Mengungkap the Da Vinci Code

Selasa, Juli 19, 2011


The Da Vinci Code merupakan salah satu buku novel yang terlaris dalam dekade ini. Di dalam jangka waktu tiga tahun, sejak diterbitkan pada tahun 2003, di seluruh dunia buku ini telah terjual lebih dari 40 juta eksemplar! Untuk memahami kelarisan dari buku novel tulisan Dan Brown ini coba bayangkan bila jumlah tersebut didistribusikan di seluruh Indonesia. Jumlah tersebut sama dengan bahwa setiap rumah tangga di Indonesia, yang banyaknya sekitar 40 juta keluarga masing-masing memiliki sebuat buku tersebut.

Buku yang sangat laris ini tentu dapat membawa dampak terhadap pola pikir masyarakat, dampak yang diharapkan secara jelas dituliskan pada sampul depan edisi bahasa Indonesianya, yaitu “memukau nalar, mengguncangkan iman!” Dampak yang di dalam edisi bahasa Inggrisnya tidak dicantuimkan ini dapat semakin membesar dengan diangkatnya buku tersebut ke layar lebar. Film yang dibintangi oleh Tom Hanks, seorang aktor Hollywood yang sangat terkenal, ini diluncurkan secara serempak di seluruh duinia pada tanggal 19 Mei 2006.


Hujatan terhadap pokok-pokok iman Kristiani

Harapan untuk mengguncangkan iman tersebut adalah karena buku novel yang dalam edisi bahasa Indonesianya setebal 624 halaman ini secara terang-terangan berisi hujatan terhadap pokok-pokok iman Kristiani. Hujatan tersebut antara lain dengan menegahkan pandangan si penulis bahwa:

  1. Yesus bukanlah Tuhan namun adalah seorang manusia biasa. Kaisar Konstantin dari kerajaan Romawilah yang menjadikan Yesus sebagai Tuhan melalui konsili Nicea pada tahun 325 demi kepentingan politiknya.
  2. Kitab Prerjanjian Baru yang digunakan oleh orang Kristen saat ini adalah himpunan dari kitab-kitab yang disusun oleh Kaisar Konstantin melalui konsili Nicea. Sedangkan kittab-kitab suci yang benar, yaitu yang digunakan oleh para pengikut Yesus yang asli, justru telah dibakar berdasarkan keputusan konsili tersebut sebab kitab-kitab tersebut berisi ‘kebenaran’ yang sesungguhnya, yaitu bahwa Yesus adalah seorang manusia biasa dan bukan Tuhan.
  3. Yesus menikah dengan Maria Magdalena dan memiliki seorang putri. Maria terpaksa harus mengungsi ke Perancis, berlindung di antara masyarakat Yahudi dan melahirkan anaknya di sana. Hal ini antara lain dikarenakan rasul Petrus merasa cemburu sebab Maria Magdalena, sebagai seorang perempuan, telah dipilih oleh Yesis untuk menjadi kepala gereja.

Untuk mengemukakan hujatannya tersebut sang penulis dengan sangat licin telah memadukan:
  1. Cerita-cerita khayalan, fiksi
  2. Fakta-fakta sejarah
  3. Data yang titak akurat dan tafsiran yang melenceng terhadap beberapa fakta sejarah
  4. Keyakinan teologisnya yang bersifat anti Kristen

Karena keempat hal tersebut dijalin secara rapi di dalam sebuah tulisan yang rancak dan dengan setting cerita thriller yang menarik, menegangkan serta penuh kejutan, maka dengan mudah orang terhanyut di dalam alur cerita tanpa lagi dapat membedakan mana yang fakta dan mana yang fiksi. Akibatnya bagi orang yang tidak mengerti sejarah gereja dengan mudah akan terperangkap ke dalam jerat keyakinan teologis sang penulis. Bahkan lebih jauh lagi, orang dapat terbawa kepada ajaran sang penulis yang mendukung ajaran-ajaran kafir, seperti memandang hubungan seksual bebas sebagai sarana untuk berhubungan dengan Tuhan.


Ringkasan plot cerita

Buku ini diawali dengan kisah pembunuhan terhadap seorang kurator, atau ahli benda-benda seni, dari sebuah museum terkenal di kota Paris, Museum Louvre. Kurator yang bernama Jacques Sauniere ini dibunuh di dalam Museum Louvre oleh seorang biarawan yang bernama Silas.

Biarawan yang berkulit albino ini membunuh Jacques demi mendapatkan rahasia tentang batu kunci Priory of Sion. Bagi Silas batu kunci ini sangat penting karena memuat informasi tentang letak dari Cawan Kudus (Holy Grail), yaitu cawan yang digunakan oleh Yesus dalam perjamuan kudus bersama dengan para murid-Nya. Sebelum meninggal Jacqes sempat memberikan beberapa petunjuk sandi yang mengakibatkan Robert Landon, seorang ahli ilmu simbol dari Harvard University terlibat di dalam lika-liku penyelidikan tentang rahasia kematiannya.

Di dalam melakukan penyelidikan Robert Landon bekerjasama dengan Sophie Neveu, cucu perempuan dari Jacques Sauniere, yang adalah seorang ahli ilmu sandi pemerintah Perancis. Sementara berusaha memecahkan sandi-sandi yang ditinggalkan oleh Jacques, mereka berdua harus terus-menerus melarikan diri dari kejaran Kapten Bezu Fache, seorang polisi penyelidik kriminal Perancis dan Silas, biarawan albino pembunuh Jacques. Kapten Bezu berusaha untuk menangkap mereka berdua karena ingin menangkap si pembunuh Jacques. Sedangkan Silas, yang adalah seorang anggota dari Opus Dei, sebuah organisasi rahasia Gereja Katolik, berusaha untuk menangkap mereka karena ditugaskan oleh pemimpin Opus Dei untuk menyelamatkan Gereja Katolik dari kehancuran.

Di pertengahan cerita Robert Landon dan Sophie Neveu berjumpa dengan Sir Leigh Teabing, seorang pakar dan ilmuwan tentang rahasia Cawan Kudus. Ia memaparkan kepada Sophie tentang pelbagai “rahasia gereja”, antara lain bahwa Yesus sesungguhnya adalah seorang manusia biasa yang menikah dengan Maria Magdalena. Demi kepentingan politiknya maka Kaisar Konstantin yang Agung dari kerajaan Romawi telah menetapkan Yesus sebagai Tuhan melalui sebuah sidang gereja, atau konsili, yang diselenggarakan di kota Nicea pada tahhun 325. di dalam konsili tersebut semua kitab-kitab suci yang benar, yang menyatakan bahwa Yesus adalah manusia biasa, dilarang dan dibakar. Sedangkan para pengikut Yesus yang asli, yaitu mereka yang tidak mempercayai ketuhanan Yesus ditetapkan sebagai kaum bidat, atau heretic, yang harus dimusnahkan.

Lebih jauh lagi Teabing menjelaskan bahwa Leonardo Da Vinci, yang adalah seorang anggota serikat rahasia Priory of Sion mengetahui rahasia tentang pernikahan Yesus dengan Maria Magdalena tersebut melalui lukisannya yang sangat terkenal, yaitu The Last Supper, Perjamuan Malam yang Terakhir, di mana ia melukiskan suasana perjamuan Paskah sebelum Yesus ditangkap. Di dalam lukisan tersebut ia menyembunyikan beberapa kode yang menunjukkan bahwa Maria Magdalena adalah istri dari Yesus.

Kode-kode tersebut antara lain adalah tidak adanya gambar Cawan Suci pada lukisan tersebut. Gambar orang yang duduk di sebelah kanan Yesus, yang diyakini para ahli sejarah seni sebagai gambar dari rasul Yohanes, sesungguhnya adalah gambar seorang wanita, yaitu Maria Magdalena. Posisi tubuh Yesus dengan Maria Magdalena di dalam lukisan tersebut membentuk huruf V, supaya orang yang mencari-cari gambar Cawan Suci akan menangkap kode huruf V ini dan mengetahui bahwa sesungguhnya Maria Magdalenalah Sang Cawan Suci yang sedang mereka cari.

Teabing menjelaskan kepada Sophie bahwa huruf V merupakan simbol dari cawan yang juga merupakan simbol dari seorang perempuan. Itu sebabnya mengapa Leonardo memakai Cawan Suci sebagai kode utamanya karena ia ingin memberitahu bahwa antara Yesus dan orang yang duduk di sebelah kanan-Nya, yaitu Maria Magdalena, telah terjadi perkawinan. Ia juga ingin memberitahukan betapa bencinya rasul Petrus kepada Maria Magdalena, sebab Maria telah dipercaya oleh Yesus untuk memimpin geereja. Kebencian tersebut, kata Teabing, digambarkan dalam lukisan tersebut melalui wajah Petrus yang penuh amarah sementara jari tangannya diarahkan ke leher Maria Magdalena.

Di dalam ceramahnya Teabing juga menjelaskan bahwa Gereja Katolik melalui perangkat-perangkat rahasianya telah melakukan suatu konspirasi untuk menutupi fakta dari Yesus yang sesungguhnya, yaitu sebagai manusia biasa. Ia mengatakan bahwa sebenarnya Vatikan mengatahui kebohongan tentang ajaran Yesus sebagai Tuhan, namun mereka menyembunyikan hal tersebut demi mempertahankan kekuasaan gereja.

Kejutan di akhir cerita adalah saat terungkap bahwa ternyata justru Teabinglah tokoh kunci yang secara rahasia mendalangi pencarian batu kunci Priory of Sion yang mengakibatkan terbunuhnya Jacques Sauniere. Di samping itu juga terungkap bahwa Sophie Nevue adalah keturunan dari Maria Magdalena dari perkawinannya dengan Yesus.


Fakta dan Fiksi

Seperti yang saya kemukakan di atas, Dan Brown, penulis novel The Da Vinci Code, dengan sangat licin telah menjalin antara beberapa fakta dan fiksi, atau kisah khayal, secara sedemikian rupa sehingga orang yang tidak mengerti sejarah gereja tidak akan dapat membedakan bagian mana yang merupakan fakta dan yang merupakan fiksi. Akibatnya pembaca buku tersebut dapat menanggap bagian-bagian fiksi sebagai fakta. Tujuannya adalah, sama seperti kalimat pada sampul edisi bahasa Indonesianya, agar mereka akan terpukau nalarnya dan terguncang imannya.

Pelbagai fakta yang disisipkan oleh Dan Brown dalam novel fiksinya ini antara lain adalah:
  1. Detil dari ruangan museum Louvre, tempat di mana kisah dalam novelnya dimulai, dan detil dari kapel Rosslyn di Skotlandia yang di dalam novel tersebut dikatakan sebagai tempat disimpannya cawan yang digunakan oleh Yesus dalam perjamuan malam terakhir bersama pada murid-Nya.
  2. Penyelenggaraan konsili Nicea yang dilaksanakan atas permintaan Kaisar Konstantin di mana antara lain ditetapkan bahwa para pengikut Arius yang tidak mempercayai keilahian Yesus sebagai bidat.
  3. Kedangkalan kekristenan Kaisar Konstantin, sehingga misalkan ia hanya mau dibaptis menjelang saat kematiannya, dan diserapnya beberapa praktika agama kafir ke dalam kehidupan gereka khususnya sejak Kaisar Konstantin mengeluarkan etik toleransi pada tahun 313. Etik toleransi ini memang di satu sisi bersifat positif bagi orang Kristen karena penganiayaan terhadap mereka dihentikan, namun di sisi lain bersisi negatif sebab telah mengakibatkan gereja mengalami kemerosotan spiritual sehingga terjerumus ke dalam abad-abad kegelapan.
  4. Sebagaimana detil dari lukisan The Last Supper yang merupakan karya dari Leonardo Da Vinci yang ia lukiskan pada dinding gereja Santa Maria delle Grazie di kota Milan, Italia, pada tahun 1495 dan terselesaikan pada tahun 1498.
  5. Keberadaan dari serikat Priory of Sion dan Opus Dei yang memang merupakan lembaga-lembaga yang merupakan organisasi di dalam lingkup Gereja Katolik. Hanya saja perlu dicatat bahwa lembaga-lembaga tersebut didirikan bukan untuk melakukan kegiatan-kegiatan rahasia seperti yang dituliskan oleh Dan Brown.

Di luar fakta-fakta tersebut  bagian yang lain dari buku tersebut hanyalah berisi fiksi, alias khayalan dari Dan Brown sendiri, serta data-data yang tidak akurat dan tafsiran yang melenceng dari fakta-fakta yang sesungguhnya. Namun seperti yang telah saya sampaikan di atas, karena Dan Brown menyajikan semua hal tersebut dengan gaya bahasa yang meyakinkan, maka orang yang tidak menggunakan nalarnya secara kritis akan menganggap bahwa fiksi, data yang tidak akurat dan tafsir yang melenceng tadi juga merupakan fakta-fakta yang benar. Akibatnya dengan mudah mereka terperangkap ke dalam alur pikir Sophie, tokoh dalam novel ini, saat ia terpengaruh oleh ceramah Leigh Teabing, yang sesungguhnya adalah indoktrinasi Dan Brown dalam menghujat Tuhan.

Sebaliknya apabila data-data yang tidak akurat dam tafsir yang melenceng tersebut diungkapkan, dan pada saat yang sama beberapa bagian fiksi dalam buku tersebut ditunjukkan, maka dengan mudah orang yang berpikiran jernih dan obyektif akan dapat melihat kelicinan dan kesalahan dari pandangan Dan Brown dan sekaligus akan melihat kebenaran pokok-pokok iman Kristiani.
Benarkah Konsili Nicea yang mengangkat Yesus sebagai Tuhan?

Jauh sebelum Konsili Nicea yang diselenggarakan pada tahun 325, gereja pada zaman para rasul, atau gereja mula-mula, telah mengajarkan bahwa Yesus adalah Tuhan. Ajaran ini selaras dengan apa yang disampaikan Yesus Kristus sendiri tentang diri-Nya kepada para murid-Nya, misalkan seperti yang dicatat di dalam Injil Matiius 16:13-20.

Beberapa bukti dari keyakinan gereja mula-mula ini dapat dilihat antara lain di dalam kitab Didache, yang ditulis sebelum tahun 100. Di dalam buku yang pada intinya berisi ajaran tentang praktika ibadah Kristiani ini secara jelas dituliskan pokok iman Kristiani, yaitu bahwa Yesus adalah Tuhan. Contoh yang lain adalah tulisan-tulisan dari Yustinus Martir, bapa gereja dan apologet terkemuka pada awal abad kedua. Di dalam tulisannya yang dua abad sebelum, Konsili Nicea tersebut Yustinus telah menegaskan keilahian dari Yesus Kristus.

Bukti yang lain adalah ajaran dari Irenaeus, uskup dari Lungdunum yang sangat terpandang pada awal abad kedua, yang mengacu kepada tulisan dalam 1 Korintus 8:6, yang berbunyi: “Namun bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa, yang daripada-Nya berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup, dan satu Tuhan saja, yaitu Yesus Kristus.”

Dengan kata lain, ajaran bahwa Yesus adalah Tuhan sama sekali bukanlah ide dari Kaisar Konstantin yang dalam agenda politiknya bermaksud untuk menyatukan kaum kafir dengan pemeluk agama Kristen di negara Romawi dengan mencampurkan ajaran kafir dan Kristen melalui konsili Nicea.

Memang benar di dalam konsili tersebut dirumuskan syahadat, kredo atau pengakuan iman Kristiani, namun isi pengakuan iman tersebut bukanlah pemasukan ajaran-ajaran baru yang bersumber dari ajaran kafir ke dalam ajaran Kristiani. Kredo yang dirumuskan di sana merupakan penegasan dari inti ajaran Kristiani yang sudah ada tiga abad sebelumnya. Penegasan ini dinilai perlu untuk dirumuskan karena pada masa itu muncul suatu ajaran baru yang dikembangkan oleh Arius, seorang teolog dari Aleksandria, sebuah kota di Mesir, yang menyangkali keilahian Yesus.

Dan Brown melalui mulut tokoh yang ia ciptakan, Teabing, berkata bahwa di dalam Konsili Nicea telah dilakukan voting, pengambilan suara, untuk menentukan apakah Yesus adalah Tuhan atau manusia. Ia mengatakan bahwa voting tersebut menghasilkan suara yang hampir seimbang di antara pendukung dan penentang ajaran Yesus sebagai Tuhan. Di dalam realita sejarah, saat dilakukan pemungutan suara, dari ketiga ratus uskup yang menghadiri konsili tersebut hanya dua orang saja yang menentang keilahian Yesus. Sungguh jauh dari apa yang disebut oleh Dan Brown sebagai suara hampir seimbang! Padahal kebanyakan dari para uskup yang hadir berasal dari wilayah Timur, daerah tempat di mana Arius menyebarkan ajarannya.


Benarkah Kaisar Konstantin yang menyusun kitab-kitab Perjanjian Baru melalui Konsili Nicea?

Dan Brown sangat benar saat ia menulis bahwa “Alkitab tidak datang dengan cara difaks dari surga.” Sebab memang kekristenan tidak pernah mengajarkan bahwa setiap kata dan kalimat di dalam Alkitab didikte dari surga kepada para penulisnya sama seperti seorang manager yang mendiktekan surat untuk diketik oleh sekertarisnya di kantor. Tetapi Dan Brown sangat keliru saat mengatakan bahwa Konstantinlah yang menyusun dan memilih kitab Injil mana yang boleh dimasukkan ke dalam Perjanjian Baru melalui Konsili Nicea. Ia menulis bahwa Konstantin telah memilih kitab-kitab yang membuat Yesus seakan adalah Tuhan, sedangkan semua kitab Injil yang berbicara tentang segala perilaku manusiawi Yesus dikumpulkan lalu dibakar.

Kekeliruan Dan Brown ini adalah karena ia menyembunyikan fakta sejarah bahwa sesungguhnya daftar yang baku, atau kanon, dari kitab-kitab Perjanjian Baru sudah tersusun dua abad sebelum Konsili Nicea. Salah satu kanon yang paling terkenal adalah kanon Muratorian yang disusun pada tahun 190. Di dalam kanon ini dicantumkan dua puluh sembilan kitab dan surat Perjanjian Baru, dua puluh tujuh kitab di antaranya sama persis dengan kanon Kitab Perjanjian Baru yang ada saat ini, dengan dua tambahan yaitu kitab Wahyu kepada Petrus dan kitab Hikmat Salomo. Pada masa berikutnya para bapa gereja mengeluarkan kedua kitab tersebut dari kanon Perjanjian Baru karena dipandang isinya tidak setara dengan kitab-kitab kanonik. Kanon yang lain adalah tulisan dari Irenaeus pada awal abad kedua yang mendaftarkan keempat Injil dalam Perjanjian Baru yang ada sekarang sebagai kitab suci.

Yang benar, di dalam Konsili Nicea tidak disusun kanon Perjanjian Baru, tetapi diperdebatkan keabsahan dari beberapa kitab yang ada di dalam kanon Perjanjian Baru, khususnya yaitu kitab Ibrani dan Wahyu. Alasan perdebatan tersebut adalah karena di dalam kedua kitab tersebut tidak dicantumkan nama sang penulis kitab secara eksplisit seperti yang ada pada kitab-kitab Perjanjian Baru yang lainnya. Bagi para pemimpin gereja di abad mula-mula kejelasan nama dari penulis kitab atau surat sangat menentukan demi memastikan kekokohan dari kanon.

Lebih lanjut Dan Brown mengatakan bahwa kumpulan kitab-kitab Injil yang sejati yang coba dimusnahkan oleh Kaisar Konstantin ada yang berhasil diselamatkan. Kumpulan tersebut ditemukan kembali di gua Qumran dekat Laut Mati pada tahun 1950-an, yaitu Dead Sea Scrolls, dan gulungan kitab di Nag Hammadi pada tahun 1945. Memang benar di kedua tempat tersebut telah ditemukan gulungan-gulungan kitab seperti yang ia tulis, namun adalah suatu kesalahan besar bila dikatakan bahwa gulungan-gulungan tersebut berisi kitab Injil yang sejati!

Dead Sea Scrools sama sekali tidak berisi sepotongpun kitab yang disebut sebagai Injil. Sebaliknya Dead Sea Scrools berisi fragmen-fragmen dari kitab-kitab Perjanjian Lama yang isinya sangat persis dengan kitab Perjanjian Lama yang ada saat ini. Hal ini justru membuktikan keakuratan isi kitab Perjanjian Lama dalam Alkitab. Di samping fragmen-fragmen tersebut, di dalam Dead Sea Scrolls juga ditemukan catatan-catatan tentang aturan kehidupan kaum petapa Essenes, suatu kelompok agama Yahudi sebelum masa agama Kristen.

Sedangkan isi kitab-kitab di dalam gulungan Nag Hammadi sangat jauh untuk dapat dikatakan sebagai Injil yang sejati. Kitab-kitab tersebut disebut sebagai kitab Gnostik, Gnostik adalah aliran kebatinan yang mulai muncul di gereja sejak awal abad kedua. Kitab-kitab dalam gulungan Nag Hammadi tersebut ditulis oleh pengikut aliran ini pada akhir abad kedua sampai dengan abad kelima, bukan pada zaman para rasul! Kitab-kitab tersebut berisi dongeng dan mitos khas kaum Gnostik, mutu etikanya kelewat sangat rendah dan sangat bertentangan dengan doktrin Perjanjian Lama tentang pribadi Allah sebagai Pencipta Langit dan Bumi, sehingga oleh gereja mula-mula sama sekali tidak dipandang sebagai kitab yang suci.


Benarkah Yesus menikah dengan Maria Magdalena?

Kesimpulan dari Dan Brown ini tidak memiliki bukti ilmiah yang kuat, sebab tidak ada satupun naskah pada zaman para rasul dan bapa-bapa gereja yang mencatat bahwa Yesus pernah menikah. Untuk mendukung pernyataannya tersebut Dan Brown telah menggunakan tiga “bukti”. Namun bila kita menelitu tiga “bukti” yang dipakai oleh Dan Brown dengan mudah kita dapat melihat bahwa kesimpulan yang ia buat adalah kesimpulan yang gegabah.

Bukti pertama yang digunakan oleh Dan Brown adalah lukisan The Last Supper karya Leonardo Da Vinci. Tanpa dasar yang kelas ia mengatakan bahwa gambar orang yang berwajah halus, sehingga mirip seorang wanita, yang sedang duduk di sebelah kanan Yesus di dalam lukisan tersebut adalah Maria Magdalena! Lebih jauh lagi untuk membuktikan pendapatnya bahwa Yesus telah menikahi “Maria Magdalena” tersebut, Dan Brown telah menggunakan metode otak-atik gathuk, suatu istilah bahasa Jawa yang berarti “diotak-atik supaya jadi cocok”. Dalam hal ini ia mengotak-atik detil di dalam lukisan tersebut sedemikian rupa supaya cocok untuk mendukung pernyataannya. Hanya saja ia tidak menyebutkan suatu fakta dalam dunia seni bahwa para pelukis abad pertengahan, yaitu zaman di mana Leonardo da Vinvi hidup, sering melukiskan seorang pria yang masih berusia belia dengan wajah kewanita-wanitaan. Hal yang sama pulalah yang dilakukan oleh Leonardo Da Vinci saat melukiskan wajah Yohanes, murid termuda dari Yesus Kristus di dalam lukisannya The Last Supper di atas.

Bukti yang kedua yang ia gunakan adalah pendapatnya bahwa dalam kepantasan sosial pada zaman Yesus Kristus adalah terlarang bagi seorang lelaki Yahudi untuk tidak menikah. Menurut dia, dalam adat Yahudi tidak menikah itu adalah hal yang terkutuk. Jelas pernyataan ini sama sekali tidak berdasar, sebab merupakan fakta sejarah bahwa ada banyak pria Yahudi pada zaman itu yang menjadi nazir, yang karena alasan keyakinan keagamaan ada di antara mereka yang tidak menikah. Sebagai contoh adalah kaum Essenes yang menyimpan gulungan kitab Dead Sea Scrolls di atas. Di samping itu merupakan suatu fakta pula bahwa orang Yahudi sangat menghormati tokoh-tokoh di dalam Perjanjian Lama yang tidak menikah, seperti nabi Daniel, yang adalah seorang sida-sida Yahudi di negara Babilonia.

Bukti ketiga yang ia gunakan adalah Injil Philip yang menyebutkan bahwa Yesus mencintai Maria Magdalena lebih dari pada seluruh murid-Nya dan Yesus sering mencium Maria. Patut diketahui bahwa yang disebut sebagai Injil Philip sesungguhnya sama sekali bukan kitab Injil, melainkan sebuah kitab Gnostik yang ditulis sekitar pada abad ketiga. Kitab ini disebut sebagai Injil Philip bukan karena ia ditulis oleh Rasul Filipus, tetapi karena di dalam kitab Gnostik tersebut tidak disinggung nama rasul-rasul Tuhan Yesus yang lain, kecuali hanya nama Rasul Filipus. Dan Brown juga tidak menyebutkan bahwa Injil Philip yang ditemukan dalam gulungan Nag Hammadi tersebut tidak ditulis di dalam bahasa Yunani ataupun berlatar belakang bahasa Yunani sebagaimana layaknya kitab-kitab Perjanjian Baru, namun di dalam bahasa Koptik, yaitu bahasa Mesir dan dengan latat belakang bahasa Siria!


Kesimpulan

Sejak dari saat gereja berdii dua ribu tahun yang lampau serangan terhadap pokok-pokok iman Kristiani sudah berlangsung tanpa henti, serangan tersebut baik dari kelompok bidat di dalam gereja sendiri, maupun dari orang-orang yang tidak mempercayai bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan dan Juru Selamat manusia. Dengan kata lain, hujatan di dalam buku The Da Vinci Code sesungguhnya bukanlah hal yang baru. Hanya saja kali ini hujatan ini menjadi meluas karena ditunjang dengan sistem promosi dan pemasaran yang sangat canggih yang tentu akan mendatangkan keuntungan finansial yang luar biasa besarnya bagi pihak penulis dan penerbit buku ini. Di samping itu juga karena di wilayah-wilayah tertentu di dunia buku ini dipopulerkan oleh pribadi-pribadi yang tidak menginginkan terbangunnya kerukunan umat beragama di tengah masyarakat.

Mengapa orang Kristen tidak menanggapi hujatan di dalam buku The Da Vinci Code dengan amarah yang membabi-buta dan dengan berbuat keonaran? Hal ini bukan karena mayoritas orang Kristen yang terdidik mengetahui sejarah iman mereka, bahwa Yesus memanglah seorang manusia yang karena manuver politik Konstantin telah dijadikan Tuhan, sehingga tidak mampu menjawab hujatan tersebut, seperti yang dikatakan oleh Dan Brown di dalam bukunya. Justru sebaliknya, orang Kristen yang berpikir secara objektif, kristis dan memahami metoda ilmiah yang masuk di nalar serta mengetahui sejarah iman mereka akan dapat melihat bahwa hujatan di dalam novel The Da Vinvi Code dengan tersebut bersifat fitnah yang murahan.

Di samping itu juga karena orang Kristen menghayati firman Tuhan bahwa “Janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan; lakukanlah apa yang baik bagi semua orang! Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang!” (Roma 12:17-18). Perilaku kasih ini bukanlah tanda kelemahan, justru sebaliknya kemampuan untuk mengendalikan emosi secara dewasa tersebut merupakan bukti dari buah Roh (Galatia 5:22) di dalam kehidupan orang yang hidup di dalam anugerah Tuhan.

Di sisi lain, buku-buku seperti The Da Vinci Code semustinya harus membuat orang Kristen lebih giat lagi membaca serta mempelajari Alkitab, pokok-pokok ajaran iman yang sehat dan sejarah gereja dengan baik. Dengan demikian mereka akan dapat “menjadi seorang pelayan Kristus Yesus yang baik, terdidik dalam soal-soal pokok iman dan dalam ajaran sehat yang telah mereka ikuti selama ini.” (1 Timotius 4:6), serta mampu menjawab setiap hujatan tersebut sesuai dengan nasihat firman Tuhan: “Dan siap sedialah pada segala waktu untukl memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu, tetapi haruslah dengan lemah lembut dan hormat, dan dengan hati nurani yang murni, supaya mereka, yang memfitnah kamu karena hidupmu yang saleh dalam Kristus, menjadi malu karena fitnahan mereka itu.” (1 Petrus 3:15-16) 

*Said Van Halan



Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 komentar:

 

Facebook Gue