Kewajiban Berpegang Pada Rukyatul Hilal

Rabu, Oktober 26, 2011



Ketahuilah  semoga Alloh melimpahkan barokahnya kepada kita semua- bahwa dalil dari Al Qur’an dan as Sunnah menunjukan akan wajibnya berpedoman pada rukyatul hilal atau ikmal serta tidak boleh menggunakan dasar ilmu hisab. Dan ini merupakan kesepakatan para ulama’ islam sejak zaman dahulu sampai saat ini. Adapun yang membolehkan menggunakan ilmu hisab, maka adalah pendapat yang dianggap aneh dan nyleneh karena menyelisihi nash yang sangat jelas dan ijmak (kesepakatan) para ulama’.
Dengan ini maka apabila pada sore hari tanggal 29 kelihatan hilal, maka berarti besoknya adalah tanggal 1 bulan baru. Namun apabila tidak kelihatan hilal maka besoknya adalah menyempurnakan hari ke 30 bulan tersebut, meskipun secara ilmu hisab dan falak, bahwa saat matahari tenggelam tanggal 29, hilal sudah berada diatas ufuk dan memungkinkan untuk dirukyah seandainya tidak ada sesuatu yang menghalanginya semacam mendung atau lainnya.
Hal ini berdasarkan beberapa dalil berikut ini :

A. Dalil Al Qur’an
Alloh Ta’ala berfirman:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْءَانُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Bulan Ramadhan, bulan yang didalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang bathil). Karena itu, barang siapa diantara kamu yang menyaksikannya maka hendaklah ia berpuasa. (QS. Al-Baqarah[2] : 185).
Sisi pengambilan dalil dari ayat ini adalah sebagian para ulama’ memahami makna “شَهِدَ” pada ayat tersebut adalah menyaksikan awal masuk bulan. Dan tanda itu diterangkan oleh Rosululloh dalam banyak hadits beliau dengan melihat hilal. (Lihat Ahkamul Qur’an oleh Imam Al Jashosh dan Ibnul Arobi)
Syaikh Sholih Al Luhaidan berkata : “Yang dimaksud dengan menyaksikan disini adalah melihat hilal, sebagaimana itu yang langsung difahami dari ayat tersebut. dan dengan makna inilah para ulama’ tafsir menafsirkannya, dan merekalah orang yang menjadi suri tauladan dalam masalah ini.” (Lihat Al Ahkam Al Muta’alliqoh bil Hilal oleh Syaikh Luhaidan) [1]

B. Dalil As sunnah
Telah shohih hadits Rasulullah Shollallohu 'alaihi wasallam yang sampai pada derajat mutawatir, sebagaimana ditegaskan oleh imam Ath Thohawi dalam Syarah Ma’ani Atsar, diriwayatkan oleh banyak para sahabat, yaitu: Abu Hurairah, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, Hudzaifah bin Yaman, Sa’ad bin Abi Waqqosh, Abduloh bin Mas’ud, Jabir bin Abdillah, Bara’ bin Azib, Rofi’ bin Khodij, Tholq bin Ali, Abu Bakroh, Samuroh bin Jundub, Adi bin Hatim dan lainnya. (Lihat Irwaul Gholil oleh Imam Al-Albani 4/2-14, Jami’ul Ushul oleh Imam Ibnul Atsir 6/265-271) semuanya meriwayatkan akan wajibnya berpegang pada rukyatul hilal dengan beberapa redaksi yang agak berbeda. Yang bisa diklasifikasikan menjadi beberapa bagian:
1. Perintah Rosululloh untuk mulai puasa dan berhari raya dengan rukyatul hilal atau ikmal
Seperti hadits Abu Hurairah
عن أَبَي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قال قال النبي - صلى الله عليه وسلم - : " صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ "
Dari Abu Huroiroh berkata : “Rosululloh bersabda : “berpuasalah kalian karena melihat (hilal) dan berbukalah karena melihatnya. Lalu jika tertutupi atas kalian maka sempurnakan hitungan bulan Sya’ban 30 hari.” (HR. Bukhori Muslim)
Juga hadits Abdullah bin Umar
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص قَالَ: إِذَا رَأَيْتُمُ الْهِلاَلَ فَصُوْمُوْا وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوْا, فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوْا ثَلاَثِيْنَ
Dari Abduloh bin Umar bahwasannya Rasulullah Shollallohu 'alaihi wasallam bersabda: “Apabila kalian melihat hilal maka berpuasalah, dan apabila kalian melihatnya lagi maka berbukalah, lalu jika ditutupi atas kalian maka tetapkanlah tiga puluh.” (HR. Bukhari 4/102, Muslim 1080).
Juga hadits Ibnu Abbas
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قال :" صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ ، وَ أَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ ، فَإِنْ حَالَ بَيْنَكُمْ وَ بَيْنَهُ سَحَابٌ أَوْ ظُلْمَةٌ أَوْ هَبْوَةٌ ، فَأَكْمِلُوْا اْلعِدَّةَ ، لَاتَسْتَقْبِلُوْا الشَّهْرَ اِسْتِقْبَالًا ، وَ لَا تَصِلُوْا رَمَضَانَ بِيَوْمٍ مِنْ شَعْبَانَ ".
Dari Ibnu Abbas dari Rosululloh beliau bersabda : “Berpuasalah karena melihat hilal, dan berbukalah karena melihatnya. Lalu jika terhalangi antara kalian dengan hilal tersebut oleh mendung atau kegelapan atau debu, maka sempurnakanlah hitungan bulan. Dan janganlah kalian mendahuluinya dan jangan kalian sambung Romadhon dengan satu hari dibulan Sya’ban.” (HR. Abu Dawud dan Baihaqi. Lihat Ash Shohihah : 1917)
Ketiga hadits ini sangat jelas menunjukkan bahwa cara Rosululloh untuk mulai dan mengakhiri puasa hanyalah rukyatul hilal dan ikmal. Tidak ada cara lainnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa beliau berkata : “Cara untuk mengetahui munculnya hilal hanyalah dengan rukyah, tidak ada cara lain. Hal ini berdasarkan dalil sam’i dan dalil akal.”
Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata : “Rosululloh memerintahkan puasa dan berbuka dengan rukyatul hilal, dan beliau hanya menyebutkan cara tersebut.”
Oleh karena barang siapa yang menggunakan cara hisab ilmu falak atau bahkan mengedepankannya daripada rukyah, maka dia telah menyelisihi perintah Rosululloh.
Camkanlah firman Alloh Ta’ala :
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Maka hendaklah orang-orang yang menyelesihi ‘amr’ Rosul takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa adzab yang pedih.” (Qs. An Nur [24] : 63)
Berkata Imam Ibnu Katsir saat menafsirkan firman Alloh Ta’ala : “Maka hendaklah orang-orang yang menyelesihi “amr” Rosul takut.” Maksud “amr” disini adalah jalan, manhaj, cara dan sunnah Rosululloh serta syariat beliau. Maka semua ucapan dan perbuatan harus ditimbang dengan ucapan dan perbuatan beliau, kalau sesuai maka diterima sedangkan kalau tidak sesuai maka harus ditolak, siapapun yang mengatakan dan melakukannya. Sebagaimana diriwayatkan dalam shohih Bukhori 2499 dan Muslim : 3242 bahwasannya Rosululloh bersabda :
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
"Barang siapa yang melakukan sebuah amal perbuatan yang tidak ada contohnya dari kami maka dia itu tertolak.”
Maka maksud dari ayat ini adalah maka hendaknya orang yang menyelisihi syariat Rosululloh secara bathin maupun dhohir takut (akan tertimpa sebuah fitnah) maksud dengan fitnah disini adalah hatinya akan tertimpa kekufuran, kemunafikan atau kebid’ahan. (Atau akan tertimpa adzab yang pedih) yakni selama masih hidup di alam dunia, dengan cara di bunuh, hukum atau dipenjara atau mungkin adzab lainnya.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir : 3/373)
Imam Ahmad berkata : “Apakah engkau mengetahui apakah fitnah itu ? fitnah adalah kesyirikan. Barang kali ada seseorang yang menyelisihi sebagian sabda Rosululloh, nanti hatinya akan tertimpa penyakit menyimpang dan diapun akan binasa.”
2. Rosululloh melarang mulai puasa dan berbuka sehingga melihat hilal atau ikmal
Seperti hadits Abdullah bin Abbas
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم ذَكَرَ رَمَضَانَ, فَقَالَ: لاَ تَصُوْمُوْا حَتَّى تَرَوْا الْهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوْا حَتَّى تَرَوْهُ, فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا الْعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ
Dari Abdullah bin Abbas bahwasannya Rasulullah Shollallohu 'alaihi wasallam bersabda: “Janganlah kalian berpuasa sampai kalian melihat hilal, dan janganlah kalian berbuka sampai kalian melihat hilal lagi, Lalu jika ditutupi atas kalian maka sempurnakanlah hitungan tiga puluh.” (HR. Nasai 1/301, Darimi 2/3, Ahmad 1/221 dengan sanad shahih).
Maka barang siapa yang mulai berpuasa dan berbuka dengan pedoman ilmu hisab berarti dia telah melanggar larangan Rosululloh.
3. Rosululloh menafikan ilmu hisab dari ummat ini, kalau berhubungan dengan masalah puasa dan berbuka
Hal ini sangat tegas dalam sabda beliau
عن ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ وَمَرَّةً ثَلَاثِينَ
Dari Ibnu Umar dari Rosululloh bahwasannya beliau bersabda : Sesungguhnya kami adalah ummat yang ummi tidak menulis dan menghitung, satu bulan itu demikian dan demikian.” Maksud beliau adalah terkadang dua puluh sembilan hari dan terkadang tiga puluh hari.” (HR. Bukhori Muslim)
Maka barang siapa yang menggunakan ilmu hisab dalam masalah mulai puasa dan berbuka, berarti dia telah menggunakan sesuatu yang dinafikan oleh Rosululloh pada umat ini.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : “Sabda beliau : “Kami adalah umat yang ummi tidak menulis dan menghitung” adalah sebuah khabar yang mengandung larangan. Karena Rosululloh menghabarkan bahwa umat yang mengikuti beliau adalah umat ummi yang tidak menulis dan menghitung, maka barang siapa yang menulis dan menghitung berarti bukan termasuk dalam umat ini dalam hukum masalah ini, akan tetapi dia telah mengikuti jalan selain jalannya orang yang beriman, juga telah melakukan sesuatu yang bukan merupakan bagian dari agamanya. Sedangkan melakukan sesuatu yang bukan dari agama ini adalah haram. Dengan ini maka menulis dan menghitung (hisab ilmu falak -pent) dalam masalah ini adalah terlarang.”
4. Berpedoman dengan hisab ilmu falak menyelesishi amal perbuatan yang selalu dilakukan oleh Rosululloh. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Aisyah.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَتَحَفَّظُ مِنْ شَعْبَانَ مَا لاَ يَتَحَفَّظُ لِغَيْرِهِ, ثُمَّ يَصُوْمُ لِرُؤْيَةِ رَمَضَانَ, فَإِنْ غُمَّ عَلَيْهِ عَدَّ ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا ثُمَّ صَامَ
Dari Aisyah berkata: “Rasulullah benar-benar memperhatikan bulan Sya’ban tidak sebagaimana bulan-bulan lainnya, kemudian jika beliau berpuasa apabila melihat hilal Ramadhan, namun jika tertutupi, maka beliau menghitung bulan sya’ban tiga puluh hari lalu beliaupun berpuasa.” (HR. Abu Dawud 2325, Ibnu Hibban 869, hakim 1/423, beliau berkata: “Shahih menurut syarat Bukhari Muslim.” Dan disepakati oleh Imam Adz Dzahabi)
Begitu pulalah para khulafa’ rosyidin setelah beliau menapak tilasi apa yang beliau lakukan, tidak pernah mereka berpedoman dengan ilmu Hisab. Sedangkan Rosululloh bersabda :
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Barang siapa di antara kalian yang hidup setelahku, niscaya akan melihat banyak perselisihan. Maka berpeganglah pada sunnahku dan sunnah khulafa’ rosyidun setelahku yang mendapatkan petunjuk, gigitlah padanya dengan gigi gerahammu, dan hati-hatilah kalian terhadap semua perkara yang baru, karena semua perkara baru adalah bid’ah dan semua bid’ah adalah sesat.” (Shohih. Riwayat Ashhabus sunan. Lihat Ash Shohihah : 2735)
5. Berpedoman pada hisab tidak pernah dilakukan oleh Rosululloh. Padahal Rosululloh bersabda:
عن عائشة قالت : قال رسول الله : مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Dari Aisyah berkata : Rosululloh bersabda : “Barang siapa yang mengamalkan sesuatu yang tidak ada contohnya dari kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Bukhori Muslim) dan dalam riwaat Muslim dengan lafadz : “Barang siapa yang membuat sesuatu yang baru yang tidak ada contohnya dari kami maka dia tertolak.”
Dan menggunakan pedoman ilmu hisab untuk memasuki dan mengakhiri bulan Romadhon tidak pernah dilakukan oleh Rosululloh, maka berarti dia tertolak.

C. Ijma’ para ulama’
Para ulama’ sejak zaman sahabat sampai saat ini sepakat atas wajibnya berpedoman dengan rukyatul hilal dan ikmal serta tidak boleh berpedoman pada ilmu hisab atau ilmu falak. Tidak ditemukan adanya khilaf dalam masalah ini, kecuali yang dinukil dari beberapa ulama’ yang insya Alloh kita bahas pada bab berikutnya, ucapan mereka inilah yang diikuti oleh selainnya setelah mereka yang akhirnya berkembang pada saat ini. Wallohul musta’an
Syaikh Bakr Abu Zaid berkata: “Yang menyampaikan bahwa hal ini merupakan kesepakatan ulama’ adalah para ulama’ dari zaman dahulu sampai sekarang, diantaranya adalah: Imam Ibnul Mundzir dalam Al-isyrof, Al-Baji, Ibnu Rusyd, Ibnu Taimiyah, Al-Hafizh Ibnu Hajar, As-Subki, Al-Aini, Ibnu Abidin, Asy Syaukani, Shiddiq Hasan khon, Mulla Ali Al-Qori dan Ahmad Syakir.” (Fiqhun Nawazil 1/200).
Lihat masalah ini dalam Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam 25/132, Fathul Bari 4/158, Tafsir al Qurhthubi 2/293, Hasyiyah Ibnu Abidin 3/408, Bidayatul Mujtahid 2/557 dan lainnya.
Tidak perlu saya sebutkan semua perkataan mereka karena akan sangat panjang, cukup disini saya nukilkan disini ucapan Imam yang paling mengetahui ijma’ dan khilaf ulama’ yaitu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah [2]. Beliau berkata : “Sesungguhnya kita mengetahui dalam syariat agama Islam bahwa menggunakan ilmu hisab dalam menentukan hilal untuk menentukan puasa Ramadhan, haji, iddah, ila’ atau hukum lain yang berhubungan dengan ada dan tidaknya hilal itu tidak diperbolehkan. Kaum muslimin telah menyepakati hukum ini, tidak pernah dikenal adanya khilaf baik oleh para ulama’ salaf maupun mutaakhirin, hanya saja sebagian fuqoha’ mutaakhirin yang hidup setelah abad ketiga menyangka bahwa kalau langit sedang mendung, maka boleh bagi ahli hisab untuk mengunakan ilmu hisab namun itu hanya bisa digunakan untuk dirinya saja dan bukan untuk lainnya. Kalau memang ilmu hisab menunjukkan bahwa sudah masuk ramadhan maka dia puasa namun kalau tidak maka berarti ia tidak puasa. Pendapat ini walaupun dikhususkan hanya bagi ahli hisab saja dan itupun harus dalam keadaan langit mendung, namun ini tetap pendapat nyleneh yang sudah ada ijma’ sebelumnya. Adapun berpegang pada ilmu hisab saat langit cerah atau menggunakan ilmu ini untuk ummat Islam secara umum maka hal ini belum pernah ada seorang muslimpun yang mengatakannya.” (Lihat Majmu’ Fatawa 25/132).
Beliau juga berkata : “Tidak diragukan lagi dalam hadits yang shohih dan kesepakatan para sahabat atas tidak bolehnya berpedoman pada ilmu hisab.” (Majmu’ Fatawa 25/207)
Dan sudah mapan dalam kaedah ilmu syar’I bahwa apabila dalam suatu masalah telah terjadi ijma’, maka itu adalah hujjah yang tidak boleh diselisihi.
Hal berdasarkan beberapa dalil berikut ini :
1. Firman Alloh Ta’ala
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Dan barang siapa yang menentang Rosul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalannya orang-orang mu’min, Kami biarkan dia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia kedalam neraka jahannam, itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An Nisa’ : 115)
Di ayat ini Alloh mengancam keras terhadap orang yang menyelisihi jalannya orang-orang yang beriman sebagaimana juga mengancam orang yang menentang Rosululloh setelah sampai ilmu pada dia. Menunjukkan bahwa mengikutim jalannya orang-orang yang beriman wajib dan itulah makna ijma’ (Lihat Roudlotun Nadlir 1/335, Al Faqih Wal Mutafaqqih Al Khothib Al Baghdadi 1/155)
2. Sabda Rosululloh :
إِنَّ اللهَ لَا يَجْمَعُ أُمَّتِيْ عَلَى ضَلَا لَةٍ
“Sesungguhnya Alloh tidak akan mengumpulkan ummat ini diatas sebuah kesesatan.”
Hadits hasan shohih, diriwayatkan dari empat sahabat, yaitu :
1. Abdulloh bin Umar
Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi : 2167, Hakim 1/115, Ibnu Abi Ashim dalamAs Sunnah : 80, Thobroni dalam Al Kabir : 13642 dan Abu Nu’aim dalam Hilyah 3/27 semuanya dari jalan Mu’tamir bin Sulaiman dari Sulaiman Al Madini dari Abdulloh bin Dinar dari Ibnu Umar secara marfu’  dengan lafadl diatas.
Saya berkata : “Sanad hadits ini dipermasalahkan dari sisi Mu’tamir dan Sulaiman.”
2. Abdulloh bin Abbas
Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi : 21166, Hakim 1/1116 dari jalan Abdur Rozzaq dari Ibrohim bin Maimun dari Abdulloh bin Thowus dari bapaknya dari Ibnu Abbas secara marfu’.
Berkata Imam Tirmidzi tentang sanad ini : “Hadits hasan ghorib.”
3. Anas bin Malik
Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah : 3950, Abd bin Humaid dalam Muntakhob : 1218 dari jalan dari jalan Abu Kholaf dan dia itu matruk sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam Taqrib.
4.Abu Malik Al Asy’ari
Diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud : 4253 dari jalan Muhammad bin Ismail berkata :”Telah menceritakan kepada kami bapakku. Berkata Ibnu Auf : “Saya membaca dari asal Isma’il berkata : “Telah menceritakan kepada kami Dlomdlom dari Syuraih dari Abu Malik Al Asy’ari secara marfu’ dengan lafadl : “Sesungguhnya Alloh melindungi kalian dari tiga hal, diataranya : “Kalian tidak akan sepakat diatas sebuah kesalahan.”
Hadits ini dengan gabungan sanadnya adalah sebuah hadits yang shohih sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al Albani dalam Ash Shohihah : 1331 dan Shohihul Jami’ : 1786 dan Dhilalul Jannah no : 80.
Adapun sisi pengambilan dalil dari hadits ini sangat jelas.
3. Sabda Rosululloh :
لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِى ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِىَ أَمْرُ اللَّهِ وَهُمْ كَذَلِكَ
“Akan selalu ada dikalangan umat ini orang-orang yang selalu berada diatas kebenaran, tidak akan membahayakan bagi mereka orag-orang yang menghinakan dan menyelisihi mereka sampai datang urusan Alloh dan mereka masih dalam keadaan seperti tadi.”
Diriwayatkan oleh Imam Bukhori, Muslim dan lainnya.
Sisi pengambilan dalil bahwasannya kalau ummat ini telah sepakat akan sebuah hukum, maka pasti didalamnya ada  tho’ifah manshuroh ini, dan ucapan serta pendapat mereka pasti benar. (Lihat Ma’alim Ushu Fiqh inda Ahlis Sunnah wal Jamaah oleh Syaikh Muhammad Al Jizani hal : 165-171)


D. Dalil lain
a. Ilmu Hisab banyak mengandung mafsadah (kerusakan), diantaranya :
1. Berpedoman dengan hisab menjadikan seseorang menolak para saksi terpercaya yang bersaksi bahwa dia melihat hilal. Penolakan ini bisa berupa menetapkan masuk bulan Romadhon atau Syawal atau lainnya padahal tidak ada satupun yang melihat hilal, atau sebaliknya yaitu mengingkari persaksian para saksi hanya dengan dalih bahwa secara hisab hilal tidak mungkin bisa dilihat karena berada dibawah ufuk barat saat matahari terbenam.
Padahal Rosululloh selalu menerima persaksian orang terpercaya yang melihat hilal.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ تَرَاءَى النَّاسُ الْهِلاَلَ فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنِّى رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ
“Dari Ibnu Umar berkata : “Orang-orang berusaha melihat hilal, saya pun khabarkan kepada Rosululloh bahwa saya melihatnya. Maka beliau berpuasa dan beliau memerintakan manusia untuk berpuasa.” (HR. Abu Dawud 2324, Darimi 2/4, Ibnu Hibban 871 dan lainnya serta dishohihkan oleh Hakim, Adz Dzahabi, Ibnu Hajar dan Al Albani dalam Irwa’ : 908)
2. Berpedoman pada hisab menjadikan kaum muslimin meremehkan urusan rukyatul hilal, karena merasa sudah cukup dengan ketetapan yang dikatakan oleh ahli hisab. Dan dengan ini maka akan hilanglah salah satu sunnah Rosululloh yang berhubungan dengan ibadah puasa.
3. Diantara mafsadah berpedoman pada hisab juga adalah membuat kacaunya pikiran kaum muslimin, dimana kaum muslimin dibuat ragu atas waktu ibadah mereka. Hal itu semacam tatkala ada orang yang melihat hilal dan persaksiannya diterima oleh hakim. Lalu ada diantara ahli hisab yang mendustakan rukyat tersebut dengan klaim bahwa hilal saat itu tidak mungkin terlihat secara ilmu hisab.
4. Diantara mafsadah ilmu hisab juga adalah menuduh para saksi yang bersaksi melihat hilal bahwa mereka berdusta dalam persaksian tersebut, atau minimalnya mereka salah dalam persaksian tersebut padahal jumlah mereka terkadang banyak dari beberapa tempat. Padahal Rosululloh menerima persaksian Ibnu Umar seorang diri, meskipun tidak ada yang melihat selain beliau.
5. Berpedoman kepada hisab juga terkadang bisa menjerumuskan pelakunya pada menuduh para qodli dan hakim terlalu sembrono dalam menerima persaksian orang yang melihat hilal
6. Diantara mafsadah ilmu hisab ini adalah menjadikan urusan umat ini menjadi sulit. Karena asalnya awal masuk dan keluarnya Romadhon bisa diketahui oleh semua orang, baik yang alim maupun tidak, namun dengan harus berpedoman pada hisab, maka hanya segelintir orang saja yang bisa menentukan apakah sudah masuk waktu puasa Romadhon dan hari raya atukah belum. Dan ini bertentangan dengan sifat asal agama islam yang dibangun diatas dasar kemudahan.
Saat mengomentari sabda Rosululloh : “Kita adalah ummat yang ummi ….” Al Hafizh Ibnu Hajar berkata : “Rosululloh mengkaitkan hukum puasa dan lainnya dengan rukyah hilal agar tidak memberatkan umat dari sulitnya ilmu hisab, kemudian hukum inipun tetap berlanjut meskipun setelah zaman beliau tersebut ada orang-orang yang mengetahui ilmu hisab ini. Bahkan sabda Rosululloh ini menunjukkan bahwa beliau benar-benar menafikan mengkaitkan hukum ini dengan ilmu hisab. hal ini disebutkan dalam sabda beliau : “Jika tertutupi atas kalian maka sempurnakanlah hitungan bulan menjadi tiga puluh hari.” Dan beliau tidak berkata : “Maka bertanyalah kepada ahli hisab.”
Imam Al Qurthubi berkata : “Kita tidak dibebani untuk urusan waktu puasa dan ibadah kita pada ilmu hisab, Rosululloh hanya mengaitkan ibadah kita tersebut dengan tanda yang jelas dan nampak yang bisa diketahui oleh orang yang mengetahui ilmu hisab ataupun tidak mengetahuinya.”
7. Lebih buruk dari semua diatas adalah bahwa berpedoman pada ilmu hisab menjadikan seseorang menolak ketetapan Rosululloh yang mengkaitkan ibadah puasa dan hari raya dengan rukyatul hilal dan ikmal, lalu membuat ketetapan baru yang tidak pernah dikatakan oleh beliau yaitu menggunakan pedoman ilmu hisab.
8. Menggunakan ilmu hisab adalah caranya orang-orang nashroni dan ahlul bid’ah
Syaikhul Islam berkata : “Agama kita tidak butuh pada hisab sebagaimana yang ada pada ahlul kitab, yang mana mereka menggunakan waktu puasa dan buka mereka dengan hisab.”
Imam Ibnu Rojab berkata : “Agama kita tidak butuh ada hisab, sebagaimana yang dilakukan oleh ahlul kitab, dimana mereka menentukan ibadah mereka dengan hisab peredaran matahari, namun agama kita dalam menentukan waktu puasa dikaitkan dengan sesuatu yang bisa terlihat oleh pandangan mata yaitu rukyah hilal, dan jika hilal tertutupi mendung maka kita sempurnakan hitungan bulan menjadi 30 hari dan kita tidak butuh hisab.”
Al Hafizh Ibnu Hajar berkata : “Sebagian orang berpendapat harus dikembalkan kepada ahli ilmu hisab, mereka adalah orang-orang syi’ah Rofidhoh.”
Dan masih banyak lagi ucapan para ulama’ yang senada dengan ini.’

b. Ilmu hisab bersifat dhonni (Perkiraan) bukan qoth’i (kepastian)
Benarkah ilmu hisab sudah sampai pada tingkatan qoth’i (pasti dan tidak mungkin salah) sebagaimana yang banyak diklaim oleh ahli hisab sendiri dan orang-orang yang mendukung menggunakan ilmu hisab untuk menentukan awal dan akhir Romadhon ? masalah ini masih perlu untuk dikaji ulang. Saya tidak akan membahasnya dari kaca mata ilmu syar’i, namun marilah kita bahas dari sisi ilmu falak sendiri dan kenyataan yang ada dilapangan.
Insya Alloh, kalau kita mau jujur, kita akan sepakat bahwa ilmu hisab yang berhubungan dengan apakah hilal bisa dilihat ataukah tidak di sore hari tangga 29 bulan hijriyyah adalah bersifat dhonni (perkiraan) dan bukan sesuatu yang qoth’i. hal ini dibuktikan dari tiga sisi :
Pertama : Ketetapan ilmu hisab terkadang bahkan banyak bertentangan dengan kenyataan yang ada
Banyak bukti dilapangan yang menunjukkan bahwa ilmu falak tidak selamanya benar, bahkan sangat mungkin kesalahannya. Dan kesalahan itu pada dua sisi ilmu falak, yaitu : sering terjadi bahwa para ulama’ falak menetapkan bahwa hilal tidak mungkin bisa dilihat pada hari itu, ternyata banyak sekali yang melihatnya di berbagai tempat dan beberapa negara.
Kedua : juga sebaliknya para ulama’ falak mengklaim bahwa hari itu hilal sudah tinggi berada diatas ufuk sehingga dengan mudah bisa dilihat, ternyata tidak ada seorangpun yang melihatnya padahal jumlah orang yang berusaha melihat hilal ini sangat banyak dan diberbagai tempat dan berada pada tempat yang memang biasanya digunakan untuk melihat hilal dan terkadang cuaca cerah bukan bermendung.
Dan inilah sebagian nukilan dari persaksian atas kesalahan-kesalahan tersebut :
1. Syaikh Humud bin Abdulloh At Tuwaijiri dalam “Qowathi’ul adillah fir Roddi ala man ‘awwala ala hisab fil ahillah” saat menerangkan kesalahan ahli hisab, beliau berkata : “Mengingkari berita mutawatir, bahwa kalau hilal bisa terlihat pagi hari diufuk timur ternyata juga bisa terlihat diufuk barat pada hari yang sama. Padahal ini sering terjadi pada waktu musim kemarau. Dan telah menghabarkan kepadaku sebagian orang yang terpercaya bahwa dia melihat hilal saat pagi hari juga saat matahari terbenam pada hari yang sama. Dan berita semacam ini sangat banyak lagi masyhur sehingga tidak mungkin mengingkarinya.” (Lihat juga risalah beliau Tahdzirul ummah hlm : 32-33)
2. DR. Aiman Kurdi pakar ilmu falak dari Universitas King Saud Arab Saudi pernah membuat perbandingan antara hasil ilmu hisab dengan hasil rukyah hilal di negeri Saudi antara tahun 1400-1422 H. hasilnya :
- Sesuai antara hisab dan rukyah sebanyak 14 kali, dimana ahli hisab mengatakan hilal diatas ufuk dan memang bisa dirukyah.
- Sesuai antara hisab dengan rukyah sebanyak 24 kali, dimana hisab menetapkan hilal tidak mungkin terlihat dan memang tidak ada yang melihat hilal
- Beda antara ilmu hisab dengan rukyah 18 kali, dimana secara hisab hilal tidak mungkin bisa dirukyah, ternyata hilal kelihatan.
- Berbeda antara hisab dengan rukyah dua kali, dimana secara hisab hilal bisa kelihatan namun ternyata tidak ada bisa melihatnya.
Kesimpulannya kesesuaian antara hisab dengan rukyah hanyalah 67 %. Dan kalau ilmu hisab itu masih seperti ini mungkinkah kita jadikan patokan dasar ?
3. Apa yang disampaikan oleh Amin Muhammad Ka’uroh –beliau seorang ahli hisab- dalam kitabnya Mabadi’ Kauniyyah hlm : 976 : Kejadian awal puasa Romadhon tahun 1389 perlu dijadikan peringatan, dimana sebagian negeri muslim yang berpedoman pada ilmu hisab menyatakan bahwa hilal belum mencapai titik konjungsi sebelum pertengahan malam Senin, berarti tidak mungkin bisa dilihat Ahad sore, kenyataanya hilal kelihatan di negeri Arab Saudi dan beberapa negara lainnya pada ahad sore.”
4. Pada tahun 1406 H, seluruh ahli hisab menyatakan bahwa bahwa hilal syawal tidak akan kelihatan pada sore hari tanggal 29 Ramadhan di Saudi Arabia, namun ternyata hilal dapat dilihat di banyak tempat. (Lihat Fiqhun Nawazil 1/217).
5. Demikian juga apa yang terjadi pada tahun 1407, hal ini disebutkan oleh Syaikh bin Baz dalam Majmu’ Fatawa beliau 15/127-134, dimana DR. Ali Abnadah –ketua badan astronomi dan anggota team penetapan waktu di kementrian agama Yordania menyebutkan bahwa secara hisab tidak mungkin bisa melihat hilal senin sore, karena secara hisab bahwa bulan terbenam di ufuk barat 20 menit sebelum terbenamnya matahari, meskipun begitu malam selasa, hakim agung syar’i Arab Saudi telah menetapkan bisa terlihatnya hilal malam itu.
6. Hal serupa juga pernah terjadi di Indonesia, yaitu kasus penetapan awal syawal 1991. Yang mana organisasi Muhammadiyah yang awalnya menetapkan secara hisab bahwa satu syawal akan jatuh pada hari ahad tanggal 27 maret 1991 terpaksa harus merubahnya ke hari senin tanggal 28 maret 1991 karena tidak cocok dengan hasil ru’yah, begitu pula kejadian tahun berikutnya terpaksa harus merevisi tanggal satu syawal yang semula jatuh pada sabtu menjadi hari ahad. Kasus yang sama juga terjadi pada tahun 1994 meskipun ini terjadi diluar lingkungan Muhammadiyah. (Lihat Majalah Qiblati Vol : 2/ no : 1 hal : 31 bab Polemik penetapan awal Romadhon oleh Ust. Agus Hasan Bashori)
7. saat mnetapkan awal Romadhon 1428 H, Muhammadiyah dengan hisab wujudul hilal nya menetapkan hari raya idul fithri 1428 H jatuh pada hari jum’at 12 Oktober 2007 M, ternyata kamis sore diseluruh penjuru Indonesia tidak ada yang bersaksi melihat hilal sehingga Depag menetapkan hari raya jatuh pada hari sabtu 13 Oktober 2007 dan keputusan ini disetujui oleh NU.
Disaat itu juga dibelahan bumi lainnya, Di Arab Saudi, para ahli falak Universitas King Fahd menyatakan bahwa hari raya akan jatuh pada hari sabtu 13 Oktober 2007. Dan hasil falak ini disetujui oleh Tim FAlak Uni Emirat Arab. Namun ternyata perhitungan inipin meleset, bahwa majlis qodho a’la Arab Saudi menetapkan bahwa malam jum’at telah terlihat hilal sehingga hari raya jatuh pada hari jum’at 12 oktober 2007.     
8. Dan masih banyak contoh kasus lainnya. Lalu setelah ini semua, masihkah ngotot untuk dikatakan bahwa ilmu hisab itu bersifat pasti sehingga kalau rukyah bertentangan dengan hisab maka harus dikedepankan hisab, yang berarti kita mendustakan semua saksi muslim yang bersaksi bahwa dia melihat hilal ? renungkanlah
Benarlah apa yang dikatakan oleh Syaikhul islam Ibnu Taimiyyah : “Tidak ada seorang ahli hisabpun yang mempunyai ketentuan yang pasti, bahkan cara apapun yang mereka tempuh, mesti banyak salahnya, karena Alloh tidak menjadikan munculnya hilal ada perhitungan yang jelas, dan tidak mungkin mengetahui munculnya hilal melainkan dengan rukyah.”
Beliau juga berkata : ketahuilah bahwa para peneliti dari kalangan ahli hisab sepakat bahwa tidak mungkin menetapkan terlihatnya hilal dengan ilmu hisab, dimana bisa dihukumi bahwa hilal bisa terlihat atau tidak bisa, hanya saja terkadang kebetulan benar dan terkadang tidak.” (Majmu’ Fatawa 25/182-182)
Kedua : Perselisihan yang terjadi antara ahli hisab sendiri
Hal ini bisa dibuktikan dengan banyak hal, diantaranya :
1. Adanya beberapa madzhab dalam disiplin ilmu falak sendiri, mulai dari hisab urfi, hakiki, taqribi sampai hisab yang berdasarkan ilmu astronmi modern. Yang mana antara satu madzhab dengan yang lainnya sampai sekarang belum bisa sepakat dalam masalah hilal ini. Lalu kalau memang demikian kenyataan ahli hisab sendiri, lalu mengapa bersikeras mengharuskan orang lain mengikuti apa yang mereka hisabkan ?
Padahal dengan adanya berbagai madzhab ini, mau tidak mau harus menghasilkan banyak versi atas ketetapan ilmu hisab sendiri. Dan inilah salah satu contohnya yaitu hasil rekap ahli hisab untuk Romadhon 1427 H

REKAP HASIL PERHITUNGAN (HISAB) IJTIMA' DAN TINGGI HILAL
AWAL RAMADHAN 2006 M / 1427 H MENURUT BERBAGAI MACAM SISTEM*)

NO.
SISTEM HISAB
KONJUNGSI / IJTTIMAK
TINGGI
H A R I
TGL.
J A M
HILAL
1
Sullam al Nayyirain
Jum'at
22 Sep 2006
17:28
0؛ 16'
2
Fath al Rauf al Manan
Jum'at
22 Sep 2006
17:54
0؛ 03'
3
Al Qawa'id al Falakiyah
Jum'at
22 Sep 2006
18:11
- 0؛ 44'
4
Hisab Hakiki
Jum'at
22 Sep 2006
18:46
-1؛ 20'
5
Badi'ah al Mitsal
Jum'at
22 Sep 2006
18:38:46
-114؛ ' 17"
6
Al Khulashah al Wafiyah
Jum'at
22 Sep 2006
18:43
-1؛ 39
7
Al Manahij al Hamidiyah
Jum'at
22 Sep 2006
18:43
-1؛ 18
8
Nurul Anwar
Jum'at
22 Sep 2006
18:38
-1؛ 35
9
Menara Kudus
Jum'at
22 Sep 2006
18:45:47
-137؛ ' 55"
10
New Comb
Jum'at
22 Sep 2006
18:39:46
-1؛ 22' 04"
11
Jeen Meeus
Jum'at
22 Sep 2006
18:41:17
-0؛ 23' 18"
12
E.W. Brouwn
Jum'at
22 Sep 2006
18:44:59
-1؛ 47' 47"
13
Almanak Nautika
Jum'at
22 Sep 2006
18:47
-1؛ 32' 22"
14
Ephemeris Hisab Rukyat
Jum'at
22 Sep 2006
18:45:30
-1؛ 22' 55"
15
Al Falakiyah
Jum'at
22 Sep 2006
18:46:08
-1؛ 20' 41"
16
Mawaqit
Jum'at
22 Sep 2006
18:45:19
-1؛ 13' 48"
17
Ascript
Jum'at
22 Sep 2006
18:46
-2؛ 09'
18
Astro Info
Jum'at
22 Sep 2006
18:46
-1؛ 26'
19
Starry Night Pro 5
Jum'at
22 Sep 2006
18:46
-1؛ 22'

*) Keputusan Temu Kerja Evaluasi Hisab Rukyat Tahun 2006, Tgl. 1 s.d 3 Juni 2006 di Hotel Ria Diani Cibogo Bogor (diambil dari www.rukyatulhilal.org)

2. Adanya berbagai kalender yang berbeda yang sama-sama didasarkan oleh ilmu hisab. Padahal kalender ini bukan dibuat oleh satu dua orang, namun dibuat oleh sebuah team ahli falak dalam lembaga-lembaga besar kaum muslimin.
Sebagai sebuah contoh, kita buat perbandingan waktu ijtima’dan penetapan awal bulan hijriyyah antara kalender tahun 2009 dan 2010 yang dikeluarkan resmi oleh dua organisasi islam terbesar di Indonesia NU dan Muhammadiyah serta kalender menara kudus, karena kalender ini banyak beredar di masyarakat

Tahun 2009

Bulan
Keterangan
NU 1
Muhammadiyah [3]
Menara Kudus [4]
Shofar 1430
Ijtima’
Senin, 26 jan 2009 jam 14.54.26 wib
Senin, 26 jan 2009 jam 14.56.42 wib
Senin, 26 jan 2009 jam 14.56 wib
Awal bulan
Rabo, 28 jan 2009
Selasa, 27 Januari 2009
Rabo, 28 jan 2009
Robiul awal 1430
Ijtima’
Rabo, 25 Pebruari 2009, jam 8.36.02 wib
Rabo, 25 Pebruari 2009, jam 8.36.27 wib

Awal bulan
Kamis, 26 Pebruari 2009
Kamis, 26 Pebruari 2009
Kamis, 26 Pebruari 2009
Robiuts Tsani 1430
Ijtima’
Kamis, 26 maret 2009, jam 23.07.21 wib
Kamis, 26 maret 2009, jam 23.07.21 wib
Kamis, 26 maret 2009, jam 23.08 wib
Awal bulan
Sabtu, 28 Maret 2009
Sabtu, 28 Maret 2009
Sabtu, 28 Maret 2009
Jumada Ula 1430
Ijtima’
Sabtu, 25 April 2009, jam 10.23.17 wib
Sabtu, 25 April 2009, jam 10.23.57 wib
Sabtu, 25 April 2009, jam 10.24 wib
Awal bulan
Senin, 27 April 2009
Ahad, 26 April 2009
Senin, 27 April 2009
Jumada Tsaniyah 1430
Ijtima’
Ahad, 24 Mei 2009, jam 19.11.40 wib
Ahad, 24 Mei 2009, jam 19.12.21 wib
Ahad, 24 Mei 2009, jam 11.12 wib
Awal bulan
Selasa, 26 mei 2009
Selasa, 26 mei 2009
Selasa, 26 mei 2009
Rojab 1430
Ijtima’
Selasa, 23 juni 2009, jam 2.36.15 wib
Selasa, 23 juni 2009, jam 2.36.15 wib
Selasa, 23 juni 2009, jam 2.36 wib
Awal bulan
Rabo, 24 juni 2009
Rabo, 24 juni 2009
Rabo, 24 juni 2009
Sya’ban 1430
Ijtima’
Rabo, 22 Juli 2009, jam 9.35.59 wib
Rabo, 22 Juli 2009, jam 9.35.51 wib
Rabo, 22 Juli 2009, jam 9.35 wib
Awal bulan
Kamis, 23 Juli 2009
Kamis, 23 Juli 2009
Kamis, 23 Juli 2009
Romadhon 1430
Ijtima’
Kamis, 20 Agustus 2009, jam 17.02.35 wib
Kamis, 20 Agustus 2009, jam 17.02.48 wib
Kamis, 20 Agustus 2009, jam 17.02 wib
Awal bulan
Sabtu, 22 Agustus 2009
Sabtu, 22 Agustus 2009
Sabtu, 22 Agustus 2009
Syawal 1430
Ijtima’
Sabtu,  19 september 2009, jam 01.44.16 wib
Sabtu,  19 september 2009, jam 01.44.16 wib
Sabtu,  19 september 2009, jam 01.44.31 wib
Awal bulan
Ahad, 20 September 2009
Ahad, 20 September 2009
Ahad, 20 September 2009
Dzulqo’dah 1430
Ijtima’
Ahad, 18 oktober 2009, jam 12.33.18 wib
Ahad, 18 oktober 2009, jam 12.34.25 wib
Ahad, 18 oktober 2009, jam 12.32.58 wib
Awal bulan
Selasa, 20 Oktober 2009
Senin, 19 Oktober 2009
Selasa, 20 Oktober 2009
Dzulhijjah 1430
Ijtima’
Selasa, 17 November 2009, jam 2.13.57 wib
Selasa, 17 November 2009, jam 2.15.09 wib
Selasa, 17 November 2009, jam 2.14 wib
Awal bulan
Rabo, 18 November 2009
Rabo, 18 November 2009
Rabo, 18 November 2009
Muharrom 1431
Ijtima’
Rabo, 16 Desember 2009, jam 19.03.41 wib
Rabo, 16 Desember 2009, jam 19.03.30 wib
Rabo, 16 Desember 2009, jam 19.03 wib
Awal bulan
Jumat, 18 Desember 2009
Jumat, 18 Desember 2009
Jumat, 18 Desember 2009


Tahun 2010

Bulan
Keterangan
NU[5]
Muhammadiyah[6]
Menara Kudus[7]
Shofar 1431
Ijtima’
Jum’at, 15 Januari 2010, jam 14.13.04 wib
Jum’at, 15 Januari 2010, jam 14.12.40 wib
Jum’at, 15 Januari 2010, jam 14.13 wib
Awal bulan
Ahad, 17 jan 2010
Sabtu, 16 januari 2010
Ahad, 17 januari 2010
Robiul awal 1431
Ijtima’
Ahad, 14 Pebruari 2010, jam 09.53.01 wib
Ahad, 14 Pebruari 2010, jam 09.52.32 wib
Ahad, 14 Pebruari 2010, jam 09.53 wib
Awal bulan
Senin, 15 Pebruari 2010
Senin, 15 Pebruari 2010
Senin, 15 Pebruari 2010
Robiuts Tsani 1431
Ijtima’
Selasa, 16 maret 2010, jam 04.03.17 wib
Selasa, 16 maret 2010, jam 04.02.24 wib
Selasa, 16 maret 2010, jam 04.03 wib
Awal bulan
Rabo, 17 maret 2010
Rabo, 17 maret 2010
Rabo, 17 maret 2010
Jumada Ula 1431
Ijtima’
Rabo, 14 April 2010, jam 19.31.04 wib
Rabo, 14 April 2010, jam 19.30.14 wib
Rabo, 14 April 2010, jam 19.31 wib
Awal bulan
Jum’at, 16 April 2010
Jum’at, 16 April 2010
Jum’at, 16 April 2010
Jumada Tsaniyah 1431
Ijtima’
Jum’at, 14 Mei 2010, jam 08.05.48 wib
Jum’at, 14 Mei 2010, jam 08.05.42 wib
Jum’at, 14 Mei 2010, jam 08.06 wib
Awal bulan
Sabtu, 15 Mei 2010
Sabtu, 15 Mei 2010
Sabtu, 15 Mei 2010
Rojab 1431
Ijtima’
Sabtu, 12 Juni 2010, jam 18.15.30 wib
Sabtu, 12 Juni 2010, jam 18.15.51 wib
Sabtu, 12 Juni 2010, jam 18.15 wib
Awal bulan
Senin, 14 Juni 2010
Senin, 14 Juni 2010
Senin, 14 Juni 2010
Sya’ban 1431
Ijtima’
Senin, 12 Juli 2010, jam 02.41.07 wib
Senin, 12 Juli 2010, jam 02.41.38 wib
Senin, 12 Juli 2010, jam 02.41 wib
Awal bulan
Selasa, 13 juli 2010
Selasa, 13 juli 2010
Selasa, 13 juli 2010
Romadhon 1431
Ijtima’
Senin, 10 Agustus 2010, jam 10.08.35 wib
Senin, 10 Agustus 2010, jam 10.09.17 wib
Senin, 10 Agustus 2010, jam 10.08.35 wib
Awal bulan
Rabo, 11 Agustus 2010
Rabo, 11 Agustus 2010
Rabo, 11 Agustus 2010
Syawal 1431
Ijtima’
Rabo, 8 September 2010, jam 17.30.12 wib
Rabo, 8 September 2010, jam 17.31.01 wib
Rabo, 8 September 2010, jam 17.30 wib
Awal bulan
Jum’at, 10 September 2010
Jum’at, 10 September 2010
Jum’at, 10 September 2010
Dzulqo’dah 1431
Ijtima’
Jum’at, 8 Oktober 2010, jam 01.44.52 wib
Jum’at, 8 Oktober 2010, jam 01.45.44 wib
-
Awal bulan
Sabtu, 9 Oktober 2010
Sabtu, 9 Oktober 2010
Sabtu, 9 Oktober 2010
Dzulhijjah 1431
Ijtima’
Sabtu, 6 Nopember 2010, jam 11.52.23 wib
Sabtu, 6 Nopember 2010, jam 11.53.04 wib
Sabtu, 6 Nopember 2010, jam 11.52 wib
Awal bulan
Senin, 8 Nopember 2010
Ahad, 7 november 2010
Senin, 8 Nopember 2010
Muharrom 1432
Ijtima’
Senin, 6 Desember 2010, jam 00.37.01 wib
Senin, 6 Desember 2010, jam 00.37.01 wib
Senin, 6 Desember 2010, jam 00.31 wib
Awal bulan
Selasa, 7 Desember 2010
Selasa, 7 Desember 2010
Selasa, 7 Desember 2010


3. Persaksian para ahli hisab bahwa ilmu hisab bukan qoth’i
Sebagian diantara para ulama’ hisab mengatakan bahwa ilmu hisab itu bukan bersifat qoth’i kalau berhubungan dengan terlihat atau tidak terlihatnya hilal.
Diantara mereka adalah :
Amin Muhammad Ka’uroh dalam kitabnya Mabadi’ul Kauniyyat hlm : 96-97 berkata (dengan ringkas) : “Sering kali negeri-negeri islam berselisih tentang masalah awal dan akhir Romadhon. Sebab yang paling inti adalah apa yang telah saya sebutkan bahwa peredaran bulan sangat sulit, oleh karena itu hampir mustahil membuat sebuah kalender yang paten terhadap bulan-hulan hijriyyah, Karena tempatnya bumi, bulan dan matahari tidak berulang dalam waktu yang teratur. Oleh karena itu jalan keluar menurutku untuk mengatasi kesulitan ini adalah agar kaum muslimin berpedoman pada rukyatul hilal. Dan inilah yang sesuai dengan hadits yang mulia : “Berpuasalah kalian karena melihat hilal, dan berbukalah kalau melihat hilal.”

E. Perkataan ulama’ seputar masalah ini
Kita nukilkan disini ucapan sebagian kecil dari perkataan para ulama’ madzhab empat maupun lainnya. Dan ucapan mereka ini mewakili yang lainnya
A. Madzhab Hanafi
1. Asy Syarokhsi dalam al Mabsuth berkata: “Seandainya penduduk sebuah negeri berpuasa padahal tidak melihat hilal, lalu ada seseorang yang tidak berpuasa sampai melihat hilal besok harinya. Lalu penduduk lainnya puasa 30 hari dan dia puasa 29 hari, maka tidak wajib baginya untuk mengqodlo, karena penduduk tersebut salah disebabkan puasa sebelum melihat hilal, berdasarkan sabda Rosululloh : “Berpuasalah karena melihat hilal……” Penduduk negeri tersebut telah menyelisihi perintah Rosululloh, oleh karena itu merekalah yang salah. Namun ada yang berpendapat dalam masalah seperti ini dikembalikan kepada ahli hisab, dan ini adalah pendapat yang jauh sekali.”
2. Al Jashosh
Secara panjang lebar beliau menerangkan tidak bolehnya berpedoman pada ilmu hisab untuk menetukan awal dan akhir Romadhon dalam kitab beliau ‘Ahkamul Qur’an’. Diantaranya beliau berkata : “Yang menunjukkan atas kebatilan takwil mereka (yaitu yang berpendapat dengan ilmu hisab) apa yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwasannya Rosululloh bersabda : “Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah kalian karena melihat hilal. Namun jika terhalangi antara kalian dengan melihatnya oleh mendung atau asap maka hitunglah menjadi 30 hari.” Disini Rosululloh memerintahkan untuk menyempurnakan menjadi 30 hari, padahal bisa saja hilal itu sudah kelihatan seandainya tidak terhalangi oleh mendung, namun Rosululloh tidak mewajibkan untuk kembali pada ucapan orang yang berpendapat bahwa jika seandainya tidak terhalangi mendung niscaya kita akan melihatnya.”
Beliau juga berkata : “Orang yang berpendapat dengan ilmu hisab telah keluar dari hukum syariat ini. Dan masalah ini bukanlah masalah ijtihadiyyah, karena adanya dalil dari al Quran, as sunnah dan kesepakatan para ulama’.”

B. Madzhab Maliki
1. Imam Ibnu Abdir Barr berkata : “Tidak boleh mulai puasa Romadhon kecuali kalau yakin sudah keluar dari bulan Sya’ban. Dan yakin dalam masalah ini adalah dengan rukyatul hilal atau menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi 30 hari. Demikinian juga tidak boleh dihukumi keluar dari bulan Romadhon kecuali dengan sesuatu yang yakin juga.” (At Tamhid 7/148)
Kemudian setelah itu beliau menyebutkan adanya pendapat yang menggunakan pedoman ilmu hisab, lalu beliau berkata : “Ini adalah pendapat yang ditinggalkan oleh para ulama’ dahulu dan sekarang, berdasarkan hadits-hadits yang shohih dari Rosululloh bahwa beliau bersabda : “Berpuasaah kalian karrena melihat hilal dan berbukalah karena melihat hilal, dan jika tertutupi atas kalian maka ssempurnakan tiga puluh hari.” Dan sepengetahuanku tidak ada seorang fuqoha’ pun yang berpedoman dengan ilmu hisab ini, kecuali yang diriwayatkan dari Muthorrif bin Shikhir, padahal itupun tidak benar dari pendapat beliau. Dan seandainyapun benar maka tidak wajib diikuti karena kenylenehannya dan menyelisihi dalil.” (At Tamhid 7/156)
2. Dalam kitab Syarah Shoghir lid Dirdir fi Fiqhil Malikiyyah 1/241 disebutkan : “Hilal tidak boleh ditetapkan dengan ucapan seroang ahli hisab perbintangan, bukan untuk dirinya juga bukan untuk orang lain. Karena syariat kita mengkaitkan puasa, berbuka dan haji dengan rukyatul hilal bukan hanya dengan sekedar wujudul hilal (keberadannya diatas ufuk) dengan anggapan bahwa yang mereka katakana tersebut benar.”
Keterangan ini terdapat pula dalam Syarah Kabir lid Dirdir, begitu pula dalam Hasyiyah Dasuqi ala Syarah Kabir
3. Al Qorrofi
Beliau berkata dalam Al Furuq 2/322-333 : “Perberbedaan yang ke 102 antara kaedah waktu-waktu sholat yang boleh ditetapkan dengan ilmu hisab dengan kaedah hilal Romadhon yang tidak boleh ditetapkan dengan ilmu hisab.
Dalam masalah ini ada dua pendapat di kalangan kami (Malikiyyah) dan syafi’iyah. Yang masyhur dalam kedua madzhab adalah tidak boleh menggunakan dasar ilmu hisab, oleh karena itu jika ilmu hisab menunjukkan bahwa hilal sudah berada diatas ufuk tetap tidak wajib puasa.
Sebagian sahabat kami -ulama’ malikiyyah– berkata : Seandainya pemimpin sebuah negri berpendapat dengan ilmu hisab, lalu dia menetapkan hilal degan ilmu tersebut maka tidak boleh diikuti, karena kesepakatan para ulama yang menyelisihinya. Hal ini meskipun ilmu hisab tentang hilal dan gerhana adalah sesuatu yang qoth’i (pasti).”
4. Abu Bakr Ibnul Arobi
Dalam kitab ‘Ahkamul Qur’an’ saat menafsirkan firman Alloh : “Barang siapa yang menyaksikan bulan Romadhon maka hendaklah dia berpuasa.” Beliau berkata : “Ayat ini dibawa pada makna kebiasaan menyaksikan awal bulan yaitu dengan rukyatul hilal, demikian pulalah dengan sabda Rosululloh : “Berpuasalah kalian karena melihat hila dan berbukalah karena melihat hilal.” Dan sebagian para ulama’ yang terdahulu telah salah tatkala mengatakan ; dikembalikan kepada pedoman ilmu hisab, dikarenakan sabda Rosululloh : “Jika tertutupi atas kalian maka takdirkanlah.” Maknanya adalah sempurnakanlah hitungan.”
5. Imam Al Qurthubi
Beliau berkata dalam tafsir beliau 2/293 : “Ibnu Nafi’ meriwayatkan dari Malik bahwa pemimpin yang tidak berpuasa dan berbuka dengan hilal, namun pemimpin tersebut puasa dan berbuka dengan dasar ilmu hisab, maka pemimpin seperti dia tidak boleh diikuti.”
C. Madzhab Syafi’i
1. Abu Ishaq Asy Syirozi
Beliau berkata dalam Al Muhadzab : “Tidak wajib puasa Romadhon melainkan dengan rukyatul hilal, dan jika tertutupi maka wajib untuk menyempurnakan bulan Sya’ban baru kemudian berpuasa.” (Al Muhadzab –ma’al Majmu’ 6/275)
2. Imam Nawawi
Beliau berkata : “Barang siapa yang berpendapat dengan ilmu hisab, maka pendapatnya tertolak berdasarkan sabda Rosululloh : “Kami adalah umat yang ummi tidak menghisab dan menulis.” Para ulama’ mengatakan : bahwa seandainya manusa itu dibebani dengan ilmu hisab niscaya masalah ini akan menjadi sulit karena tidak ada yang mengetahuinya kecuali sangat sedikit sekali di negeri yang besar. Yang benar adalah pendapat jumhur ulama’. Adapun selainnya adalah pendapat salah yang tertolak dengan keshorihan hadits-hadits tersebut.”
Beliau juga berkata : “Para sahabat kami –ulama’ syafi’iyyah- juga ulama’ lainnya mengatakan : “Tidak wajib puasa Romadhon kecuali kalau sudah masuk Romadhon, dan diketahui masuknya Romadhon dengan rukyatul hilal. Lalu jika tertutupi mendung maka wajib menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi 30 hari kemudian baru berpuasa. Sama saja apakah langit saat itu cerah atau bermendung yang tipis ataukah mendung tebal.” (Al Majmu’ Syarah Muhadzab 6/276-277)
3. Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqolani saat menerangkan hadits : “Kami adalah umat yang ummi tidak menulis dan menghisab.” Beliau berkata : “Yang dimaksud disini adalah ilmu hisab perbintangan. Tidaklah mereka (kaum muslimin yang hidup pada zaman Rosululloh) mengetahui ilmu ini kecuali sangat sedikit sekali, oleh karena itu Rosululloh mengkaitkan hukum puasa dan ibadah lainnya dengan rukyatul hilal, untuk menghilangkan dari mereka kesulitan ilmu hisab. Dan hukum inipun tetap berlaku dalam masalah puasa meskipun setelahnya ada yang mengetahui ilmu hisab tersebut, bahkan yang nampak dari hadits tersebut adalah menafikan mengaitakn hukun puasa dengan ilmu hisab sama sekali. Hal ini dijelaskan oleh hadits : “Jika tertutupi atas kalian maka sempurnakanlah 30 hari.” dan Rosululloh tidak bersabda : “Tanyalah kepada ahli hisab.”
Kemudian beliau berkata : “Sebagian kaum ada yang berpedoman dengan ilmu hisab ini, dan mereka adalah orang syi’ah rofidhoh, dan dinukil bahwa sebagian fuqoha’ sepakat dengan mereka. Al Baji berkata : “Namun ijma’ salafush sholih merupakah hujjah yang membantah mereka. Ibnu Bazizah berkata : ini adalah sebuah pendapat yang bathil, syariat ini melarang mendalami ilmu perbintangan karena itu hanyalah sangkaan belaka, dan tidak memiliki kepastian sama sekali, juga seandainya masalah ini dikaitkan denganya niscaya akan menjadi sulit karena hanya sangat sedikit orag yang mengetahuinya.” (Fathul Bari 4/163)
4. Al Iroqi dalam Thorhut Tatsrib setelah beliau memaparkan dengan bagus masalah ini, akhirnya beliau mengambil kesimpulan : “Dengan penjelasan diatas maka nampaklah kebenaran madzhab jumhur yaitu mengkaitkan hukum puasa dengan rukyatul hilal bukan dengan lainnya, dan ini adalah pendapat Imam Malik, Syafi’i, Abu Hanifah dan jumhur ulama salaf dan kholaf.”
D. Madzhab Hambali
1. Ibnu Qudamah
Dalam Syarh Al Kabir 3/26 beliau berkata : “Demikian juga kalau seseorang mendasari (niat puasanya) dengan perkataan para ahli hisab, dan ternyata benar. Tetap saja puasanya tidak sah, meskipun ahli hisab itu sering benar, karena ilmu hisab itu bukan sebuah dalil syar’I yang boleh dijadikan dasar dan boleh diamalkan, maka keberadaannya sama saja dengan tidak adanya. Rosululloh bersabda : “Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya.” Dan dalam riwayat lainnya : “Janganlah kalian berpuasa sehingga melihat hilal dan janganlah kalian berbuka sehingga melihatnya.”
2. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
Sudah banyak kita nukil ucapan beliau mengenai masalah ini. Dan yang beliau terangkan sudah mewakili kitab madzhab hanbali lainnya. Namun bagi yang menginginkan penjelasan lebih lengkap silahkan lihat risalah hilal beliau dalam Majmu’ Fatawa jilid 25.
2. Ibnul Qoyyim
Beliau berkata saat menerangkan hadits : “Berbuka kalian adalah hari kalian semua berbuka.” Hadits ini membantah orang yang berpendapat bahwa orang yang mengetahui munculnya hilal dengan ilmu hisab boleh berpuasa dan berbuka.” (Tahdzibus Sunan 3/213)
Dalam Zadul Ma’ad 2/38 beliau juga berkata  : “Diantara petunjuk Rosululloh adalah tidak masuk dalam puasa Romadhon melainkan dengan rukyah yang pasti atau persaksian satu orang, sebagaimana Rosululloh puasa dengan persaksian dari Ibnu Umar, dan beliau juga pernah puasa dengan persaksian seorang arab badui, dan Rosululloh berpegang pada khabar keduanya, dan Rosululloh tidak membebani keduanya  harus mengucapkan : “saya bersaksi”. Dan jika tidak kelihatan hilal juga tidak ada yang bersaksi melihatnya, maka beliau menyempurnakan hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari, juga apabila malam tiga puluh terhalangi mendung, belaiupun menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi 30 hari kemudian baru berpuasa.”
E. Ulama’ lainnya
1. Ibnu Bathol dalam Syarah Shohih Bukhori saat menerangkan hadits : “Kami adalah umat yang ummi…” beliau berkata : “Hadits ini menerangkan makna sabda Rosululloh : “faqduru lahu” bahwa maknanya adalah menyempurnakan hitungan bulan menjadi 30 hari sebagaimana yang dikatakan oleh para fuqoha. Dan tidak boleh dianggap dengan ilmu hisab perbintangan. Hadits ini membantah para ahli hisab, maka yang dijadikan patokan adalah rukyatul hilal yang dijadikan oleh Alloh sebagai waktu bagi ibadah puasa, haji, iddah dan hutang.”
2. Imam Shon’ani
Dalam Subulus Salam beliau berkata “ Sesungguhnya nash dalil mensyaratkan wajibnya puasa dengan salah satu diantara dua hal, yaitu rukyah atau ikmal.”
3. Imam Syaukani
Dalam Nailul Author 5/402 beliau berkata : “Hadits ini (berpuasalah karena melihat hilal …) menunjukkan bahwa wajib bagi orang yang tidak melihat hilal juga tidak ada yang menghabarinya bahwa dia melihat hilal untuk menyempurnakan hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari baru kemudian berpuasa. Dan tidak boleh baginya untuk berpuasa pada tanggal 30 Sya’ban, tidak seperti pendapatnya orang yang membolehkan puasa pada yaum syak. Lalu harus menyempurnakan hitungan Romadhon 30 hari baru kemudian berbuka. Tidak ada perselisihan dalam masalah ini.”
4. Syaikh Shiddiq Hasan Khon dalam Fathul Allam 2/691 pun memaparkan tidak bolehnya menggunakan hisab sebagaimana para ulama’ lainnya.
4. Al Munawi dalam Faidhul Qodir Syarah Jami Shoghir saat menerangkan hadits : “Kami umat yang ummi.” beliau berkata : “Mengamalkan ucapannya para ahli perbintangan bukan termasuk petunjuk kami, namun ibadah kami dikaitkan dengan sesuatu yang jelas yaitu rukyatul hilal, karena hal itu bisa kita lihat terkadang tanggal 29 dan terkadang 30. dengan berpedoman dengan rukyah maka akan menghilangkan kesulitan melakukan sesuatu yang tidak ada yang mengetahuinya kecuali hanya sedikit orang. Kemudian hukum inipun tetap berlaku meskipun kemudian hari banyak yang mengetahui ilmu hisab.”
5. Syaikh Ibnu Baz
Setelah beliau menyebutkan dalil-dalil mengenai masalah ini, beliau berkata : “Dengan ini, maka yang dijadikan dasar adalah menetapkan puasa dan berbukan serta seluruh bulan lainnya dengan rukyah hilal atau ikmal. Dan secara syar’I sama sekali tidak dianggap dengan sekedar telah lahirnya bulan baru untuk menetapkan awal dan akhir bulan hijriyyah untuk menentukan waktu ibadah menurut kesepakatan para ulama; selagi belum bisa dilihat. Adapun sebagian para ulama’ sekarang yang menyelisihi masalah ini maka telah didahului dengan adanya ijma’ sebelumnya, berarti pendapatnya tertolak, karena tidak boleh bagi seorangpun untuk berpendapat selagi sudah ada sunnah Rosululloh dan ijma’ ulama’ salaf.” (Majmu’ Fatawa beliau 15/110)
5. Syaikh Ibnu Utsaimin
Dalam Syarah Mumti’ 3/486 beliau berkata : “ Puasa itu wajib dengan dua hal : pertama Rukyah hilal berdaraskan firman Alloh : (QS. Al Baqoroh : 185) dan sabda Rosululloh : “(Apabila kalian melihat hilal maka berpuasalah…)
Dengan ini maka tidak wajib puasa dengan pedoman ilmu hisab. Maka seandainya ulama’ hisab menetapkan bahwa malam ini sudah masuk bulan Romadhon, namun hilal belum kelihatan, maka tidak boleh puasa, karena syariat ini mengkaitkan hukum ini dengan perkara hissi (inderawi) yaitu rukyah.
Kedua : menyempurnakan bulan sya’ban 30 hari.”
6. Kibar ulama
Dalam ketetapan yang berhubungan dengan hilal, komite ulama’ besar Arab Saudi memutuskan : “Ketetapan ketiga : Adapun yang berhubungan dengan menetapkan hilal dengan ilmu hisab, maka setelah mempelajari permasalahan ini yang sudah dipersiapkan oleh lajnah da’imah dan setelah melihat kepada pendapatnya para ulama’, maka anggota komite ulama’ besar Arab Saudi sepakat tidak boleh menggunakan pedoman ilmu hisab. Berdasarkan sabda Rosululloh Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah kalian karena melihatnya.” Juga sabda Rosululloh : “Janganlah kalian berpuasa sehingga melihat hilal dan janganlah kalian berbuka sehingga melihatnya.” Wabillahi taufiq.
Keputusan ini ditandatangani oleh para ulama’ : Muhammad Amin Asy Syinqithi, Abdur Rozzaq Afifi, Mukhdhor Aqil, Abdul Aziz bin Baz, Abduloh bin Humaid, Abdulloh Khoyyath, Sholih bin Ghoshun, Ibrohim bin Muhammad Ali Syaikh, Sulaiman bin Ubaid, Muhammad bin Jubair, Abdulloh bin Ghudayyan, Rosyid bin Khunain, Sholih Luhaidan dan Abdulloh bin Mani’ (Lihat Al Buhuts Al Ilmiyyah 3/34)
Walohu a’lam




[1] Demi menjaga keadilan dan amanah ilmiyyah, harus saya katakan bahwa membawa ayat ini sebagai dalil dalam masalah ini masih perlu ditinjau ulang dari dua sisi, yaitu :
Pertama : ‘syahida’ secara bahasa mempunyai empat makna :
1. Menjadi saksi atau menghabarkan
Misal :
شَهِدَ مُحَمَّدٌ عِنْدَ الْحَاكِمِ
Muhammad menghabarkan (sesuatu) pada hakim
2. Melihat
Misal :
شَهِدْتُ زَيْدًا يُصَلِّيْ فِي الْمَسْجِدِ
“Saya melihat Zaid sholat di masjid
3. Hadir dan tidak sedang pergi
Misal :
شَهِدَ عُمَرُ غَزْوَةَ بَدْرٍ
“Umar hadir pada perang Badar.”
شَهِدَ عَلِيٌّ شَهْرَ رَمَضَانَ
Ali hadir saat bulan Romadhon (dalam artian sedang tidak safar)
4. Mengetahui
Misal :
شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ
“Alloh mengetahui bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Dia.” (QS. Ali Imron : 18)
Oleh karena itu, maka klaim bahwa arti syahida pada ayat ini adalah melihat hilal Romadhon, membutuhlan dalil yang kuat, karena ada kemungkinan bermakna yang lain. Oleh karena itu para ulama’ berselisih tentang makna syahida pada ayat ini.
Imam Ibnu Jarir ath Thobari menyebutkan empat pendapat para ulama’ tafsir tentang makna ayat ini.
1. Barang siapa yang saat awal datangnya bulan Romadhon dia sedang berada di daerahnya dan tidak sedang musafir, maka wajib baginya untuk berpuasa satu bulan penuh, baik nantinya dia safar ataukah tidak safar ditengah bulan.
Ini adalah pendapat Ibnu Abbas dan sebagai ulama’ tabi’in
2. Makna ayat ini barang siapa yang saat datangnya bulan Romadhon sedang tidak safar, maka wajib berpuasa selagi dia masih berada didaerahnya. Ini adalah pendapat sebagian tabi’in
3. Makna ayat ini barang siapa yang saat Romadhon dalam keadaan berakal dan baligh, maka wajib puasa. Dan ini adalah madzhab Abu Hanifah.
4. Beliau sendiri (Imam Ath Thobari) mengatakan bahwa makna ayat ini adalah kewajiban puasa bagi yang menyaksikan datangnya Romadhon dalam keadaan muqim dan bukan musafir.”
Kedua : Anggaplah pengartian syahida dengan melihat hilal Romadhon pada ayat tersebut benar, akan tetapi tetap saja hal ini tidak menafikan kemungkinan makna lainnya. Maka adanya kemungkinan makna lain tersebut menjadikan berdalil dengan ayat tersebut dalam masalah ini menjadi lemah dan gugur. Sebagaimana kaedah ushul yang masyhur
الدَلِيْلُ إِذَا تَطَرَّقَ عَلَيْهِ الْاِحْتِمَالُ سَقَطَ بِهِ الْاِسْتِدْلَالُ
“Apabila dalil itu mempunyai banyak kemungkinan, maka gugurlah berdalil dengannya.”


[2] Hal ini dikatakan oleh Imam Al Albani dalam Tahdzirus Sajid Hal: 63 juga para ulama’ lainnya

1 Ikhtisar almanak PBNU Tahun 2009 M (1430/1431 H) markas Jakarta. Disusun oleh Tim lajnah falakiah PBNU dan diterbitkan oleh lajnah falakiah PBNU yang dilaksanakan oleh Pustaka Al Alawiyah Semarang

[3] Kalender Muhammadiyah 2009

[4] Kalender Menara kudus yang disusun oleh Markaz penanggalan jawa tengah, penyusun Ibnu H. Tadjus Syarof Kudus.

[5] Kalender hasil hisab oleh Drs. H. Muhyiddin Khazin (wakil ketua lajnah falakiyah PBNU) diterbitkan oleh L’U Grafika Minggiran Krapyak Yogyakarta

[6] Kalender Muhammadiyah 2010

[7] Kalender Menara kudus yang disusun oleh Markaz penanggalan jawa tengah, penyusun Ibnu H. Tadjus Syarof Kudus.


Muhammad Said Aidi SH.I
Kepala Departemen Penelitian dan Pengembangan IPNU DKI Jakarta


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

2 komentar:

priyo sasongko mengatakan...

Maaf,.. apakah ini adalah tulisan dari anda sendiri atau anda cuplik dari tulisan orang lain,..

kalau tulisan ini merupakan karya ilmiyyah anda sendiri maka saya mengacungi jempol kemampuan bahasa arab anda sangat hebat sekali bgitupun kedalaman pemikiran anda,...

akan tetapi jika tulisan ini mencuplik dari makalah orang lain maka sertakan alamat situs dimana anda mengambil tulisan ini sehingga bisa di cek ke ountetikannya,... jangan anda menisbahkan sesuatu yang bukan menjadi hak anda

Unknown mengatakan...

saya cuma seorang santri mas yang kebetulan pernah belajar sedikit tentang ilmu falak. tulisan tulisan tentang ilmu falak yang saya postkan di blog ini merupakan potongan" skripsi saya mas.

 

Facebook Gue