Upaya mengusung hermeneutika kembali menarik perhatian banyak kalangan. Beberapa cendekiawan Muslim, terutama yang menekuni bidang teologi dan filsafat, mencoba menjadikan hermeneutika sebagai alternatif pengganti tafsir dalam menginterpretasikan kitab suci Al-Qur‘an. Khususnya di Indonesia, gerakan ini kelihatannya sangat terencana dan dibacking oleh LSM asing. Sehingga tidak aneh, hanya dalam hitungan bulan, mereka dapat menelurkan banyak buku-buku dan jurnal terkait tema tersebut.
Di samping itu pengusung hermeneutika juga menyoal sikap mayoritas Muslim yang taklid kepada tafsir-tafsir klasik, mereka menginginkan agar dilakukan kritikan fundamental terhadap kitab-kitab tersebut. Akan tetapi, ternyata kita juga menyaksikan betapa mereka juga memuja-muja pemikiran Arkoun, Hasan Hanafi, dan sebagainya. Sikap tersebut diistilahkan oleh Adian Husaini sebagai fenomena latah dan taklid baru. (baca: Hermeneutika dan Fenomena Taqlid Baru).
Hermeneutika pernah berjaya dalam menafsirkan Bibel (kitab suci umat Kristen). Dan memang suatu hal yang tidak aneh jika hermeneutika berhasil diterapkan pada Bibel, atau bahkan mungkin Bibel memerlukannya. Karena menurut penelitian para Kristolog, baik dari kalangan Muslim maupun non Muslim, kitab Bibel yang tidak lagi ditulis dengan bahasa aslinya itu ditulis oleh banyak pengarang dengan versi yang berbeda-beda.
Dan perbedaan antara yang satu dengan yang lain pun sangat signifikan. Bahkan masing-masing Bibel seakan berlomba dalam menambah atau mengurangi antara satu dengan lainnya. (Untuk lebih jelas, baca buku Dokumen Pemalsuan Alkitab karangan Molyadi Samuel AM, Victory Press-Surabaya, 2002).
Kenapa penerapan hermeneutika meraih sukses pada Bibel, menurut Ugi Suharto ada tiga penyebab. Pertama; kalangan kristiani masih berdebat tentang apakah secara harfiah Bibel itu bisa dianggap kalam Tuhan atau hanya perkataan manusia. Kedua; adanya perbedaan pengarang yang menuliskan Bibel mengakibatkan perbedaan gaya dan kosa kata dalam Bibel. Ketiga; teks Bibel ditulis dan dibaca bukan lagi dalam bahasa asalnya sehingga mempunyai masalah dengan isu orisinilitas.
Namun demikian, apakah hermeneutika akan meraih sukses yang sama apabila diterapkan untuk menafsirkan Al-Qur‘an? Tentu sangat mustahil, karena sudah disepakati oleh Jumhur Ulama bahwa Al-Qur‘an adalah Kalamullah, firman Allah. Al-Qur‘an tidak dikarang oleh manusia, dan sampai hari ini Al-Qur‘an akan tetap ditulis dan dibaca menurut bahasa aslinya. Melihat fakta tersebut, nampaknya tidak tersedia peluang untuk menerapkan hermeneutika dalam upaya menginterpretasikan Al-Qur‘an.
Alasan lain mengapa hermeneutika tidak tepat untuk Al-Qur‘an adalah metode hermeneutika bukan hanya menginterpretasikan, tapi juga mengkritisi. Bagaimana mungkin Al-Qur‘an yang merupakan wahyu Tuhan akan dikritisi oleh manusia yang bukan siapa-siapa jika dibandingkan dengan Allah SWT sang Khaliq. Tentu akan sangat naïf dan ironis sekali. Al-Qur‘an adalah kitab suci yang dapat diterima oleh orang yang mengimaninya. Bagi yang tidak mengimaninya tentu tidak berhak untuk mengkritisi.
Sejarah mencatat bahwa jauh sebelum gerakan ini, telah banyak penulis yang mengajukan hermeneutika sebagai alternatif metode penafsiran Al-Qur‘an, namun mereka gagal dan tidak berhasil. Alphonse Mingana misalnya, pendeta Kristen asal Irak dan guru besar di Universitas Birmingham-Inggris, pada tahun 1927 mengatakan, “sudah tiba saatnya untuk melakukan kritik terhadap teks al-Qur‘an sebagaimana telah dilakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani”. (baca: Hermeneutika dan Bibel).
Berdasarkan pengalaman yang menimpa penganut Kristen, hermeneutika telah menimbulkan pertikaian hingga pertumpahan darah. Pecahnya Kristen menjadi Katholik dan Protestan adalah hasil sumbangan dari hermeutika. Jadi, semboyan pengusung hermeneutika “untuk menghindarkan perpecahan umat dalam penafsiran Al-Qur`an maka dibutuhkan alternatif baru (sebenarnya sudah kuno) yaitu hermeneutika” menjadi tidak relevan.
Muhammad Said Aidi
Ketua PC.IPNU Jakarta Pusat
Di samping itu pengusung hermeneutika juga menyoal sikap mayoritas Muslim yang taklid kepada tafsir-tafsir klasik, mereka menginginkan agar dilakukan kritikan fundamental terhadap kitab-kitab tersebut. Akan tetapi, ternyata kita juga menyaksikan betapa mereka juga memuja-muja pemikiran Arkoun, Hasan Hanafi, dan sebagainya. Sikap tersebut diistilahkan oleh Adian Husaini sebagai fenomena latah dan taklid baru. (baca: Hermeneutika dan Fenomena Taqlid Baru).
Hermeneutika pernah berjaya dalam menafsirkan Bibel (kitab suci umat Kristen). Dan memang suatu hal yang tidak aneh jika hermeneutika berhasil diterapkan pada Bibel, atau bahkan mungkin Bibel memerlukannya. Karena menurut penelitian para Kristolog, baik dari kalangan Muslim maupun non Muslim, kitab Bibel yang tidak lagi ditulis dengan bahasa aslinya itu ditulis oleh banyak pengarang dengan versi yang berbeda-beda.
Dan perbedaan antara yang satu dengan yang lain pun sangat signifikan. Bahkan masing-masing Bibel seakan berlomba dalam menambah atau mengurangi antara satu dengan lainnya. (Untuk lebih jelas, baca buku Dokumen Pemalsuan Alkitab karangan Molyadi Samuel AM, Victory Press-Surabaya, 2002).
Kenapa penerapan hermeneutika meraih sukses pada Bibel, menurut Ugi Suharto ada tiga penyebab. Pertama; kalangan kristiani masih berdebat tentang apakah secara harfiah Bibel itu bisa dianggap kalam Tuhan atau hanya perkataan manusia. Kedua; adanya perbedaan pengarang yang menuliskan Bibel mengakibatkan perbedaan gaya dan kosa kata dalam Bibel. Ketiga; teks Bibel ditulis dan dibaca bukan lagi dalam bahasa asalnya sehingga mempunyai masalah dengan isu orisinilitas.
Namun demikian, apakah hermeneutika akan meraih sukses yang sama apabila diterapkan untuk menafsirkan Al-Qur‘an? Tentu sangat mustahil, karena sudah disepakati oleh Jumhur Ulama bahwa Al-Qur‘an adalah Kalamullah, firman Allah. Al-Qur‘an tidak dikarang oleh manusia, dan sampai hari ini Al-Qur‘an akan tetap ditulis dan dibaca menurut bahasa aslinya. Melihat fakta tersebut, nampaknya tidak tersedia peluang untuk menerapkan hermeneutika dalam upaya menginterpretasikan Al-Qur‘an.
Alasan lain mengapa hermeneutika tidak tepat untuk Al-Qur‘an adalah metode hermeneutika bukan hanya menginterpretasikan, tapi juga mengkritisi. Bagaimana mungkin Al-Qur‘an yang merupakan wahyu Tuhan akan dikritisi oleh manusia yang bukan siapa-siapa jika dibandingkan dengan Allah SWT sang Khaliq. Tentu akan sangat naïf dan ironis sekali. Al-Qur‘an adalah kitab suci yang dapat diterima oleh orang yang mengimaninya. Bagi yang tidak mengimaninya tentu tidak berhak untuk mengkritisi.
Sejarah mencatat bahwa jauh sebelum gerakan ini, telah banyak penulis yang mengajukan hermeneutika sebagai alternatif metode penafsiran Al-Qur‘an, namun mereka gagal dan tidak berhasil. Alphonse Mingana misalnya, pendeta Kristen asal Irak dan guru besar di Universitas Birmingham-Inggris, pada tahun 1927 mengatakan, “sudah tiba saatnya untuk melakukan kritik terhadap teks al-Qur‘an sebagaimana telah dilakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani”. (baca: Hermeneutika dan Bibel).
Berdasarkan pengalaman yang menimpa penganut Kristen, hermeneutika telah menimbulkan pertikaian hingga pertumpahan darah. Pecahnya Kristen menjadi Katholik dan Protestan adalah hasil sumbangan dari hermeutika. Jadi, semboyan pengusung hermeneutika “untuk menghindarkan perpecahan umat dalam penafsiran Al-Qur`an maka dibutuhkan alternatif baru (sebenarnya sudah kuno) yaitu hermeneutika” menjadi tidak relevan.
Muhammad Said Aidi
Ketua PC.IPNU Jakarta Pusat
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer
0 komentar:
Posting Komentar