Hukum yang berhubungan dengan bulan dan hari syar’i

Rabu, Oktober 26, 2011


A.Hukum yang berhubungan dengan bulan syar’i
Bulan syar’I yang saya maksud disini adalah bulan hijriyyah, yang mana telah kita singgung pada bab-bab sebelumnya bahwa masuk dan keluarnya bulan ditentukan dengan rukyatul hilal secara visual, terutama yang berhubungan dengan bulan ibadah. Meskipun boleh menetapkan dengan ilmu hisab kalau hanya untuk urusan sipil dan administrasi.
Banyak sekali hukum yang berhubungan dengan bulan. Dan apabila Alloh menyebut sebuah hukum lalu dikaitkan dengan tahun, bulan maupun hari maka yang dimaksud adalah tahun yang terdiri dari 12 bulan hijriyyah dan hari syar’I yang insya Alloh akan kitab bahas sub bahasan berikutnya.
Diantara hukum-hukum tersebut adalah :

1.Puasa Romadhon dan hari raya idul fithri dan idul adhha.
Dan masalah inilah yang telah kita jelaskan dengan panjang lebar dalam kitab ini.
2.Haul zakat
Salah satu syarat wajibnya zakat adalah bila telah mencapai satu haul. Maknanya telah dimiliki selama satu tahun hijriyyah.
Rosululloh bersabda :
عَنْ عَلِيِ بْنِ أَبِيْ طَالِبِ عَنِ النَّبِيِّ قَالَ: إِذَا كَانَتْ لَكَ مِائَتَا دِرْهَمٍ وَحَالَ عَلَيْهَا الْحَوْلُ فَفِيْهَا خَمْسَةُ دَرَاهِمَ وَلَيْسَ عَلَيْكَ شَيْءٌ يَعْنِيْ فِي الذَّهَبِ حَتَّى يَكُوْنَ لَكَ عِشْرُوْنَ دِيْنَارًا, فَإِذَا كَانَتْ لَكَ عِشْرُوْنَ دِيْنَارًا وَحَالَ عَلَيْهَا الْحَوْلُ فَفِيْهَا نِصْفُ دِيْنَارٍ
Dari Ali bin Abi Thalib a berkata: “Rasulullah n bersabda: “Apabila kamu memilki dua ratus dirham dan telah sampai satu haul maka wajib mengeluarkan lima dirham, dan engkau tidak wajib membayar apapun sampai engaku memiliki emas dua puluh dinar namun apabila engkau telah memilikinya dan telah sampai satu haul maka wajib membayar setengah dinar”. (Shahih Abu Dawud 1391).
Hal ini berlaku untuk semua harta zakat kecuali harta pertanian dan rikaz. Adapun pertanian, maka dikeluarkan saat panen. Berdasarkan firman Alloh :
وَءَاتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ
Dan tunaikanlah haknya (zakatnya) saat hari panennya. (QS. An-An’am: 141).
Adapun rikaz maka dikeluarkan 20 % saat mendapatkannya dengan kesepakatan para ulama’

3. ibadah Haji
Haji adalah ibadah yang ditentukan waktunya oleh Alloh dan Rosulnya, yaitu bulan syawal, dzulqo’dah dan sepuluh hari pertama dzulhijjah. Alloh berfirman :
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُومَاتٌ فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ
(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.” (QS. Al Baqoroh  : 197)
Juga firman Alloh :
يَسْأَلونَكَ عَنِ الأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
Mereka bertanya kepadamu tentang hilâl. Katakanlah: “Hilâl itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji; [Al Baqarah: 189)

4. waktu ila’
Meng-ilaa' isteri maksudnya: bersumpah tidak akan mencampuri isteri. Dengan sumpah ini seorang wanita menderita, karena tidak disetubuhi dan tidak pula diceraikan. Apabila terjadi ini, maka suami setelah empat bulan harus memilih antara kembali menyetubuhi isterinya lagi dengan membayar kafarat sumpah atau menceraikan.
Firman Alloh :
لِلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَإِنْ فَاءُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Baqoroh : 226)



5.Puasa kaffaroh
Apabila seseorang jima’ dengan istrinya siang hari bulan romadhon, atau mendhihar istrinya atau membunuh tanpa sengaja maka wajib bagi dia untuk membayar kaffaroh, yang salah satunya adalah dengan berpuasa dua bulan bertutur-turut, sesuai dengan ketentuan yang dijelaskan dengan panjang lebar dalam kitab-kitab fiqh. Dan untuk menentukan dua bulan tersebut adalah dua bulan hijriyyah bukan masehi.
Tentang zhihar, Alloh berfirman :
الَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْكُمْ مِنْ نِسَائِهِمْ مَا هُنَّ أُمَّهَاتِهِمْ إِنْ أُمَّهَاتُهُمْ إِلَّا اللَّائِي وَلَدْنَهُمْ وَإِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ مُنْكَرًا مِنَ الْقَوْلِ وَزُورًا وَإِنَّ اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ (2) وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ذَلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (3) فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِينًا ذَلِكَ لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.” (QS. Al Mujadilah : 2-4)
Adapun tentang  membunuh tanpa sengaja, Alloh berfirman :
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلَّا خَطَأً وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوا فَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِنَ اللَّهِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا
Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat  yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. An Nisa’ : 92)
Adapun tentang jima’ dengan istri siang hari romadhon bagi yang wajib puasa, maka berdasarkan hadits:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ - رضى الله عنه - قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فَقَالَ هَلَكْتُ . فَقَالَ « وَمَا ذَاكَ » . قَالَ وَقَعْتُ بِأَهْلِى فِى رَمَضَانَ . قَالَ « تَجِدُ رَقَبَةً » . قَالَ لاَ . قَالَ « فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ » . قَالَ لاَ . قَالَ « فَتَسْتَطِيعُ أَنْ تُطْعِمَ سِتِّينَ مِسْكِينًا » . قَالَ لاَ . قَالَ فَجَاءَ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ بِعَرَقٍ - وَالْعَرَقُ الْمِكْتَلُ - فِيهِ تَمْرٌ فَقَالَ « اذْهَبْ بِهَذَا فَتَصَدَّقْ بِهِ » . قَالَ عَلَى أَحْوَجَ مِنَّا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَالَّذِى بَعَثَكَ بِالْحَقِّ مَا بَيْنَ لاَبَتَيْهَا أَهْلُ بَيْتٍ أَحْوَجُ مِنَّا . قَالَ « اذْهَبْ فَأَطْعِمْهُ أَهْلَكَ »
Dari Abu Huroiroh berkata : “Ada seseorang yang datang kepada Rosululloh seraya berkata : “Saya telah binasa.” Rosululloh pun bertanya : Memangnya ada apa ?.” dia menjawab :  “saya jima’ dengan istriku pada (siang) hari Romadhon.” Rosululloh bertanya lagi : “Apakah kamu bisa memerdekakan budak ?.” “Tidak.” Jawabnya. “kalau begitu apakah kamu mampu puasa dua bulan berturut-turut ?.” “diapun menjawab : “Tidak.” “lalu apakah kamu mampu member makan enam puluh orang miskin ? diapun masih menjawab : tidak.” Saat itu datanglah salah satu sahabat  Anshor dengan membawa satu keranjang korma, maka Rosululloh berkata kepadanya : “Shodaqohkanlah korma ini.” Diapun malah menjawab : Wahai Rosululloh, apakah harus saya shodaqohkan kepada orang yang lebih membutuhkan daripada kami, wallohi, dikota Madinah ini tidak ada yang lebih membutuhkannya dibandingkan keluarga kami.” Akhirnya Rosululloh bersabda : “Kalau begitu pergilah dan berikanlah kepada keluargamu.” (HR. Bukhori Muslim)
6. Iddah wanita yang ditinggal wafat suaminya
Wanita yang ditinggal wafat suaminya wajib untuk menjalani masa iddah (tunggu untuk bisa menikah lagi) dan ihdad (masa berkabung) selama empat bulan sepuluh hari.
Alloh berfirman :
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari.” (QS. Al BAqoroh : 234)
7. Iddah wanita yang cerai dengan suaminya saat dia masih belum keluar darah haid atau sudah menopause.
Alloh Ta’ala berfirman :
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ
Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid.” (QS. Ath Tholaq : 4)
8. hukum seputar bulan-bulan haram.
Alloh Ta’ala berfirman :
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ (36) إِنَّمَا النَّسِيءُ زِيَادَةٌ فِي الْكُفْرِ يُضَلُّ بِهِ الَّذِينَ كَفَرُوا يُحِلُّونَهُ عَامًا وَيُحَرِّمُونَهُ عَامًا لِيُوَاطِئُوا عِدَّةَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فَيُحِلُّوا مَا حَرَّمَ اللَّهُ زُيِّنَ لَهُمْ سُوءُ أَعْمَالِهِمْ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa. Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan haram itu adalah menambah kekafiran. Disesatkan orang-orang yang kafir dengan mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat mempersesuaikan dengan bilangan yang Allah mengharamkannya, maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah. (Syaitan) menjadikan mereka memandang perbuatan mereka yang buruk itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (QS. At-Taubah : 36, 37)
9. waktu minimal kehamilan
Para ulama’ sepakat bahwa masa minimal kehamilan adalah enam bulan. Ini berkonsekwensi bahwa apabila ada bayi yang dilahirkan hidup namun kurang dari enam bulan hijriyyah dari awal kumpulnya suami istri atau dari pernikahan keduanya, maka bayi tersebut adalah anak zina. Karena berarti bayi tersebut telah ada sebelum akad nikah. Namun bila ada bayi yang dilahirkan lebih dari enam bulan hijriyyah dalam keadaan hidup, maka anak itu adalah anak syar’i.
Hal ini berdasarkan pemahaman tiga firman Alloh, yaitu :
وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا
“Dan masa hamil serta menyapihnya adalah tiga puluh bulann.” (QS. Al Ahqof : 15)
Da firman Nya :
وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ
“Dan dia menyapihnya dalam masa dua tahun.” (QS. Luqman : 14)
Juga firman Nya :
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh.” (QS. Al Baqoroh : 233)
Sisi pengambilan dalilnya : bahwa Alloh menyebutkan bahwa waktu hamil sampai menyapih anaknya adalah 30 bulan, sedangkan waktu menyusui sampai menyapihnya saja adalah dua tahun yang berarti dua pulu empat bulan, maka berarti masa hamilnya adalah enam bulan. (Lihat At Tahqiqot al Mardhiyyah Syaikh Fauzan hlm : 218)
10. Semua yang ditetapkan waktunya oleh syar’i.
Syaikhul islam Ibnu Taimiyyah berkata : “Semua waktu yang ditentukan oleh syar’I, maka yang dijadikan patokan adalah hilal.” (Majmu’ Fatawa 25/134)





B.Hukum yang berhubungan dengan hari syar’i
Perhitungan hari dalam kelender masehi dengan kalender hijriyyah yang merupakan hari syar’i sangat jauh berbeda. Sedangkan semua waktu dan hari yang terdapat dalam al Qur’an dan as sunnah yang dimaksud adalah hari syar’i.
Perbedaan antara keduanya :
Kalau dalam kalender masehi, pergantian hari dimulai dari jam 24.00 (jam 12 malam). Sehingga jika sudah melewati jam 12 malam maka pindah ke hari berikutnya dan berarti sudah masuk waktu pagi hari. Oleh karena itu kalau ada seorang bayi yang lahir sebelum jam 12 malam, maka dia tercatat lahir hari sebelumnya, sedangkan kalau lahirnya setelah lewat jam 12 malam , maka dia tercatat lahir pada hari berikutnya.
Dan ini sangat berbeda dengan perhitungan hari secara syar’I yang terdapat dalam kalender hijriyyah. Pergantian hari dimulai dengan tenggelamnya matahari (saat adzan maghrib) dan itu adalah awal malam. Malam akan berakhir dengan terbitnya fajar. Setelah itu datanglah pagi, lalu jika matahari sudah agak meninggi maka itulah waktu dhuha, dan apabila matahari sudah tergelincir kearah barat itulah waktu dhuhur dan apabila bayangan sudah sama dengan bendanya  maka datanglah waktu ashar sampai terbenamnya matahari. Dan jika terbenam, maka masuk malam hari dan berarti ganti hari berikutnya.
Oleh karena itu, kalau ada bayi yang lahir hari senin jam 5 sore, maka dia terhitung lahir hari senin, namun bila lahirnya hari tersebut namun ba’da maghrib, dia terhitung lahir hari selasa. Dan ini akan sangat berpengaruh pada hari aqiqohnya.
Ketentuan waktu harian syar’I ini sangat terkait dengan beberapa hukum, diantaranya :
1.waktu sholat isya’
Yang rojih, bahwa waku sholat isya’ habis sampai pertengahan malam. Hal ini berdasarkan sabda Rosululloh :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ نَبِىَّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِذَا صَلَّيْتُمُ الْفَجْرَ فَإِنَّهُ وَقْتٌ إِلَى أَنْ يَطْلُعَ قَرْنُ الشَّمْسِ الأَوَّلُ ثُمَّ إِذَا صَلَّيْتُمُ الظُّهْرَ فَإِنَّهُ وَقْتٌ إِلَى أَنْ يَحْضُرَ الْعَصْرُ فَإِذَا صَلَّيْتُمُ الْعَصْرَ فَإِنَّهُ وَقْتٌ إِلَى أَنْ تَصْفَرَّ الشَّمْسُ فَإِذَا صَلَّيْتُمُ الْمَغْرِبَ فَإِنَّهُ وَقْتٌ إِلَى أَنْ يَسْقُطَ الشَّفَقُ فَإِذَا صَلَّيْتُمُ الْعِشَاءَ فَإِنَّهُ وَقْتٌ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ ».
Dari Abdulloh bin Amr bahwasannya Rosululloh bersabda : Apabila kalian sholat shubuh, maka masih berlangsung waktunya sampai matahari terbit, kemudian jika kalian sholat dhuhur, maka waktunya sampai datang waktu ashar, dan jika kalian sholat ashar  maka waktunya berlangsung sampai matahari menguning, lalu jika kalian sholat maghrib maka itu masih waktunya sampai hilang mega merah, dan jika kalian sholat isya’ maka masih waktunya sampai pertengahan malam.” (HR. Muslim)
Dan pertengahan malam itu bukan jam 12 malam, tapi yang dimaksud dengan pertengahan malam adalah waktu dari matahari terbenam sampai terbit fajar dibagi dua, maka akan menemukan tengah malam. Contohnya : anggap matahari terbenam jam 6.00 sore wib, lalu fajar muncul jam 04.00 wib. Berarti malam hari selama sepuluh jam, dan tengah malamnya adalah jam sebelas malam. 
2. sepertiga malam terakhir
Waktu sepertiga  malam terakhir adalah waktu yang sangat mulia, karena itu adalah waktu nuzul ilahi (turunya Alloh kelangit dunia) berdasarkan hadits :
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ - رضى الله عنه - أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ مَنْ يَدْعُونِى فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِى فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِى فَأَغْفِرَ لَهُ »
Dari Abu Huroiroh bahwasannya Rosululloh bersabda : “Tuhan kita turun  setiap malam  ke langit dunia saat sepertiga malam yang akhir dan berfirman : “Barang siapa yang minta kepadaku niscaya akan Aku kabulkan, barang siapa yang minta ampunan niscaya akan Saya ampuni.” (HR. Bukhori Muslim)
Lalu bagaimana kita menentukan sepertiga malam terakhir ? jawabnya : tidak berbeda dengan menentukan pertengahan malam. Yaitu waktu saat matahari terbenam sampai terbit fajar dibagi tiga, maka sepertiga yang terakhir itulah yang dimaksud dengan hadits ini. Wallohu a’lam.

3. dzikir pagi petang
Diantara syariat islam yang mulia adalah dzikir yang dibaca pada waktu pagi dan petang. Kapankah dzikir ini dibaca ?
Dzikir pagi dibaca setelah shubuh sampai sebelum terbitnya matahari, karena memang itulah waktu pagi dalam perhitungan waktu syar’I, sedangkan dzikir petang dibaca setelah ashar sampai sebelum terbenamnya matahari, karena itulah waktu sore. Adapun kalau dibaca sebelum shubuh, maka saat itu belum pagi tapi masih malam, demikian juga kalau dibaca setelah maghrib, maka itu sudah bukan lagi sore tapi sudah memasuki waktu malam. (Lihat al Wabilush shoyyib Ibnul Qoyyim : 121  dan al Adzkar An Nawawi  hlm :  198)
4.Waktu aqiqoh
Rosululloh mewajibkan aqiqoh untuk anak yang baru lahir. Satu kambing untuk anak wanita dan dua kambing untuk anak laki-laki. Dan itu dilakukan pada hari ketujuh pasca kelahiran anak.
Dalam sebuah hadits disebutkan :
عَنْ سَمُرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « الْغُلاَمُ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ يُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ وَيُسَمَّى وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ
Dari Samuroh berkata : Rosululloh bersabda : “Setiap anak tergadaikan dengan aqiqohnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, diberi nama dan dicukur rambut kepalanya.” (Shohih, HR. Abu Dawud : 2821, Ibnu Majah : 3165)
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ نَعُقَّ عَنِ الْغُلاَمِ شَاتَيْنِ وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةً.
Dari Aisyah berkata : Rosululloh memerintahkan kami untuk mengaqiqohi anak laki-laki dengan dua ekor kambing dan untuk anak wanita satu ekor kambing.” (Shohih,HR. Tirmidzi : 1549, Ibnu Majah : 3163)
Lalu bagaimana menghitung hari ketujuh ? cara menghitungnya : hari kelahiran dihitung sebagai hari pertama. Jika lahirnya hari senin, maka aqiqohnya hari ahad, jika lahirnya hari jumat maka aqiqohnya hari kamis. Dan untuk menentukan hari kelahiran, maka dikembalikan pada kaedah pergantian hari yang sya’ri sebagaimana yang telah kita singgung didepan, yaitu terbenamnya matahari.
5.wajib zakat fithri
Zakat fithri kewajiban setiap muslim dan muslimah.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ - رضى الله عنهما - قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ ، وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى ، وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ ، وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ
Dari Ibnu Umar berkata : Rosululloh mewajibkan zakat fithri berupa satu sho’ gandum atas hamba ataupun orang merdeka, laki-laki ataupun wanita, anak kecil ataupun orang dewasa dari kaum muslimin. Beliau memerintahkan untuk dikeluarkan sebelum keluarnya manusia sebelum keluar menuju sholat id.” (HR. Bukhori Muslim)
Ada khilaf dikalangan para ulama’ tentang kapan waktu wajib zakat fithri. Namun yang rojih insya Alloh bahwa waktu wajib menunaikan zakat fithri adalah terbenam matahari pada akhir romadhon. Ini madzhab syafiiyah dan hanabilah dan salah satu pendapat malikiyyah. 
Perhatikan sabda Rosululloh :
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلَى النَّاسِ صَاعًا
Dari Ibnu Umar bahwasannya Rosululloh mewajibkan zakat fithri dari romadhon berupa satu sho’ …” (HR. Muslim)
Fithri artinya adalah berbuka, maka makna dari hadits ini adalah zakat yang dibayar saat berbuka dari puasa romadhon. Dan sudah difahami bahwa berbuka dari puasa itu dengan terbenamnya matahari.
Atas dasar ini, maka :
-seseorang yang wafat setelah terbenamnya matahari hari terakhir romadhon, wajib untuk dibayarkan zakat fithrinya, karena dia masih hidup saat waktu wajibnya zakat fithri.
-Seseorang yang wafat sebelum terbenamnya matahari hari terakhir Romadhon, tidak wajib dibayarkan zakat fithrinya, karena dia telah meninggal dunia sebelum menemui waktu wajibnya zakat fithri.
-Bayi yang lahir sebelum terbenamnya matahari hari terakhir Romadhon, wajib dikeluarkan zakat fithrinya, karena dia menemui waktu wajibnya zakat fithri.
-Bayi yang lahir setelah terbenamnya matahari hari terakhir Romadhon, tidak wajib dikelaurkan zakat fithri baginya, karena saat waktu wajib zakat fithri dia belum ada didunia.
(Lihat mausuah fiqhiyyah kuwaitiyyah 23/340, Shohih fiqh sunnah 2/84). Wallohu a’lam   


Muhammad Said Aidi SH.I
Kepala Departemen Penelitian dan Pengembangan IPNU DKI Jakarta



Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 komentar:

 

Facebook Gue