Permasalahan seputar rukyat

Rabu, Oktober 26, 2011


Setelah diketahui bahwa untuk menetapkan datang dan berakhirnya bulan hijriyyah harus dengan langsung rukyah secara visual, dan kalau tidak kelihatan karena tertutupi mendung atau lainnya maka harus menyempurnakan bulan tersebut menjadi 30 hari, serta tidak boleh berpedoman pada hisabnya ahli hisab. maka disini akan kita bahas beberapa permasalahan seputar rukyat hilal.

A. Rukyat fardhu kifayah
Rukyat hilal adalah sebuah fardhu kifayah, maka sebagaimana semua hukum fardhu kifayah, jikalau sudah ada sebagian kaum muslimin yang melaksanakannya maka gugur kewajiban bagi lainnya.  Bukan merupakan kewajiban setiap muslim untuk keluar semua menuju pantai atau puncak gunung untuk melihat hilal. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Umar
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ تَرَاءَى النَّاسُ الْهِلاَلَ فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنِّى رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ
“Dari Ibnu Umar berkata : “Orang-orang berusaha melihat hilal, saya pun khabarkan kepada Rosululloh bahwa saya melihatnya. Maka beliau berpuasa dan beliau memerintakan manusia untuk berpuasa.” (HR. Abu Dawud 2324, Darimi 2/4, Ibnu Hibban 871 dan lainnya serta dishohihkan oleh Hakim, Adz Dzahabi, Ibnu Hajar dan Al Albani dalam Irwa’ : 908)
Dalam hadits ini sangat jelas bahwa para sahabat banyak yang berusaha melihat hilal, namun hanya Ibnu Umar yang melihatnya, maka beliau memberitahukan kepada Rosululloh dan beliau menerimanya. Seandainya ini adalah fardhu ain niscaya semua orang harus melihat hilal terlebih dahulu, dan ini tidak pernah ada seorang ulama pun yang mengatakannya.
Setelah menyebutkan hadits-hadits tentang wajibnya rukyah, Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata : “Bukanlah maksud dari hadits-hadits ini semua orang harus melihat hilal sendiri-sendiri, namun maksudnya adalah hilal itu bisa ditetapkan dengan adanya persaksian yang terpercaya.”  (Majmu’ fatawa wa maqolat mutanawwi’ah 15/92-92)


B. Berapa orang yang merukyat ?
Pada dasarnya tidak boleh menetapkan masuk dan keluarnya sebuah bulan syar’i kecuali dengan adanya dua orang terpercaya yang bersaksi bahwa dia melihat hilal. Kalau tidak ada yang melihat maka berarti harus menyempurnakan hitungan bulan tersebut menjadi tiga puluh hari.
Ini adalah madzhab mayoritas para ulama’. Bahkan hampir tidak ditemukan yang menyelisihi madzhab ini kecuali apa yang diriwayatkan dari Abu Tsaur dan Ibnu Hazm serta beberapa ulama’ mutaakhirin yang mengikuti mereka. 
Imam Ibnu Rusyd berkata : “Dalam masalah berbuka (berhari raya) para ulama’ sepakat  bahwa tidak diterima kecuali persaksian dua orang, kecuali Abu Tsaur. Dia tidak membedakan antara masalah mulai puasa dengan mengakhirinya. (Lihat Bidayatul Mujtahid 2/559)
Mayoritas para ulama melandasi pendapat ini dengan beberapa dalil yaitu:
عَنْ حُسَيْنِ بْنِ الْحَارِثِ الْجَدَلِىِّ قَالَ خَطَبَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ زَيْدِ بْنِ الْخَطَّابِ فِى الْيَوْمِ الَّذِى يُشَكُّ فِيهِ فَقَالَ أَلاَ إِنِّى قَدْ جَالَسْتُ أَصْحَابَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَسَاءَلْتُهُمْ أَلاَ وَإِنَّهُمْ حَدَّثُونِى أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ وَانْسُكُوا لَهَا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَتِمُّوا ثَلاَثِينَ وَإِنْ شَهِدَ شَاهِدَانِ مُسْلِمَانِ فَصُومُوا وَأَفْطِرُوا
Dari Husain bin Harits al Jadali berkata : Abdur Rohman bin Zaid bin Khothob pernah khotbah pada yaum syak (tanggal 30 sya’ban –pent) beliau berkata : “Ketahuilah, bahwa saya pernah duduk bersama para sahabat Rosululloh  dan saya bertanya kepada mereka, mereka memberitahukan kepadaku bahwa Rosululloh bersabda : “Berpuasalah kalian  karena melihat hilal dan berbukalah kalian karena melihat hilal serta berkorbanlah kalian pun karena melihat hilal, namun jika tertutupi atas kalian maka sempurnakan hitungan bulan menjadi tiga puluh hari, dan jika ada dua orang muslim yang bersaksi (melihat hilal) maka berpuasa dan berbukalah kalian.” (Shohih HR. Ahmad 9/265/19408, Nasa’I 4/133, lihat shohihul Jami’ : 3811)
Juga hadits :
عن أمير مكة الحارث بن حاطب قال عَهِدَ إِلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ نَنْسُكَ لِلرُّؤْيَةِ فَإِنْ لَمْ نَرَهُ وَشَهِدَ شَاهِدَا عَدْلٍ نَسَكْنَا بِشَهَادَتِهِمَا
Dari Amir Mekkah Harits bin Hathib berkata : “Rosululloh menetapkan kepada kami agar kita beribadah kalau melihat hilal, lalu jika kami tidak melihatnya namun ada dua orang terpercaya yang bersaksi (melihat hilal) maka kami beribadah dengan persaksian keduanya.” (Shohih, HR. Abu Dawud : 2321)
Namun khusus untuk hilal bulan Romadhon, maka cukup ada satu orang terpercaya yang bersaksi bahwa dia melihat hilal. Hal ini berdasarkan riwayat Ibnu Umar diatas :
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ تَرَاءَى النَّاسُ الْهِلاَلَ فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنِّى رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ
“Dari Ibnu Umar berkata : “Orang-orang berusaha melihat hilal, saya pun khabarkan kepada Rosululloh bahwa saya melihatnya. Maka beliau berpuasa dan beliau memerintakan manusia untuk berpuasa.” (HR. Abu Dawud 2324, Darimi 2/4, Ibnu Hibban 871 dan lainnya serta dishohihkan oleh Hakim, Adz Dzahabi, Ibnu Hajar dan Al Albani dalam Irwa’ : 908)
Juga hadits :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ جَاءَ أَعْرَابِىٌّ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ إِنِّى رَأَيْتُ الْهِلاَلَ. قَالَ « أَتَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ». قَالَ نَعَمْ. قَالَ « يَا بِلاَلُ أَذِّنْ فِى النَّاسِ أَنْ يَصُومُوا غَدًا ».
 Dari Ibnu Abbas berkata : Ada seorang arab gunung yang datang kepada Rosululoh seraya berkata : “Sesungguhnya saya melihat hilal.” Rosululoh bertanya : “Apakah engkau bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak di sembah selain Alloh dan apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Nya ? dia menjawab : “Ya.” Maka beliau berkata : “Wahai Bilal, beritahukanlah kepada manusia agar besok berpuasa.” (HR. Abu Dawud 2340, Nasa’i 1/300, Tirmidzi 1/134, Ibnu Majah 1652 dan lainnya. Hadits ini dikatakan oleh Imam Hakim dalam Al Mustadrok 1/424 : shohih, dan disepakati oleh Adz Dzahabi juga dishohihkan oleh Imam Ibnu Khuzaimah. Hanya saja dilemahkan oleh Syaikh al Albani dalam Irwa’ : 907)
Ini adalah madzhab mayoritas para ulama’ seperti imam Abu Hanifah, Syafi’i –dalam salah satu pendapat beliau yang shohih- Ahmad, Dhohiriyyah serta pendapat inilah yang dipilih oleh Imam Ibnu Mundzir.
Imam Tirmidzi setelah meriwayatkan hadits Ibnu Abbas diatas berkata : “Inilah yang diamalkan oleh mayoritas para ulama’, mereka berpendapat akan diterimanya persaksian satu orang untuk masalah puasa. Ini adalah pendapat Ibnul Mubarok, Syafi’i, Ahmad serta ulama’ Kufah. Namun Ishaq berpendapat bahwa tidak boleh puasa melainkan dengan dua orang saksi. Dan para ulama’ tidak berselisih bahwa dalam masalah berbuka (dari puasa) tidak diterima melainkan dari persaksian dua orang.”
Syaikh Mubarokfuri berkata : “Sabda Rosululloh : “Dan jika ada dua orang muslim yang bersaksi (melihat hilal) maka berpuasa dan berbukalah kalian.” Dalam hadits Abdur Rohman bin Zaid serta sabda beliau  : “namun ada dua orang terpercaya yang bersaksi (melihat hilal) maka kami beribadah dengan persaksian keduanya.” Dalam hadits Amir mekkah menunjukkan bahwa tidak boleh menerimana persaksian satu orang baik untuk mulai puasa maupun untuk hari raya. Namun puasa keluar dari keumuman ini dengan adanya dalil khusus, berarti untuk masalah berhari raya tetap seperti hukum semula, karena tidak ada dalil yan menunjukkan bolehnya hanya satu saksi.” (Tuhfatul Ahwadzi 3/373)
Hanya saja Imam Malik, Laits, Auza’i, Sufyan Ats Tsauri dan Syafi’i dalam pendapat beliau yang lainnya berpendapat bahwa sampaipun untuk hilal Romadhon harus ada dua orang saksi terpercaya.
Namun insya Alloh pendapat yang menyatakan bahwa untuk hilal Romadhon cukup persaksian satu orang lebih kuat berdasarkan hadits Ibnu Umar tadi. Wallohu a’lam.

C. Wajib teliti dalam rukyah
Perubahan kondisi zaman ini dengan zaman Rosululloh dan para sahabatnya, baik dari sisi alam maupun manusianya menjadikan kaum muslimin di zaman ini harus lebih meningkatkan ketelitian dalam rukyah hilal.
Jika pada zaman Rosululloh, alam masih asli tanpa ada asap bumi yang mempengaruhi ufuk, juga tidak ada sinar buatan yang terpancar dari lampu-lampu di bumi yang bisa berpengaruh pada kondisi langit serta tidak adanya pesawat ruang angkasa yang banyak melintas di ufuk ditambah kondisi umat pada zaman itu yang jujur tanpa ada kepentingan duniawi ataupun lainnya dalam persaksian melihat hilal serta keberadaan mereka sangat mengetahui tanda-tanda alam, menjadikan Rosululloh dan para kholifah setelahnya agak ‘mempermudah’ (kalau ungkapan bahasa ini tepat) dalam urusan hilal. Begitu ada orang yang bersaksi bahwa dia melihat hilal dan diketahui bahwa dia adalah seorang mukmin terpercaya maka langsung diterima.
Namun pada zaman ini, saat kondisi alam sudah banyak berubah. Polusi asap kendaraan maupun pabrik dan cahaya buatan yang sangat berpengaruh pada kondisi ufuk serta banyaknya orang yang tidak banyak mengetahui kondisi alam baik bintang maupun bulan, maka harus menjadikan badan berwenang yang mengurusi urusan ibadah kaum muslimin seperti puasa, hari raya, haji maupun yang semisalnya, yang di negeri Indonesia ini diwakili oleh Departemen Agama harus sangat hati hati dalam menetapkan hasil rukyah. Hal ini misalnya dengan menanyakan kepada yang bersaksi melihat hilal tersebut tentang bagaimana bentuk hilal yang dia lihat ? tanduk hilal itu menghadap ke atas atau ke bawah ? hilal berada diposisi utara atau selatan matahari saat tenggelam ? serta pertanyaan lainnya yang dengan itu bisa diketahui kebenaran persaksian dia.
Demikian juga kalau sudah diyakini kebenaran persaksian dia, maka tidak boleh ditolak hanya karena tidak cocok dengan perhitungan ilmu hisab sebagaimana telah kita bahas panjang lebar sebelumnya.
Hal ini harus saya sampaikan dikarenakan banyaknya persaksian yang terkadang sangat tidak dapat diterima yang disebabkan oleh ketidaktahuan banyak umat islam saat ini tentang permasalahan hilal.
Diantara contohnya :
  1. Apa yang diceritakan oleh Syaikh Abdulloh bin Mani’ tentang beberapa pemuda muslim Amerika yang sore hari saat rukyah hilal mereka menyewa pesawat pribadi, lalu dengan tujuan ingin melihat hilal dari atas awan. Saat turun salah satu diantara mereka bersaksi bahwa dia melihat hilal, anehnya saat ditanya di majlis hakim tentang bentuk hilal yang dia lihat ternyata dia mengatakan bahwa bentuknya adalah lurus (?).
Persaksian ini dipastikan kesalahannya, karena tidak ada satu bulan sabitpun melainkan bentuknya melengkung.
  1. Apa yang saya alami sendiri. Suatu hari seseorang yang berprofesi sebagai pilot meragukan adanya orang-orang yang mengaku melihat hilal sebagaimana banyak disiarkan media massa saat itu. Dia berkilah bahwa dia barusan terbang dalam waktu yang lama dan sama sekali tidak melihat hilal, padahal dia saat itu benar-benar mencermati ufuk barat untuk melihat hilal. Saat saya tanya jam berapakah terbangnya ? dia menjawab : jam dua belas malam. (?) maka segera saya katakan padanya : bahwa waktu munculnya hilal ada saat matahari tenggelam, dan itu cuma berlangsung beberapa saat. Wallohul musta’an
  2. Juga ada sebuah kasus yang sering saya alami saat menyampaikan masalah ini, baik pada para santri atau jamaah kajian umum yang menunjukkan bagaimana minimnya pengetahuan umat tentang masalah hilal. Sering setiap kali saya tanyakan pada mereka : dari mana terbitnya bulan saat awal bulan ? dari ufuk timur ataukah ufuk barat ?
Sering dan banyak yang menjawab : terbitnya dari ufuk barat. Lalu saat saya tanya balik  : bagaimana mungkin terjadi apakah terbit dari ufuk berat sebentar lalu kembali lagi ke ufuk barat untuk tenggelam ? akhirnya merekapun tertawa geli dengan jawabannya sendiri.
Padahal yang sedikit saja mengetahui masalah ini adakah tahu bahwa bulan dan matahari sama-sama terbit dari ufuk timur dan tenggelam diufuk barat. Dan pada tanggal 29 bulan hijriyyah, bulan tersebut diufuk timur agak berbarengan dengan matahari, hanya saja tidak kelihatan karena  kalah dengan sinar matahari. Lalu keduanya bergerak kearah barat. Lalu tatkala pada sore hari apabila matahari tenggelam duluan, maka saat itulah hilal akan nampak karena sinar matahari sudah tidak ada. Dan sebentar kemudian diapun akan menyusul matahari tenggelam. Subhanalloh.
Oleh karena itu tidak semua persaksian diterima. Dan boleh bagi hakim untuk menolak persaksian tersebut apabila sangat meragukan baginya.
Misalnya : kalau dalam satu tempat untuk melihat hilal berkumpul para ahli hisab dan orang-orang yang mempunyai kekuatan pandang yang tajam. Mereka semua tidak ada satupun yang melihat hilal, namun tiba tiba ada seorang kakek-kakek berumur sekitar 80 tahun yang mengaku melihatnya, padahal cuaca cerah, maka persaksian beliau ini sangat meragukan. Karena bagaimana mungkin semua orang tidak melihatnya lalu dia bisa melihat padahal dalam umur sekian biasanya pandangan seseorang sudah melemah, bukankah ada kemungkinan yang dia lihat adalah ujung rambut putih yang melengkung di depan matanya lalu dia sangka sebagai hilal, atau mungkin dia hanya terbayang melihat hilal padahal tidak ada apa-apa (keton-ketonen dalam bahasa jawa) atau kemungkinan lainnya.
Dan hal ini pernah terjadi antara sahabat Anas bin Malik dengan Iyas bin Mu’awiyyah Al Qodhi saat beliau masih belia.
Ceritanya :
Al Qodhi iyas bin Mu’awiyyah tatkala masih kecil ikut berusaha melihat hilal bersama kaum muslimin lainnya, diantara yang hadir saat itu adalah sahabat Anas  bin Malik yang saat itu sudah sangat tua. Tidak ada satupun yang melihat hilal. Ternyata Anas bin Malik mengaku melihat hilal. Dengan cerdas Iyas melihat kejanggalan ini lalu berkata kepada Anas : Wahai sahabat Rosululloh, apakah engkau masih melihat hilal tersebut ? Anas menjawab : Masih. Maka Iyas berkata : Tolong usaplah wajahmu. Anas pun mengusap wajahnya. Setelah itu Iyas berkata : Apakah engkau sekarang masih melihatnya ? Anas menjawab : Tidak. Akhirnya Iyaspun berkata : Ketahuilah wahai sahabat Rosululloh, bahwa yang engkau liha tadi adalah rambut putih yang melengkung di depan matamu. (Wafayatul a’yan oleh Ibnu Kholikan 1/250, At tahdid al Falaki li awa’ilisy Syuhur al Qomariyyah oleh Syaikh Abdulloh bin Mani’ )
Dari itu semua, maka para fuqoha’ menetapkan syarat untuk bisa diterima persaksiannya melihat hilal, yaitu :
  1. Adil
Yang dimaksud dengan orang yang adil adalah orang yang  mengerjakan kewajiban dan meninggalkan perbuatan dosa besar dan tidak terus-menerus berkubang dalam perbuatan dosa kecil. (LIhat Al Inshof al Mardawi 3/194, syarah mumti’ syaikh Ibnu Utsaimin 6/313)
Hanya saja Syaikh Utsaimin mempunyai pandangan lain, yaitu dalam masalah ini bisa diterima persaksian seseorang yang diprediksi kuat bahwa persaksian itu benar dan jujur. Beliau berkata : “seandainya kita berpendapat sebagaimana pendapat para fuqoha’ niscaya kita tidak akan mendapatkan orang yang adil. Karena siapakah yang selamat dari perbuatan ghibah, mencela orang lain, meremehkan kewajiban, makan harta haram dan lainnya. Oleh karena itu yang benar sehubungan dengan persaksian adalah bisa diterima sebuah persaksian jika diprediksi bahwa itu benar dan jujur. Berdasarkan firman Alloh :
مِمَّن تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاء
“dari para saksi yang kamu ridhoi.”(QS. Al Baqoroh : 282)
Juga karena Alloh tidak memerintahkan kita menolak persaksian orang yang fasiq, namun yang diperintahkan oleh Alloh adalah agar kita mengeceknya. Alloh berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila datang pada kalian seorang yang fasiq dengan membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti.” (QS. Al Hujurot : 6)
  1. Mukallaf
Maksudnya adalah orang tersebut sudah baligh dan berakal sehat (Lihat Al Inshof al Mardawi 3/195)
  1. Mempunyai pandangan yang tajam
Karena jika pandangannya kuat dan tajam, niscaya persaksian dia bisa diterima. Namun jika yang bersaksi melihat hilal adalah orang yang penglihatannya lemah, maka persaksiannya bisa di tolak, meskipun dia seorang yang adil. Karena jika pandangannya lemah namun adil , maka yang kita pastikan dia itu salah lihat.
Diantara para ulama yang mengatakan hal ini adalah Syaikh Utsaimin, beliau berkata : “dalil yang menunjukkan bahwa kekuatan dan kemanahan seseorang adalah dua syarat utama dalam malaksanakan sebuah pekerjaan adalah kisah Nabi Musa dengan seorang yang sholih dari negeri Madyan, saat salah satu putrinya berkata kepadanya :
قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الأَمِينُ
“SAlah seorang dari kedua wanita itu berkata : “Wahai bapakku, ambillah dia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.”(QS. Qoshosh : 26)
Juga tentang kisah jin ‘Ifrit yang berjanji akan mendatangkan singgasana ratu negeri Saba’ . dia berkata :
وَإِنِّي عَلَيْهِ لَقَوِيٌّ أَمِينٌ
“Sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya.” (QS. An Naml : 39)
Dan diantara sebuah pekerjaan adalah persaksian. Karenanya harus mempunyai sifat amanah yang merupakan konsekwensi dari sifat adil, juga harus memiliki kekuatan pandangan mata karena dengannya dia bisa mengetahui sesuatu yang dia lihat. (Syarah Mumti’ 6/315)

D. Rukyah hilal dengan teropong bintang
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada zaman sekarang adalah sebuah nikmat Alloh yang sangat berharga bagi kaum muslimin. Oleh karena itu kaum muslimin banyak menggunakan perkembangan ilmu pengetahuan ini untuk kepentingan ibadah kepada Alloh.
Diantara perkembangan ilmu teknologi adalah adanya teropong bintang untuk melihat benda-benda langit dan aktivitas observasi antariksa lainnya.
Dari sini muncul sebuah masalah : bolehkah menggunakan teropong bintang untuk rukyat hilal ? ataukah rukyat hilal itu harus dengan pandangan mata telanjang tanpa bantuan alat ?
Syaikh Abdul Azin bin Abdulloh bin Baz setelah menyebutkan kesepakatan para ulama’ akan tidak bolehnya menggunakan ilmu hisab dan wajibnya berpedoman pada rukyat hilal, beliau berkata : “Namun ini bukan berarti saya melarang menggunakan teropong bintang untuk rukyat hilal, namun yang saya maksud adalah tidak boleh hanya berpatokan pada teropong tersebut, atau teropong itu kita jadikan dasar dalam rukyat, dalam artian kita tidak menetapkan adalah rukyat hilal kecuali yang dibenarkan oleh alat teropong bintang itu. Ini semua adalah sebuah kebatilan.” (Majmu’ fatwa beliau 15/131)
Syaikh Ibnu Utsaimin berkata : “Tidak boleh bersandar pada ilmu hisab (untuk menetapkan awal romadhon)  jika hilal tidak bisa terlihat. Namun jika dengan bantuan teropong bintang bisa melihat hilal, maka rukyat hilal ini bisa dibenarkan, berdasarkan pada keumuman sabda Rosululloh : “Apabila kalian melihat (hilal) maka mulailah berpuasa dan apabila kalian melihatnya (hilal) lagi maka berbukalah.”
Adapun ilmu hisab astronomi maka sama sekali tidak boleh dijadikan patokan dasar. Adapun menggunakan alat untuk mendekatkan pandangan untuk rukyatul hilal maka hal itu diperbolehkan, namun bukan merupakan sebuah kewajiban. Karena yang sunnah adalah melakukan rukyat dengan mata telanjang bukan dengan lainnya, namun apabila alat itu digunakan lalu bisa melihat hilal maka rukyat ini dapat dibenarkan. Karena sudah sejak dahulu kala manusia menggunakan alat semacam itu yaitu dengan cara naik ke menara pada malam 30 sya’ban atau romadhon untuk berusaha melihat hilal. Kesimpulannya kita dapat menetapkan rukyat dengan bantuan alat apapun dan itu termasuk dalam sabda Rosululloh : “Apabila kalian melihat (hilal) maka mulailah berpuasa dan apabila kalian melihatnya (hilal) lagi maka berbukalah.”
Dari sini dapat diambil sebuah kaedah tentang penggunakan alat semacam teropong bintang untuk rukyat hilal, yaitu :
  1. Alat tersebut hanya alat bantu bukan menjadi patokan, sehingga rukyat dengan mata telanjang ditolak karena tidak terangkap oleh teropong.
  2. Tidak boleh terlalu memaksakan diri dalam menggunakannya
  3. Dipastikan hilal benar-benar terlihat dengan alat tersebut
  4. Yang menggunakanya adalah orang islam yang terpercaya
 (Lihat Buhuts li ba’dhi nawazil fiqhiyyah mu’ashiroh 1/7,8 –Program maktabah syamilah versi 3,28, Fatawa lajnah daimah 10/98, Majmu’ Fatawa Syaikh bin Baz 15/68)
Kiranya ada baiknya kita sebutkan disini keputusan dari komite ulama’ besar Arab Saudi berhubungan dengan masalah ini :

Ketetapan komite ulama’ besar Arab Saudi
No : 108 tanggal 2/11/1403
Tentang mendirikan alat observasi  teleskop perbintangan sebagai alat bantu untuk rukyat hilal
Segala puji bagi Alloh dan sholawat serta salam semoga tercurah pada hamba dan Rosul Nya Muhammad, keluarga dan para sahabatnya. Amma ba’du
Pada dauroh ke 22 yang diadakah oleh komite ulama’ besar yang di laksanakan  di kota Thoif pada tanggal 20 Syawal sampai 2 Dzul qo’dah tahun 1403 H yang membahas tentang masalah mendirikan alat observasi teleskop perbintangan sebagai alat bantu untuk rukyat hilal.
Majlis juga telah menelaah ketetapan yang ditetapkan oleh lajnah idarotil buhuts ilmiyyah wal ifta’ (badan riset ilmiyyah arab Saudi) yang beranggotakan Syaikh Abdur Rozzaq Afifi dan para anggota komite tetap  di mahkamah agung syar’I, syaikh Muhammad bin Abdur Rohim Al Kholid dan utusan dari uiniversitas King Saud dan DR. Fadhl Ahmad Nur Muhammad. Semuanya sepakat pada beberapa poin berikut ini :
  1. Mendirikan alat observasi teropong bintang  sebagai alat bantu rkyat hilal tidak ada larangannya secara syar’i
  2. Apabila hilal bisa terlihat dengan pandangan mata telanjang, maka rukyat ini diberlakukan hukumnya meskipun tidak terlihat oleh teropong bintang
  3. Apabila hilal bisa terlihat dengan alat teropong bintang ini maka harus diberlakukan hukumnya meskipun tidak bisa terlihat oleh mata telanjang. Hal ini berdasarkan firman Alloh :
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Maka barang siapa diantara kalian yang menyaksikan bulan maka berpuasalah.” (QS. Al Baqoroh : 185)
Juga berdasarkan keumuman sabda Rosululloh : “Janganlah kalian berpusa sehingga melihatnya (hilal Romadhon) dan janganlah kalian berbuka sampai kalian melihatnya (hilal Syawal) lalu jika tertutupi atas kalian maka sempurnakanlah hitungan bulan sya’ban menjadi 30 hari.”
Juga berdasarkan sabda Rosululloh : “Berpuasah kalian karena melihat hilal, dan berbukalah jikalau melihat hilal. Lalu jika tertutupi atas kalian …..”
Dimana dengan menggunakan teropong bintang itu bisa dinamakan bahwa hilal telah terlihat, sama saja apakah terlihat dengan mata telanjang ataukah dengan teleskop perbintangan, karena yang mengetahui lebih dikedepankan dari pada yang tidak mengetahui
  1. Teropong bintang ini tetap digunakan untk berusaha melihat hilal pada saat kemungkinan ada hilal, tanpa harus memperhatikan ilmu hisab yang menetapkan apakah hilal sudah ada diatas ufuk ataukah tidak.
  2. Sebaiknya mendirikan alat observasi  teropong bintang yang dengan sempurna diseluruh penjuru negeri arab Saudi  yang diurusi oleh badan khusus.
  3. Jug disediakan alat teropong bintang yang bisa dipindah-pindahkan tempatnya, sehingga bisa digunakan untuk rukyatul hilal ditempat-tempat yang kemungkinan terlihat dan dilakukan oleh orang-orang yang memiliki pandangan yang tajam terutama yang sebelumnya sudah pernah melihat hilal.
Majlis komite ulama’ besar setelah melihat hasil ketetapan ini dengan sepakat menyetujui  6 poin yang ditetapkan oleh komite riset ilmiyyah tersebut, dengan syarat rukyat dengan alat teropong bintang atau lainnya tersebut harus dilakukan oleh seseorang yang adil dalam pandangan                  qodhi, juga jangan berpedoman pada hisab untuk menetukan awal dan berakhirnya hulan hijriyyah.
Wabillahi taufiq dan semoga sholawat serta salam tercurahkan pada nabi kita Muhammad dan para pengikut beliau.
(Lihat fiqh nawazil kumpulan Syaikh Al Jizani 2/279-281)

E. Besar kecilnya hilal tidak berpengaruh pada hasil rukyah
Perlu disampaikan masalah ini, sehubungan dengan  keraguan sebagian kalangan jika saat hilal terlihat sudah kelihatan agak besar, banyak yang menyangka bahwa hilal tersbut menunjukkan sudah tanggal dua bukan tanggal satu. Benarkah demikian ?
Sebenarnya masalah ini sudah ada sejak dahulu kala, dan sudah dibahas oleh para ulama’ kita. Yang intinya bahwa besar kecilnya hilal tidak berpengarus pada hasil rukyah, karena hilal itu terkadang terlihat agak kecil dan terkadang terlihat agak besar.
Imam Muslim meriwayatkan :
عَنْ أَبِى الْبَخْتَرِىِّ قَالَ خَرَجْنَا لِلْعُمْرَةِ فَلَمَّا نَزَلْنَا بِبَطْنِ نَخْلَةَ - قَالَ - تَرَاءَيْنَا الْهِلاَلَ فَقَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ هُوَ ابْنُ ثَلاَثٍ. وَقَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ هُوَ ابْنُ لَيْلَتَيْنِ قَالَ فَلَقِينَا ابْنَ عَبَّاسٍ فَقُلْنَا إِنَّا رَأَيْنَا الْهِلاَلَ فَقَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ هُوَ ابْنُ ثَلاَثٍ وَقَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ هُوَ ابْنُ لَيْلَتَيْنِ. فَقَالَ أَىَّ لَيْلَةٍ رَأَيْتُمُوهُ قَالَ فَقُلْنَا لَيْلَةَ كَذَا وَكَذَا. فَقَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِنَّ اللَّهَ مَدَّهُ لِلرُّؤْيَةِ فَهُوَ لِلَيْلَةِ رَأَيْتُمُوهُ ».
Dari Abu Bukhturi berkata : “kami pernah keluar untuk berangkat umroh, saat kami sudah berada di lembah nakhlah, maka kami melihat hilal. Sebagian diantara kami mengatakan : ini malam ketiga, sebagian lagi berkata : malam kedua.” Akhirnya kami bertemu dengan Ibnu Abbas, maka katakana pada beliau : sesungguhnya kami melihat hilal, namun sebagian kita ada yang berkata : itu malam ketiga, sebagian lagi berkata : itu malam kedua.’ Maka Ibnu Abbas bertanya : Malam apa kalian pertama kali melihatnya ? kami jawab : malam demikian dan demikian. Maka Ibnu Abbas berkata : “sesunguhnya Rosululloh bersabda : “Sesungguhnya Alloh membentangkannya untuk dilihat, hilla itu adalah untuk malam saat kalian lihat.”
Imam Nawawi memberikan judul pada hadits ini. Beliau berkata : “Bab keterangan bahwa besar dan kecilnya hilal tidak dianggap dan seseungguhnya Alloh membentngkannya untuk rukyah, karenanya kalau tertutupi mendung, maka sempurnakan hitungan menjadi tiga puluh hari.” (Lihat Syarah Muslim 7/198)
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam shohih beliau : 1919 dan beliau memberinya bab : “dalil yang menunjukkan kesalahan apa yang disangka oleh orang awam bahwa apabila hilal kelihatan besar, maka itu hilal malam sebelumnya bukan setelahnya.”
Imam Daruquthni dalam sunan beliau 2/168 meriwayatkan dari Syaqiq berkata : “Datang kepada kami surat dari Umar bin Khothob. Diantara isinya : “Sesungguhnya sebagian hilal itu lebih besar daripada lainnya, maka apabila kalian melihat hilal siang hari, jangnlah kalian berbuka sampai ada dua orang yang bersaksi  (melihat hilal syawal-pent).”
Syaikh Muhammad bin Ibrohim berkata : “terdapat beberapa hadits yang menunjukkan bahwa tidak perlu dianggap ilmu hisab, kelemahan manzilah bulan dan  besar kecilnya hilal. Yang dijadikan patokan adalah rukyah hilal secara syar’i.” (Majmu’ Fatawa Syaikh Muhammad bin Ibrohim no : 1110)
Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata : “ Adapun besar kecilnya serta tinggi rendanya hilal maka tidak berpengarush pada hukum, karena syariat islam tidak menganggap itu semua sepanjang pengetahuan kami.” (Majmu’ fatawa beliau 15/80, 146-151)   
Yang semakian menguatkan hal ini adalah bahwa diantara tanda hari kiamat  adalah membesarnya hilal, sehingga saat hilal terlihat orang menyangka bahwa ini sudah malam kedua, padahal sebenarnya malam pertama.
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : مِنِ اقْتِرَابِ السَّاعَةِ اِنْتِفَاخُ الْأَهِلَّةِ ، وَ أَنْ يُرَى الْهِلَالُ لِلَيْلَةٍ ، فَيُقَالُ : هُوَ اِبْنُ لَيْلَتَيْنِ
Dari Abu Huroiroh berkata : Rosululloh bersabda : “Tanda dekatnyahari kiamat adalah membesarnya hilal, dimana orang melihat hilal malam itu, maka disangka itu adalah hilal untuk malam kedua.” (HR. Thobroni dalam ash shoghir : 1130. Ash shohihah : 2292).

F. Bila persaksian rukyat ditolak oleh pemerintah
Dengan kenyataan seperti yang kita bahas sebelumnya, bahwa ada kemungkinan sebuah persaksian ditolak oleh hakim atau pemerintah setempat yang mengurusi masalah ini.  Maka hal ini menimbulkan masalah baru yaitu apabila seseorang yakin bahwa dia telah melihat hilal romadhon atau syawal, namun persaksianya tidak diterima, apakah dia beramal dengan rukyahnya sendiri ataukah dia mengikuti ketetapan dari pemerintahnya.
Para ulama’ berselisih pendapat dalam masalah ini menjadi tiga pendapat :
Pertama : Dia berpuasa bila melihat hilal romadhon dan berbuka apabila melihat hilal syawal  secara sembunyi sembunyi agar tidak kelihatan menyelisihi kaum muslimin.
Ini adalah madzhab imam Syafi’i, salah satu riwayat dari Imam Ahmad dan pendapatnya imam Ibnu Hazm.
Mereka berlandaskan pada ayat dan hadits yang secara mutlak memerintahkan untuk berpuasa dan berbuka dengan melihat hilal, padahal sekarang dia telah melihat hilal maka hendaknya dia berpuasa atau berbuka.
Kedua : Dia berpuasa kalau melihat hilal Romadhon, namun untuk berbuka dan berhari raya maka dia  mengikuti bersama manusia lainnya.
Ini adalah madzhab Imam Abu Hanifah, Malik dan yang masyhur dari madzhab Imam Ahmad.
Ketiga : Dia tidak boleh mengikuti rukyahnya, yang wajib baginya untuk berpuasa dan berbuka mengikuti kaum muslimin lainnya.
Ini adalah salah satu pendapat yang diriwayatkan dari Imam Ahmad dan inilah yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
(LIhat penjabaran madzhab mereka dalam Bada’I shona’I oleh al Kasani 2/80, Al Mudawwanah oleh Imam Malik 1/193, Al Mubdi’ oleh Ibnu Muflih 3/10, Majmu’ Syarah Muhadzab oleh Imam Nawawi 6/280, Al Muhalla Ibnu Hazm 6/350, Majmu Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah  25/115, Shohih Fiqh sunnah Syaikh Abu Malik 2/92)
Syaikh bin Baz pernah ditanya : Apabila saya melihat hilal romadhon  lalu saya sampaikan ke pihak yang berwenang, namun ternyata tidak ada yang mendukungku (dan persaksian saya ditolak). Apakah saya harus berpuasa 30 hari padahal manusia lainnya hanya berpuasa 29 hari ?
Beliau menjawab :
Apabila seseorang melaporkan kepada qodhi atau badan berwenang lainnya bahwa dia melihat hilal Romadhon, namun ternyata rukyat dia ditolak dan tidak digunakan. Maka masalah ini diperselisihkan oleh para ulama’. Mayoritas para ulama berpendapat bahwa dia harus berpuasa karena dengan dia melihat hilal maka untuk dia berarti bulan romadhon telah masuk, maka dia harus berpuasa dan mendahului orang lainnya satu hari namun dia harus berhari raya bersama lainnya.
Dan sebagian ulama’ lainnya berpendapat bahwa apabila rukyatnya di tolak, maka dia tidak boleh berpuasa. hal ini berdasarkan sabda Rosululloh :
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Berpuasa adalah saat kalian semuanya berpuasa, berbuka adalah saat kalian semuanya berbuka dan idul adha adalah saat yang lainnya juga idul adha.”
Padahal hari tersebut kaum muslimin lainnya belum berpuasa, maka dia tidak boleh berpuasa sendirian. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan para ulama’ lainnya. Dan pendapat ini lebih kuat kalau ditinjau dari segi pendalilannya, berdasarkan sabda Rosululloh tadi : “Puasa adalah saat manusia lainnya berpuasa.” padahal saat itu kaum muslimin lainnya belum berpuasa, maka persaksiannya (bahwa dia melihat hilal) tidak berguna baik untuk dirinya maupun lainnya. Inilah pendapat yang lebih kuat. (Lihat majmu’ fatawa beliau 15/73)

G. Bila hilal kelihatan disatu negara, apakah wajib bagi negara lainnya mengikutinya?
Sebenarnya ini adalah sebuah  masalah klasik, namun sering kali muncul setiap tahun dengan datangnya bulan-bulan ibadah. Yaitu apakah jika hilal sudah terlihat disebuah negeri dan tidak terlihat dinegeri lainnya, apakah terlihatnya hilal itu hanya berlaku dinegeri tersebut atakah untuk negeri-negeri lainnya juga ?
Dalam masalah ini para ulama’ berbeda pendapat menjadi beberepa pendapat :
Pertama : jika hilal terlihat disebuah negeri maka wajib bagi seluruh negeri muslim dibelahan bumi lainnya untuk mengikuti rukyah ini, meskipun dinegeri mereka tdak kelihatan hilal tanpa memandang adanya perbedaan mathla’ antara megeri-negeri tersebut. Madzhab inilah yang sering diistilahkan dengan wihdatul matholi’ (kesamaan mathla’).
Ini adalah madzhab hanafiyyah, malikiyyah, sebagian uama’ syafiiyyah dan yang masyhur dalam madzhab hanabilah.  (LIhat Hasyiyyah Ibnu Abidin 2/393, Syarah al Kabir Ibnu Qudamah 1/510, Majmu’ Syarah Muhadzab 6/273 dan al Inshof oleh al Mardawi3/273)
Imam Ibnu Qudamah berkata : “Apabila hilal telah terlihat oleh penduduk satu negeri maka seluruh negeri lainnya wajib berpuasa. Ini adala pendapat Laits bin Sa’d dan sebagian ulama’ Syafiiyyah.” (Al Mugni 4/328)
Merea berhujjah dengan beberapa dail berikut ini :
1.Firman Alloh :
فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Karena itu, barang siapa diantara kamu yang menyaksikannya maka hendaklah ia berpuasa. (QS. Al-Baqarah[2] : 185).
Sisi pengambilan dalil dari ayat ini bahwa Alloh memerintahkan bagi siapa saja yang sudah memasuki bulan Romadhon hendaknya dia berpuasa, dan saat disuatu negeri muslim sudah terlihat hilal berarti bulan Romdhon telah masuk, maka berarti kaum muslimin yang berada dii negeri manapun pun wajib berpuasa.
2.hadits
عن أَبَي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قال قال النبي - صلى الله عليه وسلم - : " صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ "
Dari Abu Huroiroh berkata : “Rosululloh bersabda : “berpuasalah kalian karena melihat (hilal) dan berbukalah karena melihatnya. Lalu jika tertutupi atas kalian maka sempurnakan hitungan bulan Sya’ban 30 hari.” (HR. Bukhori Muslim)
Dan hadits-hadits semisal yang telah kita sebutkan dahulu.
Sisi pengambilan dalil : Didalam hadits ini Rosululloh mengaitkan perintah berpuasa dengan terlihatnya hilal, dan perintah ini bersifat umum kepada seluruh kaum muslimin, padahal saat itu sudah terlihat hilal, maka wajib bagi mereka semua kaum muslimin dinegeri manapun untuk berpuasa.
2.Dengan menyatunya seluruh negeri islam dibelahan dunia dalam berpuasa dan berhari raya maka ini akan lebih bisa mempersatukan mereka dan semakin mempererat ukhuwah islamiyyah. Dan hal ini pada zaman sekarang bukanlah sesuatu yang rumit dengan semakin mudahkan alat komunikasi modern.
Kedua : Setiap negeri yang berada dalam satu wilayah kekuasaan (wilayatul hukmi) menggunakan rukyah negeri masing masing-masing, dan tidak berpedoman pada rukyah negeri lainnya meskipun berdekatan daerah dan ada kesamaan letak geografis.
Misalnya : Indonesia yang negerinya terbentang dari Sabang sampai Merauke adalah berada dalam satu wilayah kekuasaan, maka diamanapun didapatkan rukyah hilal maka seluruh negeri tersebut mengikutinya, namun apabila diseluruh wilayah Indonesia tidak terlihat hilal akan tetapi terlihat di Brunai atau Malaysia, maka rukyah mereka tidak berlaku untuk Indonesia meskipun berdekatan dan berada pada garis lintang dan bujur yang hampir sama.
Imam Ibnul Mundzir menukil madzhab ini dari Ikrimah , Salim dan ishaq.
Mereka berdalil dengan hadits Kuraib.
 عَنْ كُرَيْبٍ أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ بِنْتَ الْحَارِثِ بَعَثَتْهُ إِلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ قَالَ فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتُهِلَّ عَلَىَّ رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الْهِلاَلَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِى آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنِى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ - رضى الله عنهما - ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلاَلَ فَقَالَ مَتَى رَأَيْتُمُ الْهِلاَلَ فَقُلْتُ رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ. فَقَالَ أَنْتَ رَأَيْتَهُ فَقُلْتُ نَعَمْ وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ. فَقَالَ لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلاَ نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلاَثِينَ أَوْ نَرَاهُ. فَقُلْتُ أَوَلاَ تَكْتَفِى بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ فَقَالَ لاَ هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-.
Dari Kuraib bahwasannya Ummu Fadhl binti Harits mengutusnya untuk menemui Mu’awiyyah di Syam. Dia berlata : “Sayapun pergi ke Syam, dan aku laksanakan keperluan Ummu Fadhl. Saat itu bertepatan dengan awal Romadhon dan saya masih di Syam, saya melihat hilal malam Jum’at. Kemudian sayapun pulang ke Madinah di akhir bulan, maka Ibnu Abbas bertanya kepadaku : “Kapan kalian melihat hilal ? saya jawab : “Kami (di Syam) melihatnya malam jum’at.” Ibnu Abbas bertanya lagi : Engkau melihatnya sendiri ? Saya jawab : Ya, dan orang-orangpun melihatnya lalu mereka Puasa dan Mu’awiyyah pun puasa. Ibnu Abbas berkata : “Namun kami melihatnya malam Sabtu, maka kami akan terus puasa sampai sempurna 30 hari atau kami melihat hilal sebelumnya. Saya (kuroib) bertanya : “tidak cukupkah kita mengikuti rukyat dan puasanya Mu’awiyyah ? Ibnu abbas menjawab : “Tidak, demikianlah Rosululloh memerintahkan kami.’ (HR. Muslim 1087, Abu Dawud 2332, Nasa’I 4/131 dan Tirmidzi 693)
Hadits ini sangat jelas menunjukkan bahwa setiap negeri mempunyai rukyat masing-masing. Dan Ibnu Abbas menegaskan bahwa itu bukan hasil ijtihad beliau , tapi itulah yang diperintahklan Rosululloh. dan sudah merupakan sesuatu yang mapan dalam ilmu ushul fiqh bahwa kalau seorang sahabat berkata : “Kami diperintah begini atau dilarang begitu, maka yang memerintah dan melarang adalah Rosululloh. lalu bagaimana jika dalam hadits ini Ibnu abbas dengan tegas mengatakan bahwa itu adalah perintah Rosululloh.
Merekapun berdalil dengan dalil-dalil yang digunakan madzhab pertama. Hanya saja mereka membawa masuknya bulan dan terlihatnya hilal itu hanya pada daerah yang terlihat hilal saja. 
Ketiga : Hampir sama dengan pendapat kedua bahwa setiap negeri punya rukyat masing-masing, namun rukyat negeri tersebut juga berlaku untuk negeri yang berdekatan.
Misalnya : jika hilal terlihat di Indonesia, maka rukyat inipun berlaku untuk negeri tetangga dan yang berdekatan letak geografis, seperti Malaysia, Brunai dan lainnya.
Ini adalah madzhab yang shohih dari Syafiiyyah, dan ini pula pendapat sebagian ulama’ Malikiyyah dan hanafiyyah.
Ala kulli hal. Masalah ini adalah sebuah masalah ijtihadiyyah mu’tabaroh (perselisihan para ulama’ yang kuat), karena masing-masing bersandar pada dalil yang kuat, bahkan berdalil dengan satu dalil yang sama dan hanya berbeda dalam memahami sisi pendalilan dari dalil tersebut.
Karenanya, maka hendaknya kita lapang dada dalam masalah seperti ini dan jangan sampai menjadikan masalah ini menjadi pemicu permusuhan antara sesama muslim. Dan sikap yang terbaik dalam kondisi seperti ini adalah mengembalikan permasalahan ini kepada pemerintah setempat atau badan yang mewakilinya. Dan inilah yang akan kita bahas pada bab berikutnya.
Renungkanlah fatwa dari komite riset ilmiyyah Arab Saudi beriku ini saat ditanya : Apakah orang Afrika boleh mulai berpuasa dengan rukyat penduduk mekkah ?
Jawab :
Komite ulama’ besar Arab Saudi pernah mengeluarkan fatwa seputar masalah ini, yang intinya :
  1. Adanya perbedaan mathla’ adalah sebuah perkara yang diketahui secara pasti, baik secara inderawi ataupun akal. Tidak ada satu ulama’ pun yang menyelisihinya. Namun yang terjadi khilaf dikalangan ulama’ adalah apakah adanya perbedaan mathla’ ini dianggap (untuk menetapkan hukum rukyah) ataukah tidak dianggap ?
  2. Ini adalah salah satu perkara yang termasuk dalam kawasan ijtidahiyyah, dan para ulama’ pun berselisih dalam masalah ini. Dan ini termasuk persilisihan para ulama’ yang diperbolehkan, yang mana yang benar akan mendapatkan dua pahala yaitu pahala ijtihadnya dan pahala benarnya, sedangkan yang salah akan mendapatkan satu pahala yaitu pahala ijtihadnya saja.
Para ulama’ berselsih dalam masalah ini menjadi dua pendapat. Ada yang bependapat dianggapnya perbedaan mathla’ dan ada yang tidak menganggapnya. Masing masing berdalil dengan al Qur’an dan as sunnah, bahkan terkadang keduanya berdalil dengan dalil yang sama karena ada kesamaan sisi pendalilan. Seperti firman alloh Ta’ala :
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah : “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji. “ (QS. Al Baqoroh : 189)
Juga sabda Rosululloh :
“Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah karena melihat hilal.”
Hal itu karena adanya perbedaan dalam memahami sebuah nash serta masing-masing menempuh jalan berbeda dalam mengambil sebuah sisi pendalilan.
Oleh karena itu, karena masalah ini bukan termasuk masalah yang dikhawatirkan akibatnya. Dan sudah selama 14 abad, kita tidak pernah mengetahui kaum muslimin diseluruh dunia sama dalam maslah rukyah hilal. Karenanya komite ulama’ besar memandang  membiarkan masalah ini seperti sedia kala, dan tidak perlu untuk memicu permasalahan dengan hal ini, dan setiap Negara berhak untuk memilih pendapat yang dianggap benar dengan minta bantuan para ulama’ negeri tersebut, karena masing-masing penapat mempuntai dalil sendiri-sendiri.
(Fatawa lajnah daimah, kumpulan Ahmad ad Duwaisy 10/102,103). Wallohu a’lam

Muhammad Said Aidi SH.I
Kepala Departemen Penelitian dan Pengembangan IPNU DKI Jakarta


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 komentar:

 

Facebook Gue