Reaktualisasi Ruh Oraganisasi Pelajar IPNU

Senin, Januari 30, 2012

Proyeksi masa depan bangsa secara eksplisit tergambar dari tinggi-rendahnya kualitas pelajar. Tesis ini jamak diyakini dan terus didengungkan selama berabad-abad oleh hampir semua generasi di muka bumi. Pelajar sebagai kaum muda cendekia merupakan pewaris sejarah sekaligus cermin miniatural peradaban. Betapa tidak! Hasil dari proses belajar, tak hanya dalam arti definitif di bangku pendidikan formal, tetapi juga dalam arti luas berupa proses belajar dari pengalaman hidup, menjadi sandaran utama bagi tindaklanjut pembangunan bangsa (mental maupun fisik). Sebab siapa lagi yang akan meneruskan tahapan cita bangsa, jika bukan para kaum muda cendekia!

Karenanya, sumberdaya manusia para pelajar menjadi standar utama menilai sejauhmana kemajuan bangsa. Jika sumberdaya manusianya rendah, masa depan bangsa dalam kondisi terancam. Sebaliknya, jika kualitas sumberdayanya tinggi, maka masa depan bangsa dipastikan akan mengalami pencerahan. Inilah tanggungjawab besar yang musti diemban, bukan hanya oleh para generasi senior dalam mempersiapkan piranti bagi para juniornya, melainkan para pelajar sendiri.

Pelajar dituntut memperkaya diri dengan kelengkapan perangkat (complete tools) di tengah fluktuasi kehidupan yang serba rumit. Pelajar musti selalu menempa diri dengan pengalaman, keilmuan dan sikap mental kokoh agar menjadi “generasi paripurna” (Asy Syubban Al Kaafi). Sebuah generasi yang mampu menjawab pelbagai problem dengan tawaran konsep dan formula baru sesuai dengan konteks zamannya (zeitgeist).

Dalam situasi demikian, Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) sebagai representasi organisasi pelajar mempunyai tanggungjawab besar memerankan diri menjadi ruang aktualisasi dan tempat dinamika proses menuju terciptanya generasi paripurna. Hal ini tentu tak semudah membalik telapak tangan. Terlampau banyak halang rintang yang musti hadapi dan diselesaikan, baik problem internal organisatoris maupun permasalahan kepelajaran secara umum.

Sebagai organisasi kader NU, IPNU tentu berada di garda depan proses kaderisasi. Namun tak ayal, separuh abad lebih eksistensi IPNU di tengah dinamika organisasi kepelajaran dan kepemudaan disatu sisi dan berada di lingkup jam’iyah NU di sisi lainnya, ia tengah mengalami dilema. 

Pertama, tak tercukupinya diaspora pluralitas potensi kader dalam wadah organisasi. Musti diakui bahwa sesungguhnya pelajar NU mempunyai kekayaan potensi berlimpah. Namun karena kelemahan manajemen kaderisasi, maka tak sedikit dari mereka yang belum terwadahi di dalam struktural organisasi. Pada saat bersamaan, kerap terjadi kesenjangan antara IPNU dengan organisasi induknya: NU. Fenomena dibeberapa cabang dan wilayah kerap muncul kesalahpahaman antara keduanya.

Kedua, minimnya kreasi dan format gerakan. IPNU masih kerap terstigma sebagai organisasi pelajar “sarungan” yang kurang begitu laku dihadapan para pelajar NU yang notabene berada di sekolah favorit. Di sini, strategi dinamisasi program dan agenda kontekstual dengan kepeminatan pelajar dan remaja harus kian diperkaya agar menyentuh keseluruhan kader, tidak melulu pelajar di madrasah, melainkan juga pelajar di sekolah-sekolah umum.

Ketiga, yang tak kalah pentingnya, IPNU dihadapkan pada simalakama antara idealisme IPNU dengan realitas politik yang melingkupinya. Dalam perjalanannya, idealitas peningkatan sumberdaya kader Nahdliyin sebagai ruh pendirian IPNU­ hampir selalu berada dalam satu tarikan nafas politik yang melingkupinya. Tarik-menarik antara idealitas IPNU sebagai organisasi kekaderan NU, dalam maknanya yang luas, dengan kecenderungan berpolitik praktis (baca: insting politik) elit-elit IPNU di tingkat lokal, regional, maupun nasional terus berlangsung sejak awal berdirinya hingga saat ini. Bahkan, pasca 1998, setelah PBNU menfasilitasi pendirian PKB, diakui atau tidak, konsentrasi kader IPNU juga banyak yang tersedot ke ranah politik praktis. Pada helat Pemilu beberapa waktu lalu misalnya, tak sedikit kader IPNU yang secara “agak genit” mendaftarkan diri sebagai calon anggota legislatif (caleg). Bukan berarti bahwa politik selalu bermakna negatif, namun kecenderungan politis ini, diakui atau tidak, mengganggu konsentrasi kaderisasi. Paling tidak, ia melahirkan implikasi ganda. Di satu sisi, terjadi stagnasi organisasi. langkah-langkah reorientasi organisasi tetap berjalan, tetapi hanya bersifat simbolik dan superfisial, belum menyentuh kedalam substansinya. Di sisi lain, sebagai salah satu akibat menguatnya insting politik tersebut, program dan aktifitas IPNU lebih mencerminkan kebutuhan struktural daripada kebutuhan kelompok sasaran (target group). Tentu masih banyak tantangan IPNU yang semestinya mendorong para kadernya untuk segera berbenah, baik secara organisatoris maupun individual.

Selanjutnya, IPNU juga diperhadapkan pada masalah kepemudaan dan pelajar secara umum. Kita dapat membayangkan betapa kompleks persoalan pemuda yang harus direspon dan disikapi oleh IPNU. Membuat tabulasi betapa kompleksitas persoalan pelajar dan pemuda di tanah air, kiranya tak cukup dalam satu-dua jilid buku. Mari berhitung! Mulai dari maraknya kekerasan pelajar (tawuran), pergaulan bebas, pemakaian narkoba, dan masih banyak lainnya. Kesemuanya merupakan bentuk dari krisis eksistensi. Krisis eksistensi bukan persoalan sepele. Ia dapat terekspresikan dalam beragam bentuk penyimpangan perilaku.

Nah, celah inilah yang lantas dimanfaatkan oleh kaum radikalis Islam untuk merekrut mereka menjadi “pengantin” aksi-aksi terorisme. Perembesan ideologi radikal di tengah kaum pelajar ini tentu tak berbanding lurus dengan orientasi pembelajaran dan penataan pola pikir, perilaku dan sikap mental. Fenomena ini juga menjadi “pekerjaan rumah” bagi IPNU untuk menyadarkan mereka dengan pelbagai program konstruktif yang ada.

Organisasi Pembelajar dan Adaptasi Global
Serangkaian problem diatas akan mampu diatasi jika IPNU mampu memposisikan diri sebagai organisasi pembelajar (learning organization). Konsep organisasi pembelajar (OP) dipopulerkan oleh Peter Senge (1995) dalam the fifth dicipline. Organisasi pembelajar merepresentasi karakteristik yang kuat pada setiap anggota organisasi. Dalam organisasi pembelajar, yang diperlukan bukan hanya menghasilkan produk, tapi juga melakukan peningkatan dan terobosan-terobosan. Disini dibutuhkan pemahaman utuh tentang makna “pembelajaran”.

Secara substansial, pembelajaran pada intinya adalah menjadikan manusia menjadi sangat manusiawi (humanis). Melalui pembelajaran kita dapat melakukan sesuatu yang tidak pernah dapat kita lakukan sebelumnya. Melalui pembelajaran kita merasakan kembali dunia dan hubungan kita dengan dunia tersebut. Melalui pembelajaran kita memperluas kapasitas kita untuk menciptakan, menjadi bagian dari proses pembentukan kehidupan.

Pandangan ini tidak jauh berbeda dengan pesan moral yang terkandung dalam salam kebanggaan warga IPNU, "Belajar, Berjuang, Bertaqwa". Bukankah dengan hal itu seorang manusia akan benar-benar menjadi manusiawi (humanis)? Dan bukankah salah satu raison d'tre IPNU adalah untuk mengisi "ruang kosong" system pendidikan, baik system pendidikan "sekular" (baca:sekolah umum) maupun agamis (baca: pesantren)?

Dalam perspektif inilah sebenarnya reorentasi dan reposisi itu harus dipahami. Artinya, ke depan, IPNU harus bisa mengisi "ruang kosong sistem pendidikan yang semakin kapitalistik dan cenderung menjadikan peserta didik menjadi "robot-robot" yang diproduksi untuk memenuhi kebutuhan pasar.

IPNU juga harus mampu mengeliminir problem rendahnya relevansi dan alienasi sekolah (baca: pendidikan) dari kehidupan nyata. Salah satunya dilakukan dengan memposisikan diri menjadi pusat pembelajaran allternatif di tengah fenomena komersialisasi pendidikan yang semakin mempersempit kesempatan bagi anak-anak dari keluarga miskin untuk mendapatkan pendidikan yang layak.

Dalam konteks kekinian, reposisi dan reorientasi itu setidaknya harus didasarkan pada pembacaan terhadap tiga konteks makro berikut: pertama, tahun 2010 menjadi titik awal dari liberalisasi pasar di tingkat asia pasifik yang ditandai dengan diberlakunya ASEAN China Free Trade Area (ACFTA). Dengan diberlakunya ACFTA, tingkat kompetisi (competitiveness) di pasar kerja tingkat asia pasifik pun akan semakin ketat. Hanya individu yang mempunyai kualitas sumberdaya manusia (SDM) unggul yang akan memenangkan persaingan di pasar kerja tersebut.

Kedua, menghadapi situasi tersebut, sangat memprihatinkan tatkala kita menyaksikan bahwa hasil penelitian United Nations Development Programme (UNDP) menunjukkan indeks pembangunan manusia atau Human Development Index (HDI) Indonesia pada tahun 2009 masih berada diurutan ke-110 dari 173 negara yang diteliti. Dibandingkan dengan Negara-negara ASEAN lainnya, posisi Indonesia jauh di bawah Filipina (peringkat ke-77), Thailand (peringkat ke-70), Malaysia (peringkat ke-59), Brunei. Darussalam (peringkat ke-32) dan singapura (peringkat ke-25). Yang harus dicatat, salah satu indikator HDI adalah tingkat pendidikan penduduknya.

Ketiga, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (Information And Communication Technology) menyebabkan semakin mudah dan akses informasi melalui berbagai media, baik cetak maupun elektronik (radio, televisi, VCD, internet). Hal ini berdampak pada menipisnya batas-batas kultural antar negara yang memunculkan sebuah "dunia tanpa batas" (Borderless Wold). Invasi kultural yang datang dari berbagai penjuru dunia, dalam beberapa atau banyak hal, tidak sesuai dengan kultur Nahdliyin.

Di sinilah skenario "jalan alternatif" menemukan relevansi dan urgensinya. Dunia berubah dengan cepat, tetapi sebagai organisasi, IPNU sangat lamban belajar (too slow), sangat sedikit belajar (too little), dan sangat terlambat belajar (too late). Selama beberapa dekade, IPNU sangat jarang melahirkan inovasi-inovasi yang mampu menjawab tantangan zaman dan memenuhi kebutuhan kelompok sasarannya.

Formulasi Strategis
Nyatalah bahwa menjadikan IPNU sebagai organisasi pembelajar untuk menciptakan hadirnya masyarakat pembelajar (learning society) merupakan sebuah keniscayaan. Untuk itu, IPNU paling tidak harus mempunyai formula yang mampu mendorong diri sebagai wadah terciptanya kader paripurna dari kawah candradimuka organisasi pembelajar. Terdapat minimal lima formulasi strategis yang semestinya dijadikan acuan bagi perjalanan IPNU hingga tiga tahun kedepan.

Pertama, Penataan kelembagaan. Hal ini merupakan faktor kunci dalam penciptaan sinergi antara berbagai pelaku di internal organisasi. Selama ini, masih terdapat kesenjangan antara berbagai level yang menunjukkan tidak adanya standar sistem rekrutmen yang berakibat pada lemahnya control terhadap jalannya organisasi.

Kedua, Pengembangan Sistem kaderisasi. Harus diakui, selama satu setengah dekade terakhir kaderisasi yang dilaksanakan cenderung didesain sebagai strategi survival organisasi. Sebagai akibatnya, sistem kaderisasi yang dikembangkan tidak bisa menciptakan kritisisme dan kepekaan kader terhadap lingkungan sosial yang dihadapinya. Sebagai jawaban atas adanya kecenderungan untuk semakin bersikap rasional dan kritis, pengembangan sistem kaderisasi ke depan harus dilakukan untuk menjawab tuntutan tersebut.

Ketiga, Penciptaan Forum-forum pembelajaran Alternatif. Kebijakan Pendidikan nasional telah menyebabkan terjadinya proses dehumanisasi. Sistem pendidikan nasional telah menciptakan keterasingan peserta didik dari kehidupan nyata. Pendidikan yang semestinya berorientasi pada pengembangan nalar peserta didik dan pembentukan karakter telah berubah menjadi pembentukan manusia-manusia mekanik.

Keempat, Demokratisasi sistem pendidikan, kebijakan pendidikan selama ini hanya menjadikan peserta didik sebagai objek pendidikan yang tidak diberi kebebasan dan ruang partisipasi dalam menentukan pilihan yang terbaik bagi diri sendiri. Salah satu wujud paling aktual adalah diberlakukannya aturan penyeragaman organisasi kepelajaran di tingkat sekolah yang tidak menghargai pluralitas latar belakang peserta didik.

Kelima, Pengembangan pola penggalian dana dan pengelolaannya agar dapat menjamin pembiayaan program organisasi yang memenuhi prinsip-prinsip Transparansi dan Akuntabilitas.

Pada akhirnya, tawaran konstruksi ide dan desain konseptual ini kiranya dapat menjadi sepercik air dingin yang mampu menghilangkan dahaga kita bersama di tengah kegersangan realitas sosial, agama, ekonomi dan politik yang kita hadapi saat ini. Kami berharap secuil gagasan ini dapat menggugah kesadaran kita, para kader pembelajar, agar mampu memajukan NU, bangsa dan agama, sesuai dengan semboyan organisasi yang kita cintai ini: “Belajar, Berjuang, dan Bertaqwa”. Wallahul Muawffiq ilaa Aqwamitthariq


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 komentar:

 

Facebook Gue