fiqhiyyah disebutkan :
الوَسَائِلُ لَهَا أَحْكَامُ الْمَقَاصِدِ
“Wasilah itu sama dengan hukum tujuanya.”
Maka berarti cara apapun, meskipun tidak disebutkan oleh Rosululloh, maka berarti boleh dan sah untuk menetapkan  awal bulan hijriyyah, karena intinya adalah agar mengetahui awal bulan.
Jawab :
Kaedah tersebut adalah salah satu kaedah besar dalam fiqh islami. Yang maknanya adalah bahwa sebuah perantara itu mempunyai hukum dari maksud dan tujuannya.
Oleh karena itu terpecah dari kaedah ini beberapa kaedah lainnya yaitu :
مَا لَا يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلَّا بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
Sebuah perbuatan wajib yang tidak mungkin dikerjakan kecuali dengan mengerjakan sesuatu lainnnya, maka sesuatu lainnya tersebut pun dihukumi wajib
Contoh : sholat adalah sebuah kewajiban, dan seseorang tidak sah sholatnya melainkan dengan bersuci, dan bersuci tidak mungkin dilaksanakan kecuali dengan mencari air, maka mencari air pun hukumnya menjadi wajib.
Begitu pula
مَا لَا يَتِمُّ الْحَرَامُ إِلَّا بِهِ فَهُوَ حَرَامٌ
Sebuah perbuatan haram yang tidak mungkin dikerjakan kecuali dengan mengerjakan sesuatu lainnya, maka sesuatu lainnya itupun haram
Contoh : Zina adalah haram, sedangkan zina tidak bisa dikerjakan melainkan dengan pergi  ke tempat perzinaan, maka perginya diapun haram
Atau dengan kata lain
مَا لَا يَتِمُّ تَرْكُ الْحَرَامِ إِلَّا بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
Segala  perbuatan haram yang tidak mungkin ditinggalkan kecuali dengan mengerjakan sesuatu lainnya, maka sesuatu lainnya itu menjadi wajib.
Contoh : zina adalah sesuatu yang haram, dan seseorang tidak mungkin terhindar dari perbuatan zina in kecuali dengan menikah, maka saat seperti itu wajib baginya menikah.
Dan begitu juga hokum yang berhubungan dengan sunnah, makruh dan mubah.
Contoh sunnah : memakai minyak wangi saat akan pergi sholat jum’at hukumnya sunnah, dan seseorang tidak mungkin memakainya kecuali dengan membeli terlebih dahulu, maka hokum membeli itupun menjadi sunnah.
Contoh makruh : pergi ke masjid dalam kondisi tercium bau tidak enak dari mulutnya adalah makruh, maka makan sesuatu yang menimbulkan bau tidak enak seperti bawang mentah sebelum pergi ke masjid itupun makruh, kecuali kalau sebelum berangkat dia bersihkan dahulu
Namun perlu diketahui bahwa perbuatan yang merupakan wasilah itu bermacam-macam. Yaitu :
1. wasilah yang langsung disebutkan hukumnya oleh Alloh dan Rosul Nya
Maka hokum wasilah ini tetap sesuai dengan apa yang ditentukan oleh Alloh dan Rosul Nya, tidak bisa berubah. Demikian juga wasilah ini tidak bisa dirubah dengan lainnya meskpun zaman dan tempat berubah.
Contoh : Alloh memberi wasilah bagi yang ingin  berhubungan dengan lawan jenis dengan pernikahan dan budak wanita, hanya dua wasilah ini yang diberikan oleh Alloh. Maka tidak boleh seorangpun untuk mencari wasilah lainnya untuk mencapai tujuan tersebut.
Contoh lain : Rosululloh menyebutkan bahwa diantara cara menyelisihi kaum musyrik adalah dengan memelihara jenggot dan mencukur kumis. Sebagaimana sabda beliau :
عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ ، وَفِّرُوا اللِّحَى ، وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ »
Dari Ibnu Umar dari Rosululloh bersabda : “Selisihilah kaum musyrikin, peliharalah jenggot dan potonglah kumis.” (HR. Bukhori Muslim)
Maka tidak boleh bagi seorangpun pada zaman ini untuk  mencari wasilah  lainnya, meskipun dengan anggapan bahwa mereka sekarang ini banyak yang memelihara jenggot.
2. Wasilah yang tidak disebutkan oleh Alloh dan Rosul Nya
Hal ini terbagi menjadi tiga macam :
Pertama : wasilah yang dipastikan bisa mencapai tujuannya.
Wasilah yang ini mengambil hokum tujuannya, baik haram, wajib maupun lainnya.
Kedua : Wasilah yang sangat jarang bisa mencapai tujuannya
Wasilah yang ini tidak mengambil hokum tujuannya.
Seperti : kalau ada seseorang berkata : kita wajib melarang menanam anggur, karena bisa digunakan untuk bahan dasar membuat minuman keras.
Maka ucapan semacam ini salah, meskipun memang anggur adalah bahan dasar membuat minuman keras, namun hal ini tidak selamanya dan masih banyak manfaat lainnya dari anggur.
Ketiga : wasilah yang secara umum bisa mencapai tujuannya meskipun tidak dipastikan.
Masalah ini sedikit diperselisihkan oleh para ulama’. Namun yang shohih bahwa wasilah yang ini mengambil hokum tujuannya.
Contoh : larangan menjual anggur kepada seseorang yang diprediksi kuat akan menjadikannya sebagai minuman keras, meskipun bisa saja dia akan memakannya langsung.
Larangan menjual senjata tatkala ada fitnah antara kaum muslimin. Meskipun bisa saja orang ang membeli senjata tersebut untuk kepentingan lainnya.
(Lihat Syarah Qowaid Fiqhiyyah syaikh Sa’d bin Nashir Asy Syatsri – Maktabah Syamilah)
Dari sisi lainnya, wasilah ini kalau ditinjau dari sisi halal haramnya pun terbagi menjadi dua, yaitu :
  1. Wasilah yang telah disebutkan oleh Alloh hukumnya, maka hukumnya tidak bisa berubah dengan perubahan tujuan.
Misalnya : gegap gempita politik demokrasi, membuat sebagian kaum muslimin menggunakan wasilah demokrasi ini dengan cara mendirikan partai yang diklaim sebagai partai islami untuk mencapai tujuan menjadi pemimpin, dengan sebuah tujuan agar bisa menegakkan syariat islam.
Kami katakan bahwa itu bukan wasilah karena domokrasi itu jelas-jelas bertentangan dengan banyak kaedah dasar islam, maka tidak bisa dijadikan wasilah meskipun untuk mencapai tujuan yang mulia. Karena sudah diketahui bersama bahwa dalam agama islam tujuan tidak menghalalkan segala cara untuk mencapainya.
Oleh karena itu  kalau ada seseorang yang mencuri atau merampok dengan tujuan untuk bershodaqoh kepada orang faqir miskin, itu tidak diperbolehkan dan shodaqohnya tidak diterima. Berdasarkan sabda Rosululloh :
لاَ تُقْبَلُ صَلاَةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلاَ صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ
“Tidak diterima sholat tanpa bersuci dan tidak diterima shodaqoh dari harta gholul (curian harta rampasan perang),” (HR. Muslim)
2. Wasilah yang asal hukumnya mubah, maka inilah yang hukumnya mengikuti tujuannya.
Seperti : Hukum asal menjual anggur halal, namun jika diketahui bahwa yang membeli itu dipastikan atau diprediksi kuat akan menjadikannya sebagai minuman keras, maka tidak boleh menjual kepadanya.
Begitu pula dengan asal hokum menjual  ayam jago adalah halal, namun jika dipastikan atau diprediksi kuat bahwa yang membeli itu akan menjadikannya untuk adu ayam jago, maka menjadi haram.
(Lihat risalah saya  ‘kaedah-kaedah praktis memahami fiqh islami  hlm : 323,  cet pustaka al Furqon)
Setelah penjelasan ini, akan kita masukkan pada bagian manakah masalah ilmu hisab ini ? insya bagi yang memahami kaedah ini dengan bagus akan menjawab tanpa keraguan bahwa memang tujuan dalam masalah ini adalah untuk mengetahui datangnya bulan hijriyyah terutama bulan ibadah. Namun Alloh dan Rosul Nya telah menetapkan cara mengetahuinya, yaitu rukyah dan hisab, dan itulah yang diamalkan oleh kaum muslimin setelah beliau. maka tidak boleh menggunakan cara lainya meskipun telah terjadi perubahan waktu dan tempat.
Al Hafizh Ibnu Hajar berkata : “Rosululloh mengkaitkan hukum puasa dan lainnya dengan rukyah hilal agar tidak memberatkan umat dari sulitnya ilmu hisab, kemudian hukum inipun tetap berlanjut meskipun setelah zaman beliau tersebut ada orang-orang yang mengetahui ilmu hisab ini. Bahkan sabda Rosululloh ini menunjukkan bahwa beliau benar-benar menafikan mengkaitkan hukum ini dengan ilmu hisab. hal ini disebutkan dalam sabda beliau : “Jika tertutupi atas kalian maka sempurnakanlah hitungan bulan menjadi tiga puluh hari.” Dan beliau tidak berkata : “Maka bertanyalah kepada ahli hisab.” Wallohu a’lam.
Akhirnya, saya ingin menutup pembahasan tentang polemik hisab rukyah ini dengan sebuah ketetapan yang dikeluarkan oleh badan komite ulama’ besar Arab Saudi no : 34 tanggal 14/2/1395
Setelah memuji Alloh dan bersholawat  kepada Rosululloh, ulama’ besar KSA berkata [1] : “Setelah mempelajari semua keputusan, fatwa dan berbagai pendapat  yang berhubungan dengan masalah ini, juga setelah melihat kembali apa yang ditetapkan oleh lajnah daimah tentang masalah penyatuan awal bulan hijriyyah, lalu setelah tukar pendapat, maka majlis menetapkan  sebagai berikut :
Pertama :
Yang dimaksud dengan ilmu hisab perbintangan disini adalah pengetahuan tentang posisi bintang dan prediksi peredaran matahari dan bulan serta menentukan berbagai waktu dengan cara tersebut. Seperti waktu terbit, tergelincir dan terbenamnya matahari, juga waktu konjungsi antara matahari dan bulan serta menetapkan waktu gerhana. Inilah yang dinamakan ilmu astrologi jenis tasyir. Bukanlah yang dimaksud dengan ilmu  perbintangan ini ilmu untuk memprediksi kejadian di bumi dengan keadaan bintang, semacam akan lahir atau meninggalnya orang besar, akan terjadinya bencana, kebahagaiaan serta perkara ghoib lainnya yang hanya diketahui oleh Alloh. Dengan ini maka jelaslah maksud dari ilmu perbintangan disini.
Kedua :
Secara syar’I, sama sekali tidak dianggap untuk masuk dan keluarnya bulan hijriyyah dengan sekedar lahirnya bulan baru selagi belum bisa dirukyah menurut kesepakatan para ulama’. Hal ini kalau berhubungan dengan waktu ibadah. Dan orang-orang belakangan ini yang menyelisihi masalah ini telah didahului dengan adanya ijma’ sebelumnya.
Ketiga :
Dalam kondisi langit cerah pada malam tiga puluh(bulan hijriyyah), satu-satunya cara yang bisa digunakan  untuk menetapkan awal dan akhir bulan hijriyyah yang berhubungan dengan ibadah adalah rukyatul hilal. Oleh karena itu jika hilal tidak kelihatan maka hitungan bulan disempurnakan menjadi tiga puluh hari. Ini dengan kesepakatan para ulama’
Adapun jika malam tiga puluh itu mendung, maka jumhur ulama’ berpendapat harus menyempurnakan hitungan menjadi tiga puluh hari, demi mengamalkan hadits : “jika hilal tertutupi atas kalian maka sempurnakan hitungan menjadi tiga puluh hari.” Dan dengan makna inilah ditafsirkan riwayat lainnya  dengan lafadz : “maka takdirkanlah.”
Adapun Imam Ahmad dalam salah satu riwayat dari beliau serta sebagian ulama’ lainnya berpendapat bahwa jika saat itu mendung, maka bulan sya’ban dijadikan menjadi 29 hari untuk sikap kehatian-hatian terhadap datangnya bulan Romadhon. Dan mereka menafsirkan sabda Rosululloh : “maka takdirkanlah.”  Dengan makna : “sempitkanlah.”. mereka berdalil dengan firman Alloh Ta’ala :
وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ
Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.”(QS. Ath Tholaq : 7)
Maksudnya disempitkan rizkinya.
Namun penafsiran ini tertolak dengan riwayat hadits lainnya yang tegas menggunakan lafadz : “maka sempurnakan hitungan manjadi tiga puluh hari.” Dan dalam riwayat lainnya : “Maka sempurnakan hitungan bulan sya’ban menjadi tiga puluh hari.”
Hanya saja Imam Nawawi, dalam Syarah Shohih muslim saat mensyarah hadits : “Jika hilal tetutupi atas kalian maka takdirkanlah.” Beliau menukil dari Ibnu Suroij dan sebagian ulama’ lainnya diantaranya Muthorrif bin Abdillah ibnu syikhir, Ibnu Qutaibah dan lainnya bahwa dalam kondisi langit mendung  boleh  berpedoman pada pendapatnya ahli hisab untuk menetapkan awal dan akhir bulan.
Imam Ibnu Abdil Bar  berkata : “Hal ini diriwayatkan dari Muthorrif bin Syikhir, namun  riwayat ini tidak shohih dari beliau, dan anggaplah shohih tetap tidak boleh diikuti karena kenylenehannya juga karena bertentangan dengan dalil.
Kemudian Ibnu Abdil Bar  menukil pendapat yang senada dari Ibnu Qutaibah, lalu beliau berkata : “Dia bukan termasuk orang-orang yang pendapatnya dipertimbangkan dalam masalah ini.”
Kemudian Ibnu Abdil Bar menghikayatkan dari Ibu Khuwaiz mandad bahwa beliau menukil  dari imam Syafi’i. setelah itu beliau berkata : “Yang shohih dari Imam Syafi’I dalam kitab-kitab beliau serta para pengikutnya bahkan jumhur ulama’ adalah tidak seperti itu.”
Dengan ini maka jelaslah bahwa yang terjadi perselisihan dikalangan ulama’ adalah saat langit mendung atau tertutupi dengan lainnya. Ini semua kalau berhubungan dengan ibadah, adapun kalau berhubungan dengan muamalah antar sesama, maka silahkan mereka menggunakan cara apapun untuk penentuan waktu yang mereka inginkan.
Keempat :
Yang dijadikan patokan dalam menetapkan bulan hijriyyah hanyalah rukyatul hilal saja , bukan ilmu hisab peredaran matahari dan bulan. Berdasarkan beberapa dalil berikut ini :
  1. Sesungguhnya Rosululloh memerintahkan berpuasa dan berbuka karena melihat hilal. Beliau bersabda : “Berpuasalah kalian karena melihat hilal, dan berbukalah kalian jika melihatnya.” Dan Rosululloh hanya membatasi cara ini saja, sebagaimana dalam sabda beliau : “Janganlah kalian berpuasa sehingga kalian melihat hilal dan janganlah kalian berbuka sehingga kalian melihatnya.”  Rosululloh memerintahkan kaum muslimin jika malam tiga puluh langit dalam kondisi  mendung untuk menyempurnakan hitungan bulan menjadi tiga puluh, dan beliau tidak pernah memerintahkan untuk mengembalikannya kepada ahli hisab, seandainya pernyataan ahli hisab itu sebuah dasar tersendiri atau salah satu dasar lain niscaya Rosululloh akan memerintahkan untuk kembali kepada mereka. Hal ini menunjukkan bahwa illmu hisab sama sekali tidaklah dianggap untuk menetapkan bulan melainkan rukyah atau ikmal . Dan ini adalah sebuah hukum yang akan tetap berlaku sampai nanti hari kiamat, karena Alloh tidaklah akan pernah lupa.
Adapun klaim bahwa yang dimaksud dengan rukyah(melihat) yang terdapat dalam hadits tersebut  adalah rukyah dengan ilmu atau prediksi kuat dengan adanya wajudul hilal atau imkanur rukyah dan bukan beribadah kepada Alloh dengan rukyatul hilal, ini adalah sebuah klaim yang tertolak. Karena rukyah dalam hadits tersebut muta’adi (butuh maful bihi) kepada satu maf’ul bihi saja, yang berarti maknannya adalah melihat dengan pandangan mata bukan dengan ilmu pengetahuan, juga karena para sahabat memahaminya dengan melihat menggunakan pandangan mata, padahal mereka adalah manusia yang paling mengerti tentang bahasa arab serta maksud dan tujuan syariat, dan inilah yang diamalkan pada zaman Rosululloh dan para sahabat. Mereka sama sekali mereka tidak menggubris ucapan ahli falak.
Tidak benar juga, jikalau dikatakan bahwa saat Rosululloh bersabda : “Jika hilal tertutupi atas  kalian maka takdirkanlah.” Maksudnya adalah menentukan  dengan ilmu hisab, karena riwayat ini diterangkan maknanya oleh riwayat lainya : “maka sempurnaka tiga puluh hari.”  Meskipun demikian orang-orang yang menyeru utuk menyatukan awal bulan hijriyyah dengan menggunakan ilmu hisab memberlakuknnya secara umum baik dalam kondisi mendung ataupun cerah, padahal hadits ini membatasinya hanya kalau kondisi bermendung.
  1. Sesunggunya mengkaitkan penetapan bulan hijriyyah dengan rukyatul hilal sesuai dengan maksud dan tujuan syariat yag mudah ini, karena untuk melihat hilal bisa dilakukan oleh siapapun saja, berbeda dengan seandainya dikaitkan dengan ilmu hisab , niscaya akan terjadi kesulitan dan ini bertentangan dengan maksud dan tujuan syariat. Dan klaim bahwa sifat ummi (tidak menulis dan menghitung) pada saat ini hilang dari umat islam, seandainyapun kita terima klaim ini, namun itu sama sekali tidak merubah hukum .
  2. Seluruh para ulama sejak awal masa islam sepakat bahwa yang dijadikan dasar dalam penentuan awal bulan hijriyyah adalah rukyah dan bukan hisab, tidak pernah diketahui bahwa salah satu ulama’ mengembalkannya pada ilmu hisab  saat langit  mendung atau lainnya. Adapun kalau langit cerah, maka tidak pernah diketahui ada satupun ulama’ yang menggubris ilmu hisab untuk menetapkan bulan hijriyyah dan mengkaitkan hukumnya dengan ilmu hisab tersebut.
Kelima :
Prediksi waktu yang memungkinkan untuk melihat hilal setelah terbenamnya matahari seandainya tidak ada yang menghalanginya adalah sebuah perkara yang masing-masing punya ijtihad sendiri sendiri, yang mana ini masih jadi perbedaan antara ahli hisab sendiri, sebagaimana merekapun masih berselisih tentang prediksi perkiraan sesuatu yang menghalangi. Karenanya , jika menentukan waktu ibadah berdasarkan ilmu hisab pun tetap tidak bisa  mereaisasikan persatuan yang diinginkan tersebut, maka  syariat kita tetap menggunakan system rukyah bukan hisab.
Keenam :
Tidak benar jika menentukan salah satu negara atau daerah tertentu –misalnya mekkah- untuk menetapkan rukyah hilal dari situ, karena ini berkonsekwensi bahwa orang-orang yang daerahnya sudah terlihat hilal tetap tidak berpuasa jika hilal tidak terlihat pada daerah  yang telah ditentukan tersebut.
Ketujuh :
Lemahnya dalil yang digunakan untuk menetapkan masalah  awal akhir bulan hijriyyah ini dengan ilmu hisab. hal ini akan jelas dengan menyebutkan dalil mereka sekaligus bantahannya :
  1. Mereka mengatakan : sesungguhnya Alloh menjadikan matahari dan bulan beredar sesuai perhitungan tertentu, tidak pernah berubah. Alloh menjadikan keduanya sebagai dua tanda-tanda kekuasaan Nya, dan Alloh telah menetapkan manzilah-manzilahnya, dengan tujuan bisa dijadikan ibroh dan agar kita mengetahui perhitunagn tahun dan hisab. maka apabila sekelompok ahli hisab telah mengetahui wujudul hilal secara yakin meskipun tidak mungkin bisa dilihat setelah terbenamnya matahari tanggal 29, atau mengetahui adanya hilal dan memungkinkan untuk bisa dilihat seandainya tidak ada yang menghalangi, lalu para ahli hisab tersebut yang sudah mencapai derajat  mutawatir memberitahukan kepada kita akan hal itu, maka wajib di terima pemberitahuan mereka. Karena hal ini didasari oleh sesuatu yang meyakinkan dan mustahil mereka semua berdusta karena mereka telah mencapai derajat mutawatir. Dan angaplah bahwa jumlah ahli hisab ini tidak mencapai  derajat mutawatir, namun mereka adalah orang-orang yang terpercaya, maka khabar mereka memberi faedah prediksi kuat yang ini saja cukup untuk membangun diatasnya sebuah hukum ibadah.
Jawab :
Keberadaan itu semua merupakan tanda-tanda kekuasaan Alloh untuk diambil ibroh dan memikirkannya untuk menunjukkan bahwa Alloh telah menciptakannya dan membuatnya beredar dengan aturan yang sangat teliti yang tidak ada cacat sedikitpun, serta untuk menunjukkan akan sifat-sifat Alloh yang agung dan mulia adalah sebuah perkara yang sama sekali tidak diragukan (kebaikannya).
Adapun menjadikan peredaran matahari dan bulan untuk menentukan waktu-waktu ibadah, maka ini tidak bisa diterima. Karena Rosululloh sebagai orang yang paling mengetahui tentang tafsir Al Qur’an sama sekali tidak mengaitkan masuk dan keluarnya bulan hijriyyah dengan ilmu hisab,  beliau hanya mengaitkannya dengan rukyatul hilal atau menyempurnakan hitungan jika konsisi mendung, maka wajib hanya mencukupkan diri dengan apa yang ditetapkan Rosul tersebut. Dan inilah yang sesuai dengan kemudahan islam, ditambah lagi cara (rukyah) ini sangat jeli dan jelas, berbeda dengan prediksi peredaran benda-benda langit yang mana perkaranya samar dan tidak ada yang mengetahuinya kecuali hanya sedikit sekali. Dan yang seperti ini tidak bisa untuk dijadikan sandaran hukum ibadah.
  1. Mereka mengatakan : Para ulama’ sering menyerahkan suatu perkara itu kepada para ahlinya. Para ulama’ menyerahkan kepada para dokter tentang masalah bolehnya berbuka puasa bagi orang yang sakit, demikian juga menunda waktu bagi orang yang impoten. Para ulama’ juga menyerahkan kepada ahli bahasa daam menafsirkan al Kitab dan as sunnah, serta perkara-perkara lainya. Maka dalam masalah mengetahui awal dan akhir bulan hijriyah ini hendaknya kita serahkan urusannya kepada ahli hisab.
Jawab :
Ini adalah sebuah qiyas yang rusak, karena para ulama’ menyerahkan sebuah urusan kepada ahlinya itu dalam sebuah masalah yang tidak ada nash yang tegas, adapun tentang menetapkan hilal, maka telah datang nash tegas bahwa yang dijadikan patokan adalah rukyah atau menyempurnakan hitungan menjadi tiga puluh hari, dan sama sekali tidak  menjadikan patokan pada lainnya.
  1. Mereka mengatakan : Penentuan  awal dan akhir bulan hijriyyah tidak berbeda dengan penentuan waktu sholat lima waktu juga permulaan dan akhir puasa setiap hari. Pahadal dalam masalah ini kaum muslimin menggunakan patokan ahli hisab, maka hendaknya demikian juga dalam masalah awal dan akhir bulan hijriyyah
Jawab :
Syariat islam mengaitkan hukum yang berhubungan degan waktu sholat dengan adanya waktu tersebut. Seperti firman Alloh :
أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ
Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh.” (QS. Al Isro’ : 78)
Alloh juga berfirman :
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
 “dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar..” (Al Baqoroh : 187)
Lalu hal ini dperinci dalam as sunnah
Namun untuk masalah wajibnya puasa romadhon,  syariat kita mengaitkannya dengan rukyatul hilal dan tidak mengaitkannya sedikitpun dengan masalah ilmu hisab.
  1. Mereka mengatakan : Alloh Ta’ala berfirman :
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
barangsiapa di antara kamu ‘syahida’ di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS. Al Baqoroh : 185)
Maknanya : barang siapa yang mengetahui adanya bulan (romadhon) maka berpuasalah, sama saja apakah mengetahuinya dengan cara rukyatul hilal secara langsung atau dengan cara ilmu hisab.
Jawab :
Makna ayat yang benar adalah barang siapa  yang hadir (tidak safar) saat bulan romadhon maka berpuasalah.  Makna ini dengan dalil firman Nya :
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqoroh : 185)
Dan anggapla  bahwa makna شَهِدَ dalam ayat ini adalah mengetahui, maka maknanya adalah mengetahui dengan cara rukyatul hilal, berdasarkan sabda Rosulululloh :
“Janganlah kalian berpuasa sehingga melihdan janganlah kalian berbukan sehingga kalian melihat hilal.”
  1. Mereka mengatakan bahwa ilmu hisab dibangun diatas dasar-dasar yang meyakinkan, maka bersandar pada ilmu hisab ini untuk menetapkan bulan hijriyyah lebih dekat pada kebenaran dan lebih bisa mewujudkan persatuan kaum muslimin dalam ibadah dan hari raya mereka.
Jawab :
Klaim ii tidak bisa diterima, karena yang bersfat inderawi dan yakin adalah untuk melihat benda-benda langit tersebut, bukan dalam masalah hisab peredarannya. Karena ilmu tentang peredaran tersebut samar dan hanya diketahui oleh sebagian kecil manusia. Itu semua karena ilmu ini butuh perhatian tersendiri, juga karena seringnya terjadi kesalahan dan perbedaan sebagaimana kenyataan banyaknya perbedaan kalender yang dikeluarkan resmi dibanyak negeri muslim. Oleh karena itu maka tidak boleh digunakan sebagai patokan dasar, dan inipun tidak dapat mewujudkan persatuan kaum muslimin dalam masalah waktu ibadah mereka.
  1. Mereka mengatakan : Sesungguhnya mengaitkan hukum menetapkan bulan dengan hilal itu disebabkan umat saat itu ummi (tidak bisa tulis dan hitung) sedangkan sifat itu sekarang ini telah hilang. Saat ini ilmu hisab telah berkembang, oleh karena itu hilang pulalah pengaitan hukum dengan rukyah, yang dengannya maka hisab adalah satu-satunya cara yang dijadikan patokan, atau dijadikan patokan bersama rukyah.
Jawab :
Sifat umat ini sebagai umat yang ummi masih tetap ada bila dihubungkan dengan ilmu peredaran matahari, bulan dan bintang gemintang. Hal ini karena ulama’ hisab sangat sedikit, yang banyak hanyalah alat teropong bintang, dan itu bisa digunakan untuk membantu rukyah hilal, karena tidak terlarang  mengunakannya untuk membantu rukyatul hilal, sebagaimana bolehnya menggunakan alat untuk membantu pendengaran. Dan anggplah bahwa sifat ummi sudah hilang dari umat ini, maka tetap tidak boleh menjadikan ilmu hisab ini sebagai patokan, karena Rosululloh hanya mengaitkannya dengan rukyah atau  ikmal. Dan Rosululloh sama sekali tidak memerintahkan untuk mengembalikannya kepada ahli hisab dan inilah yang selama ini diamalkan oleh kaum muslimin.
Semoga sholawat serta salam senantiasa tercurah pada  nabi Muhammad, keluarganya serta para sahabatanya
Ditetapkan pada 14/2/1395
Komite ulama’ besar KSA






[1] Dari sini sampai akhir bab ini adalah terjemahan dari surat ketetapan komite ulama’ besar KSA tersebut.


Muhammad Said Aidi SH.I
Kepala Departemen Penelitian dan Pengembangan IPNU DKI Jakarta


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 komentar:

 

Facebook Gue